Bukan Hindu : Jejak Islam di Nusantara
Ki Herman Sinung Janutama
Tesis yang Aneh
Selama ini sejarah peradaban Nuswantara diyakini merupakan peradaban yang dibangun atas peradaban Hindu dan Budha semata. Tesis ini didukung dan diperkuat oleh warisan fisik berupa candi-candi yang berarsitektur Hindu atau Budha. Sementara warisan dari peradaban Islam tidak ada sama sekali. Sehingga menuju sebuah kesimpulan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia itu adalah Islam yang diwarisi dari budaya Hindu dan Budha.
Keanehan tesis-tesis di atas, terdapat misalnya pada buku The Sculpture of Indonesia. Buku tersebut karya Jan Fontein, terbitan Harry N. Abrams, Inc., New York, USA (1990). Dalam buku itu dikatakan bahwa inskripsi Citarum ”berhubungan” dengan Dewa Wisnu. Kemudian dinyatakan bahwa mereka adalah para pengikut Brahmanisme. Padahal telah dijelaskan, bahwa prasasti-prasasti Tarumanegara ataupun Kutai adalah jelas-jelas berlatar belakang tradisi Abrahamik atau millatu Ibrahim (silakan baca serial Jejak Islam di Nusantara 1).
Tesis Peradaban Hindu
Paling tidak ada dua tesis menyangkut peradaban Nuswantara yang dikaitkan dengan Hindu. Pertama, adalah terjadinya penaklukan para petualang ”hindu” ke Nuswantara. Mereka lari dari negeri asal mereka ke Nuswantara ini karena ”satu dan lain hal”. Meski tesis ini tak pernah memiliki argumen secara proporsional.
Kedua, adalah gambaran mengenai karya sastra Jawa. Ada anggapan karya-karya agung para pujangga Jawa abad ke-9 sampai 14, sebagai “puncak dari kebudayaan Hindu-Buddha”.Menurut pandangan itu, zaman emas tersebut diakhiri oleh kedatangan Islam pada akhir abad ke-15. Jadi Islam dipandang sebagai penghancur keindahan Hindu-Budha.
Bantahan Atas Tesis Peradaban Hindu
Ada dua ahli sejarah yang membantah mengenai tesis-tesis tersebut. Pertama adalah Louis-Charles Damais seorang profesor sejarah antropologi asal Perancis. Dia mempunyai pernyataan-pernyataannya yang kontroversif, terutama bagi para sejarawan kolonial. Pernyataannya terdapat pada buku “Epigrafi dan Sejarah Nuswantara, Pilihan Karangan Louis-Charles Damais”, yang diterbitkan EFEO-Jakarta 1995.
Kedua adalah Nancy K. Florida , seorang Filolog berkebangsaan Amerika Serikat yang sebagian tulisannya bisa dibaca misalnya dalam buku “Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia”, editor Budi Susanto, SJ, Penerbit Kanisius, 2008.
Kedua ahli sejarah tersebut mengajukan bantahan-bantahannya. Pertama, Menurut Damais, di Nuswantara tidak pernah terdapat peninggalan ”bahasa” kaum hindu. Yang menonjol adalah kosa kata Sansekerta yang memperkaya bahasa-bahasa Melayu Kuno, Jawa Kuno, dan Bali Kuno.
Sebagian besar bahkan merupakan bahasa dan istilah teknik. Kata-kata sansekerta ini pun, asalnya bukan dari ”para pendatang Hindu” itu. Melainkan ia berasal dari kitab-kitab kuno yang dibaca orang Nuswantara jaman dahulu. Secara linguistis, jelas tidak terdapat peninggalan bahasa lisan ”orang India kuno” di Nuswantara.
Damais juga mengutarakan bahwa para penulis sejarah Nuswantara tidak pernah menjelaskan secara jelas. Yaitu apa yang dimaksud dengan ”koloni-koloni hindu” di jaman dahulu. Damais menyatakan bahwa istilah ”hindu” adalah tidak tepat. Kosekuensinya, kalimat ”Raja-raja Hindu Majapahit” atau ”Pulau Hindu” (untuk Bali) sama sekali tidak benar. Beberapa tokoh di Bali lebih suka jika mereka disebut sebagai penganut agama Syiwa. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa mereka sangat berbeda dengan agama Hindu Dharma atau Brahmaisme India.
Menurut Damais istilah hindu yang dipergunakan sejarawan Belanda merujuk kepada istilah hindoesch, Indische, Indie, atau Indo . Pengertian kata-kata ini mutlak berarti ”Hindia” Belanda. Hal ini bersesuaian dengan istilah Oost Indische/ Hindia Timur untuk dunia Islam (Islamistand) sebelah timur Granada. Dan West Indische/ Hindia Barat untuk Islamistand di sebelah barat Granada, Spanyol. Dalam peta dunia dapat dilihat bahwa Granada adalah kota yang ditetapkan kaum kolonial sebagai garis bujur bumi 0 derajat.
Bantahan kedua, dari Nanci yang seorang ahli bidang Filologi, ilmu yang mempelajari kebudayaan dalam arti luas, yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan dan kebudayaan. Konsentrasi kajiannya adalah naskah-naskah klasik. Penelitian Nancy atas naskah-naskah Jawa kuna sampai pada satu titik kesimpulan bahwa filologi kolonial berada dalam suatu struktur (pikiran) yang disebutnya ”tidak-akan-melihat” kenyataan budaya Jawa yang sesungguhnya. Filologi Barat adalah proyek penjajahan Kolonial. Karenanya selalu gagal ”melihat signifikansi Islam” dalam teks-teks Jawa (Islamless). Mereka bersikeras mempertahankan struktur (pikiran) ”tidak-akan-melihat-Islam” itu. Dengan demikian Nancy sebenarnya bukan hanya melihat gambaran kebudayaan sastra Jawa. Ia telah menguak sejarah Islam Jawa yang sebenarnya.
Struktur pikiran yang “tidak-akan-melihat” seperti di atas, salah satunya tampak dari pernyataan HJ de Graaf dkk. Yaitu dalam buku “China Muslim di Jawa abad XV dan XVI” pengantar Riklefs, dan diterbitkan oleh Tiara Wacana, Yogyakarta. Mereka mengatakan bahwa para penafsir sejarah Indonesia mengenal nama-nama penguasa Majapahit (hanya) dari karya-karya ilmuwan/sejarawan Belanda. Misalnya Pararaton karya Brandes atau buku-buku yang lebih kemudian.
Mereka juga mengatakan bahwa tulisan atau laporan mengenai raja-raja Jawa yang benar adalah yang sesuai dengan sejarah dinasti-dinasti Jawa yang sudah direkonstruksi oleh ilmuwan Belanda. Pernyataan de Graaf ini secara langsung menunjukkan bahwa cara pandang/ pikiran/ yang tidak melalui, meniru, dan menyesuaikan diri, dengan pikiran kolonial mutlak dianggap keliru. Persoalan paradigmatik termasuk persoalan yang sangat aneh dan mengkhawatirkan. Ia telah mengakibatkan fakta-fakta sejarah Jawa/ Nuswantara menjadi menggelikan dan menimbulkan ketidak-nyamanan logis. Lebih jauh lagi, pandangan “tidak-akan-melihat-Islam” telah membawa para pengikutnya kepada suatu awan berpikir yang pandir. Mereka telah menjadi lucu karena terlalu lama berpura-pura.
Kaburnya Peran Islam
Dari beberapa bantahan tersebut di atas, semakin jelas, bahwa nampak ada usaha sistematis menghilangkan peran Islam (dan masyarakat muslim) dalam membangun peradaban Nuswantara. Hal tersebut dilakukukan oleh para sejarawan Belanda yang kurang memperhatikan peran Islam.
Sesungguhnya berpikir dan berpandangan “apa-adanya” mengenai sejarah Jawa atau Nuswantara merupakan kunci penting. Yakni sebelum kita membahas dan berdiskusi mengenai sejarah dan historiografi Nuswantara lebih lanjut. Sepertinya kita harus menetapi prinsip “Banteng Mataram”. Yaitu kita harus “wani, jujur, lan prasaja” . Prinsip ini memberi sebuah lompatan. Dari pikiran “tidak-akan-melihat-Islam” menjadi “selalu-melihat-Islam”. Kita harus berani melepas beban epistemic/ paradigmatic itu. Hal ini akan membawa kita kepada berpikir yang sehat, prasaja, atau apa-adanya. Atau erleben, kata Immanuel Kant.
Berdasarkan prasasti-prasasti dan dan dokumen kuno Nuswantara asli, kesan bahwa kebudayaan Nuswantara berhutang budi kepada ”masyarakat Hindu” di jaman dahulu harus dihilangkan. Sebaliknya, justru mereka yang berhutang budi kepada peradaban Nuswantara. Pandangan ini juga dikemukakan oleh Damais. Dengan kata lain, bahwa Islam yang berkembang di Nuswantara adalah Islam yang mampu membuat kedamaian dan melindungi masyarakat dan kelompok yang berbeda agama.
Wallahu “Alam Bishshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar