Rabu, 11 November 2015

Ramalan Jayabaya "perselisihan antar umat beragama"

Jurnalis Independen: Kerukunan antarumat beragama yang patut dicatat pernah terjadi saat kerajaan Majapahit antara pemeluk agama Syiwa-Buddha. Dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika".Begitulah sebutan untuk persatuan dan persamaan di antara perbedaan suatu agama dengan lainnya. Beda agama bukan berarti tidak ada titik temu dalam hal kebajikan dan kebaikan atau berdharma yang baik. Demikian pula di masa sebelum era Majapahit telah terjadi kerukunan antarumat beragama, yakni saat pemerintahan Kahuripan dengan rajanya Airlangga yang diagungkan sebagai titisan Wisynu. Dengan posisinya itu Airlangga tentu saja sangat dihormati oleh umat beragama Syiwa, Buddha masa itu.

      Selama era kejayaan Orde Baru masalah "sara" dapat dieliminir secara otoriter oleh negara. Dengan demikian toleransi antarumat beragama di masa Orde Baru dapat bertahan relatif mulus, demikian pula mengenai perbedaan suku dan ras mengacu pada semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" Majapahit. Gejolak itu muncul ke permukaan sejak tumbangnya rezim Orba pada 1998, akibat dari teknologi informasi yang mulai berkembang pesat, dan puncaknya muncul dan selanjutnya mewabah aplikasi jejaring sosial dunia maya.
        Jika pada masa lalu itu tidak ada gema suara sumbang yang berani berkicau apalagi tidak seirama dengan melodi pemerintah. Maka kini ledakan dahsyat di segala segi kehidupan sedang dan akan terus terjadi akibat pembungkaman pikiran dan bersuara oleh rezim Orba bertahan terus-menerus selama lebih dari tiga dekade.
      Ledakan demi ledakan muncul berupa perselisihan antarumat beragama, perang atau keributan antarsuku / kelompok, dan mencuatnya paham rasisme / perbedaan warna kulit kini tengah terjadi di Nusa Antara dan juga di seluruh dunia. Hukum ekonomi dalam mencari laba oleh sekelompok pengusaha tertentu yang tidak lagi mengindahkan etika, sebagai contoh mutakhir pembuatan atau proyek film tentang penistaan ​​agama yang berjudul "Innocence of muslims". Contoh tentang penistaan ​​agama yang senada dengan film "Innocense of Muslims" adalah buku "Satanic Verses" Salman Rushdie.
      Demikian pula dalam lingkup skala antarnegara mengenai mengalirnya dana dalam jumlah besar digelontorkan kepada kelompok pembuat onar pembayaran oleh donatur yang ingin mendapatkan keuntungan ekonomis maupun politis, dengan modus operandi yang sama mengadu domba dua kelompok dengan memanfaatkan perbedaan "sara". Juga di Nusa Antara ini yang belum lagi terlepas dari gonjang-ganjing pada, tidak kurang-kurangnya solusi yang digulirkan pemerintah maupun tokoh lintas agama mengatasi hal tersebut, dan sayang sekali belum membuahkan hasil.
     Pemerintah orde reformasi tentu saja tidak mungkin menggunakan cara-cara Orde Baru yang otoriter guna mengatasi perselisihan yang timbul akibat perbedaan suku, ras, dan agama. Teknologi informasi yang berkembang pesat di lini aplikasi jejaring sosial dunia maya tidak bisa disensor lagi oleh negara. Jika sensor terjadi maka terjadilah pepatah, "Mati satu tumbuh seribu".
      Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan yang digunakan oleh mereka yang saling serang satu sama lain dengan topiknya masing-masing di dunia maya. Etika kerukunan beragama yang sebagian besar masih terjadi di dunia nyata, ternyata tidak begitu terjadi di dunia maya. Sejarah akan terus maju ke masa depan dan tidak mungkin berjalan mundur ke belakang lagi. Era perselisihan antarumat beragama yang marak terjadi di dunia nyata dan juga di dunia maya saat ini telah diprediksi oleh Sri Aji Jayabaya, raja Kediri yang bertakhta pada abad keduabelas masehi sebagai berikut:


Agama akeh sing nantang.

Prikamanungsan saya ilang.
Ora ngendahake hukum Tuhan.
Agama ditantang.

Akeh wong angkara murka.
Nggedhekake duraka.
Ukum agama dilanggar.


Kelak suatu agama tertentu akan mendapatkan perlawanan dari berbagai jurusan dan terutama berasal dari umat beragama lainnya. Jika telah terjadi perselisihan antarumat beragama akibat perbedaan agama, maka tidak ada lagi sedikit pun rasa perikemanusiaan dalam diri / kelompok kedua belah pihak yang tengah berselisih itu. Mereka yang sebenarnya paham benar tentang ilmu agama itu, akan tetapi telah kehilangan rasa perikemanusiaan kini tidak lagi mengindahkan hukum Tuhan dalam fatsal amal yang baik akan mendapat balasan baik, demikian sebaliknya perbuatan jahat dengan mengatasnamakan Tuhan kelak akan mendapat balasan setimpal.

      Kelak suatu agama akan ditantang oleh terutama umat beragama lainnya hanya dengan satu alasan yakni menganggap dirinya yang paling dekat di sisi Tuhan.
Jika kaum beragama saja sudah sebagai itu, lebih-lebih mereka yang pas-pasan dalam menguasai ilmu dan pengetahuan agama, kejahatan dan angkara murka mereka semakin merajalela. Bukannya semakin sadar dan tobat bahkan semakin merajalela perbuatan durhaka mereka selama hidup di dunia. Mereka dengan tanpa tedeng aling-aling berani melanggar batas yang cuma sedikit saja pengetahuan tentang hal itu.
-----------------
Rahasia Kraton Sri Aji Joyoboyo

mbah Subowo bin sukaris

Kraton atau pusat istana kerajaan Kediri dengan rajanya yang terkenal karena terbukti kebenaran ramalannya, Sri Aji Joyoboyo, merupakan misteri karena lokasinya belum ditemukan siapapun. Di pusat kota Kediri di sisi timur sungai Brantas terdapat sebuah pasar tradisional, Setono Bethek, istana bambu. Ada lagi Setono Gedhong, istana batu. Tempat-tempat tersebut benarkah istana kerajaan Kediri di masa silam? Ada sebuah nama lain di tepi Barat sungai Brantas yang menarik: Kota Lor, Kota Kidul. Tampaknya memang di masa silam sebuah pelabuhan kuno?
    Berabad-abad sosok menarik Sri Aji Joyoboyo dengan prediksi-prediksinya yang sebagian orang, terutama penduduk di pulau Jawa percaya dan menganggap bahwa ramalan itu telah terbukti kebenarannya, misalnya sosok kepemimpinan Presiden Sukarno telah diramalkan beliau sebagai seorang putra dari ibu berasal dari pulau Dewata; prediksi lain lagi masuknya balatentara Dai Nippon yang seumur jagung itu diperkirakan 900 tahun silam sebagai si kate cebol kepalang, dan seterusnya, maka kami coba sedikit membantu dengan tulisan kecil ini.

Pada sekitar 1135 maraklah raja Kediri kelak kemudian menjadi raja besar Nusantara: Joyoboyo atau Jayabhaya. Kekuasaannya berbasis di Kediri, Jatim, dan wilayah di bawah pengaruh kekuasaannya mencakup seluruh Pulau Jawa (Java) ditambah Jambi, Tidore, dan Kalimantan.
    Kediri, kini yang kita kenal sebagai kotamadya, dulu merupakan pusat pemerintahan sebuah kerajaan maritim Jawa yang berhasil mempersatukan sebagian besar wilayah Nusantara, selalu mendapat serbuan dari berbagai pasukan asing: pada 1007 Sriwijaya menyerbu kerajaan Medang Kamulan di Kediri untuk menggulingkan prabu Dharmawangsa sebagai balasan atas serangan Medang terhadap kerajaan Sriwijaya pada 990, Arok mengalahkan pasukan Kediri di Ganter 1221, selanjutnya pada 1292 pasukan Mongol Kubilai Khan menyerbu dengan 1000 kapal yang berlayar langsung dari Tiongkok untuk membalas dendam pada Sri Krtanegara. Apa lacur? Oleh mantu raja Jawa (Krtanegara) tersebut, Raden Wijaya, pasukan Mongol digiring dipersilahkan menggempur kraton Kediri Jayakatwang, sampai musnah. Dan pada 1527 Brawijaya terakhir dari kerajaan Daha (Kediri) digempur oleh pasukan Mataram Islam Trenggono. Terakhir pejuang nasional Trunojoyo berhasil dikalahkan oleh Belanda di Kediri.
    Pada masa pemerintahan Joyoboyo kekuatan militer pemerintah maritim Kediri terletak pada angkatan lautnya yang kuat pada masanya sampai mampu menjaga wilayah kerajaan di seberang pulau yang jauh dari pusat kekuasaan di pedalaman Jawa bagian timur itu.
    Kota Kediri yang kita kenal sekarang dibelah oleh sungai Brantas, sungai itu lebarnya kurang lebih 1000 meter. Di masa silam, kapal-kapal perang dan dagang diperkirakan bisa melayari sungai Brantas sepanjang aliran mulai dari pelabuhan laut di Surabaya terus masuk ke pedalaman hingga merapat pusat kota Kediri, sekarang lokasi pelabuhan di tepi sungai di Kediri itu diberi nama pelabuhan Joyoboyo, lokasinya di daerah yang kini bernama Bandar Lor.
   Satu kilometer ke barat sejak pelabuhan Kota atau pelabuhan Joyoboyo tersebut terbentang jalan lurus menuju bukit Klotok (arti harfiahnya:  kolo thok , banyak kolo, banyak penyakit).
   Sebuah prasasti batu raksasa masih menjadi misteri asal-usulnya, diperkirakan dibangun di masa jaman keemasan kerajaan Kediri, yaitu era Joyoboyo. Prasasti berbentuk goa berukuran 3 x 10 meter itu diberi nama Mangleng (artinya museum). Bangunan goa Mangleng atau Selomangleng, yang juga disebut museum Joyoboyo yang didirikan sekitar tahun 1150-an pada masa Joyoboyo itu letaknya cukup terlindung di antara bukit-bukit. Di sebelah depan (50 meter (adalah bukit Mas Kumambang yang menurut penduduk setempat terkenal dengan legenda maling sakti. Maling sakti yang hidup di masa kolonial Belanda itu bernama Ki Boncolono bersama dua sahabatnya Tumenggung Poncolono dan Tumenggung Mojoroto. Kuburan ketiganya berada di puncak bukit Mas Kumambang . Pemkot Kediri telah membangun tangga cor menuju puncak Mas Kumambang.
     Mengapa cuma membangun sebuah goa batu alam dibandingkan tigaratus tahun sebelum itu telah berdiri Candi Borobudur yang megah di Jawa Tengah?
    Diperkirakan Goa Selomangleng merupakan bagian dari bukit Mas Kumambang (emas terapung), akan tetapi kemudian dipisahkan oleh jalan melingkari bukit tersebut, sehingga goa itu bisa dicapai dari dua jurusan.
    Jika kita mendaki bukit Klotok itu lurus saja tepat setelah menempuh sekitar dua kilometer ke arah puncak bagian tengah, kita dapat menemukan dan menemukan petilasan Dewi Kilisuci, tepat di sisi air terjun kecil mengalir ke bawah, menjadi sungai kecil. Dewi Kilisuci merupakan salah seorang anak Prabu Erlangga atau Airlangga yang bertakhta di Kediri pada 1035.
    Petilasan Prabu Jayabaya yang dikenal sekarang di desa Mamenang atau Pamenang kec. Pagu berada sekitar enam kilometer ke arah timur pusat kota Kediri berada di kawasan kaki gunung Kelud.
    Pusat kerajaan Kediri diperkirakan berada di sekitar Goa Selomangleng, ada sebuah daerah Boto Lengket yang sekarang dijadikan markas Brigif (Brigade Infantri) XVI. Di lokasi Boto Lengket dekat desa Bujel itu tanpa sengaja telah ditemukan batu-batu bata berukuran besar terpendam dalam tanah yang mungkin merupakan bekas bahan pondasi bangunan. Penemuan itu belum pernah dipublikasikan, karena masih bersifat penemuan pribadi. Diperkirakan tepat di markas Brigif XVI yang baru dibangun dalam dua tahun terakhir itulah letak pusat Kerajaan Kediri di masa pemerintahan Prabu Sri Aji Joyoboyo.
    Mengapa Brigif XVI Kediri berada secara kebetulan dibangun di sana? Dari segi strategi perang, maka lokasi itu sangat strategis untuk bidang pertahanan dari serangan musuh. Letaknya berada di antara bukit-bukit yang berhutan lebat di masa lalu, cocok untuk berlindung sementara bila diserang musuh. Dan untuk mengundurkan diri dari serangan besar-besaran dapat masuk hutan di kaki bukit Klotok. Ditambah lagi pada masa silam, dari puncak bukit Mas Kumambang seorang prajurit dapat mengawasi pelabuhan dan seluruh kota Kediri, sekaligus memberikan sinyal kedatangan musuh yang menyerang dari sungai atau dari daratan.
     Memang benar-benar strategis tempat itu dalam strategi perang kuno.
    Di sekitar daerah hipotesis kraton di bagian sebelah utara wilayah itu terdapat sumber mata air yang sampai hari ini tidak pernah kering sekalipun kemarau panjang.
    Demi efektifnya roda pemerintahan maka lokasi kraton itu tidak begitu jauh dari pelabuhan hipotesis Kota. Tatkala tamu kehormatan kerajaan datang melalui sungai brantas, perjalanan tidak begitu jauh untuk sampai tujuan di kraton Kediri.
    Museum Airlangga di sisi selatan bukit Mas Kumambang yang dibangun oleh Pemkot Kota Kediri letaknya persis di seberang Museum Joyoboyo yang dibangun Prabu Joyoboyo, Goa Selomangleng. Goa Selomangleng selama ribuan tahun menjadi prototipe rumah-rumah penduduk di tanah Jawa. Ada senthong kiri, ada senthong kanan. Dan ada dua ruang tengah. Dalam tradisi Jawa senthong tengah tidak bisa dihuni. Dan hanya dipergunakan untuk upacara tertentu atau menempatkan sesaji.
    Goa Batu itu di dalamnya penuh dengan hiasan gambar-gambar dinding, dan pada senthong kanan (dilihat dari luar goa) ada tempat pemujaan patung prabu Airlangga penjelmaan Wishnu. yang masih mulus belum dirusak tangan jahil Pada pintu masuk sebelah kiri ada penyambut berupa patung garuda tumpangan Sang Prabu Erlangga yang rusak oleh tangan jahil.
    Salah satu ramalan Joyoboyo, Ronggowarsito, dan uga Siliwangi yakni menyangkut kemunculan ratu adil atau satrio piningit yang berwujud bocah angon bertempat tinggal di tepi sungai, bukankah sampai sekarang masih misteri dan juga nama sungai tersebut juga sebuah misteri. Akan tetapi diperkirakan sungai yang dimaksud adalah sungai Brantas bila menurut ramalan itu sang ratu adil muncul di Jawa Timur.
    Sebagai sebuah hipotesis saat ini samar-samar sang ratu adil dengan fitur-fitur tersebut memang sudah muncul bahkan mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di NKRI, akan tetapi belum berhasil terganjal hukum pemilihan calon presiden. Satrio piningit itu mendapat dukungan kuat langsung maupun tak langsung dari sebuah perusahaan raksasa G2 yang berada di tepi Sungai Brantas kota Kediri, kantor pusatnya tepat di seberang pelabuhan wisata Joyoboyo. Satrio Piningit calon ratu adil yang masih samar-samar itu berasal dari daerah yang lokasinya tepat simetris di tengah dari ujung barat dan timur pulau Jawa.
    Saat ini permunculan Satrio Piningit memimpin Nusantara memang belum waktunya, momen itu akan datang jika telah terjadi goro-goro/huru-hara besar terjadi pada kehendak tuhan; terpuruk usai akan terbentuklah tatanan dunia baru berikut peran dan posisi Nusantara tertinggi di bumi selatan . Tatanan pemerintahan baru di Nusantara kelak itulah yang dipimpin oleh Satrio Piningit, sang ratu adil.
------------------
Misteri buku Pramoedya Ananta Toer "Rumah Kaca"

by Subowo bin Sukaris

1988
"Bung, ada surat buat saya?" Pramoedya langsung memasuki rumah di bilangan selatan Jakarta itu. Kebetulan pintu depan rumah batu itu tidak terkunci.
      Sang tuan rumah yang berusia enampuluhan itu berubah air mukanya. Ia menempatkan suratkabar sore yang tengah dibacanya. "Duduk, bung!" sambutnya dengan ramah.
      "Ada surat untuk saya, bung?" sekali lagi ia bertanya kepada tuan rumah.
      "Oh, sebentar, bung." Tuan rumah tergopoh-gopoh membalik tumpukan kertas-kertas yang berada di sebuah meja kecil yang diletakkan di samping kursi lebar itu.
      "Ini, bung," sambil menyodorkan setumpuk surat dalam amplop yang belum dibuka. Berbagai ukuran pada tumpukan itu A4 dan ukuran lebih kecil lainnya.
      Pramoedya menggenggam surat itu dan menelitinya satu persatu alamat yang tertera pada amplop. Ia menumpuknya kembali ke dalam genggamannya. Wajahnya tampak agak lega, "Rumah Kaca, bung?"
      "Kejaksaan Agung sudah melarang" Rumah Kaca ". Koran Kompas kumuat besar-besar, bung. "
      "Berapa oplaag yang tersisa?"
      "Hampir 75 persen belum beredar, bung."
      Pramoedya tersenyum kecut. Tuan rumah itu yang tak lain Bung Joesoef kemudian menceritakan, "Hasjim sudah mengungsikan buku-buku sisanya itu ke beberapa tempat."
      "Ke mana, bung?" Pramoedya ingin tahu.
      "Kedutaan asing, bung. Kedutaan Prancis, Belanda, dan sebagian ke rumah diplomat Australia."
      "Bung dipanggil ke Kejaksaan?" Yang dimaksud Pram adalah gedung bundar yang terletak dekat Pasar Blok M.
      "Hasjim, bung. Ia sudah datang ke gedung Bundar itu. Tak ada sangsi lainnya, kecuali perintah penghentian peredaran 'Rumah Kaca'," sahut Joesoef sesekali memperbaiki letak kacamata yang bertengger di wajahnya.

Beberapa bulan berlalu. Tahun menginjak angka 1989
      Senja hampir tiba dua jam lagi.
      "Mana surat itu, Bung?" seperti biasa Pramoedya berhasil masuk rumah di selatan Jakarta yang tidak terkunci pintunya itu.
      Kali ini tuan rumah mengajak Pramoedya berpindah tempat duduk di depan ruang itu. Sebuah ruang tamu menghampar dengan meja rendah dan tiga buah kursi mengepung meja berbentuk bulat itu. Hampir semua perabotan itu terbuat dari rotan besar, kokoh dan berukuran raja.
      Pramoedya menyulut "warning" nya. Joesoef menyulut sebatang Gudang Garam kretek merah. Asap segera saja memenuhi ruang itu. Lima menit berlalu di meja telah teronggok dua cangkir kopi mengepul-ngepul. Pramoedya tanpa dipersilahkan membaui cangkir itu, ia tidak langsung menyedot isi cangkir. Ia tengah asyik menikmati asap tipis yang mengepul dari cangkir itu. Kebiasaan lama menikmati kopi.
      "Enak sekali, kopi bung," puji Pram.
      "Ah, itu kopi Kapal Api biasa saja. Cuma yang istimewa takarannya, itu yang berbeda, bung."
      Pramoedya sejak tadi menunggu berita besar yang telah didengarnya beberapa hari terakhir.
      "Bung, ini surat yang datang dari PEN Amerika!"
      Pramoedya tidak segera menggenggam surat yang disodorkan oleh Joesoef. Kali ini ia merobek amplop itu dan membacanya.
     Joesoef yang sejak tadi duduk di depannya sekilas menemukan perubahan airmuka Pramoedya berubah menjadi cerah.
      "Saya sekarang anggota PEN Amerika, bung." Pramoedya memasukkan kembali surat itu ke dalam amplopnya.
      Joesoef sejenak tersenyum, "Selamat, Bung."
      Dengan keanggotaan itu maka Pramoedya telah menjadi manusia baru bukan lagi kaum paria di era rezim orde baru ini. Menghadapi seorang Pramoedya berarti berhadapan dengan dunia besar, dunia Barat. Soeharto akan berpikir dua kali untuk bertindak semena-mena lagi terhadap Pramoedya Ananta Toer.
      Mereka berdua berkonsultasi beberapa puluh menit di ruang tamu itu. Di luar rumah teronggok mobil Pramoedya yang disopiri oleh seorang pria tua. Tampaknya kerja besar menanti di depan Joesoef Isak. Kali ini Pramoedya merencanakan mencetak ulang kembali buku-buku karya tahun limapuluhan, dan Joesoef diserahi segala sesuatunya mulai membikin pengantar, membuat desain buku berikut cover baru, dan sebagainya.
      Pramoedya tidak pernah tahu Joesoef telah menyiapkan segala macam peralatan untuk mengerjakan proyek Pramoedya itu. Mesin-mesin setting terbaru "Apple" Mac, LaserWriter, telah dibelinya seharga puluhan ribu dollar Amerika. Dan demi menjaga kesinambungan kerja, maka Pramoedya Ananta Toer tidak perlu mengetahui keberadaan segala macam peralatan itu. Demikian pula dengan Hasjim, ia juga tidak tahu apapun tentang apa yang telah dipersiapkan oleh Joesoef, mengapa? Peralatan itu tentu saja tidak bisa tercium oleh antek-antek orde baru, dengan demikian lebih baik tidak seorang pun pernah melihatnya.
-------------

Pengantar Filsafat Marxis
Materialisme Dialektika
Dari Penerbit
Awal 1980-an lahir kecenderungan di kalangan intelektual muda kita untuk menemukan pemikiran alternatif sebagai alat untuk menganalisis kenyataan sosial yang mereka hadapi saat itu, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi sampai mendapat pujian mancanegara di satu pihak dan di lain pihak semakin menjadi-jadinya ketimpangan sosial: yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Pisau analisis yang ampuh dan yang dipercaya oleh para intelektual pendahulu mereka (Sukarno dan Moh.Hatta) adalah Marxisme, dan bila pisau itu digunakan secara tepat, maka sebab-sebab ketimpangan itu akan menjadi telanjang setelanjang-telanjangnya, dan akan terbuka jalan keluar yang terang -benderang untuk mengatasinya
Bersamaan dengan itu, dari kalangan muda klas buruh timbul keinginan untuk menyegarkan ilmu yang pernah mereka pelajari dua dasawarsa sebelumnya untuk dijadikan senjata intelektual dalam melawan penindasan berlapis yang juga mereka alami.
Kaum intelektual muda itu menyerbu perpustakaan-perpustakaan, terutama di universitas-universitas, yang mereka kira masih menyimpan buku-buku Marxisme. Namun, mereka tidak banyak menemukan buku-buku yang mereka dambakan itu. Sebab, jauh sebelumnya, 1965-1966, Penguasa yang menyebut dirinya Orde Baru telah melakukan kebiadaban intelektual, yaitu menghancurkan, membakar dan kemudian melarang beredarnya buku-buku yang mengandung ajaran Marxisme. Ratusan ribu buku dari berbagai judul, telah menjadi abu akibat tindakan yang tidak beradab itu.
Penulis buku kecil ini, yang untuk sementara namanya belum kita cantumkan dalam buku yang ditulisnya ini - sekalipun sudah meninggal - mengerti benar klaim tujuan itu. Penulis telah menggeluti proses belajar dan mengajar Marxisme, dan mengerti benar bahwa di antara tiga bagian / komponen Marxisme (Filsafat, Ekonomi Politik dan Sosialisme), maka filsafat Marxisme adalah bagian utama dan terpenting yang mendasari ajaran-ajarannya yang lain.
Pengalamannya yang kaya dalam mengajar filsafat Marxis yang dimulainya sejak di penjara Kalisosok (Surabaya) sebagai tahanan Razia Agustus Sukiman, 1952, kepada para pemula setahanan sampai pengalamannya memberikan kuliah-kuliah di berbagai Akademi di Jakarta, terutama Akademi Ilmu Sosial "Aliarcham" telah membantunya menyusun buku kecil ini dengan metode, sistematis dan penguraian yang tepat, sekalipun diketahui ia hampir-hampir tidak memiliki perpustakaan pribadi untuk referensi-referensinya. Tanpa mengurangi sifat ilmiahnya, Penulis memberikan contoh-contoh sederhana dalam tiap tema yang diuraikannya, mulai dari Pengertian Filsafat, Masalah Terpokok dalam Filsafat yang membaginya pada Dua Kubu - idealisme dan materialisme - sampai ke pengertian Materi dan Bentuk-bentuk eksistensinya, selanjutnya juga sampai ke Hukum Dialektika yang objektif dan Metode Dialektika yang subjektif. Dengan demikian, apa yang semula dianggap rumit dan pelik menjadi mudah ditanggapi dan dicerna. Hal itu juga disebabkan karena Penulis memberikan arah yang jelas dan benar untuk apa belajar filsafat Marxisme, yaitu bukan hanya untuk mengerti dan menafsirkan dunia, melainkan juga dan terutama untuk mengubahnya.
Penulis tampaknya belum sempat melengkapi Materialisme Dialektika ini dengan materialisme histori sebagai bagian dari Materialisme Dialektika dan histori (mdh). Juga belum sempat melengkapi dengan Epistemologi Marxisme (teori tentang metode atau dasar dan sistematis pengetahuan Marxisme) yang juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari filsafat Marxis.
Sekalipun demikian, mempelajari Materialisme Dialektika dan hukum-hukumnya yang terurai dalam buku kecil ini, kiranya akan sangat membantu para pemula dalam mempelajari ajaran-ajaran Marxisme lainnya.
" Lembaga Studi Demokrasi Baru "menerbitkan buku kecil ini, terutama untuk kebutuhan internalnya di samping untuk melestarikan karya tulis seseorang yang telah mengabdikan hidupnya untuk pekerjaan revolusioner.
Redaksl Penerbit
-------------
Formasi Gugus Tempur Armada Kapal Perang Angkatan Laut Majapahit

mbah sghriwo

Di jaman keemasan kerajaan Majapahit pada abad keempatbelas masa Prabu Hayam Wuruk terdapat dua tokoh militer jenius yakni Mahapatih Gajahmada dan Laksamana Mpu Nala. Laksamana Mpu Nala sebagai Panglima Angkatan Laut Majapahit menempatkan gugus kapal perang berjumlah beberapa puluh untuk menjaga lima titik penting perairan Nusantara. Armada gugus pertama bertugas di sebelah barat pulau Sumatera sebagai gugus kapal perang penjaga samudera Hindia di bawah pimpinan Laksamana yang berasal dari Jawa Tengah; Armada gugus kedua kapal perang penjaga Laut Kidul atau sebelah selatan Pulau Jawa di bawah pimpinan seorang Laksamana putra Bali. Armada gugus ketiga bertugas menjaga perairan selat Makasar dan wilayah Ternate, Tidore, dan Halmahera di bawah pimpinan seorang Laksamana putra Makasar. Armada gugus keempat menjaga Selat Malaka dan Kepulauan Natuna di bawah pimpinan seorang Laksamana dari Jawa Barat. Terakhir Armada gugus kelima menjaga Laut Jawa hingga ke arah timur sampai kepulauan rempah-rempah Maluku, armada Jawa ini mengibarkan bendera Majapahit di tambah lagi bendera emas simbol istana Majapahit biasanya dipimpin oleh seorang Laksamana berasal dari Jawa Timur.
    Setiap armada gugus kapal perang terdapat kapal bendera tempat kedudukan pimpinan komando tertinggi bagi semua kapal penyerang, kapal perbekalan, dan pelindung kapal bendera itu sendiri. Dari kelima armada Majapahit itu beban berat ialah menjaga perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang penuh perompak yang berpangkalan di sekitar wilayah Campa, Vietnam, dan Tiongkok. Armada keempat yang menjaga Selat Malaka itu biasanya dibantu oleh armada pertama penjaga Samudera Hindia jika perompak melarikan diri ke barat laut menyusuri Selat Malaka. Begitu pula Armada Laut Selatan biasanya membantu Armada Jawa dalam menjaga keamanan kapal-kapal dagang pembawa rempah-rempah yang melalui Selat Sunda yang lebih aman menuju India dan Timur Tengah.  Tugas lain armada Laut Kidul adalah menjaga Selat Bali dan perairan selatan Nusa Tenggara, bahkan di sebelah selatan Pulau Bali terdapat galangan kapal-kapal Majapahit yang cukup besar.
    Armada Ketiga bertugas menjaga kapal penyusup dari wilayah Mindanao Filipina sekaligus menjaga kepulauan rempah-rempah Maluku jika kekuatan Armada Jawa sedang dipusatkan di perairan Jawa untuk mengawal sang Prabu Hayam Wuruk berkunjung ke wilayah pesisir timur Pulau Jawa. Armada Jawa merupakan kekuatan terbesar Armada gugus kapal perang Majapahit karena tugasnya paling berat menjaga pusat kerajaan istana Majapahit sekaligus menguasai jalur laut menuju kepulauan rempah-rempah Maluku yang berkedudukan langsung di bawah pemerintah pusat Majapahit.
    Setiap kapal perang Majapahit bersenjatakan meriam Jawa yang disebut cetbang Majapahit. Pandai besi yang membuat meriam tersebut berada di Blambangan. Cetbang Majapahit adalah karya penemuan Mahapatih Gajahmada yang konon pernah diasuh oleh tentara Mongol atau Tartar yang menyerang kerajaan Singosari dengan kekuatan seribu kapal.
    Semua jenis kapal perang Majapahit mulai dari kapal perbekalan hingga kapal bendera adalah kreasi jenius dari Mpu Nala yang sekaligus seorang Laksamana Laut yang handal. Nala menciptakan kapal-kapal dari sejenis kayu raksasa yang hanya tumbuh di sebuah pulau yang dirahasiakan. Pohon raksasa dan cocok untuk dibuat kapal itulah yang membuat kapal-kapal Majapahit cukup besar ukurannya di masa itu.
    Setelah Gajahmada dan Mpu Nala wafat maka kekuatan Majapahit pun berangsur lemah apalagi tatkala terjadi perang paregreg kapal-kapal Majapahit saling serang satu sama lain dan kehancuran tak terelakkan lagi bagi seluruh armada. Setelah Majapahit lemah hanya tersisa Armada Jawa yang menguasai perairan Laut Jawa dan jalur laut menuju kepulauan rempah-rempah. Kemudian datanglah bangsa kulit putih yang tujuan utamanya ialah menguasai daerah penghasil rempah-rempah itu dengan modal kapal-kapal gesit dan lincah tidak terlalu besar ukurannya dibanding kapal Majapahit akan tetapi kapal asing itu bersenjata lebih unggul meriam yang bisa memuntahkan bola-bola besi dengan jarak tembak lebih jauh daripada kemampuan jarak tembak cetbang Majapahit.
****
---------------
Anugerah Fukuoka
Sambutan Pramoedya Ananta Toer,
pemenang utama Fukuoka Asian Gultural Prize 2000

Yang terhormat perwakilan Fukuoka,
Yang terhormat staf Pusat Kebudayaan Jepang,
Yang terhormat seluruh dan semua hadirin,
Yang terhormat wakil penerbit Hasta Mitra.

Hari ini adalah haribesar yang ke sekian kalinya bagi saya pribadi sehubungan dengan pengumuman resmi dan terbuka tentang dianugerahkannya Grand Prize Fukuoka di bidang sastra kepada saya.
Terimakasih pada Dewan Juri Anugerah Fukuoka dan warga Fukuoka yang ikut menentukan pilihan tersebut.
Grand Prize di bidang sastra! Justru karena itu pada kesempatan ini saya tidak akan bicara tentang sastra. Grand Prize sastra itu sendiri sedikit‑banyak sudah menerangkan bahwa di bidang sastra sudah ada penilaian adanya titik final. Jadi pada kesempatan ini saya akan bicara soal lain, soal perjalanan hidup saya pribadi dalam hubungannya dengan Jepang.

Sudah sejak di SD saya mengenal Jepang melalui kehidupan praktis. Saya mengenal Jepang dengan laku‑perbuatan yang mengalahkan armada Rusia pada 1904, yang berakibat di Hindia Jepang diakui sederajat dengan orang Eropa, dan pada gilirannya membangkitkan nasionalisme Tiongkok. Kelanjutannya lagi: kebangkitan nasionalisme Indonesia.
Sebaliknya juga sesudah sejak di sekolah dasar kami biasa mendengar ejekan tentang Jepang: tidak ada originalitas, bangsa penjiplak Barat. Dan apa nyatanya? Waktu tahun 30an dunia dilanda krisis, malaise, kata orang waktu itu, atau jaman meleset, ­orang-orang pergerakan menamainya, Jepang justru mengeksport ke Indonesia bahan pakaian yang terjangkau oleh lapisan rakyat bawah: 71/2  sen per elo, sedang bahan tekstil import dari Eropa, terutama Belanda: 23 sen per elo.
Kebangkitan Jepang di bidang industri dengan mendasarkan pada kerajinan rumahtangga, dengan hasil gemilang telah menarik perhatian para tokoh pergerakan Indonesia. E.F.E. Douwes Dekker, bapak kepartaian Indonesia memerlukan berkunjung ke Jepang dan menyebarkan bahasa Jepang melalui Ksatrian Instituut di Bandung. Juga Drs. M. Hatta yang di Jepang malah mendapatkan gelar “Gandhi of Java”. Tokoh besar gerakan sosial, Dr. Soetomo, di Jepang benar‑benar terpukau oleh kemajuan, yang dalam kesederhanaannya mampu menandingi Barat di bidang apapun, sehingga ia terbitkan rekaman kunjungannya ke Jepang.
Juga sejak di SD sudah saya ketahui adanya sassus ramalan Jayabaya, bahwa penjajahan Belanda akan dihalau oleh cebol (dibandingkan dengan postur orang Barat) berkulit kuning bermata sipit, dan sassus itu tanpa memberi kemungkinan lain langsung menunjuk Jepang. Suatu keberuntungan bahwa semasa di SD itu saya mendapat kesempatan membaca sendiri kitab Jangka Jayabaya dalam bahasa Jawa, bahasa Jawa baru, yang tidak menggunakan bahasa Jawa kuno sepatah kata pun. Padahal dalam matapelajaran sejarah diterangkan bahwa Jayabaya, Raja Panjalu, memerintah dari tahun 1057‑1079 Saka atau 1135‑1157 Masehi. Didorong oleh harapan adanya pergantian kekuasaan, orang cenderung mempercayai ramalan tersebut. Apalagi menurut ramalan tersebut penguasa baru dari utara itu hanya seumur jagung atau tiga setengah bulan memerintah.
Memasuki usia dewasa sekali lagi saya mendapat keberuntungan membaca karya India tentang pembagian jaman dan ciri‑cirinya. Nampaknya Jangka Jayabaya merupakan adaptasi belaka dari pikiran India ini. Dan mengapa dipergunakan nama Jayabaya? Jawahannya mudah: Ia adalah raja dalam sejarah Jawa yang terutama masyhur karena memerintahkan suatu kelompok penyair untuk menyusun kakawin (syair) Bharatayudha, sedang penyelesaiannya dilakukan oleh Mpu Sedah. Dalam sastra Jawa Bharatayudha, kisah perang terakhir dan terbesar antara Pandawa dan Kurawa, terutama sebagai epos pewayangan.
Ternyata ramalan seumur jagung kekuasaan Jepang bukan tiga setengah bulan tetapi tiga setengah tahun. Ramalan tentang terhalaunya kekuasaan Belanda oleh Jepang dalam buku Jangka Jayabaya ini kemudian saya anggap sebagai karya inteligen dalam membantu mempersiapkan perang Asia Timur Raya atau Dai Tooa no Senso. Hanya suatu anggapan lho!
Tanpa disadari dunia pergerakan Indonesia yang sudah jenuh dengan penjajahan Barat/Belanda, mulai memperhatikan Jepang, apalagi setelah Jepang membuka tangannya menerima para pelajar Indonesia. Dengan pecahnya Perang Pasifik atau Perang Asia Timur Raya suasana politik di Indonesia berubah cepat. Orang melihat Jepang sebagai kekuatan baru yang bakal menghalau penjajahan Barat dari bumi Indonesia. Dan itu bukanlah tinggal jadi fantasi. Dengan perbuatan nyata Jepang memang menghalau penjajahan Barat dari Asia Tenggara. Sebagian politisi meragukan kekuasaan Jepang akan lebih baik daripada Barat. Dalam pembuangannya di Banda Neira Hatta memberi pernyataan, lebih baik mati berdiri daripada di bawah Jepang. Sjahrir dalam pembuangan yang sama juga mengeluarkan pernyataan senada itu. Juga Bung Karno dalam pernyataannya di pembuangan di Bengkulu. Hatta dan Sjahrir kontan dibebaskan dari Banda Neira dan dipindahkan ke Sukabumi, Jawa. Dan Bung Karno? Kalau dia tidak, sergah Pemerintah Agung Hindia Belanda atau Raad van Indië. Jadi balatentara Jepang yang menyerbu Sumatra, yang membebaskan Bung Karno dari pembuangannya di Bengkulu, dan membawanya ke Jawa.
Sampai sekarang belum diketahui perjanjian kerja sama antara Bung Karno dengan pemerintah pendudukan Jepang, sedang kita tahu sebelum invasi Jepang Bung Karno juga anti militeris‑fasis Jepang. Namun dari kenyataan yang hidup dapat diketahui, kerjasama itu dipergunakan oleh Bung Karno untuk melancarkan pendidikan politik anti‑imperialisme Barat pada rakyat Indonesia. Dan tanpa menyebut sumbernya ia kutip ramalan masyhur itu: bahwa di mana matarantai imperialisme internasional itu putus, di sanalah negeri jajahan itu bisa merdeka.
Memang banyak kerusakan akibat pendudukan militer Jepang, karena semua negeri yang didudukinya diharuskan ikut membiayai perangnya. Setiap ada rapat raksasa di Jakarta waktu Bung Karno memberikan pendidikan politik saya selalu hadir. Kemudian ternyata pendidikan politik itu memudahkan proses waktu matarantai imperialisme internasional putus di Indonesia, dan pekik merdeka bergema‑gema di seluruh tanahair.
Menjelang kekalahan Jepang pihak Jepang menjanjikan kemerdekaan pada Indonesia “di kelak kemudian hari” (ini kata‑kata dalam bahasa Indonesia dari pihak Jepang sendiri). Banyak kaum intelektual Indonesia angkat hidung secara sinis. Apa nyatanya kemudian? Pihak Angkatan Laut Jepang, di sini diwakili oleh Laksamana Muda Maeda yang turun tangan membuka jalan untuk terlaksananya pengucapan Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno‑Hatta.
Bukan sampai di situ saja perbuatan nyata Jepang. Tiga bulan setelah Proklamasi Kaigun, Angkatan Laut Kerajan Jepang menyerahkan persenjataan dengan langsung dan melalui pertempuran semu kepada para pemuda di Surabaya sehingga memperlancar revolusi bersenjata menghadapi imperialisme Belanda‑Inggris dengan tentara bayarannya Gurkha dan Sikh. Selama kemerdekaan nasional kita Jepang praktis selalu mengulurkan tangan untuk memberikan bantuan pada saat mengalami kesulitan, terutama dalam musibah bencana alam.
Saya percaya hubungan antara Jepang dan Indonesia dapat lebih mesra dan manusiawi sesuai dengan harkat kita semua sebagai manusia.
Masih ada satu lagi tindakan nyata Jepang semasa pendudukannya di Indonesia yakni pelarangan penggunaan bahasa musuh‑musuhnya, Belanda dan Inggris. Untuk membantu menyediakan kata ganti dan semua istilah di semua bidang bahasa Inggris dan Belanda Jepang membikin Komisi Istilah yang memiliki kewibawaan dari payungan kekuasaan militer. Pada masa ini bahasa Indonesia berkembang sesuai yang diharapkan, dan hanya selama pendudukan militer Jepang. Begitu Jepang pergi bahasa Indonesia merosot kembali pada keadaan tahun 20‑an dan 30‑an, dan begitu terus sampai sekarang. Praktis saya memang ikut menghayati hubungan Jepang-Indonesia, kecuali yang berlangsung dalam kurun 30 tahun awal abad 20.

Pada kesempatan ini saya perlu menyatakan kegembiraan saya yang luarbiasa. Dan bukan tanpa alasan. Nasion dan Negara Jepang terutama untuk saya pribadi adalah sumber inspirasi yang tak kunjung kering. Laku, perbuatan, amal, yang jadi sumbernya. Karenanya Grand Prize yang akan dianugerahkan oleh Fukuoka Asian Culture Prize Committee kepada saya terasa sebagai anugerah yang pas, yang sewajarnya, seakan Jepang dan Komite Fukuoka memahami pandangan saya, literer maupun politik.
Terimakasih.
Jakarta, 18 Juli 2000
-----------------
Mahbub Djunaidi Milik Kita Bersama

Oleh Umar Said

Saya mengunjungi rumah Mahbub Djunaidi tahun l996, setahun setelah ia wafat, sesudah berpisah selama 31 tahun. Pertemuan terakhir pada bulan-bulan sebelum terjadinya peristiwa G30S tahun l965. Waktu itu saya bekerja sebagai pemimpin redaksi suratkabar harian Ekonomi Nasional sejak tahun 1960, dan juga menjabat sebagai anggota pengurus (bendahara) PWI Pusat. Sedangkan Mahbub sebagai pemimpin redaksi harian Duta Masyarakat, juga terpilih dalam kongres PWI yang ke-11 (13-16 Agustus 1960 di Jakarta) menjadi Ketua PWI Pusat, bersama-sama dengan Soepeno dan Suwarno. Ketua Umumnya A. Karim DP dan Sekjennya Satya Graha.
Saya menginap di rumah Mahbub atas desakan istri dan puteri pertama Mahbub. Keluarga ini telah menerima saya dengan hangat, bahkan terasa "memanjakan" dengan pelayanan yang mencerminkan kedekatan hati.
Sekedar diketahui, saya baru menginjakkan lagi kaki saya di bumi tanah-air setelah meninggalkannya selama 31 tahun. Keluarga Mahbub tahu bahwa selama ini saya tidak bisa kembali ke tanah-air, dan terpaksa bermukim di luarnegeri karena sebab-sebab politik. Fairuz, puteri sulung Mahbub, pernah mengenal kehidupan saya ketika ia menginap dalam waktu yang cukup lama di rumah kami di Paris. Apakah justru karena mereka mengetahui itu semua, maka merasa dekat dengan saya?

"Hubungan Batin" Yang Terjalin Kembali

Selama hidup di pengasingan (baik selama di Tiongkok maupun di Prancis) hubungan saya dengan Mahbub dengan sendirinya terputus dalam jangka lama. Hubungan langsung dengannya barulah bisa dijalin kembali dalam tahun 1994 lewat tilpun dan beberapa pucuksurat. Tetapi, melalui tulisan-tulisannya "Asal-Usul" yang sering sekali muncul dalam harian Kompas, saya merasa masih ada hubungan batin dengannya.
Pembicaraan-pembicaraan kami selama Fairuz tinggal di rumah kami di Parisseolah-olah merupakan potongan-potongan yang. di sana-sini bisa menghubungkan kembali hubungan yang sudah lama putus. Melalui cerita-ceritanya kami bisa mengetahui, sedikit, berbagai peristiwa yang terjadi pada diri Mahbub, antara lain mengapa ia ditahan oleh militer Orde Baru, mengapa ia tidak menjadi Ketua NU lagi, sikapnya yang tidak mau ikut tenggelam dalam selokan kotor KKN yang merajalela waktu itu, soal sikapnya terhadap teman-temannya yang menjadi Tapol dan ex-Tapol, soal sikapnya terhadap Bung Karno dll.
Bisalah kiranya dikatakan bahwa "hubungan batin" ini terasa menyambung kembali ketika saya tinggal selama dua hari di rumahnya di Bandung dan bicara-bicara dengan keluarganya. Berikut ini saya rasakan ketika istri dan putrinya menjamu saya di restoran masakan Sunda yang khas, atau ketika mengatur acara wisata di Tangkuban Prahu dan sumber air-panas. Atau, juga ketika putranya mengajak saya untuk menikmati pemandangan kebun-kebun teh dan merasakan kesegaran air panas pemandian alam di pegunungan-teh. Bagi saya, rasanya, semua itu telah dilakukan oleh keluarganya "atas nama" Mahbub, atau "untuk" nya. Dan semua ini memberikan sinyal bahwa keluarganya menerima saya sebagai salah satu di antara begitu banyak sahabat Mahbub. Meskipun selama puluhan tahun saya sudah berpisah dengannya, karena terpaksa bermukim di luarnegeri, gara-gara dimusuhi Orde Baru.

Masuk Penjara Di Tahun 1978

Bagi saya pribadi, apa yang terjadi pada diri Mahbub dalam tahun 1978 merupakan sesuatu yang memberikan tanda bahwa ada perkembangan yang penting dalam perjalanan sejarah hidupnya. Di tahun itulah ia dimasukkan dalam tahanan, atau dipenjara, oleh rezim militer Orde Baru. Berita tentang ditahannya Mahbub ini saya baca di Paris, ketika saya sudah bermukim sebagai "political refugee" (pengungsi politik) selama 4 tahun dan sedang bekerja sebagai pegawai di salah satu badan Kementerian Pertanian Perancis.
Dari berita-berita yang disiarkan dalam koran-koran Indonesia, Tidak bisa diketahui tentang latar-belakang yang sebenarnya dan sebab-sebabnya mengapa ia dipenjarakan. Yang bisa kami baca di Paris waktu itu adalah adanya suara-suara yang mulai makin kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Suara kritis ini sudah terdengar sejak meletusnya peristiwa Malari tahun 1974. Meskipun sekarang ini ada berbagai analisa tentang meletusnya peristiwa Malari (antara lain: rekayasa atau "opsus" Ali Murtopo, pertentangan antara Jenderal Sumitro dengan klik Soeharto yang lain, manipulasi kekuatan mahasiswa oleh sebagian kekuatan Orde Baru dll) tetapi jelaslah bahwa ada berbagai kelompok mahasiswa yang waktu itu sudah mulai mempertanyakan akan kebenaran sistem politik Orde Baru. Korupsi yang makin terlihat merajalela telah menjadi topik berbagai aksi mahasiswa waktu itu.
Apakah situasi yang demikian itu merupakan faktor sehingga Mahbub mengambil sikap politik yang "miring" terhadap Orde Baru, sehingga ia terpaksa harus mengalami penahanan dalam penjara? Kelihatannya memang ya, demikian. Fairuz menceritakan betapa gencarnya godaan-godaan yang harus dilawan oleh Mahbub waktu itu.Adayang mengajaknya untuk "berbisnis", misalnya, dan antara lain, dalam soal-mencetak dan distribusi kitab suci Alqur'an. Di Kementerian Agama ada proyek-proyek "basah" yang bisa mendatangkan uang dengan gampang. Sebagian teman-temannya ada yang sudah menempuh jalan itu, dan menjadi kaya. Tetapi, rupanya Mahbub tidak mau terseret dalam kegiatan ilegal seperti itu. Ia memilih jalan yang lain, yang halal dan sesuai dengan suara hati-nuraninya.
Agaknya, pandangannya yang makin kritis terhadap Orde Baru itulah, maka ia kemudian dimusuhi. Di samping itu, penahanannya dalam penjara telah makin memperkokoh keyakinannya bahwa demokrasi harus diperjuangkan dan dibela. Sikapnya makin terasa menonjol, ketika ia mulai menjadi penulis tetap untuk rubrik "Asal Usul" di Kompas, sejak akhir tahun 1986.

Kerjasama Di Zaman "Nasakom"

Barangkali, tidak salahlah kalau dikatakan bahwa Mahbub adalah seorang kader dan mantan pimpinan NU yang mencuat di atas ukuran rata-rata. Kesan ini sudah saya peroleh sejak sebelum peristiwa G30S pecah dan ketika kami masih sama-sama duduk dalam kepengurusan PWI-Pusat. Bagi saya, ia adalah seorang kader NU yang pada umur sangat muda, sudah memikul tugas penting bagi NU. Dalam usia yang belum mencapai 30 tahun ia sudah menjabat sebagai pemimpin redaksi harian Duta Masyarakat, organ resmi NU, di samping jabatannya yang lain dalam keluarga besar NU.
Dalam situasi politik yang cukup rumit waktu itu, ia harus mengemudikan korannya di tengah-tengah prahara pertentangan laten antara sebagian pimpinan TNI-AD dengan PKI dan Bung Karno, dan ketika "perang dingin" makin memuncak di bidang internasional dengan makin memanasnya situasi di Indocina. Selain itu, memimpin koran ketika berbagai konsepsi Presiden Soekarno sedang diluncurkan (antara lain: konsep Nasakom, Ganefo, Conefo) membutuhkan juga kebijaksanaan atau kearifan.
Pada umumnya, ketika kami bersama-sama menjadi anggota pengurus PWI Pusat, ada saling pengertian dan kerjasama yang cukup baik dalam menangani persoalan-persoalan yang timbul di tanah-air waktu itu. Sebagai bendahara, saya memang setiap hari datang di kantor PWI Pusat (di Jalan Jawa waktu itu). Mahbub datang kalau ada rapat-rapat pengurus pusat. Pada kesempatan semacam itulah kami bisa berbincang-bincang tentang berbagai soal dan berkelakar. Kadang-kadang, ia juga datang ke kantor Sekretariat Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA), di Press House (Wisma Warta), di Jalan Thamrin, sekarangmenjadi Plaza Indonesia. Karena, Sekretariat PWAA, juga sering mengadakan pertemuan dengan para tokoh wartawanIndonesia. Saya juga menjabat sebagai bendahara PWAA.

Mengenal Lebih Baik Pribadi Mahbub

Saya lebih mengenal pribadi Mahbub ketika awal tahun 1965 Bung Karno mengadakan kunjungan kenegaraan ke Philipina dan Kambodja, yang dilanjutkan dengan kunjungan tidak resmi ke Jepang. Untuk kunjungan kenegaraan ini telah diajak sejumlah wartawan, antara lain Karim DP dari Warta Bhakti, Suhardi dari SuluhIndonesia, Mahbub dan saya. Dalam perjalanan kepresidenan ini saya sering tidur sekamar dengan Mahbub. Yang sampai sekarang sangat efisien adalah ketika kami berada di Tokio. Karena kunjungan ke Jepang waktu itu bersifat kunjungan tidak resmi, masing-masing anggota rombongan bisa memiliki program yang santai. Saya dan Mahbub ditempatkan di satu kamar di Hotel Teikoku (Hotel Imperial).
Selama beberapa hari itulah kami berdua sering berjalan-jalan, termasuk membeli oleh-oleh untuk keluarga di rumah. Menarik untuk dicatat di sini bahwa meskipun ikut dalam perjalanan presiden ke luar negeri, para wartawan waktu itu hanya mendapat uang saku yang tidak banyak. Demikian juga anggota-anggota rombongan lainnya.
Saya merasa lebih mengenal Mahbub justru di Jepang. Karena banyak waktu senggang, terutama sore hari, maka kami sering bicara dari "hati ke hati" tentang berbagai persoalan, baik yang terkait dengan masalah politik, profesi jurnalistik maupun masalah yang bersifat kehidupan pribadi. Masih sayaingat begaimana Mahbub menceritakan pengalamannya keliling Amerika, ketika ia mendapat undangan untuk mempelajari berbagai aspek pers Amerika. Ia menyebutkan judul buku-buku yang ia sukai. Dari situ saya mendapat kesan bahwa ia memang suka membaca, dan memiliki pandangan yang cukup luas mengenaiberbagai soal.
Tentu, kita bicara-bicara juga tentang soal-soal yang lebih bersifat pribadi. Yang masih saya ingat adalah bagaimana ia pernah terpesona melihat seorang gadis yang ikut dalam perlombaan membaca Alqur'an di suatukota Bukan saja suaranya merdu dan cara membacanya indah, tetapi wajahnya juga cantik. Ia juga bicara tentang gadis-gadis cantik yang ikut dalam suatu grup kesenian qasidah. Sudah tentu, pembicaraan soal-soal itu bertahan dengan gelak tertawa dan komentar-komentar yang biasa dilakukan oleh banyak orang laki-laki. Wajar, kami adalah juga laki-laki seperti yang lain.
Pergaulan saya yang erat dengannya selama mengikuti perjalanan Bung Karno itulah yang memberi kesempatan bagi saya untuk mengenal Mahbub lebih baik. Terutama di Tokyolah saya "menemukan" Mahbub. Pernah waktu itu hati saya berkata: "Kader muda NU ini memang hebat". Waktu itu ia berusia sekitar 32 tahun, sedangkan saya 37 tahun.

Meletusnya Peristiwa G30S

Sesudah G30S meletus maka putuslah hubungan saya dengan Mahbub. Berita tentang terjadinya G30S saya dengar dikotaAlger (ibukota Aljazair). Saya berkunjung ke Alger dengan tugas untuk mengadakan persiapan-persiapan penyelenggaraan Konferensi Wartawan Asia Afrika yang kedua dikota ini, sesuai dengan keputusan KWAA pertama di Jakarta  (Tahun 1963). Kunjungan ke Alger ini saya lakukan setelah kembali dari menghadiri konferensi-kerja International Organisation of Journalists (IOJ) yang diadakan diSantiago (Ibukota Chili) dalam paroh kedua bulan September 1965.
Ketika di Alger saya mendengar bahwa suratkabar Ekonomi Nasional, Warta Bhakti, Harian Rakyat, Bintang Timur dibredel oleh militer dalam minggu pertama bulan Oktober, maka saya memutuskan untuk menggabungkan diri dalam delegasi PWI yang diundang ke Peking dalam rangka perayaan hari nasional Tiongkok 1 Oktober. Delegasi itu dipimpin oleh SUPENO (wakil-direktur Antara), yang seperti halnya Mahbub juga menjabat sebagai Ketua PWI. Ternyatalah, kemudian, bahwa keputusan saya untuk menuju kePekingitu adalah putusan yang tepat. Sebab, seandainya saya kembali keJakarta, Pastilah saya akan ditangkap juga meski saya tidak tahu-menahu dengan peristiwa G30S. Buktinya, begitu banyak orang yang tidak ada urusan apa pun dengan G30S juga dihukum dalam jangka lama, tanpa salah apa pun dan juga tanpa pemeriksaan di pengadilan.
Selama di Pekinglah kemudian saya membaca berita bahwa dalam kongres PWI yang ke-12 (tanggal 4-7 November 1965) di Jakarta, Mahbub telah terpilih sebagai ketua umumnya, sedangkan pemimpin lainnya adalah M. Jusuf Sirath, Karna Radjasa, LE Manuhua dan sekjennya Yakob Oetama. Manajer lainnya adalah Sutaryo, M Said Budairy sebagai wakil Sekjen dan Moh. Nahar sebagai bendahara.
Dalam bulan-bulan pertama sesudah terjadinya G30S, saya di Peking terus-menerus mengikuti perkembangan di Indonesia secara teliti dan dengan prihatin. Penangkapan terhadap wartawan-wartawan yang dianggap atau dituduh sebagai anggota PKI atau pro-PKI makin banyak, baik diJakartamaupun di daerah-daerah. Demikian juga para aktivis berbagai organisasimassa, Termasuk serikat buruh dan organisasi pegawai negeri. Penguasa militer mengkontrol secara ketat seluruh media pers, radio dan televisi. Berbagai peraturan untuk membatasi kebebasan pers telah diadakan. Teror mental dan persekusi politik terus-menerus dilancarkan terhadap mereka yang mendukung politik Presiden Sukarno.
Dalam situasi yang selalu dibayang-bayangi kekuasaan militer itulah Mahbub memimpin asosiasi wartawan seluruh Indonesia. Pasti, begitu besarnya tekanan dari fihak militer waktu itu, terutama setelah keluarnya Supersemar dalam tahun 1966. Wajarlah Mahbub harus mengadaptasikan dirinya, dengan situasi waktu itu. Saya dapat membayangkan betapa beratnya untuk Mahbub menghadapi situasi yang demikian sulit.

Mahbub Memiliki Tempat Tersendiri

Begitulah, waktu pun berlalu terus. Di Peking saya mendengar bahwa dalam kongresnya yang ke-14 yang diadakan diPalembang(14-19 Oktober 1970), Mahbub sudah tidak dipilih lagi sebagai ketuanya. Artinya, Mahbub telah memimpin PWI selamalima tahun, dari November 1965 sampai Oktober 1970. Dan sejak itu, saya tidak begitu sering lagi menemukan namanya dalam persIndonesia. Apalagi, setelah Duta Masyarakat tidak terbit lagi. Tetapi, ternyata kemudian, itu tidak berarti ia sudah berpangku-tangan saja.
Berita-berita tentang Mahbub saya dengar dari teman lama saya Jusuf Isak, yang datang ke Parisdalam tahun 1978, sesudah ia keluar dari tahanan selama belasan tahun. Ketika bicara-bicara tentang berbagai teman lama di kalangan wartawan, kami menyinggung juga nama Mahbub. Dari pembicaraan inilah saya mendapat kesan bahwa Mahbub memiliki "angka baik" untuk banyak teman, termasuk untuk orang-orang seperti Jusuf Isak dan teman-temannya. Hal yang sama saya dengar juga dari Karna Radjasa, yang bersama istrinya pernah singgah beberapa hari di Paris.
Bagi saya, bahwa teman-teman saya terdekat memiliki penilaian yang baik terhadap Mahbub adalah ukuran yang penting. Sebab, saya sudah lama meninggalkan tanah-air, dan karenanya tidak bisa memiliki pengalaman langsung dengan berbagai realitas yang terjadi di tanah-air sejak tahun 1965. Munculnya kekuasaan rezim militer Orde Baru telah membikin jungkir-baliknya berbagai norma-norma, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan juga moral. Ini termanifestasi dalam merajalelanya budaya KKN dalam masyarakat dan di segala bidang, dilecehkannya secara menyolok hak-hak asasi manusia, dibunuhnya kehidupan demokratis, disalahgunakannya kekuasaan secara sewenang-wenang, dan diabaikannya norma-norma hukum.
Di tengah-tengah situasi yang demikian itu, dan yang bertahan begitu lama, terdengar adanya teman-teman atau kontak-kontak saya yang "jatuh" di tengah jalan, atau "luntur" yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang bisa masuk akal dan wajar , mau pun yang tidak. Mengingat itu semua, maka, untuk saya sosok Mahbub memiliki tempat tersendiri di antara jajaran sejumlah besar teman-teman dan kontak saya.

Nilai Gus Dur Tentang Mahbub

Nilai positif yang diberikan teman-teman saya tentang Mahbub makin efisien untuk saya oleh pembicaraan saya dengan Gus Dur ketika ia berkunjung ke Prancis dalam tahun 1995. Bersama-sama dengan sejumlah teman-temannya dari Indonesia (antara lain AS Hikam dan M. Sobary), ia diundang menghadiri kongres suatu LSM Prancis yang besar, yaitu Comité Catholique contre Faim et pour le Developpement (CCFD). Karena saya juga diundang oleh LSM tersebut, maka selamalima hari saya bisa bertemu dengan Gus Dur dan bicara tentang berbagai soal.
Pada suatu hari, pembicaraan kami menyinggung juga Mahbub. Dari pembicaraan itulah saya mendapat kesan bahwa Gus Dur memiliki penilaian yang tinggi terhadap pribadi dan apa yang telah dikerjakan Mahbub. Ketika ia mengatakan bahwa sekembalinya dariParis, Ia akan langsung menuju ke Bandung untuk hadir dalam upacara peringatan 40 hari wafatnya Mahbub, maka saya minta kepadanya untuk menyampaikan salam saya kepada keluarga Mahbub.
Selang beberapa waktu kemudian sajalah saya mendengar bahwa sejumlah teman-teman lama saya, yang ikut hadir dalam upacara itu, terkejut ketika Gus Dur telah menyampaikan terang-terangan di depan banyak hadirin bahwa ada salam dari Umar Said yang tinggal di Paris. Bagi saya, apa yang dilakukan Gus Dur itu sesuatu yang "berani". Sebab itu terjadi dalam tahun 1995, ketika Orde Baru masih sangat berkuasa, sedangkan ia tahu bahwa saya adalah orang yang termasuk dalam kategori "persona non Grata" untuk Orde Baru. Selain itu, ini juga menunjukkan bahwa ia menghargai persahabatan saya dengan Mahbub beserta keluarganya.
Upacara peringatan 40 hari wafatnya Mahbub, yang dihadiri oleh banyak tokoh dari berbagai kalangan (termasuk sejumlah ex-Tapol) menandakan betapa besar penghormatan yang diberikan kepadanya. Harian Pikiran Rakyat (Bandung) Dalam penerbitannya tanggal 10 November 1995 memuat artikel yang panjang tentang peristiwa ini. Dalam artikel itu disajikan isi pidato Said Budairy, KH.Yusuf Hasyim dan Gus Dur. Untuk menunjukkan betapa besar penghargaan Gus Dur kepada Mahbub, berikut adalah kutipan pidatonya yang diambil dari artikel tersebut.
"Mahbub Djunaidi merupakan tokoh gerakan, pejuang ideologi, jurnalis, dan rekan bergaul yang kerapkali kocak alias lucu. Asset perjuangan Mahbub terhadap bangsaIndonesiacukup banyak dan tergolong besar. Dia memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan rakyat kekinian dan di masa mendatang. Ketika di masa Orde Lama, Mahbub yang waktu itu merupakan guru dan kakak saya di lingkungan anak-anak muda NU, sudah memikirkan tentang suatu masa kelak. Waktu yang dipikirkannya dan dimaksudkan ternyata menjadi kenyataan yakni Orde Baru. Mungkin, dan ini yang kita tidak tahu, ketika beliau masih hidup di masa Orde Baru, tentu sudah memikirkan kelak akan ada waktu lain di Indonesia. Bukankah Allah SWT akan mempergilirkan waktu ", kata Gus Dur.
Dengan tiadanya Mahbub Djunaidi, menurut Gus Dur, bangsa Indonesiasebenarnya kehilangan salah satu putra terbaiknya. Diharapkannya kelak akan lahir "Mahbub-Mahbub" yang baru yang melanjutkan cita-cita dan perjuangannya. Karena itulah, sebenarnya penghargaan yang wajar untuk Mahbub bukanlah sekedar piagam atau bintang jasa. Akan tetapi, penghargaan dalam bentuk kesediaan segenap bangsaIndonesia melanjutkan pemikiran, cita-cita dan perjuangan almarhum selama hidupnya.
"Memang, Mahbub hingga kini tidak pernah menerima bintang jasa apa pun. Mungkin, ini karena kita merupakan suatu bangsa yang tidak bisa dan tidak terbiasa menghargai para pahlawannya. Mahbub sebenarnya layak dapat bintang. Sebagai tokoh jurnalis, dia cukup terkenal. Bahkan selanjutnya menjadi tokoh PWI. Karenanya, kalau waktu itu Mahbub mau ikut "bernyanyi" di masa awal Orde Baru, tentu dia bisa jadi Menpen. Kapan dia jadi Menpen, insya'Allah, dia tidak akan terpeleset mengucapkan sesuatu ", ujar Gus Dur.
Ketika orang-orang di negeri ini berloba-lomba mencari dan mempertahankan hidup dengan "cari muka" dan "berbuat tak karuan", ungkap Gus Dur, Mahbub justru menunjukkan kepolosan dan usahanya meraih kemajuan dalam hidup dengan ketulusan dan kejujuran. Banyak akses yang diupayakan Mahbub yang tergolong penting dan besar bagi bangsaIndonesia (Kutipan habis).

Makna Corat-Coret Di Pavilyun

Mengingat apa yang sudah dilakukan selama hidupnya, memang sudah sepatutnyalah bahwa Mahbub mendapat penghargaan. Penghargaan ini sebagian tercermin dari begitu banyaknya pernyataan bela-sungkawa ketika ia wafat, dan juga ketika dilangsungkan upacara peringatan 40 hari wafatnya. Dalam daftar ucapan terimakasih keluarga Mahbub kepada para teman dan sahabat dekatnya bergabung lain:
Keluarga Besar Bung Karno dan Yayasan Pendidikan Soekarno, Dr. Roeslan Abdulgani, Dr. KH Idham Chalid, Ali Sadikin, Jakob Oetama, Adurrahman Wahid, Manager NU, Keluarga Besar GP Ansor, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, HMI, Ismail Hasan Metareum, DPP PPP, Megawati Sukarnoputri, DPP PDI-P, Masyarakat Indonesia di Prancis, Majelis Mahasiswa di Jerman, Perhimpunan Mahasiswa di Australia, PWI, Dewan Kesenian Jakarta, Pramoedya Ananta Toer, Yusuf Isak, Hasyim Rahman, Oei Tjoe Tat, Agus Miftah. (Mohon ma'af kepada nama-nama yang tidak tercantum dalam cuplikan ini. Pen.)
Sebagian kecil nama-nama tunggal dan organisasi yang dicuplik pada itu saja sudah mencerminkan betapa luas spektrum asal penghargaan untuk Mahbub atas jasa-jasanya. Alangkah berwarna-warninya spektrum itu, dan alangkah jauhnya jangkauan arti yang dikandungnya. Spektrum yang menjebol sekat-sekat dan lintas-agama, lintas-suku atau ras, lintas-golongan, lintas-keyakinan politik atau ideologi. Inilah barangkali jiwa yang "sebenarnya" Mahbub Djuanidi. Baginya, persahabatan yang tulus bisa ditemukan di mana-mana, dan bahwa kebajikan bukanlah monopoli seseorang atau satu golongan atau satu kelompok saja
Sebagai kader NU, ia telah berusaha berbuat sebanyak-banyaknya, dan semampu mungkin untuk NU, untuk GP Ansor, untuk PMII. Tetapi, dalam usahanya ini, ia tetap bisa menghargai pendapat kaum lain, yang tidak sealiran agama, atau bahkan yang berbeda agama. Ia bisa bersahabat dengan orang-orang yang dikategorikan "kiri", dan menghargai adanya perbedaan antara sesama ummat.
Karena itulah saya menitikkan air-mata ketika saya membaca corat-coret yang merupakan curahan hati para peserta upacara bela-sungkawa atas wafatnya. Corat-coret ini telah dipajang di sebuah lembaran besar yang terpancang di dinding sebuah ruang yang terletak di sebelah rumahnya. Saya merasakan keharuan dalam hati, yang bercampur dengan kebanggaan, ketika membaca berbagai corat-coret yang banyak itu. Di antara banyak coretan itu ada yang berbunyi sebagai berikut:

"Demokrasi itu bisa dibunuh di dalam lembaga demokrasi oleh para demokrat dengan cara-cara yang demokratis", kata Mabub. (Tertanda: Zainudin)
Saya butuh orang sepertimu tetapi susah dicari di zaman sekarang ini (tertanda: Barkorcam PDI Cibeuning Kidul)
Seorang teladan!! Yang berani berbeda demi kebenaran (tertanda: Bantuan Lembaga HukumIndonesia - BLHI)
Indonesia telah kehilangan seorang putra pembaru bangsa "Mahbub Djunaidi" (tertanda: PB PMII)

Entah berapa lama saya duduk di kursi, termenung sambil menatap tulisan-tulisan yang banyak itu. Ketika saya keluar dari ruang itu, dan Fairuz melihat air-mata saya, ia diam saja, tetapi kelihatannya ia mengerti perasaan saya. Saya hanya mengatakan kepadanya, "bapakmu orang baik!". Sebab, dengan kalimat yang begitu singkat itu pun agaknya ia sudah mengerti apa yang saya maksudkan. Bagi saya, coretan-coretan itulah tanda penghargaan yang sebenarnya dan setulus-tulusnya yang diberikan oleh masyarakat luas. Curahan hati mereka itulah bintang jasa yang asli dan murni, kepada seorang "pembaru bangsa"

Seandainya Mahbub Masih Hidup Sekarang Ini ...

Tidak sulitlah kiranya untuk menduga-duga bagaimana pandangan Mahbub, seandainya ia masih hidup, tentang berbagai persoalan yang dihadapi oleh negara dan bangsa kita sekarang ini. Ia dihukum oleh Orde Baru, tanpa alasan atau tuduhan yang jelas. Banyak orang, termasuk keluarganya-bahkan mungkin ia sendiri - tidak tahu juga, apa latar belakang yang sebenarnya maka ia sampai dipenjarakan. Yang sudah jelas diketahuinya adalah bahwa pemenjaraan yang sewenang-wenang itu telah mendatangkan penderitaan kepada seluruh keluarganya.
Mahbub telah ditahan oleh penguasa militer tanpa dasar hukum yang jelas dan sah. Karenanya, ia tidak bisa diajukan ke depan pengadilan. Seperti halnya banyak sekali Tapol yang lain, yang akhirnya terpaksa dibebaskan.
Berdasarkan pengamatan terhadap sikap hidup dan juga pandangannya tentang berbagai soal, maka tidak melesetlah agaknya kalau kita perkirakan bahwa Mahbub sekarang ini akan berdiri di barisan paling depan dalam memperjuangkan reformasi. Ia akan tegak berdiri sebagai reformis yang tulus dan murni dalam membangkitkan dan memperbarui bangsa. Ia akan tegas ikut berjuang aktif dalam melawan KKN dan kebobrokan moral yang melanda negeri ini.
Seandainya ia masih hidup sekarang ini, pastilah hati Mahbub akan geram melihat terjadinya perpecahan dan permusuhan antara berbagai komponen bangsa. Pastilah ia tidak menyetujui sikap sebagian kalangan atau kelompok Islam yang justru membikin citra Islam tidak ramah, tidak toleran, picik, dan tidak berbudaya. Mahbub akan bergandengan tangan erat dengan para aktivis pejuang hak asasi manusia, yang terdapat dalam berbagai partai, LSM atau organisasimassa. Ia akan memberikan teladan bagaimana seorang Muslim harus bersikap terhadap sesama ummat, terhadap negara dan rakyat, dan terhadap ajaran-ajaran agama.

Buku Kumpulan Artikel "Asal Usul"

Diterbitkannya buku (oleh Harian KOMPAS) yang berisi kumpulan sebagian tulisan Mahbub merupakan inisiatif yang penting untuk melestarikan karyanya, sebagai kontribusi seorang jurnalis, yang sekaligus juga sastrawan dan politikus. Karya-karyanya ini merupakan asset berharga bagi khazanah pustaka bangsa kita, yang disumbangkan oleh seorang wartawan terkemuka, yang kebetulan juga tokoh muda Islam.
Buku setebal 397 halaman itu (yang diterbitkan tahun 1996 dalam rangka memperingati 100 hari wafatnya) memuat 120 tulisan singkat-singkat, padat, ringan dan enak dibaca. Bukan itu saja. Tulisan-tulisan itu secara jenaka, dan sering sekali dengan nada menyindir, mempertanyakan hal-hal yang sebenarnya adalah soal-soal besar dan penting mengenai kehidupan bangsa dan negara. Dengan lincah dan halus ia mempertanyakan masalah demokrasi, HAM, korupsi, perilaku para pembesar, kebejatan moral, kehidupan rakyat kecil, dan berbagai persoalan masyarakat lainnya.
Saya masih ingat bahwa dalam kehidupan saya di Paris, setiap kali membaca tulisan-tulisannya di harian Kompas adalah hiburan yang menyegarkan. (Harian Kompas bisa kami baca, waktu itu, bersama-sama dengan teman-temanIndonesialainnya di Paris, dengan berlangganan secara kolektif. Sebab, berlangganan koran lewat pos udara ongkosnya mahal sekali. Karena itu kami urunan, dan membacanya secara bergiliran). Memang, membaca tulisan Mahbub sering membutuhkan perenungan untuk benar-benar bisa menghayati isi yang tersirat atau maksud yang tersembunyi di balik kalimat-kalimat, yang terlihat sederhana atau polos-polos saja.
Mahbub menulis karya-karyanya itu selama sembilan tahun, ketika Orde Baru masih berkuasa. Artinya, ketika kebebasan menyatakan pendapat sedang dicekek, dan teror mental sedang merjalela dalam segala bentuknya. Oleh karena itu wajarlah bahwa Mahbub harus menuangkan hati dan pikirannya dengan cara-cara yang tidak langsung, dengan bahasa yang tersamar, atau dengan cara halus. Ia terpaksa melakukan "sensor terhadap diri sendiri", di samping ia memperhitungkan "sensor" yang lain-lainnya. Justru dalam suasana kepengapan udara yang menyesakkan waktu itulah maka tulisan-tulisannya lahir dan terasa enak dibaca.
Sekarang, rezim militer Orde Baru sudah jatuh. Seandainya Mahbub masih hidup pastilah ia memanfaatkan era kebebasan pers dan terbukanya ruang demokrasi untuk dengan gigih dan leluasa mengembang-biakkan pemikiran-pemikirannya, tanpa membungkusnya dengan tulisan-tulisan yang terkekang.

Mahbub, Sosok pembaru Bangsa

Menengok kembali apa yang telah dilakukan oleh Mahbub saat hidupnya, tidak alahlah agaknya kalau dikatakan bahwa ia merupakan salah seorang jurnalis, penulis dan politikus yang telah menempati posisi yang istimewa di kalangan keluarga besar NU. Sepuluh tahun ia memimpin harian Duta Masyarakat, tujuh tahun menjabat sebagai manajer PWI Pusat (1963-1970), danlimatahun sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat (1973-1978). Ia pernah ikut mangasuh PMII dan membuat nyanyian mars gerakan mahasiswa Islam ini. Bertahun-tahun ia juga ikut menangani pengembangan Gerakan Pemuda Ansor, bahkan juga membuat lirik lagu marsnya.
Jelaslah, Mahbub adalah asset berharga yang pernah dimiliki oleh NU. Tetapi, berkat sikapnya atau pandangannya yang luas, maka ia telah merajut persahabatan dengan banyak pihak di luar kalangan NU. Banyak orang menemukan pada dirinya sosok seorang Muslim yang membawakan kehangatan sesama manusia, dan toleransi yang mengandung rasa saling menghargai. Ketika banyak orang masih takut berhubungan dengan para wartawan ex-Tapol - atau bahkan memusuhi mereka - ia berani menggalang persahabatan dengan mereka.
Ketika sebagian dari kalangan Islam masih bisa dipengaruhi dan digunakan oleh rezim militer Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto dkk ia sudah mengambil sikapnya sendiri, dan tidak mau diajak untuk ikut-ikut pada nama agama menginjak-injak ajaran agama, dan ikut-ikut menjadi penyulut rasa permusuhan di antara berbagai komponen bangsa. Dalam situasi politik yang sulit dan rumit di zamanOrde Baru, ia telah menjadi panutan bagi banyak orang. Dengan cara-caranya sendiri, dan dalam keterbatasan situasi politik waktu itu, Mahbub sudah tampil sebagai salah satu di antara berbagai sosok pembangkit dan pembaru bangsa.
Karenanya, Mahbub Djunaidi bukanlah hanya milik keluarga NU saja. Ia sudah menjadi milik kita bersama.
______________


(Penulis, lahir di Malang tahun 1928, adalah sampai September 1965 pemimpin redaksi harian Ekonomi Nasional di Jakarta, bendahara PWI Pusat periode kongres 1963, dan anggota sekretariat Persatuan Wartawan Asia-Afrika. Sekarang tinggal di Paris.
---------------
Pidato Bung Njoto
Marxisme: Ilmu dan Amalnya


Kuliah di depan Universitas Rakjat, Jember, Maret 1962

Membicarakan Sosialisme Indonesia berarti membicarakan hari depan Revolusi Indonesia. Manifesto Politik RI mengatakan dengan jelas; “hari depan Revolusi Indonesia bukanlah menuju ke kapitalisme, dan sama sekali bukan menuju ke feodalisme… hari depan Revolusi Indonesia adalah masyarakat adil dan makmur, atau … Sosialisme Indonesia”.  Perumusan Manipol tentang  hari depan revolusi ini hanya dapat dipahami dengan tepat, bila orang memahami dengan tepat pula apa itu kapitalisme, apa itu feodalisme, dan apa itu sosialisme. Hal ini perlu saya tekankan karena sampai sekarang masih terlalu banyak orang yang menyatakan dirinya: antikapitalisme, dan antifeodal, tetapi tidak tahu apa sesungguhnya kapitalisme itu, juga tidak tahu apa sesungguhnya feodalisme itu. Begitu pun terlalu sering masih orang-orang menamakan dirinya: prososialisme; tanpa mengetahui apa sosialisme yang sebenarnya itu.

Apa akibat dari ketidakjelasan soal-soal ini? Akibatnya bermacam-macam. Ada orang yang menganggap Uni Soviet misalnya imperialis: “imperialis merah”; dan RRT juga imperialis: “imperialis kuning”; padahal Uni Soviet dan RRT adalah jelas-jelas negara-negara yang bukan saja antiimperialis, tetapi sudah sosialis. Sebaliknya ada orang-orang yang menganggap, misalnya, Burma itu suatu negeri sosialis; hanya karena kaum sosialis pernah memegang pemerintahan di sana, padahal Burma itu, tidak beda dengan Indonesia. India dan banyak negeri lainnya, adalah negeri yang belum merdeka penuh dan masih setengah feodal. Perkara Burma ini belum seberapa. Ada malahan orang-orang yang mengira kerajaan Inggris itu negeri sosialis, juga karena yang memerintah di sana pernah Labour Party yang sering disebut sebagai partai sosialis itu. Lelucon ini jadinya tidak lucu lagi! Pertama, di manalah di dunia ada kerajaan yang sosialis! Jika kerajaan-kerajaan pada sosialis, Lenin dulu tak perlu repot-repot memimpin Revolusi 1917, sebab Rusia ketika itu toh sudah Rusia Tsar, Rusia kerajaan … lagipula agak sukar membayangkan bahwa seorang Elizabeth atau seorang Hirohito atau seorang Juliana bisa sosialis; … Nederland juga pernah diperintah oleh Partij van der Arbeid, Partai sosialis. Tetapi apakah dengan begitu Nederland jadi sosialis? Adalah pemerintah sosialis Nederland itu yang di tahun 1947 melancarkan perang kolonial terhadap kita!

Seratus limabelas tahun yang lalu Karl Marx dan Friedrich Engels menerangkan kepada kita supaya berhati-hati dengan sosialisme, sebab, demikian Marx dan Engels, selain “sosialisme proletar”, juga ada “sosialisme borjuis kecil”, “sosialisme borjuis” bahkan “sosialisme feudal”. Dengan pengalaman Inggris dan Nederland di atas maka kita harus menambahkan bahwa selain “sosialisme kerajaan” itu masih ada lagi “sosialisme kolonial”! Macam lain dari kekisruhan mengenai sosialisme adalah kenyataan bahwa ada orang-orang yang sendirinya seorang kapitalis tetapi memaklumkan diri ke mana-mana sebagai orang antikapitalis. Kalau ditanya, “Lha saudara ini apa?”, cepat-cepat dia menjawab: ”Saya kapitalis nonkapitalis” atau malahan, ada yang bengal dengan mengatakan:”Saya kapitalis marhaen”, “Saya kapitalis murba”, atau “Saya kapitalis jelata”. Sungguh kapitalis jenaka!

Ada kekisruhan macam lain lagi. Bulan yang lalu pernah saya lihat di Jember sini semboyan yang mengatakan seakan-akan;”ciri khusus landreform Indonesia adalah “nonkomunis” dan “antikapitalis”.  Perkara ”nonkomunis” baiklah saya tidak beri komentar sekarang, karena komentar pun sebetulnya berkelebihan. Cobalah kita camkan: landreform adalah redistribusi atau pembagian kembali tanah dengan jalan memberikan milik individual kepada kaum tani. Inilah landreform yang tepat, dan landreform ini disokong selain oleh golongan-golongan lain, juga dan barangkali terutama oleh kaum komunis Indonesia. Jadi soal non-atau tidak nonkomunis tidak menjadi soal sama sekali. Sekarang, apakah landreform Indonesia itu benar harus antikapitalis? Dari persoalan ini jelas bahwa masih ada orang yang tak tahu bedanya kapitalisme dari feodalisme. Sasaran landreform adalah feodalisme, tuan-tuan tanah, dan bukan kapitalisme! Tentu bagi kita ada persoalan menghapuskan sama sekali konsepsi-konsepsi kolonial atas tanah, tetapi yang dipersoalkan oleh Undang-undang Pokok Agraria adalah tanah-tanah kelebihan pada Tuan-tuan Tanah Bumiputera, Tuan-tuan Tanah Feodal. Presiden Sukarno menerangkan di dalam; “Djarek” (Djalannya Revolusi); bahwa landreform itu tujuannya; “mengakhiri pengisapan feudal secara berangsur-angsur”.

Kita lihatlah betapa kisruhnya soal-soal jadinya, jika pengertian-pengertian kapitalisme dan sosialisme tidak jelas. Ada yang setuju dengan “sosialisme ilmiah”, ada yang tidak menyetujuinya. Tetapi  kita sudah sekali hidup dalam abad ilmu, abad atom dan nuklir, sputnik dan  kapal ruang angkasa, dan bukan lagi dalam abad takhayul atau mistik. Kita menyuruh anak-anak kita pergi ke sekolah menuntut ilmu, tidakkah aneh jika bapak-bapaknya menghindari ilmu? Juga pengertian-pengertian harus ilmiah, termasuk pengertian-pengertian tentang kapitalisme, feodalisme dan sosialisme.

Untuk menyebarkan ilmu secara populer dan masal inilah saya kira salah satu tujuan utama UNRA (Universitas Rakyat). Benar UNRA bukan suatu institut universiter, tetapi mutu ilmiah akan tetap dijaga tinggi dalam UNRA dan tujuan mendekatkan ilmu kepada rakyat atau mendekatkan rakyat kepada ilmu, kiranya adalah suatu tujuan ilmiah yang serasi dengan denyut nadi jaman. Demikian pun tujuan meniadakan jurang antara teori dan praktek, terutama teori revolusioner dan praktek revolusioner. Apakah Sosialisme Indonesia itu dan bagaimana harusnya dia kita selenggarakan?

Saya ingin memulai dengan suatu logika yang sederhana tetapi keras: Sosialisme adalah Sosialisme. Juga ini bukannya tak ada gunanya saya tekankan, sebab ada yang mengartikan ;”Sosialisme Indonesia”; itu hanya dari sudut kekhususan-kekhususan, keistimewaan-keistimewaan, perlainan-perlainan, dan malahan pertentangan-pertentangan dengan “sosialisme-sosialisme lain”.; Pembela-pembela “sosialisme istimewa”; ini biasanya mengatakan: “Sosialisme Indonesia bukan Sosialisme Soviet, bukan Sosialisme Tiongkok, bukan Sosialisme Kuba”; Saya cuma khawatir jangan-jangan yang dimaksudkan oleh mereka adalah bahwa Sosialisme Indonesia itu bukan …Sosialisme!

Kekhususan Sosialisme Indonesia tentu saja ada, tetapi apakah ada kekhususan jika tak ada keumuman? Apakah ada yang khusus jika tak ada yang umum? Kita ambilkan misal ini: “Simin manusia khusus”; Tetapi setiap kita tahu bahwa tidak akan ada itu manusia Simin jika tak ada manusia. Lagipula, sekalipun Simin itu manusia khusus, tetapi dia toh manusia juga: kepalanya satu, tangannya dua, kakinya dua, melihat bukan dengan telinga melainkan dengan mata, berpikir bukan dengan punggung melainkan dengan otak, dsb. Sebab, sekiranya Simin itu berpikir tidak dengan otaknya, saya kira kita tidak akan berkata “Simin itu manusia khusus”, melainkan Simin itu manusia abnormal, atau bukan manusia sama sekali! Oleh sebab itu Sosialisme adalah Sosialisme, Sosialisme Indonesia adalah Sosialisme Indonesia; dia bercorak Indonesia, tetapi dia Sosialisme.

E. Utrech S.H., ketika  sebagai sesama anggota Dewan Pertimbangan Agung bersama-sama saya mengadakan indoktrinasi Manipol ke Nusa Tenggara, merumuskan soalnya sebagai berikut:
”Sosialisme Indonesia adalah sosialisme yang diindonesiakan, atau Indonesia
yang disosialiskan”; Saya kira perumusan sarjana ini bukan perumusan seorang profesor linglung, melainkan perumusan yang obyektif benar. Mari
yang terang, bahwa Sosialisme Indonesia adalah;”sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan alam Indonesia, dengan rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, dengan psikologi dan kebudayaan rakyat Indonesia”. Kita perhatikanlah: “sosialisme yang disesuaikan…” dsb., tetapi yang disesuaikan itu adalah tetap sosialisme, dia harus tetap sosialisme. Saya ingin mengambil contoh yang lain: apa misalnya yang kita sebut lukisan Indonesia tentang gunung Himalaya? Saya kira, ini berarti sebuah lukisan gunung Himalaya yang dikerjakan oleh seorang pelukis Indonesia, dan yang menggunakan gaya Indonesia, pengolahan Indonesia, visi Indonesia. Tetapi saya kira seindonesia-indonesianya lukisan Himalaya, dia tidak boleh menyulap bentuk Himalaya hingga menjadi seperti gunung Argopuro atau Raung! Sosialisme adalah suatu susunan social atau sistem masyarakat yang berdasarkan pemilikan bersama atas alat-alat produksi. Saya minta perhatian: alat-alat produksi. Jadi, bukan atas meja-kursi, buku-buku, tempat tidur, sepeda, dan sebagainya. Dalam sosialisme proses produksi berlangsung secara sosial, demikian pun hasil-hasilnya dikenyam secara sosial. Ini berarti bahwa sosialisme itu bukan kapitalisme yang produksinya berlangsung social (kalau tidak ada kaum buruh yang banyak itu tidak akan ada produksi kapitalis!) tetapi hasil-hasilnya masuk ke kantong si kapitalis saja,jadi asosial.

Sosialisme tidak boleh disederhanakan menjadi “sama rata sama rasa”, di mana orang yang bekerja berhak makan dan orang yang tidak bekerja juga berhak makan, atau di mana si rajin mendapat persis sama dengan si malas. Sebaliknya, dalam sosialisme hanya yang bekerjalah yang berhak makan, sedang yang tidak bekerja tidak berhak atas makan. Begitu pun, si malas tak akan mendapat sebanyak si rajin. Kian rajin akan kian banyaklah pendapatannya.

Seperti dikatakan oleh Karl Marx: “Dalam sosialisme manusia bekerja menurut kemampuannya dan mendapat menurut prestasi atau hasil kerjanya” Pendeknya, sosialisme adalah masyarakat tanpa exploitation de l’homme par l’homme, tanpa pengisapan oleh manusia atas manusia, seperti berulang-ulang dinyatakan oleh Bung Karno. Demikianlah sifat-sifat umum yang pokok dari sosialisme, juga dari Sosialisme Indonesia. Bung Aidit sudah pernah memperingatkan: janganlah ”Sosialisme Indonesia”; itu diartikan sosialisme;”yang begitu khususnya”, sehingga kata sifat “Indonesia”; menjadi berarti;”dengan pengisapan oleh manusia atas manusia”, sehingga “Sosialisme Indonesia”; berarti “sosialisme dengan pengisapan!”
Kalau ada “sosialisme dengan pengisapan”, pastilah dia bukan sosialisme sama sekali, pastilah dia bukan masyarakat yang adil dan makmur. Sebab, pengisapan itu bukan keadilan, dan dengan pengisapan tidak mungkin ada kemakmuran. Maksud saya kemakmuran buat semua, sebab, kemakmuran buat si pengisap tentu saja bisa.

Tamu-tamu dari Eropa, yang datang ke Asia dengan berkunjung dulu ke India, baru ke Indonesia, banyak yang mengatakan kepada saya:”Indonesia ini saya lihat relatif makmur”; “Makmur bagaimana?”;, Tanya saya. Jawabnya;”Dibandingkan dengan India” Memang, saya sendiri sudah tiga empat kali ke India. Orang mati menggeletak di pinggir jalan, yang di sini hanya terdapat di jaman fasisme Jepang dan yang sesudah Republik merdeka hampir-hampir tak pernah kita jumpai, di India sana masih gejala sehari-hari. Toh P.M.Jawaharlal Nehru menamakan India itu suatu “negeri sosialis”. Ketika saya tanya kepada teman India saya yang baik, Bupesh Gupta, “Sosialisme India itu sosialisme macam apa?”, teman saya itu menjawab, “sosialisme dengan kemiskinan”. Bahwa “sosialisme” itu tidak selalu sosialisme, dan bahwa ada macam “sosialisme”; yang sesungguhnya bukan sosialisme, juga bisa kita saksikan dari kejadian-kejadian beberapa waktu yang lalu di dunia Arab.

Presiden Gamal Abdel Nasser, seperti diketahui, secara pandai telah memasukkan Suriah ke dalam gabungan dengan Mesir, ke dalam “Republik Persatuan Arab”. Presiden Nasser memaklumkan bahwa RPA adalah negeri “sosialis”; yang berasaskan “sosialisme á la Arab”. Beberapa waktu kemudian, setelah rakyat Suriah, mulai buruhnya sampai burjuasinya, mengalami apa artinya berada di dalam RPA, mereka memilih kembali jalan menentukan nasib sendiri dengan merenggutkan diri dari Mesir dan mendirikan kembali Suriah merdeka. Republik Suriah ini kemudian memaklumkan “sosialisme”; juga: “sosialisme sejati”.  Nah, kita lihatlah, “sosialisme”, ditentang oleh “sosialisme”; “sosialisme á la Arab”, ditentang oleh “sosialisme sejati”.

Di Indonesia ini ada yang mengira bahwa sosialisme itu akan terselenggara jika kita melakukan “indonesianisasi”.  Ini jugalah sebetulnya yang dilakukan oleh Mesir. Menurut Ali Sabri, menteri Mesir yang tugasnya mendampingi presiden, di sana dilakukan apa yang disebutnya “arabisasi” atau bahkan “mesirisasi”. Bahwa “indonesianisasi”, saja belum berarti perbaikan, hal ini dapat diterangkan dari dua sudut. Pertama, siapa yang mengadakan “indonesianisasi” itu;  Kedua, siapa orang-orang Indonesia yang ditugaskan menggantikan kedudukan-kedudukan orang-orang asing. Pasal siapa yang menugaskan, juga siapa yang ditugaskan ini, penting sekali.

Pada suatu hari diberitahukan kepada anggota-anggota parlemen kita, bahwa pada tanggal sekian jam sekian akan datang wakil-wakil dari BPM-Shell.Anggota-anggota parlemen sudah mengasah bahasa Inggrisnya, tahu-tahu yang muncul orang-orang berkulit sawo matang, bermata hitam, berambut hitam. Inilah “indonesianisasi” oleh BPM-Shell. Juga apabila yang menugaskan “indonesianisasi”; itu pihak Indonesia, termasuk pemerintah Indonesia, belumlah tentu bahwa yang ditugaskan dalam “indonesianisasi”; itu orang-orang Indonesia yang patriotik dan cakap. Bukankah Presiden Sukarno berkali-kali mencanangkan tentang masih adanya orang-orang “blandis”, orang-orang yang hollands-denken, dan bukankah kita dalam masyarakat terkadang menjumpai orang-orang yang bahkan merasa “lebih Belanda daripada si Belanda? Ya, jika seandainya setiap “indonesianisasi”; sudah beres, tentulah Manipol tidak perlu menggariskan keharusannya retooling, dan tentulah Resopim tidak perlu menggariskan keharusannya membersihkan segala aparat dari “pencoleng-pencoleng”. Sosialisme bukanlah suatu sistem ekonomi semata. Dia suatu sistem sosial yang menyeluruh. Dia ya sistem ekonomi, ya sistem politik, ya sistem kultural, ya malahan system militer.

Dalam pidatonya 1 Juni 1945, yaitu “Lahirnja Pantja Sila” yang diucapkan tatkala kaum militer-fasis Jepang masih di Indonesia sini, Bung Karno-ketika itu belum Presiden RI-antara lain berkata: “Jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik … tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya”. Dalam pidato itu juga yang sangat saya anjurkan untuk dipelajari sungguh-sungguh oleh setiap manipolis, Bung Karno juga menganjurkan “cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu dengan cara yang berkebudayaan!”

Apakah hakikat sosialisme di lapangan ekonomi, di lapangan politik kebudayaan?

Prinsip-prinsip sosialisme di lapangan ekonomi sudah saya bentangkan tadi, sekalipun secara cekak-aos. Bagaimana bisa ada “sosialisme”; yang pemilikan alat-alat produksinya tidak bersifat sosial, sedang UUD’45 pun menggariskan pada pasal 33-nya: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya”.  Kalau dalam UUD’45 sudah demikian, apa pula dalam sosialisme nanti. Di lapangan politik sosialisme haruslah berarti kekuasaan politik di tangan rakyat, dalam arti yang sesungguh-sungguhnya, kedaulatan rakyat yang bukan hanya semboyan, tetapi kenyataan. Mayoritas terbesar rakyat di negeri kita adalah kaum buruh dan kaum tani. Oleh sebab itu wajarlah apabila mereka, kaum buruh dan kaum tani itu, yang harus mengurusi dirinya sendiri dan mengurusi urusan-urusan kenegaraan umumnya. Jika tidak ada ini, maka pastilah akan terjadi apa yang dikatakan Jean Jaures seperti yang dikutip oleh Bung Karno dalam pidato “Lahirnja Pantja Sila”,yaitu: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu di dalam parlemen dapat menjatuhkan minister. Ia seperti raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam pabrik, sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilemparkan ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa”. Jika seperti yang dikatakan Jean Jaures dan Bung Karno ini masih terjadi, itu tandanya masyarakat masih berada dalam susunan kapitalis, betapa pun demokratisnya, dan belum berada dalam susunan sosialis! Manipol pun sudah menetapkan bahwa “Revolusi Indonesia harus mendirikan kekuasaan gotong royong, kekuasaan demokratis yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, yang menjamin terkonsentrasinya seluruh kekuatan nasional, seluruh kekuatan rakyat”. Dalam mendefinisikan “seluruh kekuatan nasional” ini Manipol mengatakan: “
“Seluruh rakyat Indonesia dengan kaum buruh dan kaum tani sebagai
kekuatan pokoknya. Jadi: kekuasaan gotong-royong… yang menjamin
terkonsentrasikannya seluruh kekuatan nasional, seluruh kekuatan rakyat…dengan kaum buruh  dan kaum tani sebagai kekuatan pokoknya.”
Argumentasi bagi garis Manipol ini bahkan sudah diberikan Bung Karno tujuhbelas tahun yang lalu dalam pidato yang saya tak jemu-jemu menyebutkannya, yaitu “Lahirnja Pantja Sila”, yang antara lain berbunyi: “Jikalau saya peras yang lima (Pancasila) menjadi tiga, dan tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong royong.’  Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!”.  Demikianlah Bung Karno merumuskan cita-citanya. Tidaklah perlu saya berikan redenasinya, tentulah Sosialisme Indonesia di lapangan politik sedikitnya harus menjalankan asas Sukarno tentang kenegaraan ini.

Bagaimana Sosialisme Indonesia di lapangan kebudayaan? Ketika pemuda-pemuda revolusioner yang bekerja ilegal di jaman Jepang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia mendatangi Sutan Sjahrir di hari-hari Agustus 1945, Sjahrir mengatakan bahwa Indonesia “belum matang” buat merdeka, bahwa “paling sedikit dibutuhkan lima tahun sampai rakyat Indonesia bisa merdeka”.  Melihat keadaan yang belum baik sekarang ini, mungkin ada orang yang akan berkata, “Kalau begitu Sjahrir betul juga – sudah enambelas tahun lebih kita merdeka, kita belum bisa membereskan ekonomi dan soal-soal lain”.  Pikiran begini adalah pikiran berbahaya sekali! Sebelum kita bicarakan ekonomi beres atau tidak beres, pertama-tama dan di atas segala-galanya harus kita persoalkan: kalau Proklamasi 17 Agustus 1945 ditunda apakah sekarang ini akan ada Republik Indonesia! Saya tak tahu apa akan jadinya Indonesia ini dalam hal begitu, tetapi kalau pun tidak Jepang atau Belanda menjajah kita kembali, maka imperialis-imperialis lain seperti Inggris,Amerika, Pernacis, Belgia, Portugal dan Jerman Barat, kalau tidak salah satu dari mereka menjajah kita, semuanya menjajah kita bersama-sama. Sehingga, Indonesia ini merupakan suatu polikoloni, menjadi ajang penjajahan kolektif oleh kaum imperialis, mungkin langsung, mungkin pula
dengan bendera PBB seperti halnya di Korea Selatan atau Kongo sekarang. Bung Karno, dalam pidatonya  —ijinkanlah saya mengutipnya lagi “Lahirnja Pantja Sila”; berkata: “Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet Rusia Merdeka, telah mempunyai Dnieprpetrovsk, dam yang mahabesar di sungai Dniepr? Apa ia telah mempunyai redio-stasion, yang menyundul angkasa?  Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis?

Tidak, tuan-tuan yang terhormat!

Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-stasion, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan creche, baru mengadakan Dnieprpetrovsk! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka… apakah saudara-saudara (sekarang) akan menolak serta berkata; “Mangke rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia Merdeka.!. Dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghiilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya”.  Demikianlah Bung Karno tujuhbelas tahun yang lalu.

Sekarang, sudah ada plan buat memberantas butahuruf sampai tahun 1964, dan Manipol pun mengatakan bahwa “kita bergerak tidak karena ‘ideal’ saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan, ingin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan, ingin cukup pendidikan, ingin cukup meminum seni dan kultur - pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagiannya dan cabang-cabangnya”. Dan saya kira Presiden Sukarno tidak salah, bila beliau berkata kemudian dalam Manipol itu pula bahwa “perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus prosen, bilamana masyarakat sudah tidak ada lagi kapitalisme dan imperialisme”, jadi, bilamana sudah terselenggara masyarakat sosialis.

Demikianlah “sosialisme”; yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, ”itu tidak mungkin berarti diingkarinya ciri-ciri umum sosialisme, seperti penghapusan pengisapan oleh manusia atas manusia, perbaikan nasib… 100% dsb. Mengingkari sifat-sifat  khusus Sosialisme Indonesia berarti bahwa ia bukan sesuatu yang bersifat Indonesia; mengingkari sifat-sifat umum Sosialisme Indonesia berarti, bahwa ia bukan sosialisme sama sekali. Kekhususannya harus diintroduksikan, tetapi
keumuannya harus dipertahankan. Beginilah dan hanya beginilah kita bisa berbicara tentang Sosialisme Indonesia.

Apakah sosialisme sebagai perspektif Revolusi Indonesia itu terjamin akan tercapai? Ketua CC PKI dan Ketua Dewan Kurator UNRA, Bung Aidit, menerangkan bahwa perspektif Revolusi Indonesia tak mungkin lain daripada Sosialisme, “karena Revolusi Indonesia pada tingkat sekarang adalah ditandai oleh kebangunan sosialisme dunia dan kehancuran kapitalisme dunia”. Ini dinyatakan Bung Aidit dalam bukunya Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (MIRI), yang oleh ahli sejarah dan Kepala Arsip Negara, Drs. Moh. Ali dinamakan suatu buku sejarah modern Indonesia “yang tegas”.  Tentang jaminan akan tercapainya perspektif
revolusi itu, Bung Aidit dalam bukunya tersebut menunjukkan, bahwa benar Revolusi Nasional-Demokratis akan menyingkirkan perintang-perintang bagi perkembangan kapitalisme, benar kapitalisme nasional sampai batas-batas tertentu akan berkembang, tetapi ini hanya satu segi dari masalahnya, sedang segi lainnya adalah bahwa akan ada juga “perkembangan faktor-faktor sosialis seperti pengaruh politik proletariat yang makin lama makin diakui kaum tani, intelegensia dan elemen-elemen burjuasi kecil lainnya; perusahaan-perusahaan negara dan koperasi-koperasi kaum tani, kaum kerajinan tangan, nelayan dan koperasi-koperasi rakyat pekerja lainnya.
Semua ini adalah faktor-faktor sosialis yang menjadi jaminan bahwa hari depan Revolusi Indonesia adalah Sosialisme dan bukan Kapitalisme.

”Bagaimana sekarang menyelenggarakan sebaik-baiknya Sosialisme Indonesia itu?”. Dalam “Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berentjana,”, yang berarti juga “Djarek”; dan “Membangun Dunia Kembali”, oleh MPRS telah disahkan sebagai pedoman pelaksanaan Manipol, Presiden Sukarno dengan keras mengritik di satu pihak golongan “evolusionis”, karena “teori yang demikian itu adalah salah”, dan pihak lain golongan “melompat”; atau  “fasensprong”; karena “teori yang demikian itu pun tidak benar”.  Saya menyokong kritik terhadap di satu pihak “evolusionisme”; dan di pihak lain “fasensprong” ini, karena yang pertama akan berarti penyelewengan ke kanan, oportunisme kanan atau reformisme, sedang yang kedua akan berarti penyelewengan ke kiri, oportunisme kiri atau radikalisme. Baik yang pertama maupun yang kedua akan membikin perjuangan mandek di jalan, sosialisme tidak tercapai dan revolusi gagal. “Evolusionisme”; berarti tidak mengganti sarana-sarana lama dengan sarana-sarana baru, berarti tidak menjebol kekuasaan lama dan mendirikan yang baru, berarti “sumonggo dawuh dan monggo kerso serta sendiko dalem alias menyerah-isme”. Perjuangan harus revolusioner, dan tidak evolusioner,tidak reformis  “Fasensprong”; berarti melompati apa yang tidak boleh dilompati, yaitu fase revolusi nasional-demokratis, berarti memimpikan yang tidak-tidak, berarti antirealis, alias avonturisme.

Perjuangan harus obyektif dan tidak subyektif, tidak acak-acakan atau awur-awuran. Kita sekarang berada dalam fase revolusi nasional dan demokratis, artinya, revolusi melawan imperialisme dan melawan feodalisme. Fase revolusi ini tidak boleh kita takuti, dia harus kita tempuh. Perincian “Djarek” menegaskan: “Jelaslah, ada dua tujuan dan dua tahap Revolusi Indonesia:  Pertama, tahap mencapai Indonesia yang merdeka penuh, bersih dari imperialisme-dan yang demokratis-bersih dari sisa-sisa feodalisme. Tahap ini masih harus diselesaikan… Kedua, tahap mencapai Indonesia ber-Sosialisme Indonesia, bersih dari kapitalisme dan dari exploitation del’homme par l’homme. Tahap ini hanya bisa dilaksanakan dengan sempurna setelah tahap pertama sudah diselesaikan seluruhnya. “Bisakah dipikirkan perumusan yang lebih gamblang daripada ini? Baiklah saya bahas tahap pertama, yang di satu pihak tak boleh ditakuti dan di pihak lain tak boleh dilompati itu. Mengapa sasaran revolusi kita sekarang imperialisme dan feodalisme? Ini mudah dipahami jika orang suka mengingat bahwa 20% dari wilayah tercinta kita, yaitu Irian Barat, masih diduduki kaum imperialis. Juga jika diingat bahwa sebagian penting dari perekonomian kita, terutama minyak, masih dikuasai oleh kapital imperialis BPM-Shell, Stanvac dan Caltex. Andaikata kapital imperialis sudah tidak ada lagi di Indonesia, tentulah Manipol tidak mengancam “semua modal Belanda, termasuk yang berada dalam perusahaan-perusahaan campuran, akan habis tamat riwayatnya sama sekali di bumi Indonesia”.  Andaikata kapital imperialis sudah tidak ada lagi di Indonesia, tentulah Manipol tidak mengancam modal monopoli asing yang bukan Belanda akan diperlakukan “sama dengan modal yang asalnya dari negeri Belanda”; artinya juga dibikin “habis tamat riwayatnya sama sekali di bumi Indonesia. “Antievolusionisme” berarti harus melaksanakan ketentuan Manipol ini. Jika sebaliknya, jika ketentuan-ketentuan Manipol ini tidak dijalankan dan jika kita tidak membikin habis tamat riwayatnya kapital imperialisme asing di bumi Indonesia, maka kita sesungguhnya-sadar ataupun tak sadar-menjalankan evolusionisme, menjalankan reformisme atau oportunisme kanan, kita sesungguhnya menjadi takut kepada kemenangan revolusi!

Demikian yang mengenai imperialisme. Yang mengenai feodalisme pun demikian pula. Andaikata feodalisme sudah habis, tentulah tidak ada perlunya dibikin Undang-undang Bagi Hasil dan Undang-undang Pokok Agraria atau Undang-undang Landreform. Ya, andaikata feodalisme sudah habis, tentulah “Djarek” tidak menegaskan bahwa “Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi“, tentulah “Djarek” tidak menegaskan bahwa ”melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian mutlak dari Revolusi Indonesia, dan tentulah “Djarek” tidak menegaskan bahwa “tanah tidak boleh menjadi alat pengisap”; “Djarek” tidak hanya berhenti di sini. Seakan-akan khawatir kalau politik landreformnya tidak akan dituruti oleh golongan-golongan tertentu, maka Presiden Sukarno dalam “Djarek”  itu juga menegaskan: ”Gembar-gembor tentang Revolusi, Sosialisme Indonesia, Masyarakat Adil dan Makmur, Amanat Penderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan landreform, adalah gembar-gembornya tukang penjual obat di Pasar Tanah Abang atau di Pasar Senen”! Jelaslah, bahwa antievolusionisme harus berarti setuju dan melaksanakan landreform. Jika tidak setuju, dan tidak menjalankan landreform, maka disadari atau tidak orang sudah menjalani evolusionisme, reformisme atau oportunisme kanan, orang sudah takut kepada kemenangan revolusi. Pendeknya kita harus awas-awas terhadap orang-orang yang “revolusi yes, landreform no”, atau “revolusi okay”, “menghabisi riwayat kapitalis imperialis tunggu dulu”. Di Sumatera Utara agak sering terjadi orang-orang berangkat ke luar negeri, pulang memakai jubah dan kupiah haji, padahal dia tidak ke Mekkah, cuma ke Singapura… inilah yang di Medan disebut “lebai Singapura”-mereka lebai-lebai palsu. Begitulah tidak semua orang yang menyebut dirinya “revolusioner” adalah sesungguhnya revolusioner, ada juga revolusioner palsu, ada revolusioner gadungan!

Saya sudah menguraikan perkara “evolusionisme”; di dalam praktek. Bagaimana “fasensprong”; di dalam praktek? Fasensprong tidak mau tahu akan revolusi nasional dan demokratis. Fasensprong mau langsung ke sosialisme, sekalipun syarat-syarat untuknya belum tersedia. Fasensprong mengobrak-abrik pengusaha-pengusaha nasional dan pengusaha-pengusaha kecil, tetapi membiarkan pengusaha-pengusaha imperialis seperti BPM-Shell, Stanvac, Caltex dan Unilever. Mereka lebih hebat daripada “sosialisme dengan kemiskinan”; - mereka mau “sosialisme dengan imperialisme”! Terhadap masalah tanah, fasensprong tak mau ambil perduli terhadap
perlunya pemilikan perseorangan oleh kaum tani atas tanah: mereka mau langsung  “pengkoperasian” pertanian,  atau yang tak kalah seringnya, mereka mau “menasionalisasi tanah-tanah”. Jelaslah, bahwa fasensprong sebetulnya tak lain daripada sabotase terhadap revolusi.

Bagaimana hubungannya antara tingkat revolusi yang pertama dengan tingkat yang kedua? Bung Aidit dalam karyanya Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia menulis bahwa; ”Dua tingkat revolusi, yang demokratis dan yang sosialis (adalah) dua proses revolusioner yang berbeda dalam watak, tetapi yang satu dengan yang lainnya berhubungan. Tingkat pertama ialah persiapan yang diperlukan untuk tingkat kedua, dan tingkat kedua tidak mungkin sebelum tingkat pertama selesai”. Menyelesaikan “tingkat pertama”; bukan hanya berarti menyelesaikan tugas-tugas ekonominya yang pokok-pokok, terutama terhadap kapital imperialis dan monopoli tuan tanah atas tanah. Menyelesaikan “tingkat pertama”; harus berarti juga dikerjakannya hal-hal yang mendesak sekali seperti mempraktekkan dan bukan hanya menyerukan semboyan “merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional”.  Jika penghasilan negara terutama didapat dari pajak-pajak, langsung maupun tak langsung, jika pajak-pajak yang sudah ada dinaikkan dan pajak-pajak baru diadakan, dan jika tarif-tarif transpor, telekomunikasi dsb. dinaikan, juga jika harga minyak, gula, dan lain-lainnya dinaikkan, dan jika sebaliknya perusahaan-perusahaan negara tidak memberikan sumbangan yang sepertinya kepada kas negara, apalagi jika karena belum diberantasnya yang dikatakan Presiden Sukarno dalam Manipol “syaitan korupsi”; dan “syaitan garuk kekayaan hantam kromo”, maka semua ini menandakan semboyan “merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional”; baru semboyan yang diserukan dan
belum semboyan yang dipraktekkan. Ketika memasuki tahun ke-2 Manipol, Presiden Sukarno berkata: “Kita harus dengan lebih tegap melangkah untuk secara konsekuen melaksanakan Manipol dan dalam tahun ke-2 Manipol Usdek ini kita harus sungguh-sungguh nanpakken soal retooling ini benar-benar”.  Kita sekarang sudah berada di tahun ke-3 Manipol, tahun batas bagi pelaksaan triprogram kabinet, bagi kabinet sendiri, bagi keadaan bahaya juga. Jika dalam tahun ke-2 Presiden Sukarno sudah begitu menekankan mutlaknya melaksanakan secara konsekuen Manipol dan nampakken soal retooling benar-benar,”apalagi sekarang di tahun ke-3 Manipol ini! Beberapa patah kata tentang Pancasila. Harus jelas bagi siapa pun, bahwa Pancasila itu sesuatu keutuhan integral yang tidak boleh direnggut-renggut satu-satu silanya dari sila-sila lainnya, dan bahwa Pancasila itu alat pemersatu. Jika Pancasila direnggut-renggut, maka bisa nanti atas nama “Kebangsaan”; misalnya orang menentang “Ketuhanan Yang Mahaesa”; atau “Kemerdekaan Beragama”; misalnya orang menentang “Kedaulatan Rakyat”; atau “Demokrasi  Sosialisme di mana pun di dunia menjamin kemerdekaan beragama”.

Sosialisme Indonesia tak terkecuali.  Sdr. KDH Sudjarwo dengan tepat menganjurkan “Pancasila” secara ilmiah setaraf dengan interpretasi penciptanya,”; yaitu Bung Karno. Memang kalau kita bertolak dari “Lahirnja Pantja Sila”, pidato 1 Juni 1945 Bung Karno yang sudah banyak saya kutip itu, dalam mebicarakan sila  “Ketuhanan Yang Mahaesa”; Bung Karno menekankan “hormat-menghormati satu sama lain”, “yang berkeadaban”, “yang berkebudayaan”; “yang tidak onverdraagzaam”, dan dengan tegas beliau kemudian berkata: “Segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya”; UUD’45 dalam pasal
29 yang mengenai “Ketuhanan Yang Mahaesa”; menegaskan bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya”. Dalam “Djarek”, Presiden Sukarno menggasak “hantu kebencian”, membela “toleransi politik”; Dan dalam “Membangun Dunia Kembali”; atau pidato PBB-nya yang terkenal itu, Presiden Sukarno menerangkan bahwa sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”; dalam Pancasila berarti: “hak untuk percaya”, bukan kewajiban untuk percaya kepada Tuhan, dan berkatalah Presiden: “Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama: ada yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Budha dan ada yang tidak menganut sesuatu agama”.  Kemudian Presiden menunjukkan bahwa “bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan pun; diliputi oleh “toleransi”.

Pernyataan Presiden ini  tepat sekali, karena sesungguhnya “yang tidak menganut sesuatu agama”; atau “yang tidak percaya kepada Tuhan pun”; adalah bangsa Inndonesia-mereka rakyat Indonesia. Dan tentulah kita semua belum lupa pada canang yang dipukul Presiden dalam “Resopim”,  bahwa Pancasila adalah alat pemersatu, bahwa Pancasila tidak boleh dijadikan alat pemecah-belah, dan bahwa barang siapa menjadikan Pancasila alat pemecah-belah, sesungguhnya dia itu-dalam istilah Presiden Sukarno sendiri “sinting”

Sampailah saya sekarang pada alat yang terpenting, yang terbaik, dan yang satu-satunya untuk menyelenggarakan Sosialisme Indonesia melalui penyelesaian fase pertama, fase revolusi nasional-demokratis, yaitu persatuan nasional. Persatuan nasional ini dengan Nasakom sebagai porosnya, bukan hanya sesuatu yang sudah resmi dan maka itu harus dituruti mutlak oleh setiap warganegara dari golongan politik maupun karya, sipil maupun militer, tetapi dia pun syarat yang tak boleh tidak jika kita mau menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi ’45 dengan perbuatan dan tidak dengan lipservice atau lamis-lamis bibir saja. Presiden Sukarno mengatakan dalam “Resopim”; bahwa menolak Nasakom berarti bertentangan dengan UUD’45, dan dalam “Djarek”; beliau berpesan, “Bangsa” kita harus menggembleng dan menggempurkan persatuan dari segala kekuatan-kekuatan revolusioner, - menggembleng dan menggempurkan  de samenbundeling van alle revolutionaire krachten in de natie.

Demikianlah secara pokok-pokok Sosialisme Indonesia-ilmu dan amalnya: ilmu dan amal pengakhiran pengisapan oleh manusia atas manusia. Saya
anjurkan kepada para siswa UNRA dan para peminat lainnya yang mau memperdalam soalnya-supaya mempelajari buku Bung Aidit, Sosialisme Indonesia dan Syarat-syarat Pelaksanaannya.

Penegasan saya sebagai kesimpulan:
Tanpa Persatuan Nasional dengan kaum buruh dan tani sebagai kekuatan pokoknya dan Nasakom sebagai porosnya, takkan ada pelaksanaan Manipol secara konsekuen, sedang tanpa pelaksanaan Manipol secara konsekuen, takkan ada Sosialisme Indonesia.
----------------------

Tidak ada komentar: