Jurnalis Independen: Negosiasi antara PT Freeport dengan Negara Indonesia ternyata hanya membuahkan pelarangan penambangan tembaga. Sedangkan utamanya Emas dan Uranium, PT Freeport masih dengan leluasa mengeruknya dari Bumi Irian Barat atau Papua.
Hal itu diungkapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya dan Mineral (ESDM) yang dengan tegas melarang PT Freeport Indonesia (Freeport) untuk mengekspor konsentrat tembaga. Dan hal ini dianggap sebagai langkah maju yang layak diapresiasi.
Larangan ekspor mineral mentah milik Freeport ini diungkap Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono di Jakarta, Jumat (24/7/2015).
Ya, bolehlah. Sesekali pemerintah memang perlu menunjukkan sikap tegasnya. Bukan apa-apa, karena ini menyangkut nasib jutaan rakyat Indonesia yang berhak untuk menikmati kekayaan alam secara maksimal.
Selain itu, industri tambang asing lain yang beroperasi di Indonesia, tentu tak berani main-main. Industri tambang kelas kakap yang bermarkas di AS saja disikat, apalagi industri level di bawahnya.
Tapi, sejatinya, perilaku bisnis Freeport di Indonesia, boleh di billang bandel. Beberapa aturan yang wajib dikerjakan, malah tak direalisasikan.
Salah satunya soal kewajiban Freeport membangun industri pengolahan dan pemurnian mineral mentah (smelter) yang diamanatkan UU Mineral dan Batubara (Minerba), selalu hanya menyisakan cerita. Sejak era SBY sampai kini, belum tampak wujudnya.
Semula, Freeport berencana akan membangun smelter di atas lahan milik PT Petrokimia, Gresik, Jawa Timur. Ternyata, sampai sekarang hanya pepesan kosong.
Nah, untuk mengukur keseriusan industri dalam membangun smelter, pemerintah menetapkan adanya dana komitmen. Untuk enam bulan pertama ditetapkan sebesar US$ 280 juta.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian, Freeport harus setor 60% dari dana komitmen itu. Atau sekitar US$ 170 juta.
Kata Dirjen Minerba Bambang, Freeport hanya sanggup membayar dana komitmen US$ 115 juta. Jelas sikap ini tidak sesuai dengan Perrmen ESDM No 11 Tahun 2014.
Tak hanya itu, Freport belum memmbayar biaya sewa lahan seluas 80 hektar, senilai US$ 150 juta kepada Petrokimia Gresik. Padahal, perjanjian sewa lahan selama 20 tahun sudah ditanda tanggi Freeport dan Petrokimia Gresik pada Juni lalu.
Jadi, memang betul Freeport tak pernah serius dalam memenuhi kewajibannya membangun smelter. Itu sama dengan pelanggaran terhadap UU Minerba.
Dalam hal ini, sikap Kementerian ESDM yang melarang kegiatan ekspor Freeport, sudah benar. “Kita tidak berikan izin (perpanjangan) kepada Freeport selama kewajibannya belum terpenuhi,” tegas Dirjen Minerba.
Asal tahu saja, izin ekspor Freeport berakhir pada 25 Juli 2015. Tercatat dua kali pemerintah memberikan izin ekspor yakni 25 Juli 2014-25 Januari 2015 dan 25 Januari 2015-25 Juli 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar