Selasa, 28 Juli 2015

Bukti GIDI Ciptakan Pengaruh Israel Di Tolikara

Jurnalis Independen: Tulisan dalam Bahasa Inggris dengan judul; Papua Bless Jerusalem - Israel. Di bawah tulisan ada dua alamat kontak. Pertama Jason Sentuf dengan alamat Jl Imbramsyah No, Sei Ulin - Banjarbaru 70714, Kalimantan Selatan, dan Vision For Israel, PO Box 7265 Jerusalem 91073.


Tulisan berisi misi perjalanan beberapa pemimpin gereja Papua Barat ke Israel, untuk membangun hubungan dengan Yahudi Mesianis dan mendapatkan kesempatan mendapatkan bantuan keuangan dari lembaga-lembaga terkenal di Israel.

Misi pertama tahun 2006, tidak lama setelah penanda-tanganan memorandum of understanding (MoU) dengan Kehilat Ha'Seh al Har Zion -- sebuah Gereja Yahudi Mesianik terkenal di Yerusalem.

Kehilat Ha'Seh al Har Zion adalah komunitas yang didirikan Benjamin Berger, putra Yahudi Ortodoks yang beremigrasi dari Eropa ke New York. Ia kehilangan banyak anggota keluarganya di kamp konsentrasi Auschwitz. Ia pindah ke Israel tahun 1971, dan bersama Reuven Berger mendirikan komunitas itu, setelah menerima Yeshua (Yesus) sebagai mesiah Israel.

Dalam kunjungan ini misi diterima Joseph Storehouse, sebuah lembaga sosial paling populer di Israel.

Misi kedua berlangsung 17-26 November 2007. Disebutkan dalam tulisan itu, misi perjalanan ini diikuti 20 orang. Rincinya, 16 dari gereja-gereja di Papua Barat, tiga dari Belanda, dan satu dari Holy Land Agency Tour Renatha.

Tujuan perjalanan adalah menghadiri seminar yang diselenggarkan Kehilat Ha'Seh al Har Zion di Grand Hotel, Yerusalem. Seminar menampilkan tiga Messianic Movement Leaders yang meminta bantuan keuangan.

Saat itu, menurut tulisan itu, Jamaah Holy Way Gereja Injili di Jayapura memutuskan mengumpulkan uang secara spontan untuk memberkati Jerusalem. Uang terpukul 5.950 dolar S, dan diberikan kepada tiga lembaga; Sabra Organization, Kehilat Ha'Seh al Har Zion, dan Joseph Storehouse.

Semua itu adalah bagian dari cara jamaah Papua Barat menyatu dengan masyarakat Mesianik Yahudi, agar menjadi bagian Israel dan umat pilihan Allah.

Dikutip sumber Wikipedia, Yudaisme Mesianik adalah suatu gerakan sinkretisme keagamaan yang muncul dari Yudaisme terutama pada tahun 1960-an dan 70-an.

Mesianik Yudaisme umumnya menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias Yahudi dan 'anak tuhan' meski sebagian besar dari mereka tidak percaya pada keyakinan Trinitas.

Kebanyakan anggota gerakan ini adalah dari etnis Yahudi, dan beberapa dari mereka berpendapat bahwa Yudaisme Mesianik adalah sekte dari Yudaisme.

Dari tahun 2003 sampai 2007, gerakan ini tumbuh dari 150 rumah ibadah Mesianik di Amerika Serikat menjadi sebanyak 438, dengan lebih dari 100 di Israel dan di seluruh dunia.

Sering suatu jemaat menjadi anggota organisasi Mesianik yang lebih besar atau aliansi pada tahun 2008, gerakan itu dilaporkan memiliki antara 6.000 dan 15.000 anggota di Israel dan 250.000 di Amerika Serikat.

Misi Yahudi melihat masa pertumbuhan antara tahun 1920 dan 1960-an. Pada tahun 1940-an dan 50-an, para misionaris di Israel seperti Baptis Selatan mengadopsi istilah "meshichyim" (Messianics) untuk melawan konotasi negatif kata "notsrim" ("Kristen", dari "Nasrani"); istilah ini digunakan untuk menunjuk semua orang Yahudi yang telah menjadi 'Kristen Injili Protestan'.


Itulah sebabnya kelompok kristen Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) disinyalir berakar kuat dari gerakan 'Yudaisme atau Yahudi' atau pengikut dari 'Yahudi Mesianis'.

Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) mengenakan sanksi denda Rp 500 ribu bagi warga Tolikara jika tidak mengecat kediamannya dengan bendera Israel.

"Kami didenda Rp 500 ribu jika tidak cat kios, itu kami punya kios," kata seorang pedagang asal Bone, Agil Paweloi (34), dikutip dari Republika di tempat pengungsian di Tolikara, Papua, Jumat (24/7) dini hari.

Agil menuturkan pengecatan ruko, rumah, dan trotoar jalan diwajibkan dengan warna biru dan putih. Dalam kegiatan itu, lanjutnya, pihak GIDI menjelaskan kepada warga bahwa instruksi pengecatan tersebut dalam rangka menyambut kedatangan pendeta dari Israel.

Berdasarkan spanduk yang dipampang di halaman kantor Pusat GIDI di Jayapura, acara seminar KKR Internasional DIGI yang berlangsung pada 15 Juli-19 Juli di Kabupaten Tolikara dihadiri pendeta asal Israel, yakni Benjamin Berger.

Tidak hanya penduduk Muslim, seluruh masyarakat Tolikara ikut diwajibkan mengecat rumah mereka dengan warna bendera Israel. Dilansir ROL, 24/7, sejumlah ruas jalan dan ruko-ruko pedagang dicat berwarna biru putih.

"Saya ikut cat saja daripada harus bayar Rp 500 ribu," ujarnya.

Sebelumnya, anggota Dewan Syuro Komite Umat untuk Tolikara (Komat Tolikara) Hidayat Nur Wahid mengatakan Tim Pencari Fakta di Tolikara melaporkan bahwa ada banyak atribut yang mengarah pada keterlibatan Israel. Ditemukannya bendera Israel di Tolikara dikaitkan pada keterlibatan GIDI dengan salah satu organisasi keagamaan yang ada di Israel.

Hidayat mengaku tidak menginginkan permasalahan ini dikaitkan dengan masalah separatisme, yang jika dibiarkan menjadi membesar dan bisa mengacak-acak Indonesia. Untuk itu, Ia mengatakan TNI dan Polri perlu mewaspadainya. Karena jika diabaikan akan menjadi masalah yang besar.

Hidayat menambahkan banyak pihak yang ingin memecah belah Indonesia. Oleh karena itu permasalahan ini harus dikritisi secara serius. Ia juga mengapresiasi perkembangan yang kondusif di Tolikara. Menurut dia, jangan sampai ada pihak asing yang kemudian melakukan tindakan-tindakan.

Bangun Tempat Wudhu Harus Ijin Gereja
Berdakwah di Tolikara, Papua, tidak ringan. Semua yang ada harus mengikuti keinginan penduduk setempat.

"Untuk membangun tempat wudhu saja harus minta izin ke pihak Gereja Klasis Tolikara," ungkap Imam masjid Baitul Muttaqin Tolikara, Papua, Ali Muchtar dalam siaran pers yang dikirimkan Baitul Mal Hidayatullah (BMH) kepada Republika, Rabu (22/7).

Ali Muchtar (38 tahun) menetap di Tolikara sejak 2006. Hingga sekarang aktif sebagai imam Masjid Baitul Muttaqin Tolikara yang awalnya berupa mushalla.

Ali menjelaskan, awalnya mushalla tersebut ukurannya 5x5 meter. Kemudian direhab menjadi 11x11 meter. Menurut Ali, masjid ini berdiri atas swadaya masyarakat.

"Sekalipun belum permanen, masjid ini menjadi satu-satunya masjid yang menjadi pusat kegiatan umat Islam di Tolikara," ujar Ali.

Masjid Baitul Muttaqin dan puluhan kios milik umat Muslim di Tolikara dibakar massa pada Jumat (17/7) pagi. Sebelumnya beredar surat edaran dari Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) yang melarang umat Muslim di Tolikara memperingati dan merayakan Idul Fitri. Dalam surat edaran tersebut juga disebutkan umat Muslim dilarang mengenakan jilbab.

Ketika umat Muslim di Distrik Karubaga, Tolikara tetap berupaya melaksanakan shalat Idul Fitri, mereka diserang. Tak hanya itu, puluhan kios dan Masjid Baitul Muttaqin dibakar.

Ali bersyukur di Tolikara ada lembaga amil zakat nasional (Laznas) seperti Baitul Mal Hidayatullah (BMH). Ia pun menyatakan siap dan bangga bisa bersinergi dengan BMH guna menguatkan dakwah di Tolikara.

Sinergisitas tersebut ditandai dengan penyerahan dana bantuan peduli dai dan imam masjid, yang selama Ramadhan digalakkan di wilayah pedalaman, kini di Tolikara. Pengumpulan dana peduli dai dan imam masjid itu digerakkan oleh BMH.

"Dengan adanya sinergis BMH bersama imam masjid Tolikara harapannya umat semakin terdorong untuk bersama-sama memajukan dakwah dan kesejahteraan umat Islam di Tolikara," papar Ali Muchtar.

Humas Pusat BMH Imam Nawawi mengatakan, sebagai Laznas, BMH siap membantu kaum Muslimin dan seluruh pihak yang peduli terhadap dakwah di Papua khususnya di Tolikara dengan sebaik-baiknya.

"Terlebih BMH sudah eksis di Jayapura, sehingga memudahkan kaum Muslimin mewujudkan niatnya," tutur Imam Nawawi.

Pasca Insiden,Suroso Kapolres Tolikara Dicopot
Pascai-insiden pembakaran kios dan masjid, Kapolres Tolikara AKBP Suroso dicopot dari jabatannya. Posisinya kemudian digantikan AKBP Musa Korwa.

Serah terima jabatan yang berlangsung di Aula Rastra Samara Polda Papua di Jayapura pada Senin (27/7/2015) dipimpin Wakil Kapolda Papua Brigjen Rudolf Roja. Serah terima jabatan itu disaksikan sejumlah petinggi Polda Papua.

Rudolf mengklaim AKBP Suroso diganti karena ia akan ditugaskan di Inspektorat Polda Papua. "AKBP Suroso tidak gagal dalam melaksanakan tugas, sehingga dipercayakan menduduki jabatan baru," ujarnya.

Insiden Tolikara terjadi saat umat Islam melaksanakan Salat Id pada Jumat 17 Juli 2015. Massa melakukan pelemparan kepada jemaah hingga mengakibatkan aparat keamanan mengeluarkan tembakan peringatan.

Tembakan peringatan yang dikeluarkan aparat keamanan itu mengakibatkan 11 warga terluka. Bahkan, satu di antaranya meninggal setelah dievakuasi ke RSUD Dok Dua Jayapura.

Sesaat setelah terjadi penembakan, mereka melakukan pembakaran terhadap puluhan kios. Api akhirnya menjalar ke musala yang berada di dekat kios itu.

Kabareskrim Komjen Budi Waseso bicara soal pergantian Kapolres Tolikara AKBP Suroso. Dia menyebut ada kaitannya dengan insiden penyerangan warga terhadap warga muslim saat salat Id 17 Juli 2015 lalu.

"Iya benar (pergantian Kapolres), hari ini sudah dilakukan oleh Kapoldanya," ujar Budi Waseso di Kantor Bareskrim, Jl Trunojoyo, Jakarta, Senin (27/7/2015).

Budi menjelaskan pergantian itu bukan hanya terkait penyerangan Tolikara. Dia mengatakan, ada juga evaluasi dari para pimpinan Mabes Polri. "Saya kira tidak asal copot dan pasti ada penilaiannya," ucapnya.

Selain itu, Budi juga mengatakan bisa saja ada kesalahan pengambilan keputusan terkait kerusuhan di Tolikara yang dilakukan AKBP Suroso sehingga dirinya dimutasi.

GIDI Mengelak Adanya Keterlibatan Asing
Presiden RI Joko Widodo bertemu dengan sejumlah pengurus Gereja Injili di Indonesia (GIDI) di Istana Merdeka. Dalam pertemuan itu, Ketua GIDI Papua Lipiyus Biniluk mengatakan Jokowi memberikan arahan perdamaian di Papua.

"Karena sudah lebih dari 50 tahun merdeka baru kali ini kejadian mencuat," ujarnya di kantor Presiden, 24 Juli 2015.

"Presiden memberikan arahan agar kami antarsesama pemuka agama menjaga perdamaian."

Lipiyus membantah pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso yang menyebut ada keterlibatan asing saat konflik di sana. "Demi Tuhan tidak ada keterlibatan pihak asing di sana," ujarnya.

"Ini hanya ada kesalahpahaman saja," klaimnya.

Lipiyus juga mengakui dua provokator kerusuhan yang sudah diberikan label tersangka oleh Polisi dalam kerusuhan itu merupakan anggotanya.

"Memang dua ini anggota GIDI. Pemuda. Mereka sudah dibawa ke Polda Papua dan dalam proses hukum yang akan membuktikan karena data semua sudah ada."

Terkait adanya peraturan daerah yang mengatur tentang pelarangan membangun rumah ibadah, Lipiyus membenarkan. Menurut dia, Perda itu dibuat sehubungan dengan adanya otonomi khusus Papua.

"Perda itu ada sesuai dengan local intense yang ada. Dan mereka sudah buat itu. Kalau mau evaluasi Perda dalam hal agama kalau bisa seluruh Indonesia harus evaluasi bersama. Kalau satu kelompok agama kita lindungi maka itu tak adil karena semua kita rukun di negara ini."

"Tak Sengaja Bakar Masjid"

Menurut Lipiyus, masyarakat Papua sangat sadar akan nilai budaya itu. Sehingga tak mungkin secara sengaja membakar musala. Masyarakat Papua yang mayoritas kristen tentu tak akan dengan sengaja membakar tempat peribadahan umat Islam untuk menjaga hubungan antar umat beragama.

“Jadi yang perlu diluruskan adalah musala itu terbakar karena kios terbakar. Di sana bangunan terbuat dari kayu sehingga mudah terbakar. Doakan saja proses pemulihan berjalan lancar,” imbuh Lipiyus.

Lipiyus yang juga Ketua Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII) mengapresiasi pemerintah yang cepat tanggap merespons peristiwa ini. PGLII yang menaungi GIDI sudah mengumpulkan data di lokasi dan telah memberikan kepada Presiden Jokowi sebagai pertimbangan.

Pertemuan dengan Presiden berlangsung sekitar pukul 15.00 WIB. Sebanyak 8 orang perwakilan masyarakat menemui Jokowi dengan dijembatani oleh Stafsus Presiden Lennys Kogoya.

Rahasia Dibalik Surat Pelarangan Ibadah Agama Islam
Nama Sekretaris Wilayah Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Wilayah Tolikara, Papua, Marthen Jingga dan Ketua GIDI Tolikara Nayus Wenda, menjadi buah bibir dalam empat hari belakangan ini.

Sebabnya, gara-gara surat edaran larangan menggelar salat Idul Fitri yang mereka terbitkan diduga menjadi salah satu pemicu kerusuhan yang meletus di Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, pada Jumat, 17 Juli 2015.

Kepada Tempo yang menemui dia di rumahnya di Karubaga, Selasa, 21 Juli 2015, Marthen mengakui surat itu dibuat dan dikonsep olehnya bersama Ketua GIDI Wilayah Tolikara, Nayus Wenda. Namun, dia merasa tidak bersalah terkait surat edaran itu.

"Sampai hari ini saya tidak merasa bersalah. Surat yang saya ketik sebagai Sekretaris Panitia Seminar dan KKR sekaligus Sekretaris Gidi Tolikara," kata Marthen.

Marthen menegaskan, ia hanya bertugas menyampaikan adanya kegiatan besar di Tolikara. Sebab itu organisasinya meminta tidak ada kegiatan tambahan saat berlangsungnya seminar dan acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang bersifat internasional itu.

Acara tersebut mengundang 2.500 peserta, termasuk perwakilan dari lima negara, yakni Belanda, Amerika Serikat, Papua Nugini, Palau (kepulauan kecil di Lautan Pasifik), dan Israel.

Ketua GIDI Tolikara, Nayus Wenda, membenarkan penjelasan Marthen Jingga. Namun, ia tidak menyangka dampak dari peredaran surat itu berujung pada penyerangan kepada umat muslim yang akhirnya memantik kerusuhan di wilayah berpenduduk 140 ribu jiwa itu.

"Yang terjadi ini di luar dugaan kami. Tidak terpikir oleh kami akan terjadi masalah seperti ini," kata Nayus di tempat yang sama.

Alasan Nayus, selama ini, umat Islam di Tolikara dan GIDI tidak bermasalah terkait dengan isi surat edaran tersebut. Ia mengklaim surat ini pun bukan atas permintaan GIDI pusat tapi, atas keputusan GIDI Wilayah Tolikara untuk mendukung keamanan kegiatan Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani Internasional yang berlangsung dari 13-19 Juli 2015 di Tolikara.

Menurut Nayus, surat edaran tersebut merupakan langkah antisipasi dari pihak gereja agar umat muslim di Kabupaten Tolikara mengetahui adanya kegiatan kerohanian GIDI yang bersifat internasional dengan mengundang 2.500 peserta, termasuk perwakilan dari lima negara, yakni Belanda, Amerika Serikat, Papua Nugini, Palau (kepulauan kecil di Lautan Pasifik), dan Israel.

Meski sudah menerbitkan surat larangan pada 11 Juli 2015, Marthen dan Nayus mengaku sudah meralat surat itu atas desakan dari Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo dan Presiden GIDI Dorman Wandikmbo. Surat itu bertanggal 15 Juli 2015.

Baca: Gereja Injil Tak Bisa Elak Bukti Surat Edaran: “Larangan Jilbab dan Idul Fitri”

Nomor surat ralat sama yaitu Surat Pemberitahuan Nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/20165. Isinya terdiri atas tiga poin:

1. Acara membuka lebaran 17 Juli 2015 boleh dilakukan di Karubaga Kabupaten Tolikara
2. Hanya jangan dilakukan di lapangan terbuka tetapi lebih baik di musala dan halaman musala
    sekitarnya
3. Dilarang kamu muslimat memakai pakai jilbab dan berkeliaran di mana-mana.

Surat diralat pada 15 Juli 2015 ini merupakan koreksi atas surat sebelumnya bertanggal 11 Juli 2015 berisikan sejumlah larangan:

1. Acara membuka lebaran tanggal 17 Juli 2015, kami tidak mengijinkan dilakukan di Wilayah
    Kabupaten Tolikara (Karubaga);
2. Boleh merayakan hari raya di luar Kabupaten Tolikara (Wamena) atau Jayapura;
3. Dilarang kaum muslimat memakai pakaian jilbab.

Dalam surat ralat disinggung kembali tentang GIDI Wilayah Toli yang melarang agama lain dan denominasi gereja lain membangun tempat ibadah di Tolikara, dan gereja Advent di Distrik Paido.

"Gereja Advent kami sudah tutup dan jemaah tersebut bergabung dengan GIDI," bunyi salah satu petikan surat ralat yang diteken Nayus dan Marthen.

Surat tersebut ditujukan kepada seluruh umat Islam se-Kabupaten Tolikara dengan tembusan Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo, Kepala Kepolisian Resor Tolikara Suroso, Ketua DPRD Tolikara, dan Komandan Komando Rayon Militer Tolikara.

Namun, kata Marthen, surat ralat itu ternyata baru diberikan kepada pemuka agama di Tolikara sehari setelah kerusuhan meletus. Alasan Nayus, sebelum surat ralat dibuat, mereka sudah menyampaikan secara lisan soal ralat itu kepada bupati dan kapolres.

"Apakah Kapolres sudah sampaikan ke teman-teman muslim tidak kami tahu. Karena pengamanan itu kewenangan dia," kata dia.

Sebelumnya, Bupati Usman Wanimbo mengakui bahwa dia yang meminta surat ralat terkait larangan salat Idul Fitri tersebut secara lisan melalui telepon kepada kedua pengurus GIDI di wilayah Tolikara itu. Pada tanggal 15 Juli tersebut Bupati Usman mengaku tidak berada di Karubaga, ibu kota Kolitara.

"Saya di Jakarta waktu itu," ujar Usman dikutip ACW dari Tempo, Senin, 20 Juli 2015.



Penyerangan pada Idul Fitri itu berawal dari protes jemaat GIDI terhadap penyelenggaraan salat Id di lapangan Markas Komando Rayon Militer, Karubaga, Tolikara. Lapangan itu berdekatan dengan permukiman warga, kios, Masjid Baitul Muttaqin, dan gereja. Saat itu jemaat GIDI--jemaat Kristen mayoritas di Tolikara--tengah menyelenggarakan kebaktian kebangunan rohani.

Nurmin, saksi mata yang juga jemaah salat Id di markas Koramil, itu mengisahkan ketika rakaat pertama pada takbir kelima (ada tujuh takbir pada rakaat pertama), ia mendengar ada suara lantang yang diteriakkan oleh sejumlah orang.

"Tidak ada yang namanya ibadah gini, harus berhenti!" kata Nurmin menirukan suara yang dia dengar itu saat diwawancara Devy Erniss, Selasa, 21 Juli 2015.

Mendengar teriakan tersebut, menurut Nurmin, jemaah salat Id kehilangan konsentrasi dalam beribadah. Tiba-tiba kondisi mulai memanas karena ada saling lempar batu antara orang-orang yang berteriak dan jemaah salat Ied. Tak lama kemudian terdengar suara tembakan dari aparat.

"Semua berlari ketakutan," ujar Nurmin. Keadaan pun mulai ricuh. Nurmin melihat beberapa orang melempar batu ke arahnya.

Menurut Nurmin, sejumlah kios dan rumah warga di sekitar markas Koramil terbakar. Nurmin dan beberapa jemaah salat Id lantas masuk ke dalam kantor Koramil.

"Kami berkumpul di situ, takut kena batu," ujarnya. Nurmin mengaku rumahnya pun ikut terbakar.

"Tapi, saya tidak tahu siapa yang membakar rumah saya karena banyak orang saat itu," ujar Nurmin.

Keterangan Nurmin sejalan dengan kronologi yang disampaikan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai. Sehari setelah kejadian, atau Sabtu, 18 Juli 2015, Komnas HAM mengeluarkan hasil analisis sementara kerusuhan di Karubuga.

Dalam salah satu temuannya, Pigai menegaskan, Komnas menduga kerusuhan di Tolikara dipicu oleh surat edaran GIDI Tolikara, yang diteken Nayus dan Marthen.

Pigai menyayangkan surat itu tidak direspons serius oleh pemerintah daerah Tolikara. Padahal, kata dia, jemaat GIDI tidak berhak melarang umat agama lain beribadah.

"Pemerintah tidak mengantisipasi surat edaran itu. Mereka tidak melakukan upaya pencegahaan untuk menjaga ketertiban dan keamanan," kata Pigai ketika dihubungi Putri Adityowati.

Karena protes itu tidak mendapat respons dari aparat di lokasi kejadian, jemaat GIDI marah dan mengamuk.

Kondisi semakin ricuh karena sejumlah kios, rumah, dan musala, dibakar. Menurut Pigai, mereka protes karena sudah memberi larangan, tapi polisi balik menembak warga.

"Masyarakat melampiaskan kemarahan ke arah tempat ibadah. Kalau polisi tidak menembaki warga, pasti reaksi mereka berbeda," klaim Pigai.

"Tapi yang terpenting kerusuhan ini bukan permusuhan antara Gidi dengan umat Islam," tandasnya.

Terlalu sederhana jika Pemerintah menganggap persoalan pembakaran Masjid di Tolikara, Papua bukanlah sesuatu yg sangat serius.

Ini bisa menjadi bom waktu baik bagi GIDI maupun pihak lain yg merasa tersakiti. Jika dikaitkan dengan surat GIDI yang melarang Perayaan Idul Fitri dan Penggunaan Jilbab serta melarang Organisasi Kristen lainnya mendirikan Tempat Ibadah di Tolikara, itu sudah menjadi ancaman stabilitas Daerah/Negara.

Bahkan GIDI sudah bisa dianggap sebagai Organisasi Teroris jika mereka berpandangan seperti itu sebagaimana dalam suratnya.

Berikut kutipan SURAT LARANGAN GIDI:


Suasana Idul Fitri 1436 H yang khusyu' di Kabupaten Tolikara, Papua, berubah jadi bencana. Saat Umat Islam sedang melaksanakan Sholat Idul Fitri pagi (17/7) tadi sekitar pukul 07.00 WIT, massa dari GIDI (Gereja Injili Di Indonesia) wilayah Toli tiba-tiba menyerbu jamaah dan membakar masjid.

Penyerbuan oleh massa GIDI disinyalir karena ada larangan bagi Umat Islam di Kabupaten Tolikara untuk merayakan/sholat Idul Fitri. GIDI beralasan karena tanggal tersebut bertepatan dengan adanya kegiatan GIDI tingkat internasional. GIDI sudah membuat surat pemberitahuan larangan Idul Fitri dan juga larangan memakai jilbab bagi muslimat.




Tidak ada komentar: