Rabu, 28 Agustus 2013

Runtuhnya Imperium Ras Java Wilwatikta (15)

Prabu Brawijaya Serahkan Tahta Kerajaan pada Raden Patah

Jurnalis Independen: Sang Prabhu Brawijaya bagaikan disodori buah simalakama, dimakan mati tidak dimakan pun mati.


Sejenak, Sang Prabhu berunding dengan para penasehat beliau yang terdiri dari para ahli hukum dan agamawan. Sejurus kemudian, beliau menyatakan kepada Sunan Kalijaga hendak merundingkan hal ini dengan para penasehat lebih dalam lagi. Dan Sunan Kalijaga diperbolehkan menghadap esok hari lagi. Sunan Kalijaga dan seluruh rombongannya diberikan tempat bermalam, dengan pengawalan ketat.

Keesokan harinya, Sunan Kalijaga dipanggil menghadap. Prabu Brawijaya memutuskan, untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar lagi, beliau tidak akan mengadakan gerakan perebutan tahta kembali. Lega Sunan Kalijaga mendengarnya.

Namun apa yang akan dilakukan Sang Prabu agar seluruh putra-putra beliau mau merelakan tahta diduduki Raden Patah? Begitu Sunan Kalijaga meminta kejelasan langkah selanjutnya. Sang Prabu mengatakan, beliau akan mengeluarkan maklumat kepada seluruh putra-putra beliau untuk bersikap sama seperti dirinya. Untuk berjiwa besar memberikan kesempatan bagi Raden Patah memegang tampuk kekuasaan. Terutama kepada keturunan beliau di Pengging, maklumat ini benar-benar harus dipatuhi. Semua sudah paham, yang berhak mewarisi tahta Majapahit sebenarnya adalah keturunan di Pengging.

Kini, Sang Prabu yang mempertanyakan jaminan kebebasan beragama kepada Sunan Kalijaga, apakah Demak Bintara bisa memberikan wilayah-wilayah otonomi khusus bagi para penguasa daerah yang mayoritas masyarakatnya tidak beragama Islam? Bisakah Demak Bintara sebijak Majapahit dulu? Bukankah keyakinan yang dianut Raden Patah menganggap semua yang diluar keyakinan mereka adalah musuh?

Sunan Kalijaga terdiam. Dan setelah berfikir barang sejenak, Sunan Kalijaga berjanji akan ikut andil menentukan arah kebijakan pemerintahan Demak Bintara. Dan itu berarti, mulai saat ini, dia harus ikut terjun kedunia politik. Dunia yang dihindarinya selama ini. Padahal tahta Kadipaten Tuban yang diserahkan kepadanya, ia berikan kepada Raden Jaka Supa, suami adiknya Dewi Rasa Wulan. Namun demi menjaga kelangsungan hidup beragama dan menjamin pemeluk agama Hindu-Budha, Sunan Kalijaga rela masuk dalam pusaran politik.

Prabu Brawijaya bernafas lega. Dia percaya pada sosok Raden Sahid atau Sunan Kalijaga ini.

Sunan Kalijaga menambahkan, Sang Prabu seyogyanya kembali ke Trowulan. Tidak usah meneruskan menyeberang ke pulau Bali. Sebab dengan adanya Sang Prabu di Trowulan, para putra dan masyarakat tahu kondisi beliau. Tahu bahwasanya beliau baik-baik saja. Sehingga seluruh pendukung beliau akan merasa tenang.

Kembali Sang Prabu berunding dengan para penasehat sejenak Kemudian beliau memberikan jawaban.

Ada beliau di Trowulan ataupun tidak, stabilitas negara sepeninggal beliau tergulingkan dari tahta, mau tidak mau, tetap akan terganggu. Karena para pendukung beliau pasti juga banyak yang belum bisa menerima pengangkatan Raden Patah ini. Namun, jika tidak ada komando khusus dari beliau, hal itu tidak akan menjadi sebuah kekacauan yang besar. Pembangkangan daerah per daerah pasti terjadi. Tapi, Sang Prabu menjamin, tanpa komando beliau, penyatuan kekuatan Majapahit dari daerah per daerah tidak bakalan terjadi. Dan, beliau tidak perlu pulang ke Trowulan.

Sunan Kalijaga resah. Bila Sang Prabu ke Bali, Sunan Kalijaga takut beliau akan berubah pikiran begitu melihat betapa militan-nya para pendukung beliau disana. Mau tidak mau, Prabu Brawijaya harus bisa diusahakan pulang ke Trowulan. Sunan Kalijaga memutar otak.

Sunan Kalijaga tahu, hati Prabu Brawijaya sangat lembut. Dan kini, Sunan Kalijaga akan berusaha mengetuk kelembutan hati beliau. Sunan Kalijaga memberikan gambaran betapa mengerikannya jika para pendukung beliau benar-benar siap melakukan gerakan besar. Tidak ada jaminan bagi Sang Prabu sendiri bahwa beliau tidak akan berubah pikiran bila tetap meneruskan perjalanan ke Bali. Sunan Kalijaga memohon, Prabu Brawijaya harus mengambil jarak dengan para pendukung beliau. Nasib rakyat kecil dalam hal ini dipertaruhkan. Mereka harus lebih diutamakan.

Sunan Kalijaga memberikan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi jika Sang Prabu tetap hendak ke Bali.

Diam-diam, Prabhu Brawijaya berfikir. Diam-diam hati beliau terketuk. Kata-kata Sunan Kalijaga memang ada benarnya. Prabu Brawijaya tercenung. Beliau memutuskan pertemuan untuk sementara disudahi. Sunan Kalijaga diminta kembali ketempatnya untuk sementara waktu.

Prabu Brawijaya kini menyendiri. Ingin merenung tanpa mau diganggu oleh siapapun. Ketika malam menjelang, Sang Prabu memanggil Sabda Palon dan Naya Genggong. Bertiga bersama-sama membahas langkah selanjutnya.

Dan, ketika malam menjelang puncak, Sabda Palon dan Naya Genggong berterus terang, Mereka berdua menunjukkan siapa sebenarnya jati dirinya. Diiringi semburat cahaya lembut, Sabda Palon dan Naya Genggong ‘menampakkan wujudnya yang asli’ kepada Prabu Brawijaya.

Prabu Brawijaya terperanjat. Serta merta beliau menghaturkan hormat, bersembah. Kini, malam ini, untuk pertama kalinya, Sang Prabu Brawijaya bersimpuh, menyembah Sabda Palon dan Naya Genggong.

Sabda Palon dan Naya Genggong memberikan gambaran apa yang bakal terjadi kelak di Nusantara …

Semenjak hari kehancuran Majapahit, ‘kesadaran’ masyarakat Nusantara akan jatuh ketitik yang paling rendah. ‘Kulit’ lebih diagung-agungkan dari pada ‘Isi’. ‘Kebenaran Yang Mutlak’ dianggap sebagai milik golongan tertentu. Dharma diputar balikkan. Sampah-sampah seperti ini akan terus tertumpuk sampai lima ratus tahun kedepan. Dan bila sudah saatnya, Alam akan memuntahkannya. Alam akan membersihkannya.@bersambung


Tidak ada komentar: