Oleh Uni Lubis
Sejak menjadi Amir Mujahidin Indonesia Timur (MIT), buronan teroris Santoso menantang polisi untuk perang terbuka. Santoso menyatakan bai’at kepada ISIS.
Aparat bersenjata berjaga di depan kamar jenazah Rumah Sakit Bhayangkara Palu, Sulawesi Tengah, pada 16 Januari 2016. Tim gabungan TNI/Polri kembali menembak mati seorang terduga teroris saat terjadi kontak senjata di Desa Taunca, Poso pada 15 Januari. Foto oleh Basri Marzuki/Antara
Aparat bersenjata berjaga di depan kamar jenazah Rumah Sakit Bhayangkara Palu, Sulawesi Tengah, pada 16 Januari 2016. Tim gabungan TNI/Polri kembali menembak mati seorang terduga teroris saat terjadi kontak senjata di Desa Taunca, Poso pada 15 Januari. (Foto oleh Basri Marzuki/Antara)
Pada 14 Oktober 2012, Santoso, atas nama Amir Mujahidin Indonesia Timur (MIT) mengeluarkan gertakan melalui surat tantangan kepada Detasemen Khusus (Densus) 88:
“Kami selaku Mujahidin gugus tugas Indonesia Timur menantang Densus88 Anti-Teror untuk berperang secara terbuka dan jantan! Mari kita berperang secara laki-laki! Jangan kalian cuma berani menembak, menangkapi anggota kami yang tidak bersenjata! Kalau kalian benar-benar Kelompok laki-laki, maka hadapi kami! Jangan kalian menang tampang saja tampil di televisi!”
Santoso dan kawanannya menantang aparat keamanan yang sedang berada di Tamanjeka dalam rangka mencari dua polisi yang diculik untuk melakukan perang terbuka di Gunung Biru. Santoso dan kawan-kawannya sudah menebar ranjau di sekitar Gunung Biru. Aparat keamanan tidak terpancing. Mereka sudah mendapat info gerakan Santoso dan jebakan ranjau yang dipasang di area itu.
Pasukan gabungan Polisi dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan hati-hati terus menyisir wilayah Tamanjeka dan Gunung Biru. Ini menyulitkan pasukan Santoso. Pasokan logistik, termasuk makanan, dari Tamanjeka tak bisa masuk dari Gunung Biru.
Mereka terdesak, mereka berusaha kabur ke luar wilayah Malino, Kabupaten Morowali. Untuk memecah konsentrasi aparat keamanan, kelompok MIT menebar teror di luar kawasan Tamanjeka.
Pada 24 Oktober 2012, anak buah Santoso yang berada di Poso, Sulawesi Tengah, membom pos polisi dan Poso Kota. Beberapa polisi terluka.
Akhir Oktober 2012, polisi berhasil menewaskan salah satu anak buah kepercayaan Santoso, yaitu Zipo. Teroris asal Bima itu ditembak mati dalam penyergapan di Desa Kalora, Poso Pesisir. Awal November tahun yang sama polisi menangkap Ustadz Yasin, pentolan Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT) Poso dan menembak mati seorang anak buah Santoso.
Informasi di atas bukan fiksi, apalagi novel spionase ala Tom Clancy. Informasi ini dikutip secara cukup utuh dari buku berjudul Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia, yang ditulis oleh Ansyaad Mbai, pensiunan perwira tinggi kepolisian yang pernah menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Buku ini berisi laporan cukup rinci perkembangan jaringan teroris di Indonesia dan bagaimana aparat keamanan, terutama Densus 88 yang didukung TNI, berusaha melumpuhkan jaringan yang menghalalkan segala cara untuk melakukan apa yang mereka pahami sebagai “jihad” untuk mendirikan negara berdasarkan syariat Islam.
Saat itu, tahun 2012, Santoso baru saja diangkat menjadi Amir, atau pemimpin Mujahidin Indonesia Timur. Sebelumnya dia menjabat ketua Asykariy atau sayap militer JAT Poso, yang ketuanya adalah Ustadz Yasin.
Gagasan membentuk Negara Islam menguat kembali pada 2009. Penggagasnya adalah kelompok Lintas Tanzim Aceh. Kelompok ini merupakan aliansi dari pelabagai kelompok jihad Indonesia seperti JAT, Kelompok Ring Banten, Mujahidin KOMPAK, Tauhid Wal Jihad, dan lainnya.
Penggagas utama Lintas Tanzim Aceh adalah Dulmatin, buronan teroris nomor wahid di Asia Tenggara.
Dulmatin menghubungi sejumlah tokoh untuk mendukung gagasannya. Menurut catatan di buku Mbai, Amir JAT saat itu, Abu Bakar Ba’asyir, setuju.
Ba’asyir sempat meminta bantuan Abu Tholut, penguru JAT, untuk membantu proyek ini. Ba’asyir juga bersedia membantu pendanaan proyek Aceh ini. Menurut rencana awal, Aceh akan dijadikan qoidah amanah, atau daerah basis. Setelah itu baru dideklarasikan Negara Islam.
Aceh menjadi basis pelatihan militer. Tapi, proyek ini kandas.
Pelatihan militer di daerah Jantho, terendus aparat keamanan. Polisi memburu peserta pelatihan dan penanggungjawabnya. Aparat keamanan berhasil menembak mati Dulmatin. Polisi juga menangkap puluhan orang yang terlibat, termasuk Abu Bakar Ba’asyir yang dianggap mendanai proyek ini.
Menurut catatan Mbai, para pengikut yang kocar-kacir mendirikan sel-sel sendiri, salah satunya adalah di Poso. Oktober 2009, Abu Tholut datang ke Poso bertemu dengan Ustadz Yasin dan Santoso. Abu Tholut berbagi rencana Proyek Uhud, menjadikan Poso sebagai qoidah amanah Negara Islam. Abu Tholut juga mengusulkan berdirinya JAT Poso, sebagai cikal bakal tanzim jihad Negara Islam di sana.
Santoso merealisasikan proyek itu dengan merekrut peserta untuk dilatih secara militer. Pada 2010 Santoso dan kawan-kawan berhasil mengumpulkan senjata dan menemukan tempat pelatihan militer di Gunung Mauro, Tambarana, Poso Pesisir, serta di daerah Gunung Biru, Tamanjeka, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Sepak terjang kelompok Santoso cukup merepotkan. Sasarannya adalah aparat kepolisian. Alasannya, balas dendam, karena polisi memburu dan menembak mati teman-temannya.
Bahrun Naim, jihadi muda asal Solo, adalah salah satu pengikuti Santoso. Naim diminta merekrut pengikut dari wilayah asalnya.
Februari 2014, dukungan terhadap Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mulai bermunculan dengan tindakan bai’at di beberapa lokasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar