Rabu, 20 Januari 2016

Abu Bakar Ba’asyir: “Saya Tak Kenal Umar Al-Faruq”

Jurnalis Independen: Di mata media Barat, dia kini jadi begitu penting. Majalah terbesar di dunia, Time, pekan silam mengutip laporan CIA bahwa pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah Abu Bakar Ba’asyir “terlibat dalam berbagai plot.” Ini menurut pengakuan Umar Al-Faruq, seorang pemuda warga Yaman berusia 31 tahun yang ditangkap di Bogor pada Juni lalu dan dikirim ke pangkalan udara di Bagram, Afganistan, yang diduduki AS.
Setelah beberapa bulan bungkam, akhirnya Al-Faruq mengeluarkan pengakuan--kepada CIA--yang mengguncang. Tak hanya mengaku sebagai operator Al-Qaidah di Asia Tenggara, dia mengaku memiliki hubungan dekat dengan Abu Bakar Ba’asyir. Menurut berbagai laporan intelijen yang dikombinasikan dengan investigasi majalah Time, bahkan Ba’asyir adalah pemimpin spiritual kelompok Jamaah Islamiyah yang bercita-cita membentuk negara Islam di Asia Tenggara. Ba’asyir pulalah yang dituding menyuplai orang untuk mendukung gerakan Faruq.

Tak mengherankan jika Pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Solo, Jawa Tengah--pesantren Ba’asyir--kini dijaga ketat oleh segerombolan pemuda yang berpenampilan santun. Pintu gerbang perguruan itu, yang lazimnya dibiarkan terbuka, sejak Rabu pekan lalu ditutup sebagian. Dua santri yang menunggu pintu itu akan menanyakan identitas wartawan yang bermaksud meliput. Sejumlah anggota dan pemimpin organisasi Islam di Solo juga berkumpul di pesantren itu. “Kami hanya jaga-jaga. Operasi intelijen Amerika kan tidak bisa diduga,” kata Taharudin, bekas Ketua Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), yang malam itu juga berada di pesantren Ngruki.

Abu Bakar Ba’asyir, 64 tahun, pemimpin Pondok Pesantren Al-Mukmin, kini menjadi incaran AS. Setelah sempat dituduh membentuk Jamaah Islamiyah, gerakan Islam radikal di Malaysia, pada periode 1990-an, kini Ba’asyir menghadapi prahara lebih besar. Ia kabarnya telah masuk dalam daftar teroris paling dicari pemerintah AS. Sumber TEMPO di kedutaan AS di Jakarta bahkan menyebutkan Ba’asyir menduduki posisi pertama dalam daftar itu--lebih tinggi dari Usamah bin Ladin.

Ba’asyir tenang-tenang saja. “Itu cuma rekayasa Amerika,” katanya. Ia memang masih menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Pekan lalu, ia terbang ke Medan dan Banjarmasin untuk berceramah. Dari sana, ia kembali ke Ngruki untuk mengajar di pesantrennya.

Pondok Pesantren Al-Mukmin adalah “tanah air” bagi Ba’asyir. Ia mendirikan perguruan itu pada 10 Maret 1972, bersama Abdullah Sungkar, Yoyo Rosywadi, Abdul Qohar H. Daeng Matase, dan Abdullah Baraja. Awalnya, Al-Mukmin hanyalah pengajian zuhur di Masjid Agung Surakarta. Karena santrinya banyak, komunitas pengajian itu lalu dikembangkan menjadi pesantren.

Mungkin karena sikapnya yang keras, bersama Abdullah Sungkar, pada 1983, Ba’asyir ditangkap polisi. Ia dituduh menghasut orang untuk menolak asas tunggal Pancasila. Ia juga melarang santrinya melakukan hormat bendera karena menurut dia itu perbuatan syirik. Tak hanya itu, ia bahkan dianggap merupakan bagian dari gerakan Hispran (Haji Ismail Pranoto)--salah satu tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia Jawa Tengah. Di pengadilan, keduanya divonis 9 tahun penjara.

Ketika kasusnya masuk kasasi, Ba’asyir dan Sungkar dikenai tahanan rumah. Ketika itulah, pada 1985, keduanya melarikan diri ke Malaysia. Ia memang pelarian misterius. Bahkan istri dan orang dekat Ba’asyir tak tahu ke mana lelaki itu pergi. “Saya tak tahu. Saya bahkan khawatir ada apa-apa dengan suami saya,” kata Aisyah, istri Ba’asyir, ketika itu. Dari Solo, Ba’asyir menyeberang ke Malaysia melalui Medan. Ia baru kembali ke Indonesia setelah rezim Soeharto jatuh pada 1998 lalu. Menurut pemerintah AS, pada saat di Malaysia itulah Ba’asyir membentuk gerakan Islam radikal yang menjalin hubungan dengan Al-Qaidah.

Kamis pagi pekan lalu, Ba’asyir menerima wartawan TEMPO Imron Rosyid dan R. Fadjri untuk sebuah wawancara khusus. Sejak malam, lima wartawan lain dari dalam dan luar negeri antre untuk mendapatkan jatah wawancara. Meski lelah, pagi itu Ba’asyir dengan santun menjawab setiap pertanyaan. Berikut ini petikan wawancara itu.
Pasca-tragedi 11 September, pemerintah AS membuat daftar teroris dan kabarnya di sana ada nama Anda. Apa pendapat Anda?

    Itu merupakan kelanjutan dari strategi AS memerangi Islam. AS memang bertekad memerangi dan menundukkan Islam di seluruh dunia. Caranya adalah dengan menangkapi dan membunuh tokoh yang mereka nilai bersemangat menegakkan syariat Islam dalam negara. Saya sendiri biasa saja mendengarnya.

Jadi, Anda sudah mendengar kabar ini?

    Saya mendengar dari beberapa wartawan yang menelepon saya.

Apakah ada pihak lain yang memberi tahu Anda? Polisi, misalnya?

    Tidak. Polisi memang melakukan silaturahmi dengan saya, terutama setelah Umar Al-Faruq ditangkap. Tapi saya tak diberi tahu apa-apa oleh polisi.

Jadi, polisi telah menanyai Anda tentang Al-Faruq? Anda kenal dia?

    Saya tidak kenal. Saya malah tahu tentang dia dari koran. Istri Faruq ternyata orang Indonesia. Prediksi saya, dia orang yang dibayar untuk membuat rekayasa (untuk menjatuhkan Islam) atau dia orang baik tapi kemudian ditekan dan disiksa (untuk memberikan kesaksian seperti yang diinginkan AS).

Dalam keterangannya kepada CIA, Faruq mengatakan dibantu Jamaah Islamiyah yang dibentuk oleh Anda?

    Semua itu tidak benar. Semua itu fiktif. Bagaimana mungkin melakukan koordinasi jika kenal saja tidak? Betul-betul saya tidak kenal. Wajahnya saja baru saya lihat di koran.

Tentang keberadaan Jamaah Islamiyah itu sendiri?

    Tidak ada. Di Malaysia, saya dan Abdullah Sungkar hanya mengajarkan sunah Nabi. Saya tidak ikut-ikut politik. Sebulan atau dua bulan sekali saya juga datang ke Singapura. Kami memang mengajarkan jihad dan ada di antara mereka yang berjihad ke Filipina atau Afganistan. Semua sifatnya perorangan. Saya menganjurkan agar mereka mencukupi keluarga mereka sebelum berangkat (berjihad).

Berapa banyak anggota pengajian Anda?

    Di Malaysia ratusan orang. Di Singapura hanya puluhan orang. Setelah saya pulang, mereka mengembangkannya sendiri. Setelah itu, saya tidak tahu perkembangannya.

Anda kehilangan kontak termasuk ketika pemerintah Malaysia menangkapi anggota pengajian Anda?

    Setelah dua tahun pulang, saya mendengar ada peristiwa perampokan bank dan penyerangan kantor polisi. Katanya itu dilakukan oleh mereka yang pernah mengaji dengan saya. Saya dituduh mengajari orang merampok.

Betulkah pengajian Anda mendapat bantuan dari Timur Tengah?

    Kami tidak pernah berhubungan dengan orang Timur Tengah. Dulu saya dan Abdullah Sungkar memang pergi ke Arab Saudi. Tapi itu untuk naik haji. Jika pun mendapat bantuan, paling-paling dari saudara dia (Abdullah Sungkar).

Anda sendiri pernah ke Afganistan?

    Saya ke Pakistan. Sewaktu Afganistan berperang melawan Soviet, banyak orang datang ke perbatasan di Peshawar.

Apa yang Anda lakukan di sana?

    Saya mencarikan sekolah anak saya.

Di Malaysia, Anda tinggal di daerah mana?

    Saya berpindah-pindah, pernah di Negeri Sembilan, pernah di Kelantan. Istri dan anak menyusul setelah dua tahun saya tinggal di sana. Di sana saya berjualan madu dan menjadi agen penjualan habbah saudah--semacam jintan hitam yang diperas. Jintan itu mahal harganya. Madu saya ambil dari Turki.

Apakah Anda sudah mendengar nama Usamah bin Ladin atau Al-Qaidah di Malaysia?

    Sering. Saya bahkan mendapat banyak brosur, kitab, juga videonya. Orang di Malaysia banyak yang berjihad ke Afganistan. Ketika pulang, mereka bercerita kepada saya. Justru setelah pulang ke Indonesia, saya kehilangan informasi itu.

Jadi, soal hubungan Anda dan Faruq hanya rekayasa intelijen AS?

    Ini operasi rahasia yang tidak mungkin jika tidak diketahui pemerintahan Indonesia. Ini hasil pekerjaan intelijen CIA. Kalaupun di dalamnya ada intelijen Indonesia, barangkali itu hanya oknum.

Mungkinkah cerita Faruq ini hanya alasan untuk menangkap Anda?

    Ya, mungkin-mungkin saja. Tapi itu kecil kemungkinannya. Paling-paling pemerintah nanti meminta klarifikasi saya dan saya siap memberikan penjelasan. Saya bahkan siap dihadapkan dengan orang yang ditangkap itu (Faruq).

Anda optimistis tak akan ikut ditangkap?

    Persoalan saya dengan Faruq berbeda. Saya kan warga negara Indonesia, sedangkan dia orang asing. Masa, saya mau ditangkap dengan cara seperti orang asing? Insya Allah, pemerintah Indonesia tidak sampai hati berbuat seperti itu kepada warga negaranya sendiri.

Banyak yang menilai, dalam kasus Agus Dwikarna, toh pemerintah sampai hati?

    Itu karena Agus Dwikarna pergi ke luar negeri (Filipina).

Jika terus ditekan AS, bisa saja Indonesia menyerah, lalu mengekstradisi Anda ke luar negeri?

    Soal ekstradisi, saya pernah mengklarifikasikannya ke Departemen Luar Negeri. Mereka menyatakan itu tidak mungkin, karena dilarang undang-undang, apalagi yang menyangkut agama. Pemerintah memang berusaha membuat perjanjian ekstradisi (dengan Singapura), tapi untuk kasus kriminal. Departemen Luar Negeri menjamin tak akan mengekstradisi warganya sendiri ke luar negeri. Mereka menjamin. Saya diminta tenang-tenang saja.

Jika keadaan memburuk, apakah ada rencana pergi ke luar negeri?

    Ndak ada. Ndak (matanya menerawang ke langit-langit). Justru kalau saya ke luar negeri, saya akan ditangkap. Amerika pasti sudah menyiapkan caranya, seperti kejadian yang dialami Agus Dwikarna dan Agus Budiman.

Anda pesimistis dengan perlindungan pemerintah Indonesia?

    Pemerintahan sekarang ini sebenarnya pemerintahan sekuler dan, karena itu, sangat disukai Amerika.

Untuk kasus ini, pernahkah Anda meminta klarifikasi langsung kepada Badan Intelijen Negara (BIN)?

    Saya pernah mengirim surat kepada Presiden, Kapolri, Panglima TNI, dan Kepala BIN Hendropriyono. Intinya, kami ingin bersilaturahmi dan mau mengingatkan mereka bahwa kekuasaan yang di tangan mereka merupakan amanat Allah. Tapi, sampai hari ini, surat itu tidak ditanggapi. Mungkin karena mereka punya kekhawatiran.

Kekhawatiran apa?

    Kekhawatiran bahwa seorang pemimpin negara kok menerima pengurus Majelis Mujahidin yang dicap sebagai organisasi Islam garis keras oleh Amerika.

Tapi bukankah Anda sempat bertemu dengan Wakil Presiden Hamzah Haz?

    Saya datang ke rumah Pak Hamzah bersama Ja’far Umar Thalib (Laskar Jihad) dan Habib Rizieq (Front Pembela Islam). Tujuannya adalah mengecek apakah benar di Indonesia ada teroris. Saya juga memberikan keterangan mengenai kegiatan Majelis Mujahidin. Setelah mendengar penjelasan itu, dia menyimpulkan bahwa di Indonesia tidak ada terorisme.

Hamzah Haz mengundang Anda?

    Dia memanggil kami karena waktu itu Amerika tidak mau menangguhkan pembayaran utang Indonesia sebelum tokoh-tokoh (Islam radikal) di Indonesia diatasi.

Anda merasa dilindungi oleh Hamzah Haz?

    Saya merasa ada pengertian dari pemerintah Indonesia, terutama dari Pak Hamzah. Kalau dari yang lain, wallahualam.

Jika ternyata pemerintah AS nanti menangkap Anda, Anda akan menagih janji Hamzah Haz?

    Saya tidak akan menagih janji karena manusia itu makhluk lemah. Saya akan berusaha (sendiri).

Misalnya?

    Apa yang bisa saya lakukan akan saya lakukan. Jika fisik saya diganggu, kalau saya diculik, saya akan melawan sesuai dengan kemampuan saya.

Anda punya perasaan akan diculik?

    Mungkin saja. Tapi saya memprediksikan pemerintah Indonesia tidak akan selengah itu. Mudah-mudahan.

Anda pernah diteror?

    Ndak pernah. Tapi saya pernah tiga kali ditelepon, tapi kemudian tidak ada suaranya.

Dari nomor yang Anda kenal?

    Tidak tahu. Saya tidak kuat untuk mengingat angka atau nomor telepon seseorang.

Apakah ada teror terhadap keluarga?

    Tidak ada.

Tekanan terhadap Anda pribadi?

    Secara lahir belum saya rasakan. Tapi, kalau saya berdakwah ke mana-mana, saya rasakan perhatian polisi kepada panitia pelaksana yang mengundang saya sangat besar. Mungkin untuk menjaga keamanan atau mungkin untuk mengawasi saya. Ketika saya bersama Habib Rizieq berdakwah di Medan dan Banjarmasin, dari tempat menginap ke tempat acara, kami selalu dikawal polisi. Panitia juga selalu dimintai laporannya tentang isi ceramah saya.

Anda merasa itu sebagai penjagaan atau penekanan?

    Dua-duanya, ha-ha-ha…. Mungkin penjagaan karena, kalau sampai ada apa-apa, polisi juga yang rugi.

Pernahkah Anda diminta aparat menurunkan tensi dakwah Anda?

    Tidak pernah. Yang biasanya dipanggil adalah panitia. Saya biasanya menyesuaikan saja.

Ngomong-ngomong, apa pendapat Anda tentang peristiwa 11 September?

    Itu hanya rekayasa Amerika untuk membuat pembenaran untuk memerangi Islam. Mereka menciptakan istilah teror, padahal yang mereka maksud dengan teroris adalah penjuang-pejuang Islam. Definisi teroris di mata Amerika adalah mereka yang mempertahankan tegaknya Islam sehingga akan merugikan kepentingan AS. Ketika di Indonesia terjadi reformasi, banyak pembesar Amerika yang datang dan bertanya kepada tokoh-tokoh Islam seperti Amien Rais, “Apakah Anda mau mendirikan negara Islam?” Peristiwa World Trade Center sendiri adalah rekayasa AS.

Anda membenci bangsa AS?

    Saya tidak membenci bangsa Amerika, tapi pemerintah Amerika.

Anda menyatakan perang kepada pemerintah AS?

    Sejak awal, saya menyatakan Amerika itu musuh Islam. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Senjata saya hanya doa.

Apakah karena menganggap AS jahat, Anda menganggap perusakan fasilitas AS itu sah untuk dilakukan?

    Dalam peperangan, pembalasan (sah) dilakukan.

Apakah sekarang Anda menganggap sudah dalam situasi perang?

    Usamah bin Ladin telah mengumumkan perang terhadap Amerika karena dia sudah diperangi. Itu pembalasan.

AS menangkapi aktivis Islam. Apakah Anda merasa sudah harus melakukan pembalasan?

    Pembalasan harus disesuaikan dengan kemampuan yang ada. Maka, kalau saya ditangkap secara fisik, saya akan melawan. Kalau saya diminta dengan baik-baik, akan saya layani dengan baik-baik.

    *****

    Catatan: Artikel wawancara di atas sudah diturunkan di Majalah Tempo edisi 23 –30 September 2002.

Tidak ada komentar: