Jurnalis Independen: Demi
independensi dalam menyuarakan kebenaran, Kivlan Zen bertahan untuk tidak
bergabung dengan partai politik manapun. Kivlan memilih untuk bergabung dengan
organisasi sosial kemasyarakatan.
Keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi UU 42 Tahun 2008, terkait syarat
pencalonan presiden, secara langsung memang telah mengandaskan peluang para
calon presiden independen.
Dengan
keputusan itu, calon presiden RI harus melalui mekanisme partai. Hanya
partai/gabungan partai yang memperoleh suara 20 persen kursi DPR atau 25 persen
perolehan suara sah nasional saja yang bisa mencalonkan pasangan presiden/wakil
presiden.
Di
antara calon presiden alternatif yang telah menyatakan diri sebagai calon
presiden, Mantan Kepala Staf Kostrad, Kivlan Zen, termasuk yang legowo dengan
keputusan MK tersebut.
Sejak
awal, pensiunan mayor Jenderal ini berjanji akan menyejahterakan Indonesia
dalam waktu satu bulan jika terpilih menjadi Presiden RI periode 2009-2014.
Kivlan mentargetkan pertumbuhan ekonomi akan naik menjadi 15 persen.
Kendati
harapan menjadi presiden terhambat, hal itu tidak mengubur ambisi Kivlan untuk
mendharma-baktikan diri demi kemajuan bangsa.
Pensiunan
Jenderal kelahiran Langsa, Nanggroe Aceh Darussalam, Desember 1946 ini memang
terkenal teguh memegang prinsip, apalagi jika terkait kedaulatan NKRI. Bahkan,
Kivlan berani berseberangan dengan koleganya di dunia militer.
Kivlan
dengan lantang sempat mengungkapkan bahwa Jenderal (Purn) LB Moerdani dan
Jenderal (Purn) Wiranto bersekongkol merencanakan kudeta terhadap Presiden
Soeharto. Tak hanya itu, Kivlan juga menuding Wiranto telah “main mata” dengan
Wapres Habibie untuk menggulingkan Soeharto.
Keberanian
Kivlan menentang arus diakui kawan ataupun lawan. Atas keberaniannya, ayah dari
lima orang anak ini, mendapat nama baru, “Sutiyogo”.
“Suti”
dalam bahasa sansekerta berarti kebenaran, dan “yogo” berarti putra atau anak.
Lengkapnya, Kivlan Zen sang “Putra Kebenaran”
Sejalan
dengan itu, demi independensi dalam menyuarakan kebenaran, Kivlan bertahan
untuk tidak bergabung dengan partai politik manapun. Kivlan memilih untuk
bergabung dengan organisasi sosial kemasyarakatan. Salah satunya, Yayasan
Kesejahteraan Bangsa Indonesia, di mana Kivlan sebagai ketua umum.
Bidang
sosial dan keagamaan memang lekat dengan penyandang gelar Magister Social
Development dari Universitas Indonesia ini. Semua itu tidak lepas dari
pengalaman hidup anak pedagang sederhana ini. Sejak kecil Kivlan digembleng
kerasnya kehidupan. Bahkan untuk biaya sekolah Kivlan pernah menarik becak.
Sebelum
masuk Akademi ABRI, Kivlan sempat kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Sumatra Utara. Fakultas kedokteran dipilih semata-mata karena Kivlan
ingin menyumbangkan ilmunya untuk kehidupan sosial.
Saat
menjadi pelajar, Kivlan bergabung di Pelajar Islam Indonesia (1962). Pada 1965,
Kivlan menjabat sebagai sekretaris Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Medan.
Pada tahun yang sama Kivlan dipercaya menjadi Ketua Depertemen Penerangan KAMI
Medan. Tak hanya itu Kivlan juga tergabung dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar
Indonesia (KAPPI).
Berbekal
pengalaman hidup, Kivlan tampil sebagai sosok yang disegani. Di dunia militer,
“Akmil 71” ini termasuk perwira yang cemerlang. Dimulai dari Komandan Peleton
Akbri pada 1971 hingga akhirnya Kepala Staf Kostrad, hampir semua jabatan
Kivlan di posisi komando tempur.
Berbagai
penghargaan dan kenaikan pangkat luar biasa mengiringi karir Kivlan. Pada 1974,
pasukan Kivlan berhasil meringkus gerombolan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Demikian juga waktu bertugas di Timor Timur, Kivlan mendapat kenaikan pangkat
luar biasa.
Bahkan,
jenjang kepangkatan Kivlan dari Kolonel hingga meraih Jenderal bintang satu
hanya butuh waktu 18 bulan.
Di
dunia internasional, kiprah lulusan Sekoad 1990 tidak bisa dipandang sebelah
mata. Secara khusus, Presiden Filipina Fidel Ramos menganugerahi medali
kehormatan untuk Kivlan Zen. Kivlan dinilai berhasil membujuk pimpinan MNLF,
Nur Misuari, agar mengakhiri konflik Moro di Filipina Selatan.
Ketika
itu Kivlan memimpin Kontingen Garuda XVII, Pasukan Konga 17, yang bertugas di
Filipina. Kivlan dan pasukannya juga menjadi pengawas genjatan senjata setelah
adanya perundingan antara MNLF dengan pemerintah Filipina.
Suara Sumbang
Di
balik cemerlangnya karir, suara sumbang mengiringi langkah Kivlan. Penulis buku
kontroversial “Konflik dan Integrasi TNI-AD” ini dituding masuk dalam pusaran
isu persaingan “ABRI Hijau” versus “ABRI Merah Putih”
Bersama
Prabowo Subianto, Kivlan berada dalam barisan “ABRI Hijau” yang dikenal dekat
dengan kalangan Islam. Kelompok ini sukses melengserkan Jenderal Benny Moerdani
dari kursi Panglima ABRI. Benny yang diplot menjadi wakil presiden, kabarnya didukung
kelompok “ABRI Merah Putih”.
Atas
inisiatif Kivlan, kelompok perwira muda eks-PII (Pelajar Islam Indonesia) dan
HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) merapatkan barisan membentuk “Group 7” untuk
melawan Benny Moerdani.
Skenario
“Group 7” adalah mengganjal kelompok Benny dengan menaikkan Wiranto. Atas
usulan Prabowo, Wiranto berhasil menjadi ajudan Presiden Soeharto. Hanya saja,
dalam perjalannya Wiranto justru dipandang mendukung Benny. Sehingga perlu
dicari penggantinya. Pilihan jatuh pada Feisal Tanjung, yang sebelumnya telah
dimasukkan kotak oleh kelompok Benny Moerdani.
Konflik
elit TNI AD semakin menguat setelah Jenderal Wiranto menggantikan Jenderal
Feisal Tanjung menjadi Panglima ABRI pada Mei 1993, sementara Prabowo Subianto
diangkat sebagai Panglima Kostrad.
Kudeta
“Tragedi
Mei 1998” menjadi ujian bagi ketegaran Kivlan Zen menyuarakan kebenaran. Ketika
korban berjatuhan dalam kerusuhan 12-21 Mei 1998, meskipun memegang kendali
pasukan Kostrad, Kivlan tidak dapat berbuat banyak. Kendali keamanan tetap ada
di tangan Panglima ABRI Jenderal Wiranto.
Di
mata Kivlan, Wiranto sebagai Panglima ABRI, telah gagal mengatasi kerusuhan Mei
1998. Wiranto melarang pengerahan pasukan pada 14 Mei 1998. Menurut Kivlan,
ia telah dihubungi Kasum ABRI, Letjen
Fachrurazi agar tidak mengerahkan pasukan atas permintaan Wiranto. Wiranto
sendiri justru berada di Malang, Jawa Timur, meresmikan Pasukan Pemukul Reaksi
Cepat (PPRC) ABRI.
Tak
salah jika Kivlan ngotot bahwa kerusuhan Mei 1998 Jakarta bisa terungkap jika
ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Pada
16 Mei 1998, Kivlan dalam kapasitas sebagai Kepala Staf Kostrad, mengancam akan
menangkap Amien Rais, yang merencanakan people power mengepung Istana Negara.
Banjir darah ala “Tiananmen 1989” pun berhasil dicegah.
Nama
Kivlan kembali mencuat ketika pasukan Kostrad berada di sekitar Monumen
Nasional (Monas), Istana Presiden dan kediaman BJ Habibie di kawasan Patra
Kuningan, Mei 1998, pada detik-detik pengangkatan Habibie sebagai presiden.
Pengerahan pasukan ini belakangan, dituding sebagai upaya Prabowo cs melakukan
kudeta.
Pagi,
22 Mei 1998, Kivlan ditugasi Prabowo menghadap Habibie untuk membawa surat dari
Jenderal Besar AH Nasution yang berisi usulan pemisahan Menhankam dan Pangab.
Kivlan juga membawa surat dukungan 320 ulama Jawa Timur yang mendukung Habibie.
Hanya
saja, dengan tudingan akan melakukan kudeta, 22 Mei malam, Probowo justru
dicopot dari jabatan Pangkostrad, dan digantikan oleh Mayjen Johny Lumintang.
Menyusul
kemudian, pada 20 Juni 1998, Kivlan Zen juga harus meletakkan jabatan Kepala
Staf Kostrad. Kivlan dituduh ikut membahas keabsahan jabatan Habibie dan
perubahan UUD 1945 di Hotel Regent.
Dalang Kerusuhan
Untuk
menjaga proses pergantian kepemimpinan nasional secara demokratis, diperlukan
aturan yang jelas, untuk itu digelar Sidang Istimewa (SI) MPR pada 10-13
Nopember 1998.
Ironisnya,
upaya menggagalkan SI MPR cukup kuat karena tidak ada kekuatan massa yang
mendukung SI secara terang-terangan. Pilihan jatuh pada pengerahan pasukan
pendukung SI (belakangan disebut Pam Swakarsa).
Kivlan
Zen kembali disebut. Kivlan mengambil inisiatif merekrut massa dari kalangan
ormas Islam. Sekitar 30 ribu massa pendukung SI yang tergabung dalam Komite
Islam Bersatu Penyelamat Konstitusi (KIBLAT) mengadakan apel akbar di Parkir
Timur Senayan empat hari menjelang digelarnya SI.
Muncul
sinyalemen lain, Kivlan bersama Burzah Zarnubi, juga telah menyusupkan empat
mahasiswa dalam moment SI di gedung DPR-MPR. “Perwakilan” itu untuk memperkuat
klaim ada perwakilan mahasiswa ikut mendengarkan pidato pertangung jawaban
Habibie.
Menurut
Kivlan, keberadaan Pam Swakarsa atas perintah Wiranto dan diketahui Kapolda
Metro Jaya Mayjen Pol. Nugroho Jayusman, Pangdam Jaya Mayjen Djaya Suparman.
Disebut-sebut,
pengusaha Setiawan Djodi memberikan bantuan dana Pam Swakarsa. Selain itu,
kelompok perusahaan Tri Usaha Bhakti (Truba), di mana Kivlan menjabat
komisaris, juga menggelontorkan dana. Diketahui, Yayasan Kartika Eka Paksi
memiliki hampir semua saham PT Truba.
Dalam
buku bertajuk “Bersaksi di Tengah Badai”, Wiranto menyangkal keras terkait
keterlibatannya dalam Pam Swakarsa. Wiranto juga sempat mengancam akan menuntut
Kivlan.
Bentrokan
demi bentrokan berdarah telah menewaskan pendukung SI ataupun anti-SI. Bahkan
enam mahasiswa tewas dalam bentrokan dengan aparat. Peristiwa ini dikenal
sebagai “Peristiwa Semanggi I”.
Terbunuhnya
kelompok dari suku tertentu dalam bentrok pendukung SI-anti SI pada 13 November
1998 berbuntut dendam. Massa yang terlibat, bentrok kembali di Ketapang Jakarta
Pusat, pada 22-23 November 1998.
Kerusuhan
berlanjut di Kupang pada 30 November 1998, hingga akhirnya meletus kerusuhan
Ambon, 19 Januari 1999.
Kembali
Kivlan menjadi tertuduh. Kali ini tuduhan dilontarkan oleh KH Abdurrahman
Wahid. Gus Dur menyebut “Mayjen K” sebagai provokator kerusuhan Ambon. Atas
tuduhan itu Kivlan sempat mendatangi Gus Dur di rumahnya di Ciganjur untuk
meminta klarifikasi. Pada kesempatan itu Gus Dur membantah bahwa “Mayjen K”
yang dimaksud adalah Kivlan Zen.
Menurut
Kivlan, klarifikasi perlu dilakukan karena putra Kivlan yang sekolah di sebuah
SMA di Malang diteror dengan cemooh sebagai “anak provokator”. Bagi Kivlan,
peristiwa sejarah harus diluruskan. Sejak 1945 sejarah Indonesia carut marut
karena karena pembelokan sejarah. Semua tidak diluruskan sejak dahulu. Masa
depan itu terjadi karena masa sekarang. Masa sekarang terjadi karena masa
lampau.
Berikut
cuplikan wawancaranya dengan INTELIJEN pada April 2009 di Jakarta:
TNI Kurang Ofensif
Seringkali
fakta yang Anda ungkap berbuntut kontroversi dan perseteruan. Apa motivasi Anda
sebenarnya?
Setiap
informasi harus saya berikan kepada bangsa. Karena banyak terjadi
pengaburan atau penyimpangan sejarah.
Akibatnya, bangsa ini tidak tahu harus berbuat apa ke depan.
Sejarah
harus diungkap, misalnya terkait kudeta tahun 1950, 1962, 1965, 1974, 1983,
2006 dan sampai sekarang.
Dari
memoar para pelaku sejarah bisa ditarik keterkaitannya. Memang, ada yang saling
menutupi agar nama baik yang bersangkutan tetap terjaga.
Fakta
yang saya ungkap saya pertanggungjawabkan secara ilmiah. Saya mengalami
peristiwa itu, dan saya berani diuji. Buku “Konflik dan Integrasi TNI-AD” itu
tesis saya untuk mendapatkan gelar Master Social Development di Universitas
Indonesia.
Fakta
tentang Pam Swakarsa sampai saat ini menjadi polemik. Anda melihat itu sebagai
pengaburan sejarah?
Habibie
dan Wiranto sangat tidak fair terkait masalah Pam Swakarsa. Pam Swakarsa adalah
fakta sejarah, pasti ada pihak di belakangnya. Banyak pihak mengganggap Pam
Swakarsa salah. Padahal, Pam dibentuk untuk konstitusi. Jika Sidang Istimewa
(SI) diserang massa anti SI, berarti SI
tidak legitimit. Menggagalkan sidang istimewa itu tidak konstitusional.
Saya
dan teman-teman terlibat di dalamnya. Habibie yang merancang. Habibie
memerintahkan Wiranto untuk membentuk Pam Swakarsa. Ironisnya Habibie tidak
mau mengakui.
Semua
itu ada rencana operasinya. Habibie dan Wiranto cuci tangan. Wiranto tidak
gentlemen. Pam Swakarsa dibiarkan digebuk oleh massa dan media massa.
Untuk
mengungkap semua itu, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR 2006) telah
dibentuk, namun dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi di bawah Jimly Asidiqi?
Itu
tidak benar, menipu sejarah dan tidak gentlemen. Sudah ada niat untuk rekonsiliasi,
mengapa lembaganya dibubarkan. Artinya, ada pihak yang takut oleh perbuatannya
sendiri.
Perbedaan
pengungkapan sejarah Indonesia, sehingga banyak versi, terpengaruh adanya faksi-faksi di tubuh
militer?
Bangsa
ini sejak dahulu memang memiliki faksi-faksi. Sejarah TNI pun dibentuk oleh
faksi-faksi. Pasca reformasi, memang masih ada “pertemanan” karena backgroup
persamaan daerah. Nepotisme kedaerahan memang kadang digunakan untuk tarik
menarik demi kesuksesan bersama.
Untuk
mendapatkan jabatan atau karir, faksi-faksi itu masih ada. Saat ini, jabatan
pada level tertentu di TNI didominasi salah satu kelompok kedaerahan. Mereka
menarik kelompoknya masing-masing.
Nepotisme
menjadi tidak biasa ketika masuk dalam wilayah perebutan kekuasaan?
Memang
akan berbahaya jika dilakukan dengan cara yang tidak demokratis. Buntutnya
memang akan terjadi kekacauan. Ada satu kelompok kedaerahan yang saat ini
berusaha menguasai TNI. Tetapi semua itu tidak ada gunanya untuk merebut
kekuasaan. Kecuali jika mereka melakukan kudeta. Berdasarkan sejarah kudeta
dari tentara di Indonesia tidak pernah berhasil.
Kelompok-kelompok
itu terlibat dalam persaingan Pemilu 2009?
Kelompok
TNI tidak ada, karena sudah masuk kandang. Justru saat ini polisi yang muncul
ke panggung persaingan politik. Misalnya, kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) di
Jawa Timur juga melibatkan polisi. Tangan kanan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono saat ini adalah polisi.
Di
sejumlah partai politik banyak pensiunan jenderal TNI. Artinya, mereka masih
berorientasi pada kekuasaan?
Sifat
militer di Indonesia sebenarnya bukan orientasi kekuasaan. Kami memiliki misi
bagaimana NKRI bisa tetap tegak. Agar NKRI tidak terpisah. Yang pasti TNI tidak
pernah mendukung gerakan separatisme.
Apa
kelemahan dan kekurangan TNI saat ini?
TNI
dalam posisi yang defensif. Belum melakukan langkah ofensif terkait citra.
Misalnya banyaknya kasus-kasus yang dihubungkan dengan kiprah TNI. Jika
mendapat serangan dari pihak luar Puspen harus berbicara dengan fakta.
Seharusnya
Mabes TNI atau Pepabri menghadirkan para pelaku sejarah untuk mengungkap suatu
kasus. Selama ini keduanya diam tidak bereaksi. Padahal, para pelaku sejarah
bisa dimintai keterangan atau klarifikasi. Jangan berbicara secara liar, karena
ini menyangkut harkat dan martabat TNI.
(repro
INTELIJEN, dari judul asli Kivlan Zen Provokator "Pelurusan Sejarah").@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar