Prabu
Brawijaya Serahkan Tahta Kerajaan pada Raden Patah
Jurnalis Independen: Sang Prabhu Brawijaya bagaikan
disodori buah simalakama, dimakan mati tidak dimakan pun mati.
Sejenak, Sang Prabhu berunding
dengan para penasehat beliau yang terdiri dari para ahli hukum dan agamawan.
Sejurus kemudian, beliau menyatakan kepada Sunan Kalijaga hendak merundingkan
hal ini dengan para penasehat lebih dalam lagi. Dan Sunan Kalijaga
diperbolehkan menghadap esok hari lagi. Sunan Kalijaga dan seluruh rombongannya
diberikan tempat bermalam, dengan pengawalan ketat.
Keesokan harinya, Sunan Kalijaga
dipanggil menghadap. Prabu Brawijaya memutuskan, untuk menghindari pertumpahan
darah yang lebih besar lagi, beliau tidak akan mengadakan gerakan perebutan
tahta kembali. Lega Sunan Kalijaga mendengarnya.
Namun apa yang akan dilakukan
Sang Prabu agar seluruh putra-putra beliau mau merelakan tahta diduduki Raden
Patah? Begitu Sunan Kalijaga meminta kejelasan langkah selanjutnya. Sang Prabu
mengatakan, beliau akan mengeluarkan maklumat kepada seluruh putra-putra beliau
untuk bersikap sama seperti dirinya. Untuk berjiwa besar memberikan kesempatan
bagi Raden Patah memegang tampuk kekuasaan. Terutama kepada keturunan beliau di
Pengging, maklumat ini benar-benar harus dipatuhi. Semua sudah paham, yang
berhak mewarisi tahta Majapahit sebenarnya adalah keturunan di Pengging.
Kini, Sang Prabu yang
mempertanyakan jaminan kebebasan beragama kepada Sunan Kalijaga, apakah Demak
Bintara bisa memberikan wilayah-wilayah otonomi khusus bagi para penguasa
daerah yang mayoritas masyarakatnya tidak beragama Islam? Bisakah Demak Bintara
sebijak Majapahit dulu? Bukankah keyakinan yang dianut Raden Patah menganggap
semua yang diluar keyakinan mereka adalah musuh?
Sunan Kalijaga terdiam. Dan
setelah berfikir barang sejenak, Sunan Kalijaga berjanji akan ikut andil
menentukan arah kebijakan pemerintahan Demak Bintara. Dan itu berarti, mulai saat
ini, dia harus ikut terjun kedunia politik. Dunia yang dihindarinya selama ini.
Padahal tahta Kadipaten Tuban yang diserahkan kepadanya, ia berikan kepada
Raden Jaka Supa, suami adiknya Dewi Rasa Wulan. Namun demi menjaga kelangsungan
hidup beragama dan menjamin pemeluk agama Hindu-Budha, Sunan Kalijaga rela
masuk dalam pusaran politik.
Prabu Brawijaya bernafas lega.
Dia percaya pada sosok Raden Sahid atau Sunan Kalijaga ini.
Sunan Kalijaga menambahkan, Sang
Prabu seyogyanya kembali ke Trowulan. Tidak usah meneruskan menyeberang ke
pulau Bali. Sebab dengan adanya Sang Prabu di Trowulan, para putra dan
masyarakat tahu kondisi beliau. Tahu bahwasanya beliau baik-baik saja. Sehingga
seluruh pendukung beliau akan merasa tenang.
Kembali Sang Prabu berunding
dengan para penasehat sejenak Kemudian beliau memberikan jawaban.
Ada beliau di Trowulan ataupun
tidak, stabilitas negara sepeninggal beliau tergulingkan dari tahta, mau tidak
mau, tetap akan terganggu. Karena para pendukung beliau pasti juga banyak yang
belum bisa menerima pengangkatan Raden Patah ini. Namun, jika tidak ada komando
khusus dari beliau, hal itu tidak akan menjadi sebuah kekacauan yang besar.
Pembangkangan daerah per daerah pasti terjadi. Tapi, Sang Prabu menjamin, tanpa
komando beliau, penyatuan kekuatan Majapahit dari daerah per daerah tidak
bakalan terjadi. Dan, beliau tidak perlu pulang ke Trowulan.
Sunan Kalijaga resah. Bila Sang
Prabu ke Bali, Sunan Kalijaga takut beliau akan berubah pikiran begitu melihat
betapa militan-nya para pendukung beliau disana. Mau tidak mau, Prabu Brawijaya
harus bisa diusahakan pulang ke Trowulan. Sunan Kalijaga memutar otak.
Sunan Kalijaga tahu, hati Prabu
Brawijaya sangat lembut. Dan kini, Sunan Kalijaga akan berusaha mengetuk
kelembutan hati beliau. Sunan Kalijaga memberikan gambaran betapa mengerikannya
jika para pendukung beliau benar-benar siap melakukan gerakan besar. Tidak ada
jaminan bagi Sang Prabu sendiri bahwa beliau tidak akan berubah pikiran bila
tetap meneruskan perjalanan ke Bali. Sunan Kalijaga memohon, Prabu Brawijaya
harus mengambil jarak dengan para pendukung beliau. Nasib rakyat kecil dalam
hal ini dipertaruhkan. Mereka harus lebih diutamakan.
Sunan Kalijaga memberikan
kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi jika Sang Prabu tetap hendak ke Bali.
Diam-diam, Prabhu Brawijaya
berfikir. Diam-diam hati beliau terketuk. Kata-kata Sunan Kalijaga memang ada
benarnya. Prabu Brawijaya tercenung. Beliau memutuskan pertemuan untuk
sementara disudahi. Sunan Kalijaga diminta kembali ketempatnya untuk sementara
waktu.
Prabu Brawijaya kini menyendiri.
Ingin merenung tanpa mau diganggu oleh siapapun. Ketika malam menjelang, Sang
Prabu memanggil Sabda Palon dan Naya Genggong. Bertiga bersama-sama membahas
langkah selanjutnya.
Dan, ketika malam menjelang
puncak, Sabda Palon dan Naya Genggong berterus terang, Mereka berdua
menunjukkan siapa sebenarnya jati dirinya. Diiringi semburat cahaya lembut,
Sabda Palon dan Naya Genggong ‘menampakkan wujudnya yang asli’ kepada Prabu
Brawijaya.
Prabu Brawijaya terperanjat.
Serta merta beliau menghaturkan hormat, bersembah. Kini, malam ini, untuk
pertama kalinya, Sang Prabu Brawijaya bersimpuh, menyembah Sabda Palon dan Naya
Genggong.
Sabda Palon dan Naya Genggong
memberikan gambaran apa yang bakal terjadi kelak di Nusantara …
Semenjak hari kehancuran
Majapahit, ‘kesadaran’ masyarakat Nusantara akan jatuh ketitik yang paling
rendah. ‘Kulit’ lebih diagung-agungkan dari pada ‘Isi’. ‘Kebenaran Yang Mutlak’
dianggap sebagai milik golongan tertentu. Dharma diputar balikkan.
Sampah-sampah seperti ini akan terus tertumpuk sampai lima ratus tahun kedepan.
Dan bila sudah saatnya, Alam akan memuntahkannya. Alam akan membersihkannya.@bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar