Minggu, 03 Januari 2016

Letjen KKO (Marinir) Hartono, "Pecah Gesang Melu Presiden Bung Karno"

Jurnalis Independen: Komandan Korps Komando Operasi atau yang disingkat KKO (sekarang Korps Marinir TNI AL) periode 1961-1968, Letjen KKO Hartono merupakan sosok legendaris dalam kalangan TNI AL karena aksi heroiknya mendukung Bung Karno yang ketika tahun 1966-1967 menjadi bulan-bulanan media bahkan dunia internasional karena dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok). Ucapan Hartono yang terkenal saat itu ‘Pecah Gesang Melu Bung Karno’ atau dalam bahasa Indonesia-nya Hidup Mati ikut Bung Karno.
Selain itu ucapannya yang terkenal di masa itu ialah “Merah kata Bung Karno, merah kata KKO, Putih kata Bung Karno, putih kata KKO”, artinya Hartono selalu mengobarkan semangat di tengah prajurit KKO untuk mendukung Bung Karno habis-habisan. Dan baru pertama kalinya dalam sejarah, TNI di mana saat itu personel KKO melakukan demonstrasi mendukung Bung Karno. Demonstrasi yang dilakukan terpusat di Surabaya tentunya membuat gerah Pangkokamtib saat itu, Letjen Soeharto yang tidak lama kemudian menjadi pejabat presiden.

Hartono sendiri bersama KKO siap memobilisasi pasukan mengepung Jakarta dan menggilas pasukan Soeharto di waktu itu. Namun, karena kebesaran jiwa Bung karno sebagai negarawan tidak menghendaki adanya perpecahan di bangsanya. Bung Karno pun akhirnya berhasil meredam Hartono dan pasukannya.

Apa yang dilakukan oleh Hartono sebenarnya bukan dikeranakan perseteruan antar matra (baca: laut + udara vs darat) melainkan karena ikatan emosional yang mendalam antara seorang bawahan dan atasan. Hartono begitu menghargai jerih payah Bung karno dalam membangun Indonesia sebagai negara maritim yang disegani, terutama kala membangun ALRI (saat ini TNI AL) dan KKO masa itu. Terlebih saat membebaskan Irian Barat, Hartono kerap dipanggil ke istana untuk melaporkan hasil oprasi dan menjabarkan perencanaan yang akan dilakukan oleh Korps Baret Ungu tersebut.

Dalam kubu Angkatan Darat sendiri pun banyak Jenderal yang merespon gerakan Hartono itu dalam upaya mendukung Bung Karno. Sebut saja Pangdam Siliwangi saat itu Mayjen Ibrahim Adjie, Mayjen Amir Machmud, dan beberapa Panglima Kodam lainnya. Mereka menganggap bahwa Soeharto telah menyelewengkan Supersemar.

Hartono yang dilahirkan di Solo, 1 Oktober 1927 dikenal sebagai sosok yang tegas dan tanpa basa basi. Karir militernya dimulai saat pendudukan Jepang di Indonesia membuka pelatihan bagi bumiputra mengenai kemiliteran. Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) di Jakarta yang bertujuan untuk mencetak tenaga pelaut dan siap membantu Jepang dalam perang menghadapi Sekutu, akhirnya diikuti oleh pemuda rantau asal Solo, Hartono. Bersama Mas Pardi dan Ali Sadikin, Hartono mengenyam pendidikan dan pelatihan dibawah tempaan Angkatan Laut Samurai Jepang.

Ketika pembacaan teks Proklamasi pada 17 Agustus 1945, Hartono termasuk pemuda yang ikut dalam barisan Pelopor mengamankan peristiwa sakral bangsa Indonesia tersebut. Selanjutnya bersama para eks SPT dan Koninklijke Marine, Hartono turut membangun BKR Laut pada 10 September 1945 yang tidak lama kemudian pada 5 Oktober 1945 berubah menjadi TKR Laut selanjutnya menjadi ALRI. Kiprahnya di ALRI, Hartono turut membangun Marine Corps ALRI yang selanjutnya berubah menjadi KKO. Pembangunan Marine Corps tersebut sangat dimungkinkan oleh ALRI masa itu karena keterbatasan alutsista laut dan pangkalan yang telah banyak dikuasai Belanda. Sehingga ALRI, dengan Marine Corps sebagai garda terdepannya memutuskan untuk bertempur secara bergerilya di gunung-gunung bersama Angkatan Darat.

Dalam mengembangkan Korps yang bermotto Jaleshu Bhumyamca Jayamahe, Hartono kerap mengikuti kursus di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Inggris. Pendidikan itu berkutat pada bagaimana membangun Korps pasukan Amfibi Pendarat yang andal dan disegani.

Pada tahun 1961, sebelum digencarkan Operasi Trikora, Hartono diangkat menjadi Komandan KKO ke-tiga menggantikan Letjen R. Soehadi. Dibawah pimpinannya, Korp Baret Ungu tersebut mengalami kemajuan dan perkembangan pesatnya. Korps ini pula yang membuat Marinir Belanda gemetar di Irian Barat. Selanjutnya, pasukan Malaysia, Singapura, bahkan Inggris pun sempat gemetar kala menghadapi Korps ini melakukan operasi bersama dengan RPKAD (saat ini Kopassus TNI AD) dan Paraku (saat ini Paskhas TNI AU).

Diakhir kepemimpinannya di KKO, Soeharto yang mulai memantau gerak-geriknya pasca demonstrasi besar-besaran KKO di Surabaya akhirnya memberhentikannya dari Komandan KKO. Dirinya langsung dijadikan Dubes Luar Biasa untuk Korea Utara pada tahun 1968. Beberapa bulan sekembalinya di Jakarta pada akhir tahun 1970, ibukota pun langsung digegerkan dengan kematiannya pada tanggal 7 Januari 1971. Hartono diketemukan meninggal bersimbah darah di kediamannya Jl. Prof. Dr. Soepomo, Menteng, Jakarta Pusat pada pagi hari pukul 05.30. Dekat jenazahnya terbaring, ditemukan pistol, yang menurut pernyataan resmi rezim Orde Baru, Hartono meninggal bunuh diri dengan cara menembakkan senjatanya ke kepalanya sendiri.

Cerita bunuh diri tentu saja menimbulkan tanda tanya besar, karena jenazah Hartono harus divisum di RSPAD Gatot Subroto. Kedengarannya sangat aneh, mengingat Hartono adalah anggota Angkatan Laut, kenapa tidak divisum di RSPAL. Dugaan lain, ada kabar saat Hartono berada di kediamannya, ada dua orang yang menemuinya. Istri Hartono curiga orang inilah yang membunuh suaminya.

Kronologis kematiannya, menjelang adzan subuh, seperti biasa, Nyonya Prawirosoetarto ibunda Hartono bergegas menuju dapur untuk ikut menyiapkan sarapan. Saat menuju dapur inilah, sekilas perempuan sepuh ini melihat Hartono tengah berbincang-bincang dengan dua tamunya di ruang depan. Baru saja akan bersiap-siap membuat sarapan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara kaca pecah yang datang dari tempat Hartono tengah berbicara dengan dua tamunya tersebut. Tanpa basa basi, Nyonya Prawirosoetarto bergegas lari ke depan dan begitu menyaksikan pemandangan di ruang tamu, lemaslah sekujur tubuhnya.

Gubernur DkI Jakarta, Ali Sadikin mengungkapkan, sangat tidak mungkin Hartono melakukan bunuh diri karena depresi tidak dapat melakukan tugasnya sebagai Dubes. Bang Ali panggilan akrabnya tahu betul siapa rekannya itu yang dikenalnya sejak masa pendidikan Jepang. Sementara Menlu Adam Malik saat itu berjanji akan memberikan penjelasan detail tentang kematian Hartono. Namun hal itu tak pernah dilakukan pemerintah.

Hartono dimakamkan di TMP Kalibata dan melalui upacara kemiliteran. Sampai dengan hari ini, kematiannya tetap menjadi misteri. Dengan bantuan teknologi pada masa sekarang, setidaknya bisa membantu terungkapnya kematian Hartono. Hal itu dimaksudkan agar nama pejuang 45 tersebut bersih dari tudingan mati bunuh diri. Karena menurut ajaran Islam, sehina-hinanya manusia ialah yang mati dalam keadaan bunuh diri.

Tidak ada komentar: