Oleh Herry Gunawan
Jurnalis Independen: Tak sedikit orang mengaku
terhenyak dengan ditangkapnya Rudi Rubiandini, Kepala Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Tragis memang,
mengingat posisinya juga sebagai mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral. Bahkan secara akademik, gelar guru besar juga disandang.
Lebih miris lagi, justru dia
tertangkap tangan bersama dengan uang dalam valuta dolar AS senilai $400 ribu
atau lebih dari Rp 4 miliar. Ada motor merek BMW pula yang ikut diangkut Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagai barang bukti dugaan suap.
Pupus sudah persepsi yang
dibangun Rudi. Sejatinya, dari gelagat yang diperlihatkan ke publik melalui
media, dia ingin tampil sebagai pejabat sederhana dengan cara menumpang kereta
kelas ekonomi saat mudik. Foto keberadaannya di besi merayap itu pun disebarkan
media – entah media ikut atau memang sengaja disebarkan.
Selain itu, dosen teladan
Institut Teknologi Bandung ini juga ingin mencitrakan diri sebagai pejabat yang
peduli terhadap pemberantasan korupsi.
Ketika menjadi Wakil Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral, dia mendatangi KPK dengan sesumbar ingin
mencegah terjadinya korupsi di sektor migas.
Usia pencitraan Rudi tak
berlangsung lama. Hijab itu terbuka sudah.
Bahkan selain dana $700 ribu dolar
yang Rudi terima secara langsung, KPK menemukan miliaran dananya yang lain
berceceran di banyak tempat. Dari kotak deposit pada Bank Mandiri hingga
brankas ruang kerjanya.
Apa yang terjadi pada Rudi,
sejatinya mengajarkan kita pada satu hal penting. Pencitraan yang dilakukan
oleh pejabat publik, sangat mungkin sebagai pengelabuan atau deception dalam
rangka membangun persepsi.
Salurannya adalah media. Memang,
secara jurnalistik, sudut pandang sisi kemanusiaan atau human interest seorang
tokoh menarik diliput. Sayangnya, nalar kritis pun ikut larut. Hanyut bersama
medianya yang mudah takjub.
Gelagat pejabat mencitrakan
dirinya dengan pendekatan human interest ini sebenarnya tak hanya dilakukan
Rudi. Masih ada yang lain.
Sebagai contoh, beberapa menteri
merasa perlu menginap di rumah petani miskin dana demi dicitrakan sebagai
pejabat peduli rakyat. Foto pun disebar lewat media, yang kemudian
menyajikannya kepada pembaca. Padahal tidak ada hubungan antara tidur di rumah
petani dengan tugas sebagai pejabat publik yang diemban.
Begitulah memang model
pengelabuan alias deception. Seperti pemain sulap. Tugasnya adalah menjajah
serta menguasai pemikiran dan persepsi publik agar mempercayai peran
manipulatif yang dimainkan.
Dalam kerangka berpikir
pengelabuan itu, para pelaku menciptakan fiksi atau dunia mimpi semacam
mitologi Cinderella. Kisah inilah yang disajikan.
Model lain dalam upaya
pengelabuan, ada juga melalui penyembunyian fakta sesungguhnya. Contoh paling
mudah bisa dilihat pada pejabat publik yang biasa mengumumkan sudah melepas
semua bisnisnya saat pertama diangkat. Padahal tidak seperti itu kebenarannya.
Hanya beralih nama, tapi tidak pindah kepemilikan.
Mengapa perlu menyembunyikan jika
memang tidak memiliki niat jelek?
Kembali soal Rudi. Dalam
gelagatnya yang terakhir diketahui ini, dia sudah memperlihatkan bukan sebagai
tokoh sederhana dan lugu seperti pengelabuannya. Selera terhadap motor klasik
merek BMW serta uang miliaran yang tak masuk dalam sistem keuangan rumah
tangganya bisa dijadikan bukti.
Selain itu, gajinya yang sekitar
Rp 200 juta – dari jabatan Kepala SKK Migas dan Komisaris Bank Mandiri – terasa
tak cukup. Meski bukan profesional atau eksekutif di perusahaan mentereng
berskala multinasional, pendapatan resminya itu sudah tergolong sangat besar.
Untuk itu, kita memang perlu
makin mawas diri oleh ulah para pejabat publik yang senang menebar kisah fiksi.
Sesungguhnya mereka sedang mendesain pengelabuan dengan menjajah alam pikir
audiensnya, yaitu masyarakat yang seharusnya dilayani.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar