Selasa, 20 Agustus 2013

Fenomena Petrus Soeharto dan Teroris SBY

Jurnalis Independen: Pihak Polisi Polda Metro Jaya berhasil menangkap 4 orang di sebuah rumah kontarakan yang bertempat di Jl. Masjid RT 005/06 Cipayung Jakarta-Timur, sekitar pukul 20:30 WIB, Selasa malam (20/82013). Berita ini menjadi headline beberapa media nasional.


Berdasarkan keterangan dari saksi warga setempat terkait penangkapan tersebut, sekitar 12 anggota kepolisian berpakaian preman menggunakan 4 buah mobil dan sebuah motor, menggerebek rumah kontrakan bernomor 25 yang berada disebuah gang.

Saksi, yang merupakan ketua RT setempat mengungkapkan, sekitar pukul 21.00 WIB dirinya didatangi oleh dua orang yang mengaku sebagai anggota polisi mengatakan bahwa mereka akan menangkap seorang bandar besar narkoba.

Ketua RT mengatakan anggota polisi itu memintanya untuk menyaksikan pengerebekan tersebut. Dirinya kemudian mengantar 6 orang masuk untuk melakukan penggerebekan.

Polisi kemudian membawa 4 orang yang berada diteras sedang ngobrol-ngobrol santai dan ngopi. Mereka diantaranya adalah Iqbal Khusaini alias Reza alias Ramli alias Rambo (30), Maryono (35) dan dua orang lagi yang belum diketahui identitasnya.

Keterangan Ketua RT setempat yang juga merupakan tetangga terduga, penggerebekan tersebut berlangsung selama 2 jam lebih.

"Anggota kepolisian datang dengan 4 mobil dan satu motor. Kemudian mereka masuk kedalam dan melakukan penggeledahan,” tuturnya.

Dari lokasi polisi mengamankan satu unit mobil yang diduga milik Iqbal Khusaini, 2 buah senjata api laras pendek, 1 buah senjata api laras panjang, 170 butir peluru, CPU, laptop, Ipad, alat-alat servis HP termasuk sejumlah Ponsel (HP). Hingga usai penggerebekan, Ketua RT tidak mengetahui tuduhan sebenarnya atas ke empat tersangka. Namun media-media nasional dengan bangga memberikan judul “Densus 88 Berhasil Tangkap 4 Teroris”.

Hal ini mengingatkan kita saat tahun 80 an, Para preman dan para perampok ketakutan kala mendengan kata "Petrus". Petrus sebenarnya adalah singkatan dari Penembak Misterius. Tahun 1980-an. Ketika itu, ratusan residivis, khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah, mati ditembak. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus", penembak misterius.

Tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.


Sebagian besar korban para petrus adalah preman-preman kelas teri yang biasanya menjadi pemalak, perampok, dan Bromocorah atau mereka yang dianggap melawan peraturan kekuasaan rezim soeharto. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Gali. Petrus biasanya mengambil para pemuda yang dianggap sebagai preman. Meraka biasanya dibawa dengan mobil jeep gelap dan dibawa ke tempat yang jauh dari keramaian. setelah itu mereka dibunuh dan mayatnya dibiarkan tergeletak begitu saja. Pada masa itu, para preman menjadi sangat takut untuk keluar rumah, bahkan pemuda bukan preman tapi mempunyai tato di badanya kadang juga sering menjadi incaran para petrus. maka tak heran jka pada masa itu, Rumah sakit kewalahan menerima para pemuda yang ingin menghapus tato mereka.

Dari data yang diterima, petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.

Pada Maret di tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI (sekarang TNI), Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.

Permintaannya ini disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, LB Moerdani, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodak Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.

Operasi Clurit yang notabene dengan Petrus ini memang signifikan, untuk tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang diantaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107 orang tewas, diantaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 diantaranya tewas ditembak.

Para korban petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan. Tercatat ada 11 provinsi yang menerapkan petrus, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Bali, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.

Hingga sekarang tidak ada pengakuan resmi dari pemerintah . Dan bahkan kasus ini seakan hilang begitu saja seiring dengan lengsernya kekuasaan Soeharto.

Petrus Sejarah Kelam Rakyat Indonesia
Coba saja cari kisah ‘petrus’ (penembak misterius) dalam buku-buku sejarah yang diedarkan di sekolahan. Sama saja dengan berbagai peristiwa-peristiwa lain, kemisteriusan ‘petrus’ tetap di kawal untuk tidak diketahui oleh manusia-manusia dini dalam sebuah paparan yang adil. Kisah ‘petrus’, yang geger dari tahun 1983-1985, mungkin rata-rata hanya hadir di benak orang-orang hidup setelah periode itu dalam bentuk dongeng atau ‘cerita-silat’.

Gaya pembasmian kejahatan ala pendekar-penumpas-kejahatan ini pada awalnya memang disambut dengan gegap gempita oleh masyarakat pada era kekuasaan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, atas alasan keresahan yang dialami oleh masyarakat dengan naik-drastisnya tingkat kejahatan, khususnya di kota-kota besar Indonesia.

Penembakan misterius juga merupakan bukti dari penggunaan kekuatan militer dalam mengatur peri kehidupan masyarakat. Militer, sebagai pemegang kekuatan bersenjata, dengan giat dan ligat menumpas orang-orang (yang dicurigai) sebagai pelaku kejahatan. Uniknya, seperti yang terjadi dalam cerita Bunyi Hujan di atas Genting dan Grhhh, ciri khusus pelaku kejahatan yang salah satunya dijadikan acuan adalah ciri yang kini bolehlah disebut dangkal: tubuh bertato.

Tapi tetap saja setiap kali hujan reda, di mulut gang itu tergelataklah mayat bertato.
Reserse Sarman memperhatikan bahwa di tubuh yang mulai mencair itu masih terlihat sisa-sisa tato. (Grhhh)

Mungkin memang benar bahwa kebanyakan pelaku kejahatan (kecil) adalah orang-orang yang bertato. Tapi apa semua orang bertato adalah penjahat? Sepertinya dari titik peristiwa ini pula semakin kuat citra stereotipikal tentang tato yang beredar di masyarakat luas. Perlu diingat, sampai sekarangpun masih dengan terang tersisa jejak trauma tato itu di mata publik.

Yang menarik dan harus diperhatikan dari penumpasan kejahatan gaya Batman ini adalah bahwa, dari sekitar 10.000 korban yang bergelimpangan akibat timah panas petrus, dapat dikatakan semuanya adalah pelaku kejahatan ‘kecil’. Mereka adalah orang-orang yang dicurigai sebagai perampok, pencuri, preman, bandar judi, dsb, bahkan banyak sekali yang ternyata sudah menyandang gelar ‘mantan penjahat’. Lagipula, belum pernah ada terdengar seorang anggota DPR yang korup menjadi korban petrus.

Media Massa Dibungkam
Sebenarnya, karena keresahan yang terjadi, pemerintah sudah melarang pers untuk meliput hal-hal yang bersangkutan dengan petrus pada Agustus 1983. Padahal, sampai 1985 petrus masih merajai jalanan. Inilah usaha pemerintah untuk menghilangkan ingatan masyarakat akan petrus. Mediamassa, sebagai sumur informasi paling populer, adalah target yang jitu untuk dibungkam. Pada titik tertentu, penghilangan sesuatu isu dari mediamassa berbanding lurus dengan hilangnya perhatian khalayak terhadap sesuatu isu tersebut. Dengan cerdik, pemerintah dapat membaca relasi-berbanding-lurus ini. Dan dengan picik dibungkamlah jurnalisme.

Walau bagaimanapun, kecaman bertubi-tubi tetap berdesing datang dari berbagai pihak: kalangan DPR, pembela HAM, orang-orang peduli penegakan hukum, dan masyarakat sendiri, yang ternyata menjadi resah dan ketakutan karena mencekamnya situasi yang diciptakan oleh petrus.

Dari segi penegakan hukum, misalnya, ada Adnan Buyung Nasution yang dengan keras menentang pelecehan yang dilakukan pihak militer secara terang-terangan terhadap supremasi hukum. Seno juga tidak lupa menyelipkan hal ini dalam kebimbangan tokohnya di cerita Keroncong Pembunuhan. Si juru-tembak-tepat yang dibayar untuk membunuh seseorang itu bahkan dengan jelas mempertanyakan,

Aku menatap lagi matanya, pengkhianat yang bagaimana?
“Pengkhianat yang bagaimana? Kenapa tidak diadili saja?”

Lebih lagi, tidak dapat dipungkiri, situasi mencekam memang benar-benar meruak dan menghantui kehidupan masyarakat pada saat itu. Masyarakat, yang tadinya mendukung karena tingkat kejahatan menurun drastis, berbalik menghujat petrus karena kengerian yang diakibatkannya dan kealpaannya memberantas kejahatan secara adil dan menyeluruh. Petrus memang berhasil menciptakan trauma di tengah-tengah masyarakat. Mayat yang bergelimpangan menjadi pemandangan yang selalu menemani matahari menyapa bumi. Kondisi apa ini? Seakan-akan tidak ada masalah lain saja. Seakan-akan kejahatan (kecil) yang meningkat pada masa itu datang dengan sendirinya. Petrus adalah sebuah program yang dilaksanakan dengan eka-sudut-pandang. Tidak disadari bahwa kepelikan masalah ini adalah (hanya) sekepul asal akibat dari suatu bara yang menyala dalam sekam. Trauma ini digugat oleh Seno dalam Grhhh:

“Pembantaian itu kesalahan besar, Pak! Generasi kita kena getahnya! Orang-orang itu tidak rela mati, Pak! Mereka membalas dendam!”

Tindakan Pemerintah kala itu ala Agen CIA dan FBI-nya Amerika ini belakangan, diakui Presiden Soeharto, sebagai inisiatif dan atas perintahnya.

“Ini sebagai shock therapy,” kata Soeharto dalam biografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Pada saat penembak misterius merajalela, para cendekiawan, politisi, dan pakar hukum angkat bicara. Intinya, mereka menuding bahwa hukuman tanpa pengadilan adalah kesalahan serius. Meski begitu, menurut Soeharto, “Dia tidak mengerti masalah yang sebenarnya.”

Mungkin tidak terlalu keliru untuk menafsir bahwa yang dimaksud Soeharto sebagai orang yang mengerti masalah sebenarnya adalah dirinya sendiri. Sayang, petrus hanya berlaku untuk preman kelas teri, mereka yang merampok karena lapar. Sayang, petrus tidak berlaku untuk preman berdasi, mereka yang mencuri karena mereka rakus!

Teroris Era SBY, Densus 88 Sama Dengan Petrus Zaman Soeharto, Eksekutor Benny Moerdani
Apa yang dilakukan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan menyematkan label teroris pada pejuang islam, merupakan metamorphose Petrus yang dikomandoi oleh Presiden Soeharto dan LB Moerdani. Bedanya, jika Petrus korbanya adalah para bromocorah, jika teroris korbanya adalah aktivis islam yang hendak membersihkan negeri ini dari para pencoleng, Koruptor, penipu, maling kelas kakap dan penjual bangsa, Negara dan rakyatnya pada kapitalis asing lewat tangan yang disebut Densus 88.

Sungguh sangat mengerikan pembantaian yang dilakukan oleh Jenderal Benny Moerdani (Katolik) terhadap mereka yang diduga sebagai penjahat, kala itu. Mereka dihabisi dengan cara yang mengenaskan, dibunuh ditembak, dan mayatnya dikarungi, dan ada yang dibuang di tempat keramaian.

Sekarang, seakan Jenderal Leonardus Benyamin Moerdani hidup lagi, melakukan "petrus" (penembakan misterius), tetapi sekarang pelakunya Densus 88, dan yang  dibunuhi para aktivis Islam, dan hanya di beri stempel sebagai teroris.

Aktivis-aktivis Islam yang berjuang dengan serius, dan ingin menegakkan hukum Allah (syariah Islam), diberi lebel teroris, dan kemudian dibunuhi, tanpa harus mempertanggungjawabkan baik secara kemanusiaan maupun hukum.

Dulu, waktu zamannya rezim Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto, ratusan bahkan diyakini ribuan orang menjadi korban operasi pemberantasan kejahatan atau yang dikenal operasi penembakan misterius (PETRUS) periode 1983-1985. Namun sampai sekarang belum ada pengakuan secara resmi dari pemerintah, termasuk Komnas HAM bahwa kasus ini merupakan pelanggaran HAM berat.

Menurut Edwin, dari hasil penelitian Kontras memang target Petrus adalah para bromocorah alias penjahat atau residivis. Namun, banyak juga para korban merupakan pemuda dan aktivis yang selama itu menentang kebijakan rezim Soeharto. Jumlah korbannya sangat besar, ada sekitar 700an lebih. Mungkin lebih dari itu.

Dari data yang diterima, petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.

Pada Maret di tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI (sekarang TNI), Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.

Permintaannya ini disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodak Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.

Operasi Clurit yang notabene dengan Petrus ini memang signifikan, untuk tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang diantaranya tewas akibat luka tembakan.

Tahun 1984 ada 107 orang tewas, diantaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 diantaranya tewas ditembak.

Para korban petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun.

Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan. Tercatat ada 11 provinsi yang menerapkan petrus, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Bali, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.

Sementara itu, salah satu korban petrus yang selamat, Bathi Mulyono (60),
Berkata : "Saya tidak akan memaafkan Soeharto, karena kejahatannya paling tinggi dan paling jahat dibanding kejahatan finansialnya, karena sudah menghilangkan nyawa orang" dan mempertanyakan Komnas HAM terkait perkembangan penuntasan kasus itu.

Dirinya meminta agar Komnas HAM berani mengungkap kasus yang disinyalir menelan korban ribuan orang.

Bathi juga mengaku tidak akan memberikan maaf kepada Soeharto atas kasus kejahatan yang dinilai paling jahat dibandingkan kasus korupsi, KKN mantan penguasa Orde Baru tersebut.

Siapa dalang Petrus sesungguhnya? Mantan Presiden Soeharto banyak dituduh menjadi pemberi perintah. Tapi Soeharto pernah menyampaikan Jenderal Benny Moerdani lah dalang petrus sesungguhnya.

"Saya pernah tanya pada Pak Harto. Bapak dituduh melanggar HAM soal petrus, yang sebenarnya bagaimana Pak? Pak Harto bilang Itu kan Benny," ujar mantan ajudan Soeharto, Mayjen Purn Issantoso saat diskusi bedah buku 'Pak Harto the untold stories' di Gramedia, Matraman. Jakarta Timur. Sabtu, (19/11/2011).

Tetapi, sejatinya Jenderal Soeharto dan Jenderal Benny Moerdani itu, keduanya penjahat yang sangat biadab, bukan hanya membunuhi para preman, tetapi juga membunuh umat Islam, seperti peristiwa yang terjadi di Lampung, Tanjung Priok, Haur Koneng, dan sejumlah wilayah lainnya. Kedua tokoh militer itu, berkomplot membunuhi umat Islam dengan cara-cara yang keji.

Sekarang di era reformasi di bawah kekuasaan Presiden SBY, berulang kembali era yang sangat kelam, dan penuh dengan kebiadaban, yaitu pembantaian secara keji terhadap umat Islam,  terutama para aktivis Islam.

Pelakunya sekarang polisi, Densus 88. Para aktivis Islam hanya diberi lebel teroris, sudah dapat ditembak atau dibunuh. Tidak pernah diklarifikasi. Apakah benar mereka ini teroris, dan membahayakan keamanan negara.

Entah sudah berapa ribu yang ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, dan entah berapa banyak yang sudah tewas. Kemarin, dalam hanya dua kali dalam 24 jam, 11 orang yang terduga teroris tewas ditembak oleh Densus 88.

Sejatinya, mereka yang dituduh teroris itu,  hanya korban stigma, dan kemudian mendapatkan covered (peliputan) media yang luas, terutama media-media kristen dan sekuler yang memang, mereka ini menjadi bagian dari operasi yang dijalankan Densus 88.

Semuanya tujuan hanya satu, mengeleminir, aktivis Islam, yang ingin menegakkan nilai-nilai dan prinsip Islam. Begitu mudah para aktivis Islam itu dibunuh dan dihilangkan nyawanya. Sungguh  ini sebuah kejahatan yang luar biasa di era reformasi.

Anehnya, semua bungkam, tak ada yang  merasa keberatan terhadap aktivitas Densus 88, yang sudah membuat korban begitu banyak. Mereka ditangkap disiksa, dipenjarakan, dan sebagian dibunuh dengan cara yang sangat keji.

Tindakan Soeharto dan Benny Moerdani yang era Orde Baru dikutuk, dan menjadi pemicu terjadinya perubahan politik, dan penggulingan terhadap rezim Soeharto, sekarang ini diulangi lagi oleh rezim SBY dengan tema terorisme. Presiden SBY merupakan sosok “Setali tiga uang” dengan pendahulunya Presiden Soeharto yang menjadi antek Amerika, antek Negara Eropa yang kapitalis dan imperialis pembenci syariat Islam yang memiliki system kontra imperialis, kapitalis dan sosialis anti tuhan.

Kedua system pembantaian baik Petrus maupun terorisme merupakan sebuah tindakan yang sangat keji penghilangan nyawa manusia, tanpa pengadilan. Apapun dasar alasannya, apalagi mereka yang ditembak itu, baru diduga teroris, dan belum dibuktikan secara hukum.@JI



Tidak ada komentar: