Jurnalis Independen: Sulendra,
seorang pemuda usia 20 tahun tengah sibuk membereskan busur dan anak panah
milik majikannya. Dengan amat gairah, Lendra, demikian panggilan akrabnya
secara teliti dan telaten memeriksa anak-panah demi anak-panah
Warga rancah bersuka-cita
manakala Raden Bratanagara pindah dari Krangkeng, Indramayu ke Rancah. Mereka
bersuka-cita karena bangsawan ini dikenal sebagai bangsawan yang jujur, cerdas
dan sangat menyayangi rakyat kecil.Raden Bratanagara pun sama suka-citanya.
Bagaimana tak begitu, sebab ia kini kembali ke kampung halaman, setelah lama
mengembara di negri orang. Kata peribahasa sunda, lir kebo mulih pakandangan, nya muncang labuh ka puhu. Burung bangau terbangkembali
ke sarang. Yang membikin dia senang, juga karena jabatannya naik. Kembali
lagi sebagai asisten Wedana. Sedangkan dipindah-tugaskan ke Rancah, beliau
diangkat sebagai Wedana Rancah.
Raden Bratanagara adalah seorang ahli
ilmu pertanahan, pertanian kala itu. Ketika menjabat sebagai pembantu Wedana di
Krangkeng, banyak melakukan jasa untuk pemerintah, di antaranya mengeringkan
tanah rawa seluas 700 ha dan dijadikannya sebagai persawahan subur.Karena
kecakapannya ini maka tak heran reputasinya terus meningkat.Dan kini beliau
menjadi Wedana Rancah dengan tugas yang sama seperti di Krangkeng dulu . Raden
Bratanagara diuji kepandaiannya dan keberanaiannya untuk mengeringkan Rawa
onom. Mengapa perlu keberanian, sebab penduduk Rancah mengenal betul akan Rawa
onom, sebuah areal rawa berhutan, bukan saja banyak binatang buas dan berbisa
namun juga angker banyak dihuni makhluk gaib. Orang Rancah menyebutnya sebagai
onom, sebangsa makhluk halus yang kerap tampil di muka umum. Tak pernah
mengganggu kecuali diganggu. Apakah usaha mengeringkan rawa untuk kebutuhan
pertanian akan mengganggu kedamaian "penduduk" di alam sana?
Pagi hari sangat cerah. Sulendra,
seorang pemuda usia 20 tahun tengah sibuk membereskan busur dan anak panah
milik majikannya. Dengan amat gairah, Lendra, demikian panggilan akrabnya
secara teliti dan telaten memeriksa anak-panah demi anak-panah. yang ujungnya sudah
karatan, dia bersihkan sampai mengkilap. Demikian pun yang sudah terlihat
tumpul, dia tajamkan lagi.
"Selain pandai memanah,
Bendara (sebutan majikan-red) pun senang menggunakan tombak dan Cikrak,
Lendra," tutur Mang Sajum, pria setengah baya yang memperhatikan di
sampingnya. "Ya, ya ... saya pernah melihat beliau melempar tombak dengan
jitunya di hutan-hutan Kecamatan Krangkeng sana ... " tutur Lendra senyum.
"Ouw, jadi sementara di Krangkeng pun Bendara suka berburu ini,
Lendra?" Lendra mengangguk mengiyakan. "Tapi kata Bendara, berburu
Menjangan lebih asyik di wilayah Rancah sebab hutannya lebih lebat dan jenis
binatangnya lebih banyak, "tutur Lendra teringat ucapan majikannya.
"Betul itu. Tapi harus hati-hati, Rawa Lakbok itu ada penguasanya. Itu
masuk ke wilayah Kerajaan Pulo Majeti. Kita jangan sembarangan bertindak-laku
di wilayah mereka, "kata Mang Sajum.
Pulo Majeti itu tempat apa?
" tanya Lendra sambil lalu sebab dia tengah membereskan berbagai peralatan
berburu. Mang Sajum hanya tersenyum kecil.Untuk beberapa lama dia tak jawab
pertanyaan, kecuali ikut bantu membereskan alat berburu. Kebetulan Jang Dayat
yang mau cerita. Kata anak muda yang selalu memakai ketu (ikat kepala) warna
hitam itu,
Pulo Majeti merupakan sebuah
gugusan pulau kecil yang berada di tengah-tengah wilayah rawa. "Ow, saya
kira tempat aneh. Di Indramayu pun tempat kayak gitu banyak, sih .. . "
kata Lendra sambil memberikan contoh, betapa banyaknya tanah rawa di sisi-sisi
Sungai Cimanuk. "Sungai Cimanuk kan saban taun selalu banjir dan airnya
kerap menggenangi persawahan. Dengan demikian, di sana banyak didapat tanah
berawa ... " tutur Lendra. Mang Sajum tadinya mau menyela tapi diurungkannya
niat itu. Namun tak begitu dengan Jang Dayat. Sebagai anak muda barangkali dia
punya kesombongan untuk mengatakan sesuatu yang istimewa pada kampung halaman.
"Pulo Majeti itu dihuni
bangsa onom, tau?" bentaknya. "Sssttt ..." Mang Sajum terkejut
dan segera memberi tanda dengan menempelkan telunjuk di depan bibirnya.
"onom itu apa?" "Sssttt!" untuk kedua kalinya Mang Sajum
memberi tanda agar anak muda itu jangan banyak tanya. "Aneh ..."
gerutu Lendra.Lantas dia tekun lagi dengan pekerjaannya.
Berburu
dan Tersesat di Rawa onom
Bendara Wedana R. Bratanagara
memang senang berburu. Tapi itu bukan satu-satunya tujuan. Tujuan utama
sebenarnya melakukan tugas kontrol ke wilayah-wilayah pekerjaannya. Sama
seperti ketika sedang bertugas di Krangkeng, maka begitu pun yang kelak akan
dilakukan di Rancah. Wedana R Bratanagara punya misi besar, yaitu mencoba
mengeringkan air di wilayah Rawa Lakbok. Bila rawa sudah kering, maka akan
diganti menjadi persawahan luas sebab penduduk Rancah punya keakhlian bertani.
Bendara Wedana pun kelak akan memerintahkan penduduk untuk ramai-ramai menanam
kelapa sebab buahnya bisa diambil sebulan sekali.
Maka untuk memasyarakatkan misi
ini, Bendara Wedana perlu mengunjungi kampung-kampung di wilayah Rancah.
Kampung-kampung seperti Kampung Pangrumasan, Nanggela, Bantardengdeng,
Cisontrol atau Kampung Cibeurih, semuanya merupakan desa terpencil yang
terkadang dipisahkan oleh hutan-hutan lebat atau rawa-rawa yang airnya dalam.
Mengontrol wilayah dilakukan sambil berburu agar tak jenuh melakukan perjalanan
jauh.
Maka di pagi hari yang cerah,
puluhan orang telah berkumpul. Semua telah siap dengan berbagai peralatan
berburu. Ada yang membawa trisula, yaitu tombak bermata tiga. Ada juga yang
membawa cangkalak, yaitu tali tambang besar dan kuat untuk meringkus kaki
binatang buas.
Bendara Wedana sudah duduk dengan
anggun di atas pelana kuda hitamnya. Di punggungnya menggandul Bedor atau
sumbu, yaitu tempat untuk menyimpan anak-panah. Sementara bahu kirinya
menggapit sebuah gondewa berukir indah. Gondewa adalah alat untuk melepas
anak-panah. Ada beberapa orang yang menggunakan kuda. Mereka adalah Camat
Rancah dan para kuwu. Sementara itu kaum cacah, yaitu para karyawan, tak
menggunakan kuda. Lendra adalah termasuk aparat muda yang tak diberi fasilitas
kuda namun menerima beban tugas cukup berat.
Di sepasang bahunya tergantung
beberapa alat berburu lainnya. Sementara itu di tangan kanannya sudah terpegang
beberapa batang tombak. "Ke mana kita akan berburu, Mang Sajum?"
tanya Lendra di tengah perjalanan. Langkah kuda yang ditunggangi para menak
berjalan lambat-lambat, sehingga para abdi dalem melangkahkan kaki tak terlalu
cepat.
"Kita akan menuju
Rancabingung, Lendra ..." "Rancabingung?" tanya Lendra bingung.
Dia pindahkan beban gulungan tambang dari bahu kanan ke bahu kiri. "Ya,
sebenarnya banyak yang takut untuk berburu di sana ..." gumam Mang Sajum,
namun melangkah tenang sambil memanggul beberapa batang Cikrak. "Tapi saya
tak takut. Saya hanya bingung saja. Kok namanya Rancabingung?" potong
Lendra. "Itu karena bila orang masuk ke wilayah tersebut adakalanya suka
bingung. Bisa masuk susah keluar. Makanya berburu ke tempat itu tak sebanyak
saat berburu ke hutan karet di Gunungbitung, Lemahneundeut atau ke Bangkelung
... " tutur Mang Sajum lagi.
Rancabingung, ya ...? "gumam
Lendra masih dibuat bingung." Kalau banyak orang bingung, kenapa musti
berburu kesana, Mang? "tanyanya lagi mengerutkan dahi. "Ya, orang
suka khawatir. Sebab sebelum tiba kesana, rombongan musti lewat Rawa onom dulu.
Rancabingung itu terletak di arah utara Rawa onom ... "tutur Mang Sajum.
"Tak perlu takut, aku sudah kenal onom ..." potong Jang Dayat.
"Sssttt ..." Mang Sajum beri peringatan agar Jang Dayat tak
sembarangan bicara. Namun gerak-gerik Mang Sajum ini malah membuat hati Lendra
tambah penasaran. "Saya ingin tau apa yang barusan disebutkan Jang Dayat
..." tuturnya. "Sssttt ..." lagi-lagi Mang Sajum memperingatkan
kendati Lendra tak menyebut kata apa yang dilarangnya .
Menuju Rancabingung hampir
menghabiskan waktu empat atau lima jam dengan langkah cepat. Perjalanan selalu
melalui jalanan setapak yang terkadang masuk keluar hutan lebat atau bisa juga
lewat ke jalanan becek berlumpur. Ketika lewat wilayah Rawa onom, jalanan
semakin becek dan gelap karena rimbunnya pepohonan. Jang Dayat beberapa kali
musti menepuk-nepuk punggungnya yang tak berbaju lantaran nyamuk-nyamuk besar
terkadang hinggap dan menggigitnya. Sementara Mang Sajum beberapa kali musti
mengebut-ngebutkan baju kampretnya lantaran sesekali ada ulat sebesar ibu-jari
jatuh ke bajunya. Hanya Lendra saja yang melangkah dengan santai dan terkadang
menatap ke arah kegelapan hutan dengan senyum dan kedipan mata.
Ketika Rawa onom sudah terlewati,
hampir semua anggota rombongan bernapas lega, kecuali Lendra. Dia malah merahuh
kecewa sambil sesekali melirik ke belakang seperti orang tertinggal sesuatu.
"Waduh ... nyamuk di Rawa onom sungguh dahsyat menciumi punggungku ...
"keluh Jang Dayat. "Ow, kau sempat diciumnya, Jang Dayat?" tanya
Lendra dengan senyum dikulum namun dengan nada setengah iri. "Cobalah
lihat punggungku, mungkin banyak tanda-tanda berwarna merah saking kuatnya
gigitan mereka, "kata Jang Dayat coba memperlihatkan punggungnya. Benar
seperti apa dikatakan Jang Dayat, di punggung Jang Dayat terlihat noda-noda
bintik merah. herannya, ini malah membuat iri pemuda Lendra. "Nasibku
memang selalu sial. Di mana pun dan siapa pun jarang tertarik padaku ...
"kata Lendra mengeluh lirih.
Mang Sajum melirik heran namun
Jang Dayat ketawa terpingkal karena geli. Kenapa tak minta padaku, Lendra?
Atau, semuanya pun bisa kau ambil nyamuknyamuk berbisa itu, " kata Jang
Dayat masih ketawa ngakak. Tapi Lendra malah terlihat muram. Setiba di daerah
Rancabingung, beberapa kuda berbunyi meringkik keras dan mulutnya berbusa.
Hanya kuda yang ditunggangi Bendara Wedana yang tak terlalu gelisah kendati
mulutnya sama berbusa. Sementara kuda-kuda lainnya meronta-ronta sambil
menendang-nyepakkan kaki depannya.Beberapa anggota rombongan merasa kaget. Apalagi
ada salah seorang kuwu yang terjatuh dan terjerembab ke permukaan rawa.
Sementara itu, Lendra malah
tertawa lucu melihat kejadian itu. Bendara Wedana, sebagai majikannya, menegur
Lendra dengan mendelikkan mata. "Maaf Bendara. Saya tak bisa menahan tawa
saking lucunya melihat Juragan Kuwu ditarik gadis cantik itu ... " tutur
Lendra pelan karena merasa bersalah telah mentertawakan Juragan Kuwu
terjerembab. Bendara Wedana R Bratanagara mengerutkan kening demi mendengar
ucapan pegawainya ini. Ia melirik kesana-kemari namun tak terlihat ada gadis di
sana.@bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar