Jurnalis Independen: Pihak Polisi Polda Metro Jaya berhasil
menangkap 4 orang di sebuah rumah kontarakan yang bertempat di Jl. Masjid RT
005/06 Cipayung Jakarta-Timur, sekitar pukul 20:30 WIB, Selasa malam
(20/82013). Berita ini menjadi headline beberapa media nasional.
Berdasarkan keterangan dari saksi
warga setempat terkait penangkapan tersebut, sekitar 12 anggota kepolisian
berpakaian preman menggunakan 4 buah mobil dan sebuah motor, menggerebek rumah
kontrakan bernomor 25 yang berada disebuah gang.
Saksi, yang merupakan ketua RT
setempat mengungkapkan, sekitar pukul 21.00 WIB dirinya didatangi oleh dua
orang yang mengaku sebagai anggota polisi mengatakan bahwa mereka akan
menangkap seorang bandar besar narkoba.
Ketua RT mengatakan anggota
polisi itu memintanya untuk menyaksikan pengerebekan tersebut. Dirinya kemudian
mengantar 6 orang masuk untuk melakukan penggerebekan.
Polisi kemudian membawa 4 orang
yang berada diteras sedang ngobrol-ngobrol santai dan ngopi. Mereka diantaranya
adalah Iqbal Khusaini alias Reza alias Ramli alias Rambo (30), Maryono (35) dan
dua orang lagi yang belum diketahui identitasnya.
Keterangan Ketua RT setempat yang
juga merupakan tetangga terduga, penggerebekan tersebut berlangsung selama 2
jam lebih.
"Anggota kepolisian datang
dengan 4 mobil dan satu motor. Kemudian mereka masuk kedalam dan melakukan
penggeledahan,” tuturnya.
Dari lokasi polisi mengamankan
satu unit mobil yang diduga milik Iqbal Khusaini, 2 buah senjata api laras
pendek, 1 buah senjata api laras panjang, 170 butir peluru, CPU, laptop, Ipad,
alat-alat servis HP termasuk sejumlah Ponsel (HP). Hingga usai penggerebekan,
Ketua RT tidak mengetahui tuduhan sebenarnya atas ke empat tersangka. Namun
media-media nasional dengan bangga memberikan judul “Densus 88 Berhasil Tangkap
4 Teroris”.
Hal ini mengingatkan kita saat tahun
80 an, Para preman dan para perampok ketakutan kala mendengan kata
"Petrus". Petrus sebenarnya adalah singkatan dari Penembak Misterius.
Tahun 1980-an. Ketika itu, ratusan residivis, khususnya di Jakarta dan Jawa
Tengah, mati ditembak. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena
itu muncul istilah "petrus", penembak misterius.
Tahun 1983 saja tercatat 532
orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada
107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74
orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri saat
ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan
korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di
depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para
korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.
Sebagian besar korban para petrus
adalah preman-preman kelas teri yang biasanya menjadi pemalak, perampok, dan
Bromocorah atau mereka yang dianggap melawan peraturan kekuasaan rezim
soeharto. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Gali. Petrus biasanya mengambil
para pemuda yang dianggap sebagai preman. Meraka biasanya dibawa dengan mobil
jeep gelap dan dibawa ke tempat yang jauh dari keramaian. setelah itu mereka
dibunuh dan mayatnya dibiarkan tergeletak begitu saja. Pada masa itu, para
preman menjadi sangat takut untuk keluar rumah, bahkan pemuda bukan preman tapi
mempunyai tato di badanya kadang juga sering menjadi incaran para petrus. maka
tak heran jka pada masa itu, Rumah sakit kewalahan menerima para pemuda yang
ingin menghapus tato mereka.
Dari data yang diterima, petrus
berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982,
Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Anton
Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.
Pada Maret di tahun yang sama, di
hadapan Rapim ABRI (sekarang TNI), Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil
langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama
diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.
Permintaannya ini disambut oleh
Pangkopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, LB
Moerdani, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodak
Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan
Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan
ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.
Operasi Clurit yang notabene
dengan Petrus ini memang signifikan, untuk tahun 1983 saja tercatat 532 orang
tewas, 367 orang diantaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107
orang tewas, diantaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang
tewas, 28 diantaranya tewas ditembak.
Para korban petrus sendiri saat
ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan
korban juga dimasukan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan
rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban
kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.
Tercatat ada 11 provinsi yang menerapkan petrus, seperti Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Bali,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.
Hingga sekarang tidak ada
pengakuan resmi dari pemerintah . Dan bahkan kasus ini seakan hilang begitu
saja seiring dengan lengsernya kekuasaan Soeharto.
Petrus
Sejarah Kelam Rakyat Indonesia
Coba saja cari kisah ‘petrus’
(penembak misterius) dalam buku-buku sejarah yang diedarkan di sekolahan. Sama
saja dengan berbagai peristiwa-peristiwa lain, kemisteriusan ‘petrus’ tetap di
kawal untuk tidak diketahui oleh manusia-manusia dini dalam sebuah paparan yang
adil. Kisah ‘petrus’, yang geger dari tahun 1983-1985, mungkin rata-rata hanya
hadir di benak orang-orang hidup setelah periode itu dalam bentuk dongeng atau
‘cerita-silat’.
Gaya pembasmian kejahatan ala
pendekar-penumpas-kejahatan ini pada awalnya memang disambut dengan gegap
gempita oleh masyarakat pada era kekuasaan Orde Baru yang dipimpin oleh
Soeharto, atas alasan keresahan yang dialami oleh masyarakat dengan naik-drastisnya
tingkat kejahatan, khususnya di kota-kota besar Indonesia.
Penembakan misterius juga
merupakan bukti dari penggunaan kekuatan militer dalam mengatur peri kehidupan
masyarakat. Militer, sebagai pemegang kekuatan bersenjata, dengan giat dan
ligat menumpas orang-orang (yang dicurigai) sebagai pelaku kejahatan. Uniknya,
seperti yang terjadi dalam cerita Bunyi Hujan di atas Genting dan Grhhh, ciri
khusus pelaku kejahatan yang salah satunya dijadikan acuan adalah ciri yang
kini bolehlah disebut dangkal: tubuh bertato.
Tapi tetap saja setiap kali hujan
reda, di mulut gang itu tergelataklah mayat bertato.
Reserse Sarman memperhatikan
bahwa di tubuh yang mulai mencair itu masih terlihat sisa-sisa tato. (Grhhh)
Mungkin memang benar bahwa
kebanyakan pelaku kejahatan (kecil) adalah orang-orang yang bertato. Tapi apa
semua orang bertato adalah penjahat? Sepertinya dari titik peristiwa ini pula
semakin kuat citra stereotipikal tentang tato yang beredar di masyarakat luas.
Perlu diingat, sampai sekarangpun masih dengan terang tersisa jejak trauma tato
itu di mata publik.
Yang menarik dan harus
diperhatikan dari penumpasan kejahatan gaya Batman ini adalah bahwa, dari
sekitar 10.000 korban yang bergelimpangan akibat timah panas petrus, dapat
dikatakan semuanya adalah pelaku kejahatan ‘kecil’. Mereka adalah orang-orang
yang dicurigai sebagai perampok, pencuri, preman, bandar judi, dsb, bahkan
banyak sekali yang ternyata sudah menyandang gelar ‘mantan penjahat’. Lagipula,
belum pernah ada terdengar seorang anggota DPR yang korup menjadi korban
petrus.
Media
Massa Dibungkam
Sebenarnya, karena keresahan yang
terjadi, pemerintah sudah melarang pers untuk meliput hal-hal yang bersangkutan
dengan petrus pada Agustus 1983. Padahal, sampai 1985 petrus masih merajai
jalanan. Inilah usaha pemerintah untuk menghilangkan ingatan masyarakat akan
petrus. Mediamassa, sebagai sumur informasi paling populer, adalah target yang
jitu untuk dibungkam. Pada titik tertentu, penghilangan sesuatu isu dari
mediamassa berbanding lurus dengan hilangnya perhatian khalayak terhadap
sesuatu isu tersebut. Dengan cerdik, pemerintah dapat membaca
relasi-berbanding-lurus ini. Dan dengan picik dibungkamlah jurnalisme.
Walau bagaimanapun, kecaman
bertubi-tubi tetap berdesing datang dari berbagai pihak: kalangan DPR, pembela
HAM, orang-orang peduli penegakan hukum, dan masyarakat sendiri, yang ternyata
menjadi resah dan ketakutan karena mencekamnya situasi yang diciptakan oleh
petrus.
Dari segi penegakan hukum,
misalnya, ada Adnan Buyung Nasution yang dengan keras menentang pelecehan yang
dilakukan pihak militer secara terang-terangan terhadap supremasi hukum. Seno
juga tidak lupa menyelipkan hal ini dalam kebimbangan tokohnya di cerita
Keroncong Pembunuhan. Si juru-tembak-tepat yang dibayar untuk membunuh
seseorang itu bahkan dengan jelas mempertanyakan,
Aku menatap lagi matanya,
pengkhianat yang bagaimana?
“Pengkhianat yang bagaimana?
Kenapa tidak diadili saja?”
Lebih lagi, tidak dapat
dipungkiri, situasi mencekam memang benar-benar meruak dan menghantui kehidupan
masyarakat pada saat itu. Masyarakat, yang tadinya mendukung karena tingkat
kejahatan menurun drastis, berbalik menghujat petrus karena kengerian yang diakibatkannya
dan kealpaannya memberantas kejahatan secara adil dan menyeluruh. Petrus memang
berhasil menciptakan trauma di tengah-tengah masyarakat. Mayat yang
bergelimpangan menjadi pemandangan yang selalu menemani matahari menyapa bumi.
Kondisi apa ini? Seakan-akan tidak ada masalah lain saja. Seakan-akan kejahatan
(kecil) yang meningkat pada masa itu datang dengan sendirinya. Petrus adalah
sebuah program yang dilaksanakan dengan eka-sudut-pandang. Tidak disadari bahwa
kepelikan masalah ini adalah (hanya) sekepul asal akibat dari suatu bara yang
menyala dalam sekam. Trauma ini digugat oleh Seno dalam Grhhh:
“Pembantaian itu kesalahan besar,
Pak! Generasi kita kena getahnya! Orang-orang itu tidak rela mati, Pak! Mereka
membalas dendam!”
Tindakan Pemerintah kala itu ala
Agen CIA dan FBI-nya Amerika ini belakangan, diakui Presiden Soeharto, sebagai
inisiatif dan atas perintahnya.
“Ini sebagai shock therapy,” kata
Soeharto dalam biografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Pada saat penembak misterius
merajalela, para cendekiawan, politisi, dan pakar hukum angkat bicara. Intinya,
mereka menuding bahwa hukuman tanpa pengadilan adalah kesalahan serius. Meski
begitu, menurut Soeharto, “Dia tidak mengerti masalah yang sebenarnya.”
Mungkin tidak terlalu keliru
untuk menafsir bahwa yang dimaksud Soeharto sebagai orang yang mengerti masalah
sebenarnya adalah dirinya sendiri. Sayang, petrus hanya berlaku untuk preman
kelas teri, mereka yang merampok karena lapar. Sayang, petrus tidak berlaku
untuk preman berdasi, mereka yang mencuri karena mereka rakus!
Teroris
Era SBY, Densus 88 Sama Dengan Petrus Zaman Soeharto, Eksekutor Benny Moerdani
Apa yang dilakukan oleh
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan menyematkan label teroris
pada pejuang islam, merupakan metamorphose Petrus yang dikomandoi oleh Presiden
Soeharto dan LB Moerdani. Bedanya, jika Petrus korbanya adalah para bromocorah,
jika teroris korbanya adalah aktivis islam yang hendak membersihkan negeri ini
dari para pencoleng, Koruptor, penipu, maling kelas kakap dan penjual bangsa, Negara
dan rakyatnya pada kapitalis asing lewat tangan yang disebut Densus 88.
Sungguh sangat mengerikan
pembantaian yang dilakukan oleh Jenderal Benny Moerdani (Katolik) terhadap
mereka yang diduga sebagai penjahat, kala itu. Mereka dihabisi dengan cara yang
mengenaskan, dibunuh ditembak, dan mayatnya dikarungi, dan ada yang dibuang di
tempat keramaian.
Sekarang, seakan Jenderal
Leonardus Benyamin Moerdani hidup lagi, melakukan "petrus"
(penembakan misterius), tetapi sekarang pelakunya Densus 88, dan yang dibunuhi para aktivis Islam, dan hanya di
beri stempel sebagai teroris.
Aktivis-aktivis Islam yang
berjuang dengan serius, dan ingin menegakkan hukum Allah (syariah Islam),
diberi lebel teroris, dan kemudian dibunuhi, tanpa harus mempertanggungjawabkan
baik secara kemanusiaan maupun hukum.
Dulu, waktu zamannya rezim Orde
Baru di bawah Jenderal Soeharto, ratusan bahkan diyakini ribuan orang menjadi
korban operasi pemberantasan kejahatan atau yang dikenal operasi penembakan
misterius (PETRUS) periode 1983-1985. Namun sampai sekarang belum ada pengakuan
secara resmi dari pemerintah, termasuk Komnas HAM bahwa kasus ini merupakan
pelanggaran HAM berat.
Menurut Edwin, dari hasil
penelitian Kontras memang target Petrus adalah para bromocorah alias penjahat
atau residivis. Namun, banyak juga para korban merupakan pemuda dan aktivis
yang selama itu menentang kebijakan rezim Soeharto. Jumlah korbannya sangat
besar, ada sekitar 700an lebih. Mungkin lebih dari itu.
Dari data yang diterima, petrus
berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982,
Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Anton
Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.
Pada Maret di tahun yang sama, di
hadapan Rapim ABRI (sekarang TNI), Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil
langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama
diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.
Permintaannya ini disambut oleh
Pangkopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya,
Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodak Metro Jaya
tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi
Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di
masing-masing kota dan provinsi lainnya.
Operasi Clurit yang notabene
dengan Petrus ini memang signifikan, untuk tahun 1983 saja tercatat 532 orang
tewas, 367 orang diantaranya tewas akibat luka tembakan.
Tahun 1984 ada 107 orang tewas,
diantaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28
diantaranya tewas ditembak.
Para korban petrus sendiri saat
ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan
korban juga dimasukan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan
rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun.
Pola pengambilan para korban
kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.
Tercatat ada 11 provinsi yang menerapkan petrus, seperti Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Bali,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.
Sementara itu, salah satu korban
petrus yang selamat, Bathi Mulyono (60),
Berkata : "Saya tidak akan
memaafkan Soeharto, karena kejahatannya paling tinggi dan paling jahat
dibanding kejahatan finansialnya, karena sudah menghilangkan nyawa orang"
dan mempertanyakan Komnas HAM terkait perkembangan penuntasan kasus itu.
Dirinya meminta agar Komnas HAM
berani mengungkap kasus yang disinyalir menelan korban ribuan orang.
Bathi juga mengaku tidak akan
memberikan maaf kepada Soeharto atas kasus kejahatan yang dinilai paling jahat
dibandingkan kasus korupsi, KKN mantan penguasa Orde Baru tersebut.
Siapa dalang Petrus sesungguhnya?
Mantan Presiden Soeharto banyak dituduh menjadi pemberi perintah. Tapi Soeharto
pernah menyampaikan Jenderal Benny Moerdani lah dalang petrus sesungguhnya.
"Saya pernah tanya pada Pak
Harto. Bapak dituduh melanggar HAM soal petrus, yang sebenarnya bagaimana Pak?
Pak Harto bilang Itu kan Benny," ujar mantan ajudan Soeharto, Mayjen Purn
Issantoso saat diskusi bedah buku 'Pak Harto the untold stories' di Gramedia,
Matraman. Jakarta Timur. Sabtu, (19/11/2011).
Tetapi, sejatinya Jenderal
Soeharto dan Jenderal Benny Moerdani itu, keduanya penjahat yang sangat biadab,
bukan hanya membunuhi para preman, tetapi juga membunuh umat Islam, seperti
peristiwa yang terjadi di Lampung, Tanjung Priok, Haur Koneng, dan sejumlah
wilayah lainnya. Kedua tokoh militer itu, berkomplot membunuhi umat Islam
dengan cara-cara yang keji.
Sekarang di era reformasi di
bawah kekuasaan Presiden SBY, berulang kembali era yang sangat kelam, dan penuh
dengan kebiadaban, yaitu pembantaian secara keji terhadap umat Islam, terutama para aktivis Islam.
Pelakunya sekarang polisi, Densus
88. Para aktivis Islam hanya diberi lebel teroris, sudah dapat ditembak atau
dibunuh. Tidak pernah diklarifikasi. Apakah benar mereka ini teroris, dan
membahayakan keamanan negara.
Entah sudah berapa ribu yang
ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, dan entah berapa banyak yang sudah
tewas. Kemarin, dalam hanya dua kali dalam 24 jam, 11 orang yang terduga
teroris tewas ditembak oleh Densus 88.
Sejatinya, mereka yang dituduh
teroris itu, hanya korban stigma, dan
kemudian mendapatkan covered (peliputan) media yang luas, terutama media-media
kristen dan sekuler yang memang, mereka ini menjadi bagian dari operasi yang
dijalankan Densus 88.
Semuanya tujuan hanya satu,
mengeleminir, aktivis Islam, yang ingin menegakkan nilai-nilai dan prinsip
Islam. Begitu mudah para aktivis Islam itu dibunuh dan dihilangkan nyawanya. Sungguh ini sebuah kejahatan yang luar biasa di era
reformasi.
Anehnya, semua bungkam, tak ada
yang merasa keberatan terhadap aktivitas
Densus 88, yang sudah membuat korban begitu banyak. Mereka ditangkap disiksa,
dipenjarakan, dan sebagian dibunuh dengan cara yang sangat keji.
Tindakan Soeharto dan Benny
Moerdani yang era Orde Baru dikutuk, dan menjadi pemicu terjadinya perubahan
politik, dan penggulingan terhadap rezim Soeharto, sekarang ini diulangi lagi
oleh rezim SBY dengan tema terorisme. Presiden SBY merupakan sosok “Setali tiga
uang” dengan pendahulunya Presiden Soeharto yang menjadi antek Amerika, antek Negara
Eropa yang kapitalis dan imperialis pembenci syariat Islam yang memiliki system
kontra imperialis, kapitalis dan sosialis anti tuhan.
Kedua system pembantaian baik
Petrus maupun terorisme merupakan sebuah tindakan yang sangat keji penghilangan
nyawa manusia, tanpa pengadilan. Apapun dasar alasannya, apalagi mereka yang
ditembak itu, baru diduga teroris, dan belum dibuktikan secara hukum.@JI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar