Rabu, 27 Mei 2015

"Minta Jatah 10 Persen" Presiden Jokowi Ampuni Koruptor

Strategi "ampuh" presiden tarik dana yang parkir di luar negeri
Jurnalis Independen: Terbersit keinginan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) "memaafkan" tersangka kasus tindak pidana korupsi di Indonesia yang jumlahnya berjibun.


Penghapusan sangsi tindak pidana umum maupun khusus yang sulit ditangani lantaran berbagai hal, membuat Presiden Jokowi merancang sebuah kebijakan khusus. Yaitu pengampunan dengan syarat, imbalan dana 10 % dari jumlah kekayaan yang dimiliki tersangka. Namun, hal itu tidak termasuk kejahatan terorisme dan narkoba.

Pelaku kejahatan korupsi yang sulit dijerat hukum di Indonesia walau dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini sedang sekarat oleh "kekuatan konspirasi" yang sedang berusaha "membunuh KPK", memaksa pemerntah mencari jalan tengah.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Sigit Priadi Pramudito saat menggelar silaturahim dengan pemimpin redaksi media massa, Jakarta, Rabu (27/5) malam, menyatakan bahwa pemerintah berinisiatif memberikan ampunan kepada tersangka kasus korupsi dengan imbalan 10 % dana milik tersangka yang diparkir di luar negeri, untuk dikembalikan ke negara.

Penghapusan sanksi pidana ini juga berlaku bagi koruptor yang memindahkan uangnya ke Indonesia.

"Kami berusaha menjadi mediator untuk menggodok wacana itu bersama aparat penegak hukum (Kepolisan, Kejaksaan, dan KPK)," jelas Sigit.

 Apa yang dikatakan Jenderal Pajak, Sigit Priadi Pramudito, juga mendapat dukungan dari pejabat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan.

"Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) setuju. Alasannya daripada banyak kasus rekening gendut tak tertangani, lebih baik mereka membawa kembali uang hasil korupsi dan membayar pajaknya."

Sigit juga menjelaskan, ada sejumlah keuntungan jika orang kaya Indonesia, termasuk pelaku tindak pidana khusus atau umum di luar terorisme dan narkoba, memindahkan dananya dari luar negeri kembali ke Tanah Air.

Diantaranya, pemerintah bisa mendapat pemasukan langsung dari dana tersebut dan bisa digunakan untuk memutar roda ekonomi nasional.

"Mereka harus bayar tebusan sekitar 10 persen-12 persen dari dana yang diparkir. Tebusan ini sebagai penerimaan pajak. Apa jenis pajaknya, nanti kami pikirkan."

Sigit pun berasumsi, jika dana orang Indonesia yang diparkir di Singapura mencapai Rp 3 ribu-Rp 4 ribu trilun, dan Jika mereka, termasuk para pelaku koruptor rela memindahkan sekitar Rp 1.000 triliun saja ke Indonesia, maka pemerintah bisa mendapat pemasukan langsung sekitar 10 persen atau Rp 100 triliun.

"Kalau pemerintah mendapatkan dana tersebut (dari koruptor-red), yang bisa dipastikan cukup besar, akan menjadi tambahan modal bagi pemerintah guna mendayagunakan sektor ekonomi."

Sayangnya, persoalan ini membutuhkan membutuhkan terobosan sekaligus  payung hukum berupa undang-undang. Nah, Sigit berharap inisiatif membuat beleid tersebut datang dari legislatif.

"Nggak mungkin Kemenkeu membuat undang-undang terkait special atau legal amnesty semacam itu, karena di luar kewenangannya. DPR sudah kami ajak bicara."

Dia berharap pembahasan draf undang-undang terkait, sudah ada rencana diusulkan di rapat paripurna dan komisi di DPR pada Juni-Juli tahun ini sebagai salah satu prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) 2016. Jika tembus, pembahasan untuk menjadi undang-undang tak perlu makan waktu lama.

"Pasal-pasalnya cuma butuh sedikit waktu. Pada bulan Juli, Agustus, September jika selesai dibahas, undang-undangnya jadi bisa dilaksanakan tahun ini juga."

Tidak ada komentar: