Jurnalis Independen: Minum kopi sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat urban dalam satu dekade terakhir. Tetapi setahun belakangan, muncul tren baru dalam kebiasaan minum kopi.
Jika biasanya konsumen di kota-kota besar di Indonesia akan mencari tempat minum kopi yang menawarkan berbagai paduan rasa sekaligus menjadi tempat nongkrong yang asyik dengan koneksi internet, kini mereka mulai mencari tempat-tempat untuk menikmati seduhan biji kopi pilihan khas.
Tren ini pun ditanggapi oleh dunia usaha dengan munculnya tempat-tempat yang menyajikan specialty coffee. Biji kopi ini seringnya diseduh tanpa mesin, dan disajikan asli; tanpa gula, tanpa krim, dan tanpa tambahan rasa karamel atau vanila. Intinya, kembali pada rasa kopi itu sendiri.
Salah satu tempat yang menyajikan specialty coffee tersebut adalah Wisang Kopi di Jakarta Selatan.
Kedai kopi milik Cubung Hanito dan Nanda Imaniar ini sudah berdiri sejak 1,5 tahun terakhir. Ukurannya hanya sekitar 4x6 meter. Namun lepas ukuran yang mungil, tempat ini menawarkan biji kopi pilihan, dari Gayo Sarawalo asal Aceh atau Kenya Gatuya. Yang pasti semua adalah kopi jenis single origin Arabika.
Semua pesanan minuman akan diseduh secara manual, tanpa mesin, oleh Cubung. Metode seduh manual ini mereka tawarkan sebagai nilai jual keunikan di Jakarta.
Mesin 'wah'
Di Jakarta mereka menjadi satu-satunya kedai kopi dengan modal bisnis, pendapatan, dan alat yang "seadanya". Tetapi, sebenarnya, menurut Nanda, ide menjual biji kopi pilihan dengan seduh manual ini sudah banyak dilakukan oleh anak-anak muda di Bandung dan Yogyakarta.
"(Mereka adalah) Orang-orang yang menyukai kopi dari nol sampai akhirnya punya (kafe). Di Jakarta, terbalik. Fenomenanya malah bisnisnya dulu yang diincar. Modal gede, mesin wah, tokonya di dalam mal. Sedangkan di tempat-tempat lain, teman-teman kita, bahkan ada yang bikin di garasi rumahnya, ada yang naik sepeda sambil bawa kopi, jualan, mereka memang start bisnisnya dari passion, modal seadanya, baru jadi gede," kata Nanda.
Alasan Cubung mendirikan Wisang Kopi sebenarnya sederhana. Sebagai penyuka kopi, dia sayang jika harus mengeluarkan uang untuk minum kopi. Tetapi dengan punya warung, menurutnya dia bisa minum dengan pengeluaran warung.
"Jujur itu yang pertama terpikir," katanya.
Image caption Metode seduh manual tanpa mesin menjadi nilai jual keunikan di Jakarta.
Image caption Di Yogyakarta dan Bandung, menurut Cubung Hanito, malah jauh lebih banyak tempat-tempat yang menyajikan kopi hitam dengan metode seduh manual dibanding Jakarta.
Selain itu, dia belum bisa menemukan tempat-tempat minum kopi single origin yang diseduh secara manual di Jakarta setelah pindah dari Bandung.
Dia membandingkan, di Bandung, setidaknya sudah ada 10-15 tempat yang menurutnya "oke" dalam menyajikan kopi seduh manual.
"Di Yogya sampai tiga atau empat kali lipatnya, dilihat dari jumlah warung kopi manual," ujarnya.
Meski berawal dari minat, tetapi Wisang Kopi sebenarnya punya perhitungan bisnis, terutama soal pangsa pasar.
Cubung memperkirakan penikmat seduh manual di Jakarta yang spesifik mencari kopi hitam berkisar 2-5 ribu orang. Kecil, tapi dalam tiga tahun ke depan, dia berharap angka ini akan bertambah 2-3 kali lipatnya.
Dan untuk menarik calon konsumen, Wisang Kopi juga memasang harga murah, sekitar Rp18-25 ribu per gelas kopi. Biasanya, di kafe-kafe yang menyajikan kopi dengan kualitas serupa, harga dipatok sekitar Rp30-40 ribu segelas.
Sebulan, Wisang Kopi bisa membeli 20-25 kg biji kopi dan mendapat pemasukan bersih Rp5-6 juta.
Gelombang ketiga
Jika Wisang Kopi lebih melakukan pendekatan modal dan pendapatan seadanya, maka Watt Coffee mendasarkan keputusan bisnisnya pada tren penyajian specialty coffee di Jakarta.
Image caption Proses memasak air panas untuk menyeduh kopi di Watt Coffee, Jakarta Pusat.
Image caption Proses menyeduh bubuk kopi.
Watt Coffee yang ada di bilangan Senen, Jakarta Pusat, baru berdiri 11 bulan. Alfred Agus, pemiliknya, mengatakan bahwa kafenya adalah bagian dari gelombang ketiga industri kopi.
"Third wave ini memang lagi booming di mana-mana, ini industri yang datang dari Melbourne dan Amerika Serikat," kata Alfred.
Tahap bayi
Dia mencirikan, tempat penyajian specialty coffee biasanya hanya ada di satu lokasi, berbeda dengan konsep waralaba kafe yang populer.
Di Jakarta, fenomena ini, Alfred melihat, baru terjadi dalam 2 tahun terakhir dengan berdirinya tiga tempat minum specialty coffee di Jakarta, yaitu Giyanti Coffee, Tanamera, dan Common Grounds.
Meski ada tiga tempat tersebut yang disebut Alfred sebagai pionir, toh dia tetap melihat ada peluang untuk meraih pasar.
Image caption Kopi Flores Madu yang sudah selesai diseduh.
"Industri kopi itu bukan yang booming seperti yogurt beku. Ketagihan kopi harus minum setiap hari, apakah dia minum kopi tubruk atau ke waralaba, intinya adalah orang harus minum kopi. Apakah culture-nya pekat seperti Melbourne? Belum. Industrinya sudah seperti Melbourne? Belum. Jadi di Indonesia industrinya masih di baby stage," ujarnya.
Alfred tak mau menyebut omset Watt Coffee, tapi, di Jakarta, menurutnya tempat-tempat minum kopi specialty sepertinya berpeluang untuk mendapat untung kotor dari mulai Rp100 juta bahkan sampai Rp1 miliar.
"Dari segi pangsa pasar, lihat saja size Jakarta, ada 15 juta penduduk. Yang pergi ke Giyanti, Tanamera berapa? Katakan ada 1000 orang atau 2000 orang per tempat, masak 1% dari 15 juta saja tidak dapat?" Penulis Isyana Artharini Wartawan BBC Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar