Selasa, 17 November 2015

Jika NKRI Tak Memiliki Jenderal Pol Hoegeng, "Jenderal Pol Pethal" Juga Gak Papa

Jurnalis Independen: Terkait adanya aparat pemerintahan berani menentang bahkan jika mungkin memenjarakan para pengkhianat terhadap Presiden/Wakil Presiden, Rakyat, Bangsa, Negara dan UUD serta Pancasila memang sudah teramat langka di negeri ini. Hal itu lebih terasa jika dihubungkan dengan kasus pencatutan nama Presiden dan Wakilnya atas kasus renegoisasi kontrak PT Freeport Indonesia.

Ada cerita menarik tentang sosok polisi yang berani menggebrak pengusaha yang mencatut nama presiden. Rupanya kasus catut nama presiden demi melancarkan bisnis sudah lama terjadi.


Tahun 1960an, Presiden Soekarno menunjuk Jenderal Hoegeng Imam Santosa sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Dia diberi tugas untuk membongkar penyelundupan di sana.


Hoegeng segera mengamati pos barunya. Dia sadar rupanya di Jawatan Imigrasi bukan orang imigrasi yang berkuasa, melainkan Angkatan Darat, intel, polisi, dan orang kejaksaan. Petugas Imigrasi hanya tukang cap belaka.


Hal itu dikisahkan Hoegeng dalam biografinya yang ditulis Ramadhan KH dan Abrar Yusra terbitan Pustaka Sinar Harapan tahun 1993.


Maka Hoegeng berusaha mengubahnya sekuat tenaga. Jangan harap ada orang bisa main-main lewat imigrasi. Pegawai yang menerima suap dari pengusaha langsung ditindak.


Suatu hari seorang pengusaha kaya raya asal Aceh datang menemui Jenderal Hoegeng. Semua orang tahu pengusaha itu anak emas Presiden Soekarno . Saat Soekarno meminta pengusaha menyumbang untuk kepentingan revolusi dan konfrontasi dengan Malaysia, si pengusaha menyumbang Rp 50 juta. Jumlah terbanyak kala itu.


Tapi sumbangan itu tidak cash. Untuk mencari dana sebesar Rp 50 juta, si pengusaha meminta izin monopoli karet di Sumatera. Soekarno memberikannya.


Rupanya pengusaha itu meminta paspor diplomatik yang punya kekebalan hukum internasional. Tentu saja Hoegeng menolaknya. Masak pengusaha minta paspor diplomatik? Lagipula untuk menerbitkan paspor diplomatik, imigrasi harus berkoordinasi dengan kementerian luar negeri.


Hoegeng terus menolak. Tapi si pengusaha dengan percaya diri terus mendesak Hoegeng.


"Begini saja kita sebagai sesama manusia saling membantu saja. Tak ada sulitnya bagi saudara memberi saya paspor diplomatik, artinya membantu saya bebas ke luar negeri. Apa bantuan yang bisa saya berikan untuk saudara? Katakan saja kepada saya, berapa biaya rumah dan keluarga yang saudara butuhkan setiap bulan? Berapa ratus-ratus ribu rupiah per bulan?" kata Hoegeng menirukan tawaran pengusaha itu.


Hoegeng naik pitam. Dia sangat tersinggung melihat polah pengusaha itu. Disangkanya dengan uang semua bisa dibeli. Hoegeng marah benar. Dia berdiri dan berkata dengan nada tinggi sambil menunjuk ke arah pintu.


"Saudara lihat pintu itu? Jadi saudara tinggal pilih: Keluar baik-baik atau saya tendang ke luar pintu itu! Persetan dengan uang kamu itu!" bentak Hoegeng sekeras-kerasnya.


Pengusaha itu gelagapan, tubuh Hoegeng lumayan tinggi untuk orang Indonesia. Takut juga si pengusaha kalau benar-benar ditendang keluar. Dia segera pergi meninggalkan Hoegeng.


Cerita ini masih berlanjut. Saat Hoegeng menemui Presiden Soekarno ternyata secara kebetulan ada si pengusaha di Istana. Hoegeng pun langsung menyindirnya.


"Nah ini pengusaha anak emas bapak lho ya?" sindir Hoegeng.


Soekarno tertawa. "Memang kenapa?"


"Untuk Bapak ketahui, dia mencoba menyogok atau membeli saya agar dikasih paspor diplomatik," beber Hoegeng.


Soekarno terdiam beberapa detik. Dia lalu bertanya dengan tegas pada pengusaha itu. "Heh, kamu! Apa iya?"


Namun si pengusaha hanya duduk dan menunduk malu di kursinya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya yang semula gemar omong besar.


Dalam  kasus pencatutan  nama Presiden Jokowi terkait Freeport dan Ketua DPRRI Setya Novanto, masyarakat masih tetap berharap  ada Jenderal Polisi walau bernama "Jenderal Phetal" berani menyeret  dan menghukum berat sang pencatut nama presiden demi keuntungan kelompok maupun pribadi, semoga....

Tidak ada komentar: