Selama era kejayaan Orde Baru masalah "sara" dapat dieliminir
secara otoriter oleh negara. Dengan demikian toleransi antarumat beragama di
masa Orde Baru dapat bertahan relatif mulus, demikian pula mengenai perbedaan
suku dan ras mengacu pada semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" Majapahit.
Gejolak itu muncul ke permukaan sejak tumbangnya rezim Orba pada 1998, akibat
dari teknologi informasi yang mulai berkembang pesat, dan puncaknya muncul dan
selanjutnya mewabah aplikasi jejaring sosial dunia maya.
Jika pada masa lalu itu tidak ada gema suara sumbang yang berani
berkicau apalagi tidak seirama dengan melodi pemerintah. Maka kini ledakan
dahsyat di segala segi kehidupan sedang dan akan terus terjadi akibat
pembungkaman pikiran dan bersuara oleh rezim Orba bertahan terus-menerus selama
lebih dari tiga dekade.
Ledakan demi ledakan muncul berupa perselisihan antarumat beragama,
perang atau keributan antarsuku / kelompok, dan mencuatnya paham rasisme /
perbedaan warna kulit kini tengah terjadi di Nusa Antara dan juga di seluruh
dunia. Hukum ekonomi dalam mencari laba oleh sekelompok pengusaha tertentu yang
tidak lagi mengindahkan etika, sebagai contoh mutakhir pembuatan atau proyek
film tentang penistaan agama yang berjudul "Innocence of
muslims". Contoh tentang penistaan agama yang senada
dengan film "Innocense of Muslims" adalah buku "Satanic
Verses" Salman Rushdie.
Demikian pula dalam lingkup skala antarnegara mengenai mengalirnya dana
dalam jumlah besar digelontorkan kepada kelompok pembuat onar pembayaran oleh
donatur yang ingin mendapatkan keuntungan ekonomis maupun politis, dengan modus
operandi yang sama mengadu domba dua kelompok dengan memanfaatkan perbedaan
"sara". Juga di Nusa Antara ini yang belum lagi terlepas dari
gonjang-ganjing pada, tidak kurang-kurangnya solusi yang digulirkan pemerintah
maupun tokoh lintas agama mengatasi hal tersebut, dan sayang sekali belum
membuahkan hasil.
Pemerintah orde reformasi tentu saja tidak mungkin menggunakan cara-cara
Orde Baru yang otoriter guna mengatasi perselisihan yang timbul akibat
perbedaan suku, ras, dan agama. Teknologi informasi yang berkembang pesat di
lini aplikasi jejaring sosial dunia maya tidak bisa disensor lagi oleh negara.
Jika sensor terjadi maka terjadilah pepatah, "Mati satu tumbuh
seribu".
Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan yang digunakan oleh mereka
yang saling serang satu sama lain dengan topiknya masing-masing di dunia maya.
Etika kerukunan beragama yang sebagian besar masih terjadi di dunia nyata,
ternyata tidak begitu terjadi di dunia maya. Sejarah akan terus maju ke masa
depan dan tidak mungkin berjalan mundur ke belakang lagi. Era perselisihan
antarumat beragama yang marak terjadi di dunia nyata dan juga di dunia maya
saat ini telah diprediksi oleh Sri Aji Jayabaya, raja Kediri yang bertakhta
pada abad keduabelas masehi sebagai berikut:
Agama akeh sing nantang.
Prikamanungsan saya ilang.
Ora ngendahake hukum Tuhan.
Agama ditantang.
Akeh wong angkara murka.
Nggedhekake duraka.
Ukum agama dilanggar.
Kelak suatu agama tertentu akan
mendapatkan perlawanan dari berbagai jurusan dan terutama berasal dari umat beragama
lainnya. Jika telah terjadi perselisihan antarumat beragama akibat perbedaan
agama, maka tidak ada lagi sedikit pun rasa perikemanusiaan dalam diri /
kelompok kedua belah pihak yang tengah berselisih itu. Mereka yang sebenarnya
paham benar tentang ilmu agama itu, akan tetapi telah kehilangan rasa
perikemanusiaan kini tidak lagi mengindahkan hukum Tuhan dalam fatsal amal yang
baik akan mendapat balasan baik, demikian sebaliknya perbuatan jahat dengan
mengatasnamakan Tuhan kelak akan mendapat balasan setimpal.
Kelak suatu agama akan ditantang oleh terutama umat beragama lainnya
hanya dengan satu alasan yakni menganggap dirinya yang paling dekat di sisi
Tuhan.
Jika kaum beragama saja sudah sebagai
itu, lebih-lebih mereka yang pas-pasan dalam menguasai ilmu dan pengetahuan
agama, kejahatan dan angkara murka mereka semakin merajalela. Bukannya semakin
sadar dan tobat bahkan semakin merajalela perbuatan durhaka mereka selama hidup
di dunia. Mereka dengan tanpa tedeng aling-aling berani melanggar batas yang
cuma sedikit saja pengetahuan tentang hal itu.
-----------------
Rahasia Kraton Sri Aji Joyoboyo
mbah Subowo bin sukaris
Kraton atau pusat istana kerajaan
Kediri dengan rajanya yang terkenal karena terbukti kebenaran ramalannya, Sri
Aji Joyoboyo, merupakan misteri karena lokasinya belum ditemukan siapapun. Di
pusat kota Kediri di sisi timur sungai Brantas terdapat sebuah pasar
tradisional, Setono Bethek, istana bambu. Ada lagi Setono Gedhong, istana batu.
Tempat-tempat tersebut benarkah istana kerajaan Kediri di masa silam? Ada
sebuah nama lain di tepi Barat sungai Brantas yang menarik: Kota Lor, Kota
Kidul. Tampaknya memang di masa silam sebuah pelabuhan kuno?
Berabad-abad sosok menarik Sri Aji Joyoboyo dengan prediksi-prediksinya
yang sebagian orang, terutama penduduk di pulau Jawa percaya dan menganggap
bahwa ramalan itu telah terbukti kebenarannya, misalnya sosok kepemimpinan
Presiden Sukarno telah diramalkan beliau sebagai seorang putra dari ibu berasal
dari pulau Dewata; prediksi lain lagi masuknya balatentara Dai Nippon yang
seumur jagung itu diperkirakan 900 tahun silam sebagai si kate cebol kepalang,
dan seterusnya, maka kami coba sedikit membantu dengan tulisan kecil ini.
Pada sekitar 1135 maraklah raja Kediri
kelak kemudian menjadi raja besar Nusantara: Joyoboyo atau Jayabhaya.
Kekuasaannya berbasis di Kediri, Jatim, dan wilayah di bawah pengaruh
kekuasaannya mencakup seluruh Pulau Jawa (Java) ditambah Jambi, Tidore, dan
Kalimantan.
Kediri, kini yang kita kenal sebagai kotamadya, dulu merupakan pusat
pemerintahan sebuah kerajaan maritim Jawa yang berhasil mempersatukan sebagian
besar wilayah Nusantara, selalu mendapat serbuan dari berbagai pasukan asing:
pada 1007 Sriwijaya menyerbu kerajaan Medang Kamulan di Kediri untuk menggulingkan
prabu Dharmawangsa sebagai balasan atas serangan Medang terhadap kerajaan
Sriwijaya pada 990, Arok mengalahkan pasukan Kediri di Ganter 1221, selanjutnya
pada 1292 pasukan Mongol Kubilai Khan menyerbu dengan 1000 kapal yang berlayar
langsung dari Tiongkok untuk membalas dendam pada Sri Krtanegara. Apa lacur?
Oleh mantu raja Jawa (Krtanegara) tersebut, Raden Wijaya, pasukan Mongol
digiring dipersilahkan menggempur kraton Kediri Jayakatwang, sampai musnah. Dan
pada 1527 Brawijaya terakhir dari kerajaan Daha (Kediri) digempur oleh pasukan
Mataram Islam Trenggono. Terakhir pejuang nasional Trunojoyo berhasil
dikalahkan oleh Belanda di Kediri.
Pada masa pemerintahan Joyoboyo kekuatan militer pemerintah maritim
Kediri terletak pada angkatan lautnya yang kuat pada masanya sampai mampu
menjaga wilayah kerajaan di seberang pulau yang jauh dari pusat kekuasaan di
pedalaman Jawa bagian timur itu.
Kota Kediri yang kita kenal sekarang dibelah oleh sungai Brantas, sungai
itu lebarnya kurang lebih 1000 meter. Di masa silam, kapal-kapal perang dan
dagang diperkirakan bisa melayari sungai Brantas sepanjang aliran mulai dari
pelabuhan laut di Surabaya terus masuk ke pedalaman hingga merapat pusat kota
Kediri, sekarang lokasi pelabuhan di tepi sungai di Kediri itu diberi nama
pelabuhan Joyoboyo, lokasinya di daerah yang kini bernama Bandar Lor.
Satu kilometer ke barat sejak pelabuhan Kota atau pelabuhan Joyoboyo
tersebut terbentang jalan lurus menuju bukit Klotok (arti harfiahnya: kolo thok , banyak kolo, banyak penyakit).
Sebuah prasasti batu raksasa masih menjadi misteri asal-usulnya,
diperkirakan dibangun di masa jaman keemasan kerajaan Kediri, yaitu era
Joyoboyo. Prasasti berbentuk goa berukuran 3 x 10 meter itu diberi nama Mangleng
(artinya museum). Bangunan goa Mangleng atau Selomangleng, yang juga disebut
museum Joyoboyo yang didirikan sekitar tahun 1150-an pada masa Joyoboyo itu
letaknya cukup terlindung di antara bukit-bukit. Di sebelah depan (50 meter
(adalah bukit Mas Kumambang yang menurut penduduk setempat terkenal dengan
legenda maling sakti. Maling sakti yang hidup di masa kolonial Belanda itu
bernama Ki Boncolono bersama dua sahabatnya Tumenggung Poncolono dan Tumenggung
Mojoroto. Kuburan ketiganya berada di puncak bukit Mas Kumambang . Pemkot Kediri
telah membangun tangga cor menuju puncak Mas Kumambang.
Mengapa cuma membangun sebuah goa batu alam dibandingkan tigaratus tahun
sebelum itu telah berdiri Candi Borobudur yang megah di Jawa Tengah?
Diperkirakan Goa Selomangleng merupakan bagian dari bukit Mas Kumambang
(emas terapung), akan tetapi kemudian dipisahkan oleh jalan melingkari bukit
tersebut, sehingga goa itu bisa dicapai dari dua jurusan.
Jika kita mendaki bukit Klotok itu lurus saja tepat setelah menempuh
sekitar dua kilometer ke arah puncak bagian tengah, kita dapat menemukan dan
menemukan petilasan Dewi Kilisuci, tepat di sisi air terjun kecil mengalir ke
bawah, menjadi sungai kecil. Dewi Kilisuci merupakan salah seorang anak Prabu
Erlangga atau Airlangga yang bertakhta di Kediri pada 1035.
Petilasan Prabu Jayabaya yang dikenal sekarang di desa Mamenang atau
Pamenang kec. Pagu berada sekitar enam kilometer ke arah timur pusat kota
Kediri berada di kawasan kaki gunung Kelud.
Pusat kerajaan Kediri diperkirakan berada di sekitar Goa Selomangleng,
ada sebuah daerah Boto Lengket yang sekarang dijadikan markas Brigif (Brigade
Infantri) XVI. Di lokasi Boto Lengket dekat desa Bujel itu tanpa sengaja telah
ditemukan batu-batu bata berukuran besar terpendam dalam tanah yang mungkin
merupakan bekas bahan pondasi bangunan. Penemuan itu belum pernah
dipublikasikan, karena masih bersifat penemuan pribadi. Diperkirakan tepat di
markas Brigif XVI yang baru dibangun dalam dua tahun terakhir itulah letak
pusat Kerajaan Kediri di masa pemerintahan Prabu Sri Aji Joyoboyo.
Mengapa Brigif XVI Kediri berada secara kebetulan dibangun di sana? Dari
segi strategi perang, maka lokasi itu sangat strategis untuk bidang pertahanan
dari serangan musuh. Letaknya berada di antara bukit-bukit yang berhutan lebat
di masa lalu, cocok untuk berlindung sementara bila diserang musuh. Dan untuk
mengundurkan diri dari serangan besar-besaran dapat masuk hutan di kaki bukit
Klotok. Ditambah lagi pada masa silam, dari puncak bukit Mas Kumambang seorang
prajurit dapat mengawasi pelabuhan dan seluruh kota Kediri, sekaligus
memberikan sinyal kedatangan musuh yang menyerang dari sungai atau dari
daratan.
Memang benar-benar strategis tempat itu dalam strategi perang kuno.
Di sekitar daerah hipotesis kraton di bagian sebelah utara wilayah itu
terdapat sumber mata air yang sampai hari ini tidak pernah kering sekalipun
kemarau panjang.
Demi efektifnya roda pemerintahan maka lokasi kraton itu tidak begitu
jauh dari pelabuhan hipotesis Kota. Tatkala tamu kehormatan kerajaan datang
melalui sungai brantas, perjalanan tidak begitu jauh untuk sampai tujuan di
kraton Kediri.
Museum Airlangga di sisi selatan bukit Mas Kumambang yang dibangun oleh
Pemkot Kota Kediri letaknya persis di seberang Museum Joyoboyo yang dibangun
Prabu Joyoboyo, Goa Selomangleng. Goa Selomangleng selama ribuan tahun menjadi
prototipe rumah-rumah penduduk di tanah Jawa. Ada senthong kiri, ada senthong
kanan. Dan ada dua ruang tengah. Dalam tradisi Jawa senthong tengah tidak bisa
dihuni. Dan hanya dipergunakan untuk upacara tertentu atau menempatkan sesaji.
Goa Batu itu di dalamnya penuh dengan hiasan gambar-gambar dinding, dan
pada senthong kanan (dilihat dari luar goa) ada tempat pemujaan patung prabu
Airlangga penjelmaan Wishnu. yang masih mulus belum dirusak tangan jahil Pada
pintu masuk sebelah kiri ada penyambut berupa patung garuda tumpangan Sang
Prabu Erlangga yang rusak oleh tangan jahil.
Salah satu ramalan Joyoboyo, Ronggowarsito, dan uga Siliwangi yakni
menyangkut kemunculan ratu adil atau satrio piningit yang berwujud bocah angon
bertempat tinggal di tepi sungai, bukankah sampai sekarang masih misteri dan
juga nama sungai tersebut juga sebuah misteri. Akan tetapi diperkirakan sungai
yang dimaksud adalah sungai Brantas bila menurut ramalan itu sang ratu adil
muncul di Jawa Timur.
Sebagai sebuah hipotesis saat ini samar-samar sang ratu adil dengan
fitur-fitur tersebut memang sudah muncul bahkan mencalonkan diri sebagai orang
nomor satu di NKRI, akan tetapi belum berhasil terganjal hukum pemilihan calon
presiden. Satrio piningit itu mendapat dukungan kuat langsung maupun tak
langsung dari sebuah perusahaan raksasa G2 yang berada di tepi Sungai Brantas
kota Kediri, kantor pusatnya tepat di seberang pelabuhan wisata Joyoboyo.
Satrio Piningit calon ratu adil yang masih samar-samar itu berasal dari daerah
yang lokasinya tepat simetris di tengah dari ujung barat dan timur pulau Jawa.
Saat ini permunculan Satrio Piningit memimpin Nusantara memang belum
waktunya, momen itu akan datang jika telah terjadi goro-goro/huru-hara besar
terjadi pada kehendak tuhan; terpuruk usai akan terbentuklah tatanan dunia baru
berikut peran dan posisi Nusantara tertinggi di bumi selatan . Tatanan pemerintahan
baru di Nusantara kelak itulah yang dipimpin oleh Satrio Piningit, sang ratu
adil.
------------------
Misteri buku Pramoedya Ananta Toer
"Rumah Kaca"
by Subowo bin Sukaris
1988
"Bung, ada surat buat saya?"
Pramoedya langsung memasuki rumah di bilangan selatan Jakarta itu. Kebetulan
pintu depan rumah batu itu tidak terkunci.
Sang tuan rumah yang berusia enampuluhan itu berubah air mukanya. Ia
menempatkan suratkabar sore yang tengah dibacanya. "Duduk, bung!"
sambutnya dengan ramah.
"Ada surat untuk saya, bung?" sekali lagi ia bertanya kepada
tuan rumah.
"Oh, sebentar, bung." Tuan rumah tergopoh-gopoh membalik
tumpukan kertas-kertas yang berada di sebuah meja kecil yang diletakkan di
samping kursi lebar itu.
"Ini, bung," sambil menyodorkan setumpuk surat dalam amplop
yang belum dibuka. Berbagai ukuran pada tumpukan itu A4 dan ukuran lebih kecil
lainnya.
Pramoedya menggenggam surat itu dan menelitinya satu persatu alamat yang
tertera pada amplop. Ia menumpuknya kembali ke dalam genggamannya. Wajahnya
tampak agak lega, "Rumah Kaca, bung?"
"Kejaksaan Agung sudah melarang" Rumah Kaca ". Koran
Kompas kumuat besar-besar, bung. "
"Berapa oplaag yang tersisa?"
"Hampir 75 persen belum beredar, bung."
Pramoedya tersenyum kecut. Tuan rumah itu yang tak lain Bung Joesoef
kemudian menceritakan, "Hasjim sudah mengungsikan buku-buku sisanya itu ke
beberapa tempat."
"Ke mana, bung?" Pramoedya ingin tahu.
"Kedutaan asing, bung. Kedutaan Prancis, Belanda, dan sebagian ke
rumah diplomat Australia."
"Bung dipanggil ke Kejaksaan?" Yang dimaksud Pram adalah
gedung bundar yang terletak dekat Pasar Blok M.
"Hasjim, bung. Ia sudah datang ke gedung Bundar itu. Tak ada sangsi
lainnya, kecuali perintah penghentian peredaran 'Rumah Kaca'," sahut
Joesoef sesekali memperbaiki letak kacamata yang bertengger di wajahnya.
Beberapa bulan berlalu. Tahun
menginjak angka 1989
Senja hampir tiba dua jam lagi.
"Mana surat itu, Bung?" seperti biasa Pramoedya berhasil masuk
rumah di selatan Jakarta yang tidak terkunci pintunya itu.
Kali ini tuan rumah mengajak Pramoedya berpindah tempat duduk di depan
ruang itu. Sebuah ruang tamu menghampar dengan meja rendah dan tiga buah kursi
mengepung meja berbentuk bulat itu. Hampir semua perabotan itu terbuat dari
rotan besar, kokoh dan berukuran raja.
Pramoedya menyulut "warning" nya. Joesoef menyulut sebatang
Gudang Garam kretek merah. Asap segera saja memenuhi ruang itu. Lima menit
berlalu di meja telah teronggok dua cangkir kopi mengepul-ngepul. Pramoedya
tanpa dipersilahkan membaui cangkir itu, ia tidak langsung menyedot isi
cangkir. Ia tengah asyik menikmati asap tipis yang mengepul dari cangkir itu.
Kebiasaan lama menikmati kopi.
"Enak sekali, kopi bung," puji Pram.
"Ah, itu kopi Kapal Api biasa saja. Cuma yang istimewa takarannya,
itu yang berbeda, bung."
Pramoedya sejak tadi menunggu berita besar yang telah didengarnya
beberapa hari terakhir.
"Bung, ini surat yang datang dari PEN Amerika!"
Pramoedya tidak segera menggenggam surat yang disodorkan oleh Joesoef.
Kali ini ia merobek amplop itu dan membacanya.
Joesoef yang sejak tadi duduk di depannya sekilas menemukan perubahan
airmuka Pramoedya berubah menjadi cerah.
"Saya sekarang anggota PEN Amerika, bung." Pramoedya
memasukkan kembali surat itu ke dalam amplopnya.
Joesoef sejenak tersenyum, "Selamat, Bung."
Dengan keanggotaan itu maka Pramoedya telah menjadi manusia baru bukan
lagi kaum paria di era rezim orde baru ini. Menghadapi seorang Pramoedya
berarti berhadapan dengan dunia besar, dunia Barat. Soeharto akan berpikir dua
kali untuk bertindak semena-mena lagi terhadap Pramoedya Ananta Toer.
Mereka berdua berkonsultasi beberapa puluh menit di ruang tamu itu. Di
luar rumah teronggok mobil Pramoedya yang disopiri oleh seorang pria tua.
Tampaknya kerja besar menanti di depan Joesoef Isak. Kali ini Pramoedya
merencanakan mencetak ulang kembali buku-buku karya tahun limapuluhan, dan Joesoef
diserahi segala sesuatunya mulai membikin pengantar, membuat desain buku
berikut cover baru, dan sebagainya.
Pramoedya tidak pernah tahu Joesoef telah menyiapkan segala macam
peralatan untuk mengerjakan proyek Pramoedya itu. Mesin-mesin setting terbaru
"Apple" Mac, LaserWriter, telah dibelinya seharga puluhan ribu dollar
Amerika. Dan demi menjaga kesinambungan kerja, maka Pramoedya Ananta Toer tidak
perlu mengetahui keberadaan segala macam peralatan itu. Demikian pula dengan
Hasjim, ia juga tidak tahu apapun tentang apa yang telah dipersiapkan oleh
Joesoef, mengapa? Peralatan itu tentu saja tidak bisa tercium oleh antek-antek
orde baru, dengan demikian lebih baik tidak seorang pun pernah melihatnya.
-------------
Pengantar Filsafat Marxis
Materialisme Dialektika
Dari Penerbit
Awal 1980-an lahir kecenderungan di
kalangan intelektual muda kita untuk menemukan pemikiran alternatif sebagai
alat untuk menganalisis kenyataan sosial yang mereka hadapi saat itu, yaitu
pertumbuhan ekonomi yang tinggi sampai mendapat pujian mancanegara di satu
pihak dan di lain pihak semakin menjadi-jadinya ketimpangan sosial: yang kaya
semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Pisau analisis yang ampuh dan yang
dipercaya oleh para intelektual pendahulu mereka (Sukarno dan Moh.Hatta) adalah
Marxisme, dan bila pisau itu digunakan secara tepat, maka sebab-sebab
ketimpangan itu akan menjadi telanjang setelanjang-telanjangnya, dan akan
terbuka jalan keluar yang terang -benderang untuk mengatasinya
Bersamaan dengan itu, dari kalangan
muda klas buruh timbul keinginan untuk menyegarkan ilmu yang pernah mereka
pelajari dua dasawarsa sebelumnya untuk dijadikan senjata intelektual dalam melawan
penindasan berlapis yang juga mereka alami.
Kaum intelektual muda itu menyerbu
perpustakaan-perpustakaan, terutama di universitas-universitas, yang mereka
kira masih menyimpan buku-buku Marxisme. Namun, mereka tidak banyak menemukan
buku-buku yang mereka dambakan itu. Sebab, jauh sebelumnya, 1965-1966, Penguasa
yang menyebut dirinya Orde Baru telah melakukan kebiadaban intelektual, yaitu
menghancurkan, membakar dan kemudian melarang beredarnya buku-buku yang
mengandung ajaran Marxisme. Ratusan ribu buku dari berbagai judul, telah
menjadi abu akibat tindakan yang tidak beradab itu.
Penulis buku kecil ini, yang untuk
sementara namanya belum kita cantumkan dalam buku yang ditulisnya ini -
sekalipun sudah meninggal - mengerti benar klaim tujuan itu. Penulis telah
menggeluti proses belajar dan mengajar Marxisme, dan mengerti benar bahwa di
antara tiga bagian / komponen Marxisme (Filsafat, Ekonomi Politik dan
Sosialisme), maka filsafat Marxisme adalah bagian utama dan terpenting yang
mendasari ajaran-ajarannya yang lain.
Pengalamannya yang kaya dalam mengajar
filsafat Marxis yang dimulainya sejak di penjara Kalisosok (Surabaya) sebagai
tahanan Razia Agustus Sukiman, 1952, kepada para pemula setahanan sampai
pengalamannya memberikan kuliah-kuliah di berbagai Akademi di Jakarta, terutama
Akademi Ilmu Sosial "Aliarcham" telah membantunya menyusun buku kecil
ini dengan metode, sistematis dan penguraian yang tepat, sekalipun diketahui ia
hampir-hampir tidak memiliki perpustakaan pribadi untuk referensi-referensinya.
Tanpa mengurangi sifat ilmiahnya, Penulis memberikan contoh-contoh sederhana
dalam tiap tema yang diuraikannya, mulai dari Pengertian Filsafat, Masalah
Terpokok dalam Filsafat yang membaginya pada Dua Kubu - idealisme dan
materialisme - sampai ke pengertian Materi dan Bentuk-bentuk eksistensinya,
selanjutnya juga sampai ke Hukum Dialektika yang objektif dan Metode Dialektika
yang subjektif. Dengan demikian, apa yang semula dianggap rumit dan pelik
menjadi mudah ditanggapi dan dicerna. Hal itu juga disebabkan karena Penulis
memberikan arah yang jelas dan benar untuk apa belajar filsafat Marxisme, yaitu
bukan hanya untuk mengerti dan menafsirkan dunia, melainkan juga dan terutama
untuk mengubahnya.
Penulis tampaknya belum sempat
melengkapi Materialisme Dialektika ini dengan materialisme histori sebagai
bagian dari Materialisme Dialektika dan histori (mdh). Juga belum sempat
melengkapi dengan Epistemologi Marxisme (teori tentang metode atau dasar dan
sistematis pengetahuan Marxisme) yang juga merupakan bagian tidak terpisahkan
dari filsafat Marxis.
Sekalipun demikian, mempelajari
Materialisme Dialektika dan hukum-hukumnya yang terurai dalam buku kecil ini,
kiranya akan sangat membantu para pemula dalam mempelajari ajaran-ajaran
Marxisme lainnya.
" Lembaga Studi Demokrasi Baru
"menerbitkan buku kecil ini, terutama untuk kebutuhan internalnya di
samping untuk melestarikan karya tulis seseorang yang telah mengabdikan
hidupnya untuk pekerjaan revolusioner.
Redaksl Penerbit
-------------
Formasi Gugus Tempur Armada Kapal
Perang Angkatan Laut Majapahit
mbah sghriwo
Di jaman keemasan kerajaan Majapahit
pada abad keempatbelas masa Prabu Hayam Wuruk terdapat dua tokoh militer jenius
yakni Mahapatih Gajahmada dan Laksamana Mpu Nala. Laksamana Mpu Nala sebagai
Panglima Angkatan Laut Majapahit menempatkan gugus kapal perang berjumlah
beberapa puluh untuk menjaga lima titik penting perairan Nusantara. Armada
gugus pertama bertugas di sebelah barat pulau Sumatera sebagai gugus kapal
perang penjaga samudera Hindia di bawah pimpinan Laksamana yang berasal dari
Jawa Tengah; Armada gugus kedua kapal perang penjaga Laut Kidul atau sebelah
selatan Pulau Jawa di bawah pimpinan seorang Laksamana putra Bali. Armada gugus
ketiga bertugas menjaga perairan selat Makasar dan wilayah Ternate, Tidore, dan
Halmahera di bawah pimpinan seorang Laksamana putra Makasar. Armada gugus
keempat menjaga Selat Malaka dan Kepulauan Natuna di bawah pimpinan seorang
Laksamana dari Jawa Barat. Terakhir Armada gugus kelima menjaga Laut Jawa
hingga ke arah timur sampai kepulauan rempah-rempah Maluku, armada Jawa ini
mengibarkan bendera Majapahit di tambah lagi bendera emas simbol istana
Majapahit biasanya dipimpin oleh seorang Laksamana berasal dari Jawa Timur.
Setiap armada gugus kapal perang terdapat kapal bendera tempat kedudukan
pimpinan komando tertinggi bagi semua kapal penyerang, kapal perbekalan, dan
pelindung kapal bendera itu sendiri. Dari kelima armada Majapahit itu beban
berat ialah menjaga perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang penuh perompak
yang berpangkalan di sekitar wilayah Campa, Vietnam, dan Tiongkok. Armada
keempat yang menjaga Selat Malaka itu biasanya dibantu oleh armada pertama
penjaga Samudera Hindia jika perompak melarikan diri ke barat laut menyusuri
Selat Malaka. Begitu pula Armada Laut Selatan biasanya membantu Armada Jawa
dalam menjaga keamanan kapal-kapal dagang pembawa rempah-rempah yang melalui
Selat Sunda yang lebih aman menuju India dan Timur Tengah. Tugas lain armada Laut Kidul adalah menjaga
Selat Bali dan perairan selatan Nusa Tenggara, bahkan di sebelah selatan Pulau
Bali terdapat galangan kapal-kapal Majapahit yang cukup besar.
Armada Ketiga bertugas menjaga kapal penyusup dari wilayah Mindanao
Filipina sekaligus menjaga kepulauan rempah-rempah Maluku jika kekuatan Armada
Jawa sedang dipusatkan di perairan Jawa untuk mengawal sang Prabu Hayam Wuruk
berkunjung ke wilayah pesisir timur Pulau Jawa. Armada Jawa merupakan kekuatan
terbesar Armada gugus kapal perang Majapahit karena tugasnya paling berat
menjaga pusat kerajaan istana Majapahit sekaligus menguasai jalur laut menuju
kepulauan rempah-rempah Maluku yang berkedudukan langsung di bawah pemerintah
pusat Majapahit.
Setiap kapal perang Majapahit bersenjatakan meriam Jawa yang disebut
cetbang Majapahit. Pandai besi yang membuat meriam tersebut berada di
Blambangan. Cetbang Majapahit adalah karya penemuan Mahapatih Gajahmada yang
konon pernah diasuh oleh tentara Mongol atau Tartar yang menyerang kerajaan
Singosari dengan kekuatan seribu kapal.
Semua jenis kapal perang Majapahit mulai dari kapal perbekalan hingga
kapal bendera adalah kreasi jenius dari Mpu Nala yang sekaligus seorang
Laksamana Laut yang handal. Nala menciptakan kapal-kapal dari sejenis kayu
raksasa yang hanya tumbuh di sebuah pulau yang dirahasiakan. Pohon raksasa dan
cocok untuk dibuat kapal itulah yang membuat kapal-kapal Majapahit cukup besar
ukurannya di masa itu.
Setelah Gajahmada dan Mpu Nala wafat maka kekuatan Majapahit pun
berangsur lemah apalagi tatkala terjadi perang paregreg kapal-kapal Majapahit
saling serang satu sama lain dan kehancuran tak terelakkan lagi bagi seluruh
armada. Setelah Majapahit lemah hanya tersisa Armada Jawa yang menguasai
perairan Laut Jawa dan jalur laut menuju kepulauan rempah-rempah. Kemudian datanglah
bangsa kulit putih yang tujuan utamanya ialah menguasai daerah penghasil
rempah-rempah itu dengan modal kapal-kapal gesit dan lincah tidak terlalu besar
ukurannya dibanding kapal Majapahit akan tetapi kapal asing itu bersenjata
lebih unggul meriam yang bisa memuntahkan bola-bola besi dengan jarak tembak
lebih jauh daripada kemampuan jarak tembak cetbang Majapahit.
****
---------------
Anugerah Fukuoka
Sambutan Pramoedya Ananta Toer,
pemenang utama Fukuoka Asian Gultural
Prize 2000
Yang terhormat perwakilan Fukuoka,
Yang terhormat staf Pusat Kebudayaan
Jepang,
Yang terhormat seluruh dan semua
hadirin,
Yang terhormat wakil penerbit Hasta
Mitra.
Hari ini adalah haribesar yang ke
sekian kalinya bagi saya pribadi sehubungan dengan pengumuman resmi dan terbuka
tentang dianugerahkannya Grand Prize Fukuoka di bidang sastra kepada saya.
Terimakasih pada Dewan Juri Anugerah
Fukuoka dan warga Fukuoka yang ikut menentukan pilihan tersebut.
Grand Prize di bidang sastra! Justru
karena itu pada kesempatan ini saya tidak akan bicara tentang sastra. Grand
Prize sastra itu sendiri sedikit‑banyak sudah menerangkan bahwa di bidang
sastra sudah ada penilaian adanya titik final. Jadi pada kesempatan ini saya
akan bicara soal lain, soal perjalanan hidup saya pribadi dalam hubungannya
dengan Jepang.
Sudah sejak di SD saya mengenal Jepang
melalui kehidupan praktis. Saya mengenal Jepang dengan laku‑perbuatan yang
mengalahkan armada Rusia pada 1904, yang berakibat di Hindia Jepang diakui
sederajat dengan orang Eropa, dan pada gilirannya membangkitkan nasionalisme
Tiongkok. Kelanjutannya lagi: kebangkitan nasionalisme Indonesia.
Sebaliknya juga sesudah sejak di
sekolah dasar kami biasa mendengar ejekan tentang Jepang: tidak ada
originalitas, bangsa penjiplak Barat. Dan apa nyatanya? Waktu tahun 30an dunia
dilanda krisis, malaise, kata orang waktu itu, atau jaman meleset, orang-orang
pergerakan menamainya, Jepang justru mengeksport ke Indonesia bahan pakaian
yang terjangkau oleh lapisan rakyat bawah: 71/2
sen per elo, sedang bahan tekstil import dari Eropa, terutama Belanda:
23 sen per elo.
Kebangkitan Jepang di bidang industri
dengan mendasarkan pada kerajinan rumahtangga, dengan hasil gemilang telah
menarik perhatian para tokoh pergerakan Indonesia. E.F.E. Douwes Dekker, bapak
kepartaian Indonesia memerlukan berkunjung ke Jepang dan menyebarkan bahasa
Jepang melalui Ksatrian Instituut di Bandung. Juga Drs. M. Hatta yang di Jepang
malah mendapatkan gelar “Gandhi of Java”. Tokoh besar gerakan sosial, Dr.
Soetomo, di Jepang benar‑benar terpukau oleh kemajuan, yang dalam
kesederhanaannya mampu menandingi Barat di bidang apapun, sehingga ia terbitkan
rekaman kunjungannya ke Jepang.
Juga sejak di SD sudah saya ketahui
adanya sassus ramalan Jayabaya, bahwa penjajahan Belanda akan dihalau oleh
cebol (dibandingkan dengan postur orang Barat) berkulit kuning bermata sipit,
dan sassus itu tanpa memberi kemungkinan lain langsung menunjuk Jepang. Suatu
keberuntungan bahwa semasa di SD itu saya mendapat kesempatan membaca sendiri
kitab Jangka Jayabaya dalam bahasa Jawa, bahasa Jawa baru, yang tidak
menggunakan bahasa Jawa kuno sepatah kata pun. Padahal dalam matapelajaran
sejarah diterangkan bahwa Jayabaya, Raja Panjalu, memerintah dari tahun 1057‑1079
Saka atau 1135‑1157 Masehi. Didorong oleh harapan adanya pergantian kekuasaan,
orang cenderung mempercayai ramalan tersebut. Apalagi menurut ramalan tersebut
penguasa baru dari utara itu hanya seumur jagung atau tiga setengah bulan
memerintah.
Memasuki usia dewasa sekali lagi saya
mendapat keberuntungan membaca karya India tentang pembagian jaman dan ciri‑cirinya.
Nampaknya Jangka Jayabaya merupakan adaptasi belaka dari pikiran India ini. Dan
mengapa dipergunakan nama Jayabaya? Jawahannya mudah: Ia adalah raja dalam
sejarah Jawa yang terutama masyhur karena memerintahkan suatu kelompok penyair
untuk menyusun kakawin (syair) Bharatayudha, sedang penyelesaiannya dilakukan
oleh Mpu Sedah. Dalam sastra Jawa Bharatayudha, kisah perang terakhir dan
terbesar antara Pandawa dan Kurawa, terutama sebagai epos pewayangan.
Ternyata ramalan seumur jagung
kekuasaan Jepang bukan tiga setengah bulan tetapi tiga setengah tahun. Ramalan
tentang terhalaunya kekuasaan Belanda oleh Jepang dalam buku Jangka Jayabaya
ini kemudian saya anggap sebagai karya inteligen dalam membantu mempersiapkan
perang Asia Timur Raya atau Dai Tooa no Senso. Hanya suatu anggapan lho!
Tanpa disadari dunia pergerakan
Indonesia yang sudah jenuh dengan penjajahan Barat/Belanda, mulai memperhatikan
Jepang, apalagi setelah Jepang membuka tangannya menerima para pelajar
Indonesia. Dengan pecahnya Perang Pasifik atau Perang Asia Timur Raya suasana
politik di Indonesia berubah cepat. Orang melihat Jepang sebagai kekuatan baru
yang bakal menghalau penjajahan Barat dari bumi Indonesia. Dan itu bukanlah
tinggal jadi fantasi. Dengan perbuatan nyata Jepang memang menghalau penjajahan
Barat dari Asia Tenggara. Sebagian politisi meragukan kekuasaan Jepang akan
lebih baik daripada Barat. Dalam pembuangannya di Banda Neira Hatta memberi
pernyataan, lebih baik mati berdiri daripada di bawah Jepang. Sjahrir dalam
pembuangan yang sama juga mengeluarkan pernyataan senada itu. Juga Bung Karno
dalam pernyataannya di pembuangan di Bengkulu. Hatta dan Sjahrir kontan
dibebaskan dari Banda Neira dan dipindahkan ke Sukabumi, Jawa. Dan Bung Karno?
Kalau dia tidak, sergah Pemerintah Agung Hindia Belanda atau Raad van Indië.
Jadi balatentara Jepang yang menyerbu Sumatra, yang membebaskan Bung Karno dari
pembuangannya di Bengkulu, dan membawanya ke Jawa.
Sampai sekarang belum diketahui
perjanjian kerja sama antara Bung Karno dengan pemerintah pendudukan Jepang,
sedang kita tahu sebelum invasi Jepang Bung Karno juga anti militeris‑fasis
Jepang. Namun dari kenyataan yang hidup dapat diketahui, kerjasama itu
dipergunakan oleh Bung Karno untuk melancarkan pendidikan politik anti‑imperialisme
Barat pada rakyat Indonesia. Dan tanpa menyebut sumbernya ia kutip ramalan
masyhur itu: bahwa di mana matarantai imperialisme internasional itu putus, di
sanalah negeri jajahan itu bisa merdeka.
Memang banyak kerusakan akibat
pendudukan militer Jepang, karena semua negeri yang didudukinya diharuskan ikut
membiayai perangnya. Setiap ada rapat raksasa di Jakarta waktu Bung Karno
memberikan pendidikan politik saya selalu hadir. Kemudian ternyata pendidikan
politik itu memudahkan proses waktu matarantai imperialisme internasional putus
di Indonesia, dan pekik merdeka bergema‑gema di seluruh tanahair.
Menjelang kekalahan Jepang pihak
Jepang menjanjikan kemerdekaan pada Indonesia “di kelak kemudian hari” (ini
kata‑kata dalam bahasa Indonesia dari pihak Jepang sendiri). Banyak kaum
intelektual Indonesia angkat hidung secara sinis. Apa nyatanya kemudian? Pihak
Angkatan Laut Jepang, di sini diwakili oleh Laksamana Muda Maeda yang turun
tangan membuka jalan untuk terlaksananya pengucapan Proklamasi Kemerdekaan oleh
Soekarno‑Hatta.
Bukan sampai di situ saja perbuatan
nyata Jepang. Tiga bulan setelah Proklamasi Kaigun, Angkatan Laut Kerajan
Jepang menyerahkan persenjataan dengan langsung dan melalui pertempuran semu
kepada para pemuda di Surabaya sehingga memperlancar revolusi bersenjata
menghadapi imperialisme Belanda‑Inggris dengan tentara bayarannya Gurkha dan
Sikh. Selama kemerdekaan nasional kita Jepang praktis selalu mengulurkan tangan
untuk memberikan bantuan pada saat mengalami kesulitan, terutama dalam musibah
bencana alam.
Saya percaya hubungan antara Jepang
dan Indonesia dapat lebih mesra dan manusiawi sesuai dengan harkat kita semua
sebagai manusia.
Masih ada satu lagi tindakan nyata
Jepang semasa pendudukannya di Indonesia yakni pelarangan penggunaan bahasa
musuh‑musuhnya, Belanda dan Inggris. Untuk membantu menyediakan kata ganti dan
semua istilah di semua bidang bahasa Inggris dan Belanda Jepang membikin Komisi
Istilah yang memiliki kewibawaan dari payungan kekuasaan militer. Pada masa ini
bahasa Indonesia berkembang sesuai yang diharapkan, dan hanya selama pendudukan
militer Jepang. Begitu Jepang pergi bahasa Indonesia merosot kembali pada
keadaan tahun 20‑an dan 30‑an, dan begitu terus sampai sekarang. Praktis saya
memang ikut menghayati hubungan Jepang-Indonesia, kecuali yang berlangsung
dalam kurun 30 tahun awal abad 20.
Pada kesempatan ini saya perlu
menyatakan kegembiraan saya yang luarbiasa. Dan bukan tanpa alasan. Nasion dan
Negara Jepang terutama untuk saya pribadi adalah sumber inspirasi yang tak
kunjung kering. Laku, perbuatan, amal, yang jadi sumbernya. Karenanya Grand
Prize yang akan dianugerahkan oleh Fukuoka Asian Culture Prize Committee kepada
saya terasa sebagai anugerah yang pas, yang sewajarnya, seakan Jepang dan
Komite Fukuoka memahami pandangan saya, literer maupun politik.
Terimakasih.
Jakarta, 18 Juli 2000
-----------------
Mahbub Djunaidi Milik Kita Bersama
Oleh Umar Said
Saya mengunjungi rumah Mahbub Djunaidi
tahun l996, setahun setelah ia wafat, sesudah berpisah selama 31 tahun.
Pertemuan terakhir pada bulan-bulan sebelum terjadinya peristiwa G30S tahun
l965. Waktu itu saya bekerja sebagai pemimpin redaksi suratkabar harian Ekonomi
Nasional sejak tahun 1960, dan juga menjabat sebagai anggota pengurus
(bendahara) PWI Pusat. Sedangkan Mahbub sebagai pemimpin redaksi harian Duta
Masyarakat, juga terpilih dalam kongres PWI yang ke-11 (13-16 Agustus 1960 di
Jakarta) menjadi Ketua PWI Pusat, bersama-sama dengan Soepeno dan Suwarno.
Ketua Umumnya A. Karim DP dan Sekjennya Satya Graha.
Saya menginap di rumah Mahbub atas
desakan istri dan puteri pertama Mahbub. Keluarga ini telah menerima saya
dengan hangat, bahkan terasa "memanjakan" dengan pelayanan yang
mencerminkan kedekatan hati.
Sekedar diketahui, saya baru
menginjakkan lagi kaki saya di bumi tanah-air setelah meninggalkannya selama 31
tahun. Keluarga Mahbub tahu bahwa selama ini saya tidak bisa kembali ke
tanah-air, dan terpaksa bermukim di luarnegeri karena sebab-sebab politik.
Fairuz, puteri sulung Mahbub, pernah mengenal kehidupan saya ketika ia menginap
dalam waktu yang cukup lama di rumah kami di Paris. Apakah justru karena mereka
mengetahui itu semua, maka merasa dekat dengan saya?
"Hubungan Batin" Yang
Terjalin Kembali
Selama hidup di pengasingan (baik
selama di Tiongkok maupun di Prancis) hubungan saya dengan Mahbub dengan
sendirinya terputus dalam jangka lama. Hubungan langsung dengannya barulah bisa
dijalin kembali dalam tahun 1994 lewat tilpun dan beberapa pucuksurat. Tetapi,
melalui tulisan-tulisannya "Asal-Usul" yang sering sekali muncul
dalam harian Kompas, saya merasa masih ada hubungan batin dengannya.
Pembicaraan-pembicaraan kami selama
Fairuz tinggal di rumah kami di Parisseolah-olah merupakan potongan-potongan
yang. di sana-sini bisa menghubungkan kembali hubungan yang sudah lama putus.
Melalui cerita-ceritanya kami bisa mengetahui, sedikit, berbagai peristiwa yang
terjadi pada diri Mahbub, antara lain mengapa ia ditahan oleh militer Orde
Baru, mengapa ia tidak menjadi Ketua NU lagi, sikapnya yang tidak mau ikut
tenggelam dalam selokan kotor KKN yang merajalela waktu itu, soal sikapnya
terhadap teman-temannya yang menjadi Tapol dan ex-Tapol, soal sikapnya terhadap
Bung Karno dll.
Bisalah kiranya dikatakan bahwa
"hubungan batin" ini terasa menyambung kembali ketika saya tinggal
selama dua hari di rumahnya di Bandung dan bicara-bicara dengan keluarganya.
Berikut ini saya rasakan ketika istri dan putrinya menjamu saya di restoran
masakan Sunda yang khas, atau ketika mengatur acara wisata di Tangkuban Prahu
dan sumber air-panas. Atau, juga ketika putranya mengajak saya untuk menikmati
pemandangan kebun-kebun teh dan merasakan kesegaran air panas pemandian alam di
pegunungan-teh. Bagi saya, rasanya, semua itu telah dilakukan oleh keluarganya
"atas nama" Mahbub, atau "untuk" nya. Dan semua ini
memberikan sinyal bahwa keluarganya menerima saya sebagai salah satu di antara
begitu banyak sahabat Mahbub. Meskipun selama puluhan tahun saya sudah berpisah
dengannya, karena terpaksa bermukim di luarnegeri, gara-gara dimusuhi Orde
Baru.
Masuk Penjara Di Tahun 1978
Bagi saya pribadi, apa yang terjadi
pada diri Mahbub dalam tahun 1978 merupakan sesuatu yang memberikan tanda bahwa
ada perkembangan yang penting dalam perjalanan sejarah hidupnya. Di tahun
itulah ia dimasukkan dalam tahanan, atau dipenjara, oleh rezim militer Orde
Baru. Berita tentang ditahannya Mahbub ini saya baca di Paris, ketika saya
sudah bermukim sebagai "political refugee" (pengungsi politik) selama
4 tahun dan sedang bekerja sebagai pegawai di salah satu badan Kementerian
Pertanian Perancis.
Dari berita-berita yang disiarkan
dalam koran-koran Indonesia, Tidak bisa diketahui tentang latar-belakang yang
sebenarnya dan sebab-sebabnya mengapa ia dipenjarakan. Yang bisa kami baca di
Paris waktu itu adalah adanya suara-suara yang mulai makin kritis terhadap
pemerintahan Orde Baru. Suara kritis ini sudah terdengar sejak meletusnya
peristiwa Malari tahun 1974. Meskipun sekarang ini ada berbagai analisa tentang
meletusnya peristiwa Malari (antara lain: rekayasa atau "opsus" Ali
Murtopo, pertentangan antara Jenderal Sumitro dengan klik Soeharto yang lain,
manipulasi kekuatan mahasiswa oleh sebagian kekuatan Orde Baru dll) tetapi
jelaslah bahwa ada berbagai kelompok mahasiswa yang waktu itu sudah mulai
mempertanyakan akan kebenaran sistem politik Orde Baru. Korupsi yang makin
terlihat merajalela telah menjadi topik berbagai aksi mahasiswa waktu itu.
Apakah situasi yang demikian itu
merupakan faktor sehingga Mahbub mengambil sikap politik yang
"miring" terhadap Orde Baru, sehingga ia terpaksa harus mengalami
penahanan dalam penjara? Kelihatannya memang ya, demikian. Fairuz menceritakan
betapa gencarnya godaan-godaan yang harus dilawan oleh Mahbub waktu itu.Adayang
mengajaknya untuk "berbisnis", misalnya, dan antara lain, dalam
soal-mencetak dan distribusi kitab suci Alqur'an. Di Kementerian Agama ada
proyek-proyek "basah" yang bisa mendatangkan uang dengan gampang.
Sebagian teman-temannya ada yang sudah menempuh jalan itu, dan menjadi kaya.
Tetapi, rupanya Mahbub tidak mau terseret dalam kegiatan ilegal seperti itu. Ia
memilih jalan yang lain, yang halal dan sesuai dengan suara hati-nuraninya.
Agaknya, pandangannya yang makin kritis
terhadap Orde Baru itulah, maka ia kemudian dimusuhi. Di samping itu,
penahanannya dalam penjara telah makin memperkokoh keyakinannya bahwa demokrasi
harus diperjuangkan dan dibela. Sikapnya makin terasa menonjol, ketika ia mulai
menjadi penulis tetap untuk rubrik "Asal Usul" di Kompas, sejak akhir
tahun 1986.
Kerjasama Di Zaman "Nasakom"
Barangkali, tidak salahlah kalau
dikatakan bahwa Mahbub adalah seorang kader dan mantan pimpinan NU yang mencuat
di atas ukuran rata-rata. Kesan ini sudah saya peroleh sejak sebelum peristiwa
G30S pecah dan ketika kami masih sama-sama duduk dalam kepengurusan PWI-Pusat.
Bagi saya, ia adalah seorang kader NU yang pada umur sangat muda, sudah memikul
tugas penting bagi NU. Dalam usia yang belum mencapai 30 tahun ia sudah
menjabat sebagai pemimpin redaksi harian Duta Masyarakat, organ resmi NU, di
samping jabatannya yang lain dalam keluarga besar NU.
Dalam situasi politik yang cukup rumit
waktu itu, ia harus mengemudikan korannya di tengah-tengah prahara pertentangan
laten antara sebagian pimpinan TNI-AD dengan PKI dan Bung Karno, dan ketika
"perang dingin" makin memuncak di bidang internasional dengan makin
memanasnya situasi di Indocina. Selain itu, memimpin koran ketika berbagai
konsepsi Presiden Soekarno sedang diluncurkan (antara lain: konsep Nasakom,
Ganefo, Conefo) membutuhkan juga kebijaksanaan atau kearifan.
Pada umumnya, ketika kami bersama-sama
menjadi anggota pengurus PWI Pusat, ada saling pengertian dan kerjasama yang
cukup baik dalam menangani persoalan-persoalan yang timbul di tanah-air waktu
itu. Sebagai bendahara, saya memang setiap hari datang di kantor PWI Pusat (di
Jalan Jawa waktu itu). Mahbub datang kalau ada rapat-rapat pengurus pusat. Pada
kesempatan semacam itulah kami bisa berbincang-bincang tentang berbagai soal
dan berkelakar. Kadang-kadang, ia juga datang ke kantor Sekretariat Persatuan
Wartawan Asia-Afrika (PWAA), di Press House (Wisma Warta), di Jalan Thamrin,
sekarangmenjadi Plaza Indonesia. Karena, Sekretariat PWAA, juga sering
mengadakan pertemuan dengan para tokoh wartawanIndonesia. Saya juga menjabat
sebagai bendahara PWAA.
Mengenal Lebih Baik Pribadi Mahbub
Saya lebih mengenal pribadi Mahbub
ketika awal tahun 1965 Bung Karno mengadakan kunjungan kenegaraan ke Philipina
dan Kambodja, yang dilanjutkan dengan kunjungan tidak resmi ke Jepang. Untuk
kunjungan kenegaraan ini telah diajak sejumlah wartawan, antara lain Karim DP
dari Warta Bhakti, Suhardi dari SuluhIndonesia, Mahbub dan saya. Dalam
perjalanan kepresidenan ini saya sering tidur sekamar dengan Mahbub. Yang
sampai sekarang sangat efisien adalah ketika kami berada di Tokio. Karena
kunjungan ke Jepang waktu itu bersifat kunjungan tidak resmi, masing-masing
anggota rombongan bisa memiliki program yang santai. Saya dan Mahbub ditempatkan
di satu kamar di Hotel Teikoku (Hotel Imperial).
Selama beberapa hari itulah kami
berdua sering berjalan-jalan, termasuk membeli oleh-oleh untuk keluarga di
rumah. Menarik untuk dicatat di sini bahwa meskipun ikut dalam perjalanan
presiden ke luar negeri, para wartawan waktu itu hanya mendapat uang saku yang
tidak banyak. Demikian juga anggota-anggota rombongan lainnya.
Saya merasa lebih mengenal Mahbub
justru di Jepang. Karena banyak waktu senggang, terutama sore hari, maka kami
sering bicara dari "hati ke hati" tentang berbagai persoalan, baik
yang terkait dengan masalah politik, profesi jurnalistik maupun masalah yang bersifat
kehidupan pribadi. Masih sayaingat begaimana Mahbub menceritakan pengalamannya
keliling Amerika, ketika ia mendapat undangan untuk mempelajari berbagai aspek
pers Amerika. Ia menyebutkan judul buku-buku yang ia sukai. Dari situ saya
mendapat kesan bahwa ia memang suka membaca, dan memiliki pandangan yang cukup
luas mengenaiberbagai soal.
Tentu, kita bicara-bicara juga tentang
soal-soal yang lebih bersifat pribadi. Yang masih saya ingat adalah bagaimana
ia pernah terpesona melihat seorang gadis yang ikut dalam perlombaan membaca
Alqur'an di suatukota Bukan saja suaranya merdu dan cara membacanya indah,
tetapi wajahnya juga cantik. Ia juga bicara tentang gadis-gadis cantik yang
ikut dalam suatu grup kesenian qasidah. Sudah tentu, pembicaraan soal-soal itu
bertahan dengan gelak tertawa dan komentar-komentar yang biasa dilakukan oleh
banyak orang laki-laki. Wajar, kami adalah juga laki-laki seperti yang lain.
Pergaulan saya yang erat dengannya
selama mengikuti perjalanan Bung Karno itulah yang memberi kesempatan bagi saya
untuk mengenal Mahbub lebih baik. Terutama di Tokyolah saya
"menemukan" Mahbub. Pernah waktu itu hati saya berkata: "Kader
muda NU ini memang hebat". Waktu itu ia berusia sekitar 32 tahun,
sedangkan saya 37 tahun.
Meletusnya Peristiwa G30S
Sesudah G30S meletus maka putuslah
hubungan saya dengan Mahbub. Berita tentang terjadinya G30S saya dengar
dikotaAlger (ibukota Aljazair). Saya berkunjung ke Alger dengan tugas untuk
mengadakan persiapan-persiapan penyelenggaraan Konferensi Wartawan Asia Afrika
yang kedua dikota ini, sesuai dengan keputusan KWAA pertama di Jakarta (Tahun 1963). Kunjungan ke Alger ini saya
lakukan setelah kembali dari menghadiri konferensi-kerja International
Organisation of Journalists (IOJ) yang diadakan diSantiago (Ibukota Chili)
dalam paroh kedua bulan September 1965.
Ketika di Alger saya mendengar bahwa
suratkabar Ekonomi Nasional, Warta Bhakti, Harian Rakyat, Bintang Timur
dibredel oleh militer dalam minggu pertama bulan Oktober, maka saya memutuskan
untuk menggabungkan diri dalam delegasi PWI yang diundang ke Peking dalam
rangka perayaan hari nasional Tiongkok 1 Oktober. Delegasi itu dipimpin oleh
SUPENO (wakil-direktur Antara), yang seperti halnya Mahbub juga menjabat
sebagai Ketua PWI. Ternyatalah, kemudian, bahwa keputusan saya untuk menuju
kePekingitu adalah putusan yang tepat. Sebab, seandainya saya kembali
keJakarta, Pastilah saya akan ditangkap juga meski saya tidak tahu-menahu
dengan peristiwa G30S. Buktinya, begitu banyak orang yang tidak ada urusan apa pun
dengan G30S juga dihukum dalam jangka lama, tanpa salah apa pun dan juga tanpa
pemeriksaan di pengadilan.
Selama di Pekinglah kemudian saya
membaca berita bahwa dalam kongres PWI yang ke-12 (tanggal 4-7 November 1965)
di Jakarta, Mahbub telah terpilih sebagai ketua umumnya, sedangkan pemimpin
lainnya adalah M. Jusuf Sirath, Karna Radjasa, LE Manuhua dan sekjennya Yakob
Oetama. Manajer lainnya adalah Sutaryo, M Said Budairy sebagai wakil Sekjen dan
Moh. Nahar sebagai bendahara.
Dalam bulan-bulan pertama sesudah
terjadinya G30S, saya di Peking terus-menerus mengikuti perkembangan di
Indonesia secara teliti dan dengan prihatin. Penangkapan terhadap
wartawan-wartawan yang dianggap atau dituduh sebagai anggota PKI atau pro-PKI
makin banyak, baik diJakartamaupun di daerah-daerah. Demikian juga para aktivis
berbagai organisasimassa, Termasuk serikat buruh dan organisasi pegawai negeri.
Penguasa militer mengkontrol secara ketat seluruh media pers, radio dan
televisi. Berbagai peraturan untuk membatasi kebebasan pers telah diadakan.
Teror mental dan persekusi politik terus-menerus dilancarkan terhadap mereka
yang mendukung politik Presiden Sukarno.
Dalam situasi yang selalu
dibayang-bayangi kekuasaan militer itulah Mahbub memimpin asosiasi wartawan
seluruh Indonesia. Pasti, begitu besarnya tekanan dari fihak militer waktu itu,
terutama setelah keluarnya Supersemar dalam tahun 1966. Wajarlah Mahbub harus
mengadaptasikan dirinya, dengan situasi waktu itu. Saya dapat membayangkan
betapa beratnya untuk Mahbub menghadapi situasi yang demikian sulit.
Mahbub Memiliki Tempat Tersendiri
Begitulah, waktu pun berlalu terus. Di
Peking saya mendengar bahwa dalam kongresnya yang ke-14 yang diadakan
diPalembang(14-19 Oktober 1970), Mahbub sudah tidak dipilih lagi sebagai
ketuanya. Artinya, Mahbub telah memimpin PWI selamalima tahun, dari November
1965 sampai Oktober 1970. Dan sejak itu, saya tidak begitu sering lagi
menemukan namanya dalam persIndonesia. Apalagi, setelah Duta Masyarakat tidak
terbit lagi. Tetapi, ternyata kemudian, itu tidak berarti ia sudah
berpangku-tangan saja.
Berita-berita tentang Mahbub saya
dengar dari teman lama saya Jusuf Isak, yang datang ke Parisdalam tahun 1978,
sesudah ia keluar dari tahanan selama belasan tahun. Ketika bicara-bicara
tentang berbagai teman lama di kalangan wartawan, kami menyinggung juga nama
Mahbub. Dari pembicaraan inilah saya mendapat kesan bahwa Mahbub memiliki
"angka baik" untuk banyak teman, termasuk untuk orang-orang seperti
Jusuf Isak dan teman-temannya. Hal yang sama saya dengar juga dari Karna
Radjasa, yang bersama istrinya pernah singgah beberapa hari di Paris.
Bagi saya, bahwa teman-teman saya
terdekat memiliki penilaian yang baik terhadap Mahbub adalah ukuran yang
penting. Sebab, saya sudah lama meninggalkan tanah-air, dan karenanya tidak
bisa memiliki pengalaman langsung dengan berbagai realitas yang terjadi di
tanah-air sejak tahun 1965. Munculnya kekuasaan rezim militer Orde Baru telah
membikin jungkir-baliknya berbagai norma-norma, baik di bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan juga moral. Ini termanifestasi dalam merajalelanya
budaya KKN dalam masyarakat dan di segala bidang, dilecehkannya secara menyolok
hak-hak asasi manusia, dibunuhnya kehidupan demokratis, disalahgunakannya
kekuasaan secara sewenang-wenang, dan diabaikannya norma-norma hukum.
Di tengah-tengah situasi yang demikian
itu, dan yang bertahan begitu lama, terdengar adanya teman-teman atau
kontak-kontak saya yang "jatuh" di tengah jalan, atau
"luntur" yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang bisa masuk
akal dan wajar , mau pun yang tidak. Mengingat itu semua, maka, untuk saya
sosok Mahbub memiliki tempat tersendiri di antara jajaran sejumlah besar
teman-teman dan kontak saya.
Nilai Gus Dur Tentang Mahbub
Nilai positif yang diberikan
teman-teman saya tentang Mahbub makin efisien untuk saya oleh pembicaraan saya
dengan Gus Dur ketika ia berkunjung ke Prancis dalam tahun 1995. Bersama-sama
dengan sejumlah teman-temannya dari Indonesia (antara lain AS Hikam dan M.
Sobary), ia diundang menghadiri kongres suatu LSM Prancis yang besar, yaitu
Comité Catholique contre Faim et pour le Developpement (CCFD). Karena saya juga
diundang oleh LSM tersebut, maka selamalima hari saya bisa bertemu dengan Gus
Dur dan bicara tentang berbagai soal.
Pada suatu hari, pembicaraan kami
menyinggung juga Mahbub. Dari pembicaraan itulah saya mendapat kesan bahwa Gus
Dur memiliki penilaian yang tinggi terhadap pribadi dan apa yang telah
dikerjakan Mahbub. Ketika ia mengatakan bahwa sekembalinya dariParis, Ia akan
langsung menuju ke Bandung untuk hadir dalam upacara peringatan 40 hari
wafatnya Mahbub, maka saya minta kepadanya untuk menyampaikan salam saya kepada
keluarga Mahbub.
Selang beberapa waktu kemudian sajalah
saya mendengar bahwa sejumlah teman-teman lama saya, yang ikut hadir dalam
upacara itu, terkejut ketika Gus Dur telah menyampaikan terang-terangan di
depan banyak hadirin bahwa ada salam dari Umar Said yang tinggal di Paris. Bagi
saya, apa yang dilakukan Gus Dur itu sesuatu yang "berani". Sebab itu
terjadi dalam tahun 1995, ketika Orde Baru masih sangat berkuasa, sedangkan ia
tahu bahwa saya adalah orang yang termasuk dalam kategori "persona non
Grata" untuk Orde Baru. Selain itu, ini juga menunjukkan bahwa ia
menghargai persahabatan saya dengan Mahbub beserta keluarganya.
Upacara peringatan 40 hari wafatnya
Mahbub, yang dihadiri oleh banyak tokoh dari berbagai kalangan (termasuk
sejumlah ex-Tapol) menandakan betapa besar penghormatan yang diberikan
kepadanya. Harian Pikiran Rakyat (Bandung) Dalam penerbitannya tanggal 10
November 1995 memuat artikel yang panjang tentang peristiwa ini. Dalam artikel
itu disajikan isi pidato Said Budairy, KH.Yusuf Hasyim dan Gus Dur. Untuk
menunjukkan betapa besar penghargaan Gus Dur kepada Mahbub, berikut adalah
kutipan pidatonya yang diambil dari artikel tersebut.
"Mahbub Djunaidi merupakan tokoh
gerakan, pejuang ideologi, jurnalis, dan rekan bergaul yang kerapkali kocak
alias lucu. Asset perjuangan Mahbub terhadap bangsaIndonesiacukup banyak dan
tergolong besar. Dia memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan rakyat
kekinian dan di masa mendatang. Ketika di masa Orde Lama, Mahbub yang waktu itu
merupakan guru dan kakak saya di lingkungan anak-anak muda NU, sudah memikirkan
tentang suatu masa kelak. Waktu yang dipikirkannya dan dimaksudkan ternyata
menjadi kenyataan yakni Orde Baru. Mungkin, dan ini yang kita tidak tahu,
ketika beliau masih hidup di masa Orde Baru, tentu sudah memikirkan kelak akan
ada waktu lain di Indonesia. Bukankah Allah SWT akan mempergilirkan waktu
", kata Gus Dur.
Dengan tiadanya Mahbub Djunaidi,
menurut Gus Dur, bangsa Indonesiasebenarnya kehilangan salah satu putra
terbaiknya. Diharapkannya kelak akan lahir "Mahbub-Mahbub" yang baru
yang melanjutkan cita-cita dan perjuangannya. Karena itulah, sebenarnya penghargaan
yang wajar untuk Mahbub bukanlah sekedar piagam atau bintang jasa. Akan tetapi,
penghargaan dalam bentuk kesediaan segenap bangsaIndonesia melanjutkan
pemikiran, cita-cita dan perjuangan almarhum selama hidupnya.
"Memang, Mahbub hingga kini tidak
pernah menerima bintang jasa apa pun. Mungkin, ini karena kita merupakan suatu
bangsa yang tidak bisa dan tidak terbiasa menghargai para pahlawannya. Mahbub
sebenarnya layak dapat bintang. Sebagai tokoh jurnalis, dia cukup terkenal.
Bahkan selanjutnya menjadi tokoh PWI. Karenanya, kalau waktu itu Mahbub mau
ikut "bernyanyi" di masa awal Orde Baru, tentu dia bisa jadi Menpen.
Kapan dia jadi Menpen, insya'Allah, dia tidak akan terpeleset mengucapkan
sesuatu ", ujar Gus Dur.
Ketika orang-orang di negeri ini
berloba-lomba mencari dan mempertahankan hidup dengan "cari muka" dan
"berbuat tak karuan", ungkap Gus Dur, Mahbub justru menunjukkan
kepolosan dan usahanya meraih kemajuan dalam hidup dengan ketulusan dan
kejujuran. Banyak akses yang diupayakan Mahbub yang tergolong penting dan besar
bagi bangsaIndonesia (Kutipan habis).
Makna Corat-Coret Di Pavilyun
Mengingat apa yang sudah dilakukan
selama hidupnya, memang sudah sepatutnyalah bahwa Mahbub mendapat penghargaan.
Penghargaan ini sebagian tercermin dari begitu banyaknya pernyataan
bela-sungkawa ketika ia wafat, dan juga ketika dilangsungkan upacara peringatan
40 hari wafatnya. Dalam daftar ucapan terimakasih keluarga Mahbub kepada para
teman dan sahabat dekatnya bergabung lain:
Keluarga Besar Bung Karno dan Yayasan
Pendidikan Soekarno, Dr. Roeslan Abdulgani, Dr. KH Idham Chalid, Ali Sadikin,
Jakob Oetama, Adurrahman Wahid, Manager NU, Keluarga Besar GP Ansor, Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia, HMI, Ismail Hasan Metareum, DPP PPP, Megawati
Sukarnoputri, DPP PDI-P, Masyarakat Indonesia di Prancis, Majelis Mahasiswa di
Jerman, Perhimpunan Mahasiswa di Australia, PWI, Dewan Kesenian Jakarta,
Pramoedya Ananta Toer, Yusuf Isak, Hasyim Rahman, Oei Tjoe Tat, Agus Miftah.
(Mohon ma'af kepada nama-nama yang tidak tercantum dalam cuplikan ini. Pen.)
Sebagian kecil nama-nama tunggal dan
organisasi yang dicuplik pada itu saja sudah mencerminkan betapa luas spektrum
asal penghargaan untuk Mahbub atas jasa-jasanya. Alangkah berwarna-warninya
spektrum itu, dan alangkah jauhnya jangkauan arti yang dikandungnya. Spektrum
yang menjebol sekat-sekat dan lintas-agama, lintas-suku atau ras,
lintas-golongan, lintas-keyakinan politik atau ideologi. Inilah barangkali jiwa
yang "sebenarnya" Mahbub Djuanidi. Baginya, persahabatan yang tulus
bisa ditemukan di mana-mana, dan bahwa kebajikan bukanlah monopoli seseorang
atau satu golongan atau satu kelompok saja
Sebagai kader NU, ia telah berusaha
berbuat sebanyak-banyaknya, dan semampu mungkin untuk NU, untuk GP Ansor, untuk
PMII. Tetapi, dalam usahanya ini, ia tetap bisa menghargai pendapat kaum lain,
yang tidak sealiran agama, atau bahkan yang berbeda agama. Ia bisa bersahabat
dengan orang-orang yang dikategorikan "kiri", dan menghargai adanya perbedaan
antara sesama ummat.
Karena itulah saya menitikkan air-mata
ketika saya membaca corat-coret yang merupakan curahan hati para peserta
upacara bela-sungkawa atas wafatnya. Corat-coret ini telah dipajang di sebuah
lembaran besar yang terpancang di dinding sebuah ruang yang terletak di sebelah
rumahnya. Saya merasakan keharuan dalam hati, yang bercampur dengan kebanggaan,
ketika membaca berbagai corat-coret yang banyak itu. Di antara banyak coretan
itu ada yang berbunyi sebagai berikut:
"Demokrasi itu bisa dibunuh di
dalam lembaga demokrasi oleh para demokrat dengan cara-cara yang
demokratis", kata Mabub. (Tertanda: Zainudin)
Saya butuh orang sepertimu tetapi
susah dicari di zaman sekarang ini (tertanda: Barkorcam PDI Cibeuning Kidul)
Seorang teladan!! Yang berani berbeda
demi kebenaran (tertanda: Bantuan Lembaga HukumIndonesia - BLHI)
Indonesia telah kehilangan seorang
putra pembaru bangsa "Mahbub Djunaidi" (tertanda: PB PMII)
Entah berapa lama saya duduk di kursi,
termenung sambil menatap tulisan-tulisan yang banyak itu. Ketika saya keluar
dari ruang itu, dan Fairuz melihat air-mata saya, ia diam saja, tetapi
kelihatannya ia mengerti perasaan saya. Saya hanya mengatakan kepadanya,
"bapakmu orang baik!". Sebab, dengan kalimat yang begitu singkat itu
pun agaknya ia sudah mengerti apa yang saya maksudkan. Bagi saya,
coretan-coretan itulah tanda penghargaan yang sebenarnya dan setulus-tulusnya
yang diberikan oleh masyarakat luas. Curahan hati mereka itulah bintang jasa
yang asli dan murni, kepada seorang "pembaru bangsa"
Seandainya Mahbub Masih Hidup Sekarang
Ini ...
Tidak sulitlah kiranya untuk
menduga-duga bagaimana pandangan Mahbub, seandainya ia masih hidup, tentang
berbagai persoalan yang dihadapi oleh negara dan bangsa kita sekarang ini. Ia
dihukum oleh Orde Baru, tanpa alasan atau tuduhan yang jelas. Banyak orang,
termasuk keluarganya-bahkan mungkin ia sendiri - tidak tahu juga, apa latar
belakang yang sebenarnya maka ia sampai dipenjarakan. Yang sudah jelas
diketahuinya adalah bahwa pemenjaraan yang sewenang-wenang itu telah
mendatangkan penderitaan kepada seluruh keluarganya.
Mahbub telah ditahan oleh penguasa
militer tanpa dasar hukum yang jelas dan sah. Karenanya, ia tidak bisa diajukan
ke depan pengadilan. Seperti halnya banyak sekali Tapol yang lain, yang
akhirnya terpaksa dibebaskan.
Berdasarkan pengamatan terhadap sikap
hidup dan juga pandangannya tentang berbagai soal, maka tidak melesetlah
agaknya kalau kita perkirakan bahwa Mahbub sekarang ini akan berdiri di barisan
paling depan dalam memperjuangkan reformasi. Ia akan tegak berdiri sebagai
reformis yang tulus dan murni dalam membangkitkan dan memperbarui bangsa. Ia
akan tegas ikut berjuang aktif dalam melawan KKN dan kebobrokan moral yang
melanda negeri ini.
Seandainya ia masih hidup sekarang
ini, pastilah hati Mahbub akan geram melihat terjadinya perpecahan dan
permusuhan antara berbagai komponen bangsa. Pastilah ia tidak menyetujui sikap
sebagian kalangan atau kelompok Islam yang justru membikin citra Islam tidak
ramah, tidak toleran, picik, dan tidak berbudaya. Mahbub akan bergandengan
tangan erat dengan para aktivis pejuang hak asasi manusia, yang terdapat dalam
berbagai partai, LSM atau organisasimassa. Ia akan memberikan teladan bagaimana
seorang Muslim harus bersikap terhadap sesama ummat, terhadap negara dan
rakyat, dan terhadap ajaran-ajaran agama.
Buku Kumpulan Artikel "Asal
Usul"
Diterbitkannya buku (oleh Harian
KOMPAS) yang berisi kumpulan sebagian tulisan Mahbub merupakan inisiatif yang
penting untuk melestarikan karyanya, sebagai kontribusi seorang jurnalis, yang
sekaligus juga sastrawan dan politikus. Karya-karyanya ini merupakan asset
berharga bagi khazanah pustaka bangsa kita, yang disumbangkan oleh seorang
wartawan terkemuka, yang kebetulan juga tokoh muda Islam.
Buku setebal 397 halaman itu (yang
diterbitkan tahun 1996 dalam rangka memperingati 100 hari wafatnya) memuat 120
tulisan singkat-singkat, padat, ringan dan enak dibaca. Bukan itu saja.
Tulisan-tulisan itu secara jenaka, dan sering sekali dengan nada menyindir,
mempertanyakan hal-hal yang sebenarnya adalah soal-soal besar dan penting
mengenai kehidupan bangsa dan negara. Dengan lincah dan halus ia mempertanyakan
masalah demokrasi, HAM, korupsi, perilaku para pembesar, kebejatan moral,
kehidupan rakyat kecil, dan berbagai persoalan masyarakat lainnya.
Saya masih ingat bahwa dalam kehidupan
saya di Paris, setiap kali membaca tulisan-tulisannya di harian Kompas adalah
hiburan yang menyegarkan. (Harian Kompas bisa kami baca, waktu itu,
bersama-sama dengan teman-temanIndonesialainnya di Paris, dengan berlangganan
secara kolektif. Sebab, berlangganan koran lewat pos udara ongkosnya mahal
sekali. Karena itu kami urunan, dan membacanya secara bergiliran). Memang,
membaca tulisan Mahbub sering membutuhkan perenungan untuk benar-benar bisa
menghayati isi yang tersirat atau maksud yang tersembunyi di balik
kalimat-kalimat, yang terlihat sederhana atau polos-polos saja.
Mahbub menulis karya-karyanya itu
selama sembilan tahun, ketika Orde Baru masih berkuasa. Artinya, ketika
kebebasan menyatakan pendapat sedang dicekek, dan teror mental sedang merjalela
dalam segala bentuknya. Oleh karena itu wajarlah bahwa Mahbub harus menuangkan
hati dan pikirannya dengan cara-cara yang tidak langsung, dengan bahasa yang
tersamar, atau dengan cara halus. Ia terpaksa melakukan "sensor terhadap
diri sendiri", di samping ia memperhitungkan "sensor" yang
lain-lainnya. Justru dalam suasana kepengapan udara yang menyesakkan waktu
itulah maka tulisan-tulisannya lahir dan terasa enak dibaca.
Sekarang, rezim militer Orde Baru
sudah jatuh. Seandainya Mahbub masih hidup pastilah ia memanfaatkan era
kebebasan pers dan terbukanya ruang demokrasi untuk dengan gigih dan leluasa
mengembang-biakkan pemikiran-pemikirannya, tanpa membungkusnya dengan
tulisan-tulisan yang terkekang.
Mahbub, Sosok pembaru Bangsa
Menengok kembali apa yang telah
dilakukan oleh Mahbub saat hidupnya, tidak alahlah agaknya kalau dikatakan
bahwa ia merupakan salah seorang jurnalis, penulis dan politikus yang telah
menempati posisi yang istimewa di kalangan keluarga besar NU. Sepuluh tahun ia
memimpin harian Duta Masyarakat, tujuh tahun menjabat sebagai manajer PWI Pusat
(1963-1970), danlimatahun sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat (1973-1978).
Ia pernah ikut mangasuh PMII dan membuat nyanyian mars gerakan mahasiswa Islam
ini. Bertahun-tahun ia juga ikut menangani pengembangan Gerakan Pemuda Ansor,
bahkan juga membuat lirik lagu marsnya.
Jelaslah, Mahbub adalah asset berharga
yang pernah dimiliki oleh NU. Tetapi, berkat sikapnya atau pandangannya yang
luas, maka ia telah merajut persahabatan dengan banyak pihak di luar kalangan
NU. Banyak orang menemukan pada dirinya sosok seorang Muslim yang membawakan
kehangatan sesama manusia, dan toleransi yang mengandung rasa saling
menghargai. Ketika banyak orang masih takut berhubungan dengan para wartawan
ex-Tapol - atau bahkan memusuhi mereka - ia berani menggalang persahabatan
dengan mereka.
Ketika sebagian dari kalangan Islam
masih bisa dipengaruhi dan digunakan oleh rezim militer Orde Baru untuk
melanggengkan kekuasaan Soeharto dkk ia sudah mengambil sikapnya sendiri, dan
tidak mau diajak untuk ikut-ikut pada nama agama menginjak-injak ajaran agama,
dan ikut-ikut menjadi penyulut rasa permusuhan di antara berbagai komponen
bangsa. Dalam situasi politik yang sulit dan rumit di zamanOrde Baru, ia telah
menjadi panutan bagi banyak orang. Dengan cara-caranya sendiri, dan dalam
keterbatasan situasi politik waktu itu, Mahbub sudah tampil sebagai salah satu
di antara berbagai sosok pembangkit dan pembaru bangsa.
Karenanya, Mahbub Djunaidi bukanlah
hanya milik keluarga NU saja. Ia sudah menjadi milik kita bersama.
______________
(Penulis, lahir di Malang tahun 1928,
adalah sampai September 1965 pemimpin redaksi harian Ekonomi Nasional di
Jakarta, bendahara PWI Pusat periode kongres 1963, dan anggota sekretariat
Persatuan Wartawan Asia-Afrika. Sekarang tinggal di Paris.
---------------
Pidato Bung Njoto
Marxisme: Ilmu dan Amalnya
Kuliah di depan Universitas Rakjat,
Jember, Maret 1962
Membicarakan Sosialisme Indonesia
berarti membicarakan hari depan Revolusi Indonesia. Manifesto Politik RI
mengatakan dengan jelas; “hari depan Revolusi Indonesia bukanlah menuju ke
kapitalisme, dan sama sekali bukan menuju ke feodalisme… hari depan Revolusi
Indonesia adalah masyarakat adil dan makmur, atau … Sosialisme Indonesia”. Perumusan Manipol tentang hari depan revolusi ini hanya dapat dipahami
dengan tepat, bila orang memahami dengan tepat pula apa itu kapitalisme, apa
itu feodalisme, dan apa itu sosialisme. Hal ini perlu saya tekankan karena
sampai sekarang masih terlalu banyak orang yang menyatakan dirinya:
antikapitalisme, dan antifeodal, tetapi tidak tahu apa sesungguhnya kapitalisme
itu, juga tidak tahu apa sesungguhnya feodalisme itu. Begitu pun terlalu sering
masih orang-orang menamakan dirinya: prososialisme; tanpa mengetahui apa
sosialisme yang sebenarnya itu.
Apa akibat dari ketidakjelasan
soal-soal ini? Akibatnya bermacam-macam. Ada orang yang menganggap Uni Soviet
misalnya imperialis: “imperialis merah”; dan RRT juga imperialis: “imperialis kuning”;
padahal Uni Soviet dan RRT adalah jelas-jelas negara-negara yang bukan saja
antiimperialis, tetapi sudah sosialis. Sebaliknya ada orang-orang yang
menganggap, misalnya, Burma itu suatu negeri sosialis; hanya karena kaum
sosialis pernah memegang pemerintahan di sana, padahal Burma itu, tidak beda
dengan Indonesia. India dan banyak negeri lainnya, adalah negeri yang belum
merdeka penuh dan masih setengah feodal. Perkara Burma ini belum seberapa. Ada
malahan orang-orang yang mengira kerajaan Inggris itu negeri sosialis, juga
karena yang memerintah di sana pernah Labour Party yang sering disebut sebagai
partai sosialis itu. Lelucon ini jadinya tidak lucu lagi! Pertama, di manalah
di dunia ada kerajaan yang sosialis! Jika kerajaan-kerajaan pada sosialis,
Lenin dulu tak perlu repot-repot memimpin Revolusi 1917, sebab Rusia ketika itu
toh sudah Rusia Tsar, Rusia kerajaan … lagipula agak sukar membayangkan bahwa
seorang Elizabeth atau seorang Hirohito atau seorang Juliana bisa sosialis; …
Nederland juga pernah diperintah oleh Partij van der Arbeid, Partai sosialis.
Tetapi apakah dengan begitu Nederland jadi sosialis? Adalah pemerintah sosialis
Nederland itu yang di tahun 1947 melancarkan perang kolonial terhadap kita!
Seratus limabelas tahun yang lalu Karl
Marx dan Friedrich Engels menerangkan kepada kita supaya berhati-hati dengan
sosialisme, sebab, demikian Marx dan Engels, selain “sosialisme proletar”, juga
ada “sosialisme borjuis kecil”, “sosialisme borjuis” bahkan “sosialisme
feudal”. Dengan pengalaman Inggris dan Nederland di atas maka kita harus
menambahkan bahwa selain “sosialisme kerajaan” itu masih ada lagi “sosialisme
kolonial”! Macam lain dari kekisruhan mengenai sosialisme adalah kenyataan
bahwa ada orang-orang yang sendirinya seorang kapitalis tetapi memaklumkan diri
ke mana-mana sebagai orang antikapitalis. Kalau ditanya, “Lha saudara ini
apa?”, cepat-cepat dia menjawab: ”Saya kapitalis nonkapitalis” atau malahan,
ada yang bengal dengan mengatakan:”Saya kapitalis marhaen”, “Saya kapitalis
murba”, atau “Saya kapitalis jelata”. Sungguh kapitalis jenaka!
Ada kekisruhan macam lain lagi. Bulan
yang lalu pernah saya lihat di Jember sini semboyan yang mengatakan
seakan-akan;”ciri khusus landreform Indonesia adalah “nonkomunis” dan
“antikapitalis”. Perkara ”nonkomunis”
baiklah saya tidak beri komentar sekarang, karena komentar pun sebetulnya
berkelebihan. Cobalah kita camkan: landreform adalah redistribusi atau
pembagian kembali tanah dengan jalan memberikan milik individual kepada kaum
tani. Inilah landreform yang tepat, dan landreform ini disokong selain oleh
golongan-golongan lain, juga dan barangkali terutama oleh kaum komunis
Indonesia. Jadi soal non-atau tidak nonkomunis tidak menjadi soal sama sekali.
Sekarang, apakah landreform Indonesia itu benar harus antikapitalis? Dari
persoalan ini jelas bahwa masih ada orang yang tak tahu bedanya kapitalisme
dari feodalisme. Sasaran landreform adalah feodalisme, tuan-tuan tanah, dan
bukan kapitalisme! Tentu bagi kita ada persoalan menghapuskan sama sekali konsepsi-konsepsi
kolonial atas tanah, tetapi yang dipersoalkan oleh Undang-undang Pokok Agraria
adalah tanah-tanah kelebihan pada Tuan-tuan Tanah Bumiputera, Tuan-tuan Tanah
Feodal. Presiden Sukarno menerangkan di dalam; “Djarek” (Djalannya Revolusi);
bahwa landreform itu tujuannya; “mengakhiri pengisapan feudal secara
berangsur-angsur”.
Kita lihatlah betapa kisruhnya
soal-soal jadinya, jika pengertian-pengertian kapitalisme dan sosialisme tidak
jelas. Ada yang setuju dengan “sosialisme ilmiah”, ada yang tidak
menyetujuinya. Tetapi kita sudah sekali
hidup dalam abad ilmu, abad atom dan nuklir, sputnik dan kapal ruang angkasa, dan bukan lagi dalam
abad takhayul atau mistik. Kita menyuruh anak-anak kita pergi ke sekolah
menuntut ilmu, tidakkah aneh jika bapak-bapaknya menghindari ilmu? Juga
pengertian-pengertian harus ilmiah, termasuk pengertian-pengertian tentang
kapitalisme, feodalisme dan sosialisme.
Untuk menyebarkan ilmu secara populer
dan masal inilah saya kira salah satu tujuan utama UNRA (Universitas Rakyat).
Benar UNRA bukan suatu institut universiter, tetapi mutu ilmiah akan tetap
dijaga tinggi dalam UNRA dan tujuan mendekatkan ilmu kepada rakyat atau
mendekatkan rakyat kepada ilmu, kiranya adalah suatu tujuan ilmiah yang serasi
dengan denyut nadi jaman. Demikian pun tujuan meniadakan jurang antara teori
dan praktek, terutama teori revolusioner dan praktek revolusioner. Apakah
Sosialisme Indonesia itu dan bagaimana harusnya dia kita selenggarakan?
Saya ingin memulai dengan suatu logika
yang sederhana tetapi keras: Sosialisme adalah Sosialisme. Juga ini bukannya
tak ada gunanya saya tekankan, sebab ada yang mengartikan ;”Sosialisme
Indonesia”; itu hanya dari sudut kekhususan-kekhususan,
keistimewaan-keistimewaan, perlainan-perlainan, dan malahan
pertentangan-pertentangan dengan “sosialisme-sosialisme lain”.; Pembela-pembela
“sosialisme istimewa”; ini biasanya mengatakan: “Sosialisme Indonesia bukan
Sosialisme Soviet, bukan Sosialisme Tiongkok, bukan Sosialisme Kuba”; Saya cuma
khawatir jangan-jangan yang dimaksudkan oleh mereka adalah bahwa Sosialisme
Indonesia itu bukan …Sosialisme!
Kekhususan Sosialisme Indonesia tentu
saja ada, tetapi apakah ada kekhususan jika tak ada keumuman? Apakah ada yang
khusus jika tak ada yang umum? Kita ambilkan misal ini: “Simin manusia khusus”;
Tetapi setiap kita tahu bahwa tidak akan ada itu manusia Simin jika tak ada
manusia. Lagipula, sekalipun Simin itu manusia khusus, tetapi dia toh manusia
juga: kepalanya satu, tangannya dua, kakinya dua, melihat bukan dengan telinga
melainkan dengan mata, berpikir bukan dengan punggung melainkan dengan otak,
dsb. Sebab, sekiranya Simin itu berpikir tidak dengan otaknya, saya kira kita
tidak akan berkata “Simin itu manusia khusus”, melainkan Simin itu manusia
abnormal, atau bukan manusia sama sekali! Oleh sebab itu Sosialisme adalah
Sosialisme, Sosialisme Indonesia adalah Sosialisme Indonesia; dia bercorak
Indonesia, tetapi dia Sosialisme.
E. Utrech S.H., ketika sebagai sesama anggota Dewan Pertimbangan
Agung bersama-sama saya mengadakan indoktrinasi Manipol ke Nusa Tenggara,
merumuskan soalnya sebagai berikut:
”Sosialisme Indonesia adalah
sosialisme yang diindonesiakan, atau Indonesia
yang disosialiskan”; Saya kira
perumusan sarjana ini bukan perumusan seorang profesor linglung, melainkan
perumusan yang obyektif benar. Mari
yang terang, bahwa Sosialisme
Indonesia adalah;”sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang
terdapat di Indonesia, dengan alam Indonesia, dengan rakyat Indonesia, dengan
adat-istiadat, dengan psikologi dan kebudayaan rakyat Indonesia”. Kita
perhatikanlah: “sosialisme yang disesuaikan…” dsb., tetapi yang disesuaikan itu
adalah tetap sosialisme, dia harus tetap sosialisme. Saya ingin mengambil
contoh yang lain: apa misalnya yang kita sebut lukisan Indonesia tentang gunung
Himalaya? Saya kira, ini berarti sebuah lukisan gunung Himalaya yang dikerjakan
oleh seorang pelukis Indonesia, dan yang menggunakan gaya Indonesia, pengolahan
Indonesia, visi Indonesia. Tetapi saya kira seindonesia-indonesianya lukisan
Himalaya, dia tidak boleh menyulap bentuk Himalaya hingga menjadi seperti
gunung Argopuro atau Raung! Sosialisme adalah suatu susunan social atau sistem
masyarakat yang berdasarkan pemilikan bersama atas alat-alat produksi. Saya
minta perhatian: alat-alat produksi. Jadi, bukan atas meja-kursi, buku-buku,
tempat tidur, sepeda, dan sebagainya. Dalam sosialisme proses produksi
berlangsung secara sosial, demikian pun hasil-hasilnya dikenyam secara sosial.
Ini berarti bahwa sosialisme itu bukan kapitalisme yang produksinya berlangsung
social (kalau tidak ada kaum buruh yang banyak itu tidak akan ada produksi
kapitalis!) tetapi hasil-hasilnya masuk ke kantong si kapitalis saja,jadi
asosial.
Sosialisme tidak boleh disederhanakan
menjadi “sama rata sama rasa”, di mana orang yang bekerja berhak makan dan
orang yang tidak bekerja juga berhak makan, atau di mana si rajin mendapat
persis sama dengan si malas. Sebaliknya, dalam sosialisme hanya yang bekerjalah
yang berhak makan, sedang yang tidak bekerja tidak berhak atas makan. Begitu
pun, si malas tak akan mendapat sebanyak si rajin. Kian rajin akan kian
banyaklah pendapatannya.
Seperti dikatakan oleh Karl Marx:
“Dalam sosialisme manusia bekerja menurut kemampuannya dan mendapat menurut
prestasi atau hasil kerjanya” Pendeknya, sosialisme adalah masyarakat tanpa
exploitation de l’homme par l’homme, tanpa pengisapan oleh manusia atas
manusia, seperti berulang-ulang dinyatakan oleh Bung Karno. Demikianlah
sifat-sifat umum yang pokok dari sosialisme, juga dari Sosialisme Indonesia.
Bung Aidit sudah pernah memperingatkan: janganlah ”Sosialisme Indonesia”; itu
diartikan sosialisme;”yang begitu khususnya”, sehingga kata sifat “Indonesia”;
menjadi berarti;”dengan pengisapan oleh manusia atas manusia”, sehingga “Sosialisme
Indonesia”; berarti “sosialisme dengan pengisapan!”
Kalau ada “sosialisme dengan
pengisapan”, pastilah dia bukan sosialisme sama sekali, pastilah dia bukan
masyarakat yang adil dan makmur. Sebab, pengisapan itu bukan keadilan, dan
dengan pengisapan tidak mungkin ada kemakmuran. Maksud saya kemakmuran buat
semua, sebab, kemakmuran buat si pengisap tentu saja bisa.
Tamu-tamu dari Eropa, yang datang ke
Asia dengan berkunjung dulu ke India, baru ke Indonesia, banyak yang mengatakan
kepada saya:”Indonesia ini saya lihat relatif makmur”; “Makmur bagaimana?”;,
Tanya saya. Jawabnya;”Dibandingkan dengan India” Memang, saya sendiri sudah
tiga empat kali ke India. Orang mati menggeletak di pinggir jalan, yang di sini
hanya terdapat di jaman fasisme Jepang dan yang sesudah Republik merdeka
hampir-hampir tak pernah kita jumpai, di India sana masih gejala sehari-hari.
Toh P.M.Jawaharlal Nehru menamakan India itu suatu “negeri sosialis”. Ketika
saya tanya kepada teman India saya yang baik, Bupesh Gupta, “Sosialisme India
itu sosialisme macam apa?”, teman saya itu menjawab, “sosialisme dengan
kemiskinan”. Bahwa “sosialisme” itu tidak selalu sosialisme, dan bahwa ada
macam “sosialisme”; yang sesungguhnya bukan sosialisme, juga bisa kita saksikan
dari kejadian-kejadian beberapa waktu yang lalu di dunia Arab.
Presiden Gamal Abdel Nasser, seperti
diketahui, secara pandai telah memasukkan Suriah ke dalam gabungan dengan
Mesir, ke dalam “Republik Persatuan Arab”. Presiden Nasser memaklumkan bahwa
RPA adalah negeri “sosialis”; yang berasaskan “sosialisme á la Arab”. Beberapa
waktu kemudian, setelah rakyat Suriah, mulai buruhnya sampai burjuasinya,
mengalami apa artinya berada di dalam RPA, mereka memilih kembali jalan
menentukan nasib sendiri dengan merenggutkan diri dari Mesir dan mendirikan
kembali Suriah merdeka. Republik Suriah ini kemudian memaklumkan “sosialisme”;
juga: “sosialisme sejati”. Nah, kita
lihatlah, “sosialisme”, ditentang oleh “sosialisme”; “sosialisme á la Arab”,
ditentang oleh “sosialisme sejati”.
Di Indonesia ini ada yang mengira
bahwa sosialisme itu akan terselenggara jika kita melakukan
“indonesianisasi”. Ini jugalah
sebetulnya yang dilakukan oleh Mesir. Menurut Ali Sabri, menteri Mesir yang
tugasnya mendampingi presiden, di sana dilakukan apa yang disebutnya
“arabisasi” atau bahkan “mesirisasi”. Bahwa “indonesianisasi”, saja belum
berarti perbaikan, hal ini dapat diterangkan dari dua sudut. Pertama, siapa
yang mengadakan “indonesianisasi” itu;
Kedua, siapa orang-orang Indonesia yang ditugaskan menggantikan
kedudukan-kedudukan orang-orang asing. Pasal siapa yang menugaskan, juga siapa
yang ditugaskan ini, penting sekali.
Pada suatu hari diberitahukan kepada
anggota-anggota parlemen kita, bahwa pada tanggal sekian jam sekian akan datang
wakil-wakil dari BPM-Shell.Anggota-anggota parlemen sudah mengasah bahasa
Inggrisnya, tahu-tahu yang muncul orang-orang berkulit sawo matang, bermata
hitam, berambut hitam. Inilah “indonesianisasi” oleh BPM-Shell. Juga apabila
yang menugaskan “indonesianisasi”; itu pihak Indonesia, termasuk pemerintah
Indonesia, belumlah tentu bahwa yang ditugaskan dalam “indonesianisasi”; itu
orang-orang Indonesia yang patriotik dan cakap. Bukankah Presiden Sukarno
berkali-kali mencanangkan tentang masih adanya orang-orang “blandis”, orang-orang
yang hollands-denken, dan bukankah kita dalam masyarakat terkadang menjumpai
orang-orang yang bahkan merasa “lebih Belanda daripada si Belanda? Ya, jika
seandainya setiap “indonesianisasi”; sudah beres, tentulah Manipol tidak perlu
menggariskan keharusannya retooling, dan tentulah Resopim tidak perlu
menggariskan keharusannya membersihkan segala aparat dari
“pencoleng-pencoleng”. Sosialisme bukanlah suatu sistem ekonomi semata. Dia
suatu sistem sosial yang menyeluruh. Dia ya sistem ekonomi, ya sistem politik,
ya sistem kultural, ya malahan system militer.
Dalam pidatonya 1 Juni 1945, yaitu
“Lahirnja Pantja Sila” yang diucapkan tatkala kaum militer-fasis Jepang masih
di Indonesia sini, Bung Karno-ketika itu belum Presiden RI-antara lain berkata:
“Jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat
Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu
bukan saja persamaan politik … tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus
mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya”. Dalam
pidato itu juga yang sangat saya anjurkan untuk dipelajari sungguh-sungguh oleh
setiap manipolis, Bung Karno juga menganjurkan “cara yang tidak onverdraagzaam,
yaitu dengan cara yang berkebudayaan!”
Apakah hakikat sosialisme di lapangan
ekonomi, di lapangan politik kebudayaan?
Prinsip-prinsip sosialisme di lapangan
ekonomi sudah saya bentangkan tadi, sekalipun secara cekak-aos. Bagaimana bisa
ada “sosialisme”; yang pemilikan alat-alat produksinya tidak bersifat sosial,
sedang UUD’45 pun menggariskan pada pasal 33-nya: “Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh
negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya”. Kalau dalam UUD’45 sudah demikian, apa pula
dalam sosialisme nanti. Di lapangan politik sosialisme haruslah berarti
kekuasaan politik di tangan rakyat, dalam arti yang sesungguh-sungguhnya,
kedaulatan rakyat yang bukan hanya semboyan, tetapi kenyataan. Mayoritas
terbesar rakyat di negeri kita adalah kaum buruh dan kaum tani. Oleh sebab itu
wajarlah apabila mereka, kaum buruh dan kaum tani itu, yang harus mengurusi
dirinya sendiri dan mengurusi urusan-urusan kenegaraan umumnya. Jika tidak ada
ini, maka pastilah akan terjadi apa yang dikatakan Jean Jaures seperti yang
dikutip oleh Bung Karno dalam pidato “Lahirnja Pantja Sila”,yaitu: “Wakil kaum
buruh yang mempunyai hak politik itu di dalam parlemen dapat menjatuhkan
minister. Ia seperti raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam
pabrik, sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilemparkan ke jalan
raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa”. Jika seperti yang
dikatakan Jean Jaures dan Bung Karno ini masih terjadi, itu tandanya masyarakat
masih berada dalam susunan kapitalis, betapa pun demokratisnya, dan belum
berada dalam susunan sosialis! Manipol pun sudah menetapkan bahwa “Revolusi
Indonesia harus mendirikan kekuasaan gotong royong, kekuasaan demokratis yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, yang menjamin terkonsentrasinya seluruh
kekuatan nasional, seluruh kekuatan rakyat”. Dalam mendefinisikan “seluruh
kekuatan nasional” ini Manipol mengatakan: “
“Seluruh rakyat Indonesia dengan kaum
buruh dan kaum tani sebagai
kekuatan pokoknya. Jadi: kekuasaan
gotong-royong… yang menjamin
terkonsentrasikannya seluruh kekuatan
nasional, seluruh kekuatan rakyat…dengan kaum buruh dan kaum tani sebagai kekuatan pokoknya.”
Argumentasi bagi garis Manipol ini
bahkan sudah diberikan Bung Karno tujuhbelas tahun yang lalu dalam pidato yang
saya tak jemu-jemu menyebutkannya, yaitu “Lahirnja Pantja Sila”, yang antara
lain berbunyi: “Jikalau saya peras yang lima (Pancasila) menjadi tiga, dan tiga
menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu
perkataan ‘gotong royong.’ Negara
Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya!
Negara Gotong Royong!”. Demikianlah Bung
Karno merumuskan cita-citanya. Tidaklah perlu saya berikan redenasinya,
tentulah Sosialisme Indonesia di lapangan politik sedikitnya harus menjalankan
asas Sukarno tentang kenegaraan ini.
Bagaimana Sosialisme Indonesia di
lapangan kebudayaan? Ketika pemuda-pemuda revolusioner yang bekerja ilegal di
jaman Jepang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia mendatangi Sutan Sjahrir di
hari-hari Agustus 1945, Sjahrir mengatakan bahwa Indonesia “belum matang” buat
merdeka, bahwa “paling sedikit dibutuhkan lima tahun sampai rakyat Indonesia
bisa merdeka”. Melihat keadaan yang
belum baik sekarang ini, mungkin ada orang yang akan berkata, “Kalau begitu
Sjahrir betul juga – sudah enambelas tahun lebih kita merdeka, kita belum bisa
membereskan ekonomi dan soal-soal lain”.
Pikiran begini adalah pikiran berbahaya sekali! Sebelum kita bicarakan
ekonomi beres atau tidak beres, pertama-tama dan di atas segala-galanya harus
kita persoalkan: kalau Proklamasi 17 Agustus 1945 ditunda apakah sekarang ini
akan ada Republik Indonesia! Saya tak tahu apa akan jadinya Indonesia ini dalam
hal begitu, tetapi kalau pun tidak Jepang atau Belanda menjajah kita kembali,
maka imperialis-imperialis lain seperti Inggris,Amerika, Pernacis, Belgia,
Portugal dan Jerman Barat, kalau tidak salah satu dari mereka menjajah kita,
semuanya menjajah kita bersama-sama. Sehingga, Indonesia ini merupakan suatu
polikoloni, menjadi ajang penjajahan kolektif oleh kaum imperialis, mungkin
langsung, mungkin pula
dengan bendera PBB seperti halnya di
Korea Selatan atau Kongo sekarang. Bung Karno, dalam pidatonya —ijinkanlah saya mengutipnya lagi “Lahirnja
Pantja Sila”; berkata: “Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet Rusia
Merdeka, telah mempunyai Dnieprpetrovsk, dam yang mahabesar di sungai Dniepr?
Apa ia telah mempunyai redio-stasion, yang menyundul angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api
cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada
waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis?
Tidak, tuan-tuan yang terhormat!
Di seberang jembatan emas yang
diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-stasion, baru
mengadakan sekolahan, baru mengadakan creche, baru mengadakan Dnieprpetrovsk!
Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan
gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus
selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka… apakah
saudara-saudara (sekarang) akan menolak serta berkata; “Mangke rumiyin, tunggu
dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara
Indonesia Merdeka.!. Dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat kita,
walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat
kita untuk menghiilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di
dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di
dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya”. Demikianlah Bung Karno tujuhbelas tahun yang
lalu.
Sekarang, sudah ada plan buat
memberantas butahuruf sampai tahun 1964, dan Manipol pun mengatakan bahwa “kita
bergerak tidak karena ‘ideal’ saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan,
ingin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan, ingin cukup
pendidikan, ingin cukup meminum seni dan kultur - pendek kata kita bergerak
karena ingin perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagiannya dan
cabang-cabangnya”. Dan saya kira Presiden Sukarno tidak salah, bila beliau
berkata kemudian dalam Manipol itu pula bahwa “perbaikan nasib ini hanyalah
bisa datang seratus prosen, bilamana masyarakat sudah tidak ada lagi
kapitalisme dan imperialisme”, jadi, bilamana sudah terselenggara masyarakat
sosialis.
Demikianlah “sosialisme”; yang
disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, ”itu tidak
mungkin berarti diingkarinya ciri-ciri umum sosialisme, seperti penghapusan
pengisapan oleh manusia atas manusia, perbaikan nasib… 100% dsb. Mengingkari
sifat-sifat khusus Sosialisme Indonesia
berarti bahwa ia bukan sesuatu yang bersifat Indonesia; mengingkari sifat-sifat
umum Sosialisme Indonesia berarti, bahwa ia bukan sosialisme sama sekali.
Kekhususannya harus diintroduksikan, tetapi
keumuannya harus dipertahankan.
Beginilah dan hanya beginilah kita bisa berbicara tentang Sosialisme Indonesia.
Apakah sosialisme sebagai perspektif
Revolusi Indonesia itu terjamin akan tercapai? Ketua CC PKI dan Ketua Dewan
Kurator UNRA, Bung Aidit, menerangkan bahwa perspektif Revolusi Indonesia tak
mungkin lain daripada Sosialisme, “karena Revolusi Indonesia pada tingkat
sekarang adalah ditandai oleh kebangunan sosialisme dunia dan kehancuran
kapitalisme dunia”. Ini dinyatakan Bung Aidit dalam bukunya Masjarakat
Indonesia dan Revolusi Indonesia (MIRI), yang oleh ahli sejarah dan Kepala
Arsip Negara, Drs. Moh. Ali dinamakan suatu buku sejarah modern Indonesia “yang
tegas”. Tentang jaminan akan tercapainya
perspektif
revolusi itu, Bung Aidit dalam bukunya
tersebut menunjukkan, bahwa benar Revolusi Nasional-Demokratis akan
menyingkirkan perintang-perintang bagi perkembangan kapitalisme, benar
kapitalisme nasional sampai batas-batas tertentu akan berkembang, tetapi ini
hanya satu segi dari masalahnya, sedang segi lainnya adalah bahwa akan ada juga
“perkembangan faktor-faktor sosialis seperti pengaruh politik proletariat yang
makin lama makin diakui kaum tani, intelegensia dan elemen-elemen burjuasi
kecil lainnya; perusahaan-perusahaan negara dan koperasi-koperasi kaum tani,
kaum kerajinan tangan, nelayan dan koperasi-koperasi rakyat pekerja lainnya.
Semua ini adalah faktor-faktor
sosialis yang menjadi jaminan bahwa hari depan Revolusi Indonesia adalah
Sosialisme dan bukan Kapitalisme.
”Bagaimana sekarang menyelenggarakan
sebaik-baiknya Sosialisme Indonesia itu?”. Dalam “Amanat Presiden tentang
Pembangunan Semesta Berentjana,”, yang berarti juga “Djarek”; dan “Membangun
Dunia Kembali”, oleh MPRS telah disahkan sebagai pedoman pelaksanaan Manipol,
Presiden Sukarno dengan keras mengritik di satu pihak golongan “evolusionis”,
karena “teori yang demikian itu adalah salah”, dan pihak lain golongan
“melompat”; atau “fasensprong”; karena
“teori yang demikian itu pun tidak benar”.
Saya menyokong kritik terhadap di satu pihak “evolusionisme”; dan di
pihak lain “fasensprong” ini, karena yang pertama akan berarti penyelewengan ke
kanan, oportunisme kanan atau reformisme, sedang yang kedua akan berarti
penyelewengan ke kiri, oportunisme kiri atau radikalisme. Baik yang pertama
maupun yang kedua akan membikin perjuangan mandek di jalan, sosialisme tidak
tercapai dan revolusi gagal. “Evolusionisme”; berarti tidak mengganti
sarana-sarana lama dengan sarana-sarana baru, berarti tidak menjebol kekuasaan
lama dan mendirikan yang baru, berarti “sumonggo dawuh dan monggo kerso serta
sendiko dalem alias menyerah-isme”. Perjuangan harus revolusioner, dan tidak
evolusioner,tidak reformis
“Fasensprong”; berarti melompati apa yang tidak boleh dilompati, yaitu
fase revolusi nasional-demokratis, berarti memimpikan yang tidak-tidak, berarti
antirealis, alias avonturisme.
Perjuangan harus obyektif dan tidak
subyektif, tidak acak-acakan atau awur-awuran. Kita sekarang berada dalam fase
revolusi nasional dan demokratis, artinya, revolusi melawan imperialisme dan
melawan feodalisme. Fase revolusi ini tidak boleh kita takuti, dia harus kita
tempuh. Perincian “Djarek” menegaskan: “Jelaslah, ada dua tujuan dan dua tahap
Revolusi Indonesia: Pertama, tahap
mencapai Indonesia yang merdeka penuh, bersih dari imperialisme-dan yang
demokratis-bersih dari sisa-sisa feodalisme. Tahap ini masih harus
diselesaikan… Kedua, tahap mencapai Indonesia ber-Sosialisme Indonesia, bersih
dari kapitalisme dan dari exploitation del’homme par l’homme. Tahap ini hanya
bisa dilaksanakan dengan sempurna setelah tahap pertama sudah diselesaikan
seluruhnya. “Bisakah dipikirkan perumusan yang lebih gamblang daripada ini?
Baiklah saya bahas tahap pertama, yang di satu pihak tak boleh ditakuti dan di
pihak lain tak boleh dilompati itu. Mengapa sasaran revolusi kita sekarang
imperialisme dan feodalisme? Ini mudah dipahami jika orang suka mengingat bahwa
20% dari wilayah tercinta kita, yaitu Irian Barat, masih diduduki kaum
imperialis. Juga jika diingat bahwa sebagian penting dari perekonomian kita,
terutama minyak, masih dikuasai oleh kapital imperialis BPM-Shell, Stanvac dan
Caltex. Andaikata kapital imperialis sudah tidak ada lagi di Indonesia,
tentulah Manipol tidak mengancam “semua modal Belanda, termasuk yang berada dalam
perusahaan-perusahaan campuran, akan habis tamat riwayatnya sama sekali di bumi
Indonesia”. Andaikata kapital imperialis
sudah tidak ada lagi di Indonesia, tentulah Manipol tidak mengancam modal
monopoli asing yang bukan Belanda akan diperlakukan “sama dengan modal yang
asalnya dari negeri Belanda”; artinya juga dibikin “habis tamat riwayatnya sama
sekali di bumi Indonesia. “Antievolusionisme” berarti harus melaksanakan
ketentuan Manipol ini. Jika sebaliknya, jika ketentuan-ketentuan Manipol ini
tidak dijalankan dan jika kita tidak membikin habis tamat riwayatnya kapital
imperialisme asing di bumi Indonesia, maka kita sesungguhnya-sadar ataupun tak
sadar-menjalankan evolusionisme, menjalankan reformisme atau oportunisme kanan,
kita sesungguhnya menjadi takut kepada kemenangan revolusi!
Demikian yang mengenai imperialisme.
Yang mengenai feodalisme pun demikian pula. Andaikata feodalisme sudah habis,
tentulah tidak ada perlunya dibikin Undang-undang Bagi Hasil dan Undang-undang
Pokok Agraria atau Undang-undang Landreform. Ya, andaikata feodalisme sudah
habis, tentulah “Djarek” tidak menegaskan bahwa “Revolusi Indonesia tanpa
landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon
tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi“, tentulah “Djarek” tidak
menegaskan bahwa ”melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian
mutlak dari Revolusi Indonesia, dan tentulah “Djarek” tidak menegaskan bahwa
“tanah tidak boleh menjadi alat pengisap”; “Djarek” tidak hanya berhenti di
sini. Seakan-akan khawatir kalau politik landreformnya tidak akan dituruti oleh
golongan-golongan tertentu, maka Presiden Sukarno dalam “Djarek” itu juga menegaskan: ”Gembar-gembor tentang
Revolusi, Sosialisme Indonesia, Masyarakat Adil dan Makmur, Amanat Penderitaan
Rakyat, tanpa melaksanakan landreform, adalah gembar-gembornya tukang penjual
obat di Pasar Tanah Abang atau di Pasar Senen”! Jelaslah, bahwa
antievolusionisme harus berarti setuju dan melaksanakan landreform. Jika tidak
setuju, dan tidak menjalankan landreform, maka disadari atau tidak orang sudah
menjalani evolusionisme, reformisme atau oportunisme kanan, orang sudah takut
kepada kemenangan revolusi. Pendeknya kita harus awas-awas terhadap orang-orang
yang “revolusi yes, landreform no”, atau “revolusi okay”, “menghabisi riwayat kapitalis
imperialis tunggu dulu”. Di Sumatera Utara agak sering terjadi orang-orang
berangkat ke luar negeri, pulang memakai jubah dan kupiah haji, padahal dia
tidak ke Mekkah, cuma ke Singapura… inilah yang di Medan disebut “lebai
Singapura”-mereka lebai-lebai palsu. Begitulah tidak semua orang yang menyebut
dirinya “revolusioner” adalah sesungguhnya revolusioner, ada juga revolusioner
palsu, ada revolusioner gadungan!
Saya sudah menguraikan perkara
“evolusionisme”; di dalam praktek. Bagaimana “fasensprong”; di dalam praktek?
Fasensprong tidak mau tahu akan revolusi nasional dan demokratis. Fasensprong
mau langsung ke sosialisme, sekalipun syarat-syarat untuknya belum tersedia.
Fasensprong mengobrak-abrik pengusaha-pengusaha nasional dan pengusaha-pengusaha
kecil, tetapi membiarkan pengusaha-pengusaha imperialis seperti BPM-Shell,
Stanvac, Caltex dan Unilever. Mereka lebih hebat daripada “sosialisme dengan
kemiskinan”; - mereka mau “sosialisme dengan imperialisme”! Terhadap masalah
tanah, fasensprong tak mau ambil perduli terhadap
perlunya pemilikan perseorangan oleh
kaum tani atas tanah: mereka mau langsung
“pengkoperasian” pertanian, atau
yang tak kalah seringnya, mereka mau “menasionalisasi tanah-tanah”. Jelaslah,
bahwa fasensprong sebetulnya tak lain daripada sabotase terhadap revolusi.
Bagaimana hubungannya antara tingkat
revolusi yang pertama dengan tingkat yang kedua? Bung Aidit dalam karyanya
Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia menulis bahwa; ”Dua tingkat
revolusi, yang demokratis dan yang sosialis (adalah) dua proses revolusioner
yang berbeda dalam watak, tetapi yang satu dengan yang lainnya berhubungan.
Tingkat pertama ialah persiapan yang diperlukan untuk tingkat kedua, dan
tingkat kedua tidak mungkin sebelum tingkat pertama selesai”. Menyelesaikan
“tingkat pertama”; bukan hanya berarti menyelesaikan tugas-tugas ekonominya
yang pokok-pokok, terutama terhadap kapital imperialis dan monopoli tuan tanah
atas tanah. Menyelesaikan “tingkat pertama”; harus berarti juga dikerjakannya
hal-hal yang mendesak sekali seperti mempraktekkan dan bukan hanya menyerukan
semboyan “merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional”. Jika penghasilan negara terutama didapat dari
pajak-pajak, langsung maupun tak langsung, jika pajak-pajak yang sudah ada
dinaikkan dan pajak-pajak baru diadakan, dan jika tarif-tarif transpor,
telekomunikasi dsb. dinaikan, juga jika harga minyak, gula, dan lain-lainnya
dinaikkan, dan jika sebaliknya perusahaan-perusahaan negara tidak memberikan
sumbangan yang sepertinya kepada kas negara, apalagi jika karena belum
diberantasnya yang dikatakan Presiden Sukarno dalam Manipol “syaitan korupsi”;
dan “syaitan garuk kekayaan hantam kromo”, maka semua ini menandakan semboyan
“merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional”; baru semboyan yang
diserukan dan
belum semboyan yang dipraktekkan.
Ketika memasuki tahun ke-2 Manipol, Presiden Sukarno berkata: “Kita harus
dengan lebih tegap melangkah untuk secara konsekuen melaksanakan Manipol dan
dalam tahun ke-2 Manipol Usdek ini kita harus sungguh-sungguh nanpakken soal
retooling ini benar-benar”. Kita
sekarang sudah berada di tahun ke-3 Manipol, tahun batas bagi pelaksaan
triprogram kabinet, bagi kabinet sendiri, bagi keadaan bahaya juga. Jika dalam
tahun ke-2 Presiden Sukarno sudah begitu menekankan mutlaknya melaksanakan
secara konsekuen Manipol dan nampakken soal retooling benar-benar,”apalagi
sekarang di tahun ke-3 Manipol ini! Beberapa patah kata tentang Pancasila.
Harus jelas bagi siapa pun, bahwa Pancasila itu sesuatu keutuhan integral yang
tidak boleh direnggut-renggut satu-satu silanya dari sila-sila lainnya, dan
bahwa Pancasila itu alat pemersatu. Jika Pancasila direnggut-renggut, maka bisa
nanti atas nama “Kebangsaan”; misalnya orang menentang “Ketuhanan Yang
Mahaesa”; atau “Kemerdekaan Beragama”; misalnya orang menentang “Kedaulatan
Rakyat”; atau “Demokrasi Sosialisme di
mana pun di dunia menjamin kemerdekaan beragama”.
Sosialisme Indonesia tak
terkecuali. Sdr. KDH Sudjarwo dengan
tepat menganjurkan “Pancasila” secara ilmiah setaraf dengan interpretasi
penciptanya,”; yaitu Bung Karno. Memang kalau kita bertolak dari “Lahirnja
Pantja Sila”, pidato 1 Juni 1945 Bung Karno yang sudah banyak saya kutip itu,
dalam mebicarakan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”;
Bung Karno menekankan “hormat-menghormati satu sama lain”, “yang berkeadaban”,
“yang berkebudayaan”; “yang tidak onverdraagzaam”, dan dengan tegas beliau
kemudian berkata: “Segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini akan
mendapat tempat yang sebaik-baiknya”; UUD’45 dalam pasal
29 yang mengenai “Ketuhanan Yang
Mahaesa”; menegaskan bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya”. Dalam “Djarek”, Presiden Sukarno menggasak “hantu kebencian”,
membela “toleransi politik”; Dan dalam “Membangun Dunia Kembali”; atau pidato
PBB-nya yang terkenal itu, Presiden Sukarno menerangkan bahwa sila “Ketuhanan
Yang Mahaesa”; dalam Pancasila berarti: “hak untuk percaya”, bukan kewajiban
untuk percaya kepada Tuhan, dan berkatalah Presiden: “Bangsa saya meliputi
orang-orang yang menganut berbagai macam agama: ada yang Islam, ada yang
Kristen, ada yang Budha dan ada yang tidak menganut sesuatu agama”. Kemudian Presiden menunjukkan bahwa “bahkan
mereka yang tidak percaya kepada Tuhan pun; diliputi oleh “toleransi”.
Pernyataan Presiden ini tepat sekali, karena sesungguhnya “yang tidak
menganut sesuatu agama”; atau “yang tidak percaya kepada Tuhan pun”; adalah
bangsa Inndonesia-mereka rakyat Indonesia. Dan tentulah kita semua belum lupa
pada canang yang dipukul Presiden dalam “Resopim”, bahwa Pancasila adalah alat pemersatu, bahwa
Pancasila tidak boleh dijadikan alat pemecah-belah, dan bahwa barang siapa
menjadikan Pancasila alat pemecah-belah, sesungguhnya dia itu-dalam istilah
Presiden Sukarno sendiri “sinting”
Sampailah saya sekarang pada alat yang
terpenting, yang terbaik, dan yang satu-satunya untuk menyelenggarakan
Sosialisme Indonesia melalui penyelesaian fase pertama, fase revolusi
nasional-demokratis, yaitu persatuan nasional. Persatuan nasional ini dengan
Nasakom sebagai porosnya, bukan hanya sesuatu yang sudah resmi dan maka itu
harus dituruti mutlak oleh setiap warganegara dari golongan politik maupun
karya, sipil maupun militer, tetapi dia pun syarat yang tak boleh tidak jika
kita mau menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi ’45 dengan perbuatan dan
tidak dengan lipservice atau lamis-lamis bibir saja. Presiden Sukarno
mengatakan dalam “Resopim”; bahwa menolak Nasakom berarti bertentangan dengan UUD’45,
dan dalam “Djarek”; beliau berpesan, “Bangsa” kita harus menggembleng dan
menggempurkan persatuan dari segala kekuatan-kekuatan revolusioner, -
menggembleng dan menggempurkan de
samenbundeling van alle revolutionaire krachten in de natie.
Demikianlah secara pokok-pokok
Sosialisme Indonesia-ilmu dan amalnya: ilmu dan amal pengakhiran pengisapan
oleh manusia atas manusia. Saya
anjurkan kepada para siswa UNRA dan
para peminat lainnya yang mau memperdalam soalnya-supaya mempelajari buku Bung
Aidit, Sosialisme Indonesia dan Syarat-syarat Pelaksanaannya.
Penegasan saya sebagai kesimpulan:
Tanpa Persatuan Nasional dengan kaum
buruh dan tani sebagai kekuatan pokoknya dan Nasakom sebagai porosnya, takkan
ada pelaksanaan Manipol secara konsekuen, sedang tanpa pelaksanaan Manipol
secara konsekuen, takkan ada Sosialisme Indonesia.
----------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar