Sejarah Perobekan Bendera Penjajah Belanda di Hotel Majapahit Berulang
Jurnalis Independen: Usai sudah aksi Monolog Arek Soroboyo di Hotel Majapahit yang dulu semasa jaman penjajah Belanda bernama Hotel Yamato. Perobekan Bendera Panjajah Belanda Merah Putih Biru, telah menjelma menjadi Warna Sang Saka Merah Putih tepat pukul 08.00 pagi tadi.
Momentum ini, direncanakan oleh Kemendikbud menjadi agenda Pekan Budaya tahunan. Pekan Budaya ini nantinya akan diikuti mulai dari orang dewasa, remaja hingga anak-anak seluruh Indonesia.
Budayawan Surabaya Ananto Sidohutomo mengatakan, perobekan bendera merah putih yang dilakukan penjajah pada 19 September 1945 adalah awal perlawanan bangsa Indonesia. Menurut dia, arek Suroboyo dengan nekat melakukan perlawanan atas perobekan tersebut.
“Berbagai perlawanan bangsa Indonesia dimulai dari Surabaya setelah peristiwa perobekan bendera penjajah Belanda ini. Akhirnya, tak bisa terelakan, pertempuran 10 November, gerilya Jenderal Sudirman, Palagan Ambarawa, Bandung Lautan Api, dan peristiwa lainnya dimulai dari semangat arek Suroboyo,” ujar Ananto, di Hotel Mojopahit, Surabaya, Jumat kemarin (18/9/2015).
Monolog peringatan perobekan bendara merah putih ini dimulai sejak pukul 20.00 WIB hingga selesai, di halaman Hotel Mojopahit yang dulu dikenal dengan Hotel Yamato. Berbagai penampilan seperti teater, musikalisasi puisi dan diskusi sejarah perjuangan Arek Suroboyo turut disajikan.
Ananto menambahkan, kegiatan ini memang seremonial. Namun, substansi dari kegiatan ini buan saja untuk mengenang perjuangan rakyat Surabaya saat pertempuran melawan penjajah asing tanpa rasa takut. Tetapi juga dimaksudkan agar generasi mendatang selalu mewaspadai kembalinya kekuatan imperialis dalam segala bentuknya.
Generasi muda Surabaya bahkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Indonesia harus tahu spirit perjuangan arek Suroboyo dan mampu mengaplikasikan di masa sekarang.
“Surabaya adalah Kota Pahlawan. Dikatakan pahlawan karena memiliki semangat perjuangan tanpa pamrih apapun kecuali kemerdekaan manusia Indonesia,” pungkas Ananto.
Dari Monolog yang dilakukan perobekan bendera Belanda di Hotel bernama Yamato saat dikuasai penjajah Belanda itu, beberapa warga Surabaya juga mengusulkan agar kedepa,tidak melupakan sejarah dari Jembatan Merah dan Tugu Pahlawan.
Menurut Hendra, warga Surabaya Selatan ini mengatakan," Pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah tidakmelupakan kejadian sejarah yang tidak kalah menariknya dari Heroisme perobekan bendera penjajah Belanda di Hotel Majapahit. Namun, Takiari, Tombak yang menjadi penyebab tewasnya Jenderal Senior Militer Inggris Brigjen Mallaby di Jembatan Merah Surabaya".
Perlu diketahui, Kontroversi kematian Brigjen Mallaby dan Mayor Jenderal Robert Mansergh sampai saat ini masih terus tertutupi, seolah menyisahkan teka-teki.
Dalam buku 'Pertempuran Surabaya November 1945' yang ditulis Des Alwi pun masih menduga bahwa Mallaby tewas karena menjadi korban tembak salah sasaran.
Dalam buku ini, tewasnya Mallaby akibat salah sasaran berdasarkan kesaksian dari Muhamad, tokoh pemuda yang ikut masuk ke gedung Internatio untuk mendinginkan suasana. Di dalam gedung tersebut, Muhamad melihat sendiri tentara Inggris telah menyiapkan mortir yang diarahkan ke kerumunan massa yang mengelilingi mobil Mallaby.
Menurut Muhamad, ia melihat sejumlah mortir di depan jendela yang akan ditembakan ke mobil yang sedang berhenti di dekat Jembatan Merah. Muhamad sudah menduga bahwa mortir yang akan ditembakan guna membuat panik rakyat Indonesia sehingga Mallaby bisa keluar dari mobilnya.
Namun, apa yang terjadi nyatanya berbeda. Walaupun mortir-mortir itu mampu mengacaukan kerumunan massa, tidak berselang lama mobil yang dinaiki Mallaby juga meledak. Hal ini membuat kerusuhan semakin menjadi parah.
Pada akhirnya, jenazah Mallaby yang hangus terbakar dikembalikan kepada pasukan Inggris seminggu kemudian. Pasukan Inggris mengubur jenazah Mallaby di kawasan Tandjung Perak. Dalam buku juga diungkapkan para pasukan Inggris tampaknya tidak sempat mengecek kebenaran tentang mayat Mallaby karena peperangan segera berkobar.
Tewasnya Mallaby membuat Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang mengecam bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri. Tidak hanya itu, melalui kebijakan konyolnya, ia menyuruh setiap orang yang menyerahkan senjata harus mengangkat tangan di atas.
Batas ultimatum adalah pukul 06.00, tanggal 10 November 1945. Karena arek-arek Surabaya tidak mau menaati ultimatum tersebut, maka meletuslah pertempuran Surabaya 10 November 1945.
Lalu, jenderal Inggris kedua yang juga tewas di tangan 'arek-arek Suroboyo' saat itu ialah Brigjen Robert Guy Loder Symonds. Dirinya merupakan Komandan Detasemen Artileri Pasukan Inggris di Surabaya.
Tewasnya jenderal Inggris ini karena diberondong senjata antipesawat udara yang diawaki oleh Goemoen, dari kesatuan BPRS (Barisan Pemberontak Rakjat Soerabaja). Morokrembangan yang dulunya ada sebuah lapangan terbang telah menjadi saksi kegigihan para pejuang Indonesia untuk menjatuhkan pesawat yang dinaiki Jenderal Robert Loder-Symonds.
Kedua jenderal Inggris yang tewas di Surabaya ini kini dimakamkan di di Commonwealth War Cemetary, Menteng Pulo, Jakarta. Khusus untuk Mallaby, walaupun sempat dikuburkan di Tandjung Perak, jasadnya pernah dipindahkan ke pemakaman Kembang Kuning Surabaya. Setelah beberapa bulan, baru dimakamkan di Commonwealth War Cemetary, hingga saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar