Selasa, 03 Juni 2014

Prahara "Pecatan" Kopassus, Selangkah Menuju RI 1

Jurnalis Independen: Suhu politik menjelang pemilihan presiden 2014 terutama setelah pemilihan legeslatif 9 April semakin memanas. Hasil pileg, mengerucut dan memecah kekuatan politik negeri ini menjadi dua kubu utama. yaitu kubu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan Megawati Soekarno Putri sebagai suhunya  dan Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) milik Prabowo Subianto yang merupakan "pecatan Kopassus".


Masing-masing kubu memiliki jago pada pilpres yang akan dilaksanakan pada Juli mendatang. PDIP jagoannya adalah Joko Widodo, calon presiden yang digadang dan didukung rakyat lantaran kebersihan kinerja nya selama menduduki jabatan Walikota Solo dua periode dan Gubernur DKI Jakarta. Selain itu Jokowi sebutan merakyat Joko Widodo dikenal memiliki moralitas diatas rata-rata yang tidak dimiliki pejabat pemerintah belakangan ini. 
Hasil pileg yang dimenangi kubu PDIP, partai rakyat kecil, membuat partai- partai lain yang sedikit mendudukkan wakilnya di parlemen berusaha mendekati partai anak Soekarno dan mengajaknya melakukan koalisi. Ajakan koalisi itu dilakukan tentu tidak dengan tulus begitu saja.

Politisi dan pemimpin partai politik berharap mendapatkan jabatan di dalam pemerintahan Jokowi jika terpilih menjadi Presiden 2014-2019. Sayangnya hal itu ditolak mentah-mentah oleh PDIP yang ingin membentuk pemerintahan yang bersih dan hanya memihak pada kepentingan rakyat, bangsa dan negara semata.

Tentu saja hal itu menjadi banyak politisi, pemimpin partai politik kecewa atas penolakan barter dukungan dengan jabatan di pemerintahan. Baik sebagai wakil presiden untuk mendampingi Jokowi, maupun sebagai menteri sebagai jabatan strategis guna mendulang rupiah maupun mendudukkan partai dimana mereka bernaung terlihat lebih “berwibawa” dipandang masyarakat awam.

Penolakan demi penolakan yang dilakukan PDIP, Megawati bahkan mungkin oleh Jokowi yang merasa memegang Amanat Rakyat menciptakan “Prahara”.

Konsistensi PDIP sebagai pemenang Pileg tahun ini untuk membentuk pemerintahan sesuai hati nurani dan pengemban amanat guna menciptakan kesejahteraan seluruh rakyat indonesia ditanggapi “serius” oleh Partai Gerindra dan Prabowo Subiyanto yang sejak masa orde baru menginginkan duduk sebagai Presiden Republik Indonesia.

Menjelang kejatuhan pemerintah Sang Mertua yaitu Soeharto yang berkuasa secara tangan besi selama 32 tahun, terlihat sudah nafsu besar Prabowo yang saat itu menjabat sebagai Danjen Kopassus untuk menjadi presiden.

Hal itu dibuktikan dengan berbagai manuver yang pernah dilakukan mantan Danjen Kopassus itu agar “rakyat mengangkatnya menjadi Presiden RI ke 3”. Makar dan kudeta pernah Prabowo lakukan, hingga anak mendiang Soemitro sang begawan ekonomi orde baru itu harus “hengkang” dari militer. Prabowo dicopot oleh Wiranto yang pada saat genting itu menduduki jabatan sebagai Panglima ABRI.

Saat itu, sebagai Panglima ABRI Wiranto mengetahui persis sepak terjang Danjen Kopassus Prabowo melakukan aksi militer guna mengkudeta BJ Habibie yang mendapatkan mandat menggantikan posisi Presiden RI dari Soeharto.  

Sebelumnya, Danjen Kopassus itu memerintahkan anak buahnya melakukan penculikan dan bahkan pembunuhan pada kelompok aktivis 98 yang hingga kini tak pernah ditemukan keberadaannya bahkan mayatnya sekalipun.

Jika pada pilpres kali ini, terjadi pengerucutan kontestan dan hanya menampilkan dua kubu yaitu Jokowi - Jusuf Kalla (JK) dan Prabowo – Hatta Rajasa (Prahara), itu artinya pertarungan politik dalam pilpres 2014 kali ini merupakan pertarungan hitam - putih, kotor - bersih, jahat - baik, pendosa – alim atau penyengsara rakyat – penyejahtera rakyat dan seterusnya. 

Yang baik diwakili oleh Jokowi-Jusuf Kalla (double JK) sementara Prabowo – Hatta Rajasa (Prahara) mewakili kekuatan politisi, pejabat dan mantan pejabat hitam negeri ini, serta barisan sakit hati pada sosok Jokowi plus Megawati dan PDIP.

Karenanya jika masyarakat masih mudah dibodohi, dibohongi, dininabobokan, melihat tampilan tanpa mau melihat track record calon presidennya, tidak mustahil rakyat, negara dan bangsa ini akan mengalami prahara terus menerus sepanjang sejarahnya, bahkan NKRI pun tidak mustahil akan menjadi kepingan yang tiada berarti.

PRAHARA sendiri telah dideklarasikan di Cipinang minggu lalu yang didukung partai, politisi yang patah hati lantaran ditolak mengemis kursi pada Megawati, PDIP dan Jokowi. Partai dan politisi itu kemudian membuat PRAHARA dan benar – benar menyiapkan PRAHARA terhadap bangsa, negara dan rakyat Indonesia dimasa akan datang.

Duel dua kubu antara PRAHARA dan DOUBLE JK, mengingatkan kita pada pertarungan politik masa Kerajaan Mataram antara Sultan Hadiwijoyo melawan Danang Sutawijaya....atau antara Satrio Piningit Asli (Jokowi- JK) melawan Satrio Piningit Palsu yang diwakili kubu PRAHARA (Prabowo – Hatta Rajasa).

Bagaimana? Masih mau mendukung PRAHARA (Prabowo - Hatta Rajasa)? Yang hendak menjegal JOKOWI – JK.

Berikut sebagai tambahan bahan pertimbangan penulis nukilkan pernyataan 2 orang purnawirawan Jendral yang merupakan saksi sepak terjang mantan Danjen Kopassus yang belakangan juga penulis dapatkan keterangan tentang rencana penggulingan pemerintahan Jokowi pada pertengahan masa pemerintahannya nanti.

Wiranto dan Luhut Binsar Panjaitan adalah dua jenderal yang paling konsisten menolak mendukung Prabowo sebagai presiden.

Tidak hanya dalam perpolitikan masa kini, jika melihat ke belakang, rivalitas Wiranto dan Luhut menghadapi Prabowo sangat kental dan penuh heroisme.

Kolonel Luhut Panjaitan diketahui sejak lama berseteru dengan Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto. Sejarah mencatat rivalitas keduanya terjadi saat posisi Prabowo dari wakil Komandan Detasemen-81 Kopassus menjadi kepala staf Kodim. Digeser oleh Jenderal Benny Moerdani dan digantikan beberapa orang dekatnya, salah satunya Kolonel Luhut.

Leonardus Benny Moerdani merupakan generasi awal pasukan elite TNI yang sekarang bernama Kopassus. Dia sudah bertempur sejak tahun 1958 melawan PRRI/Permesta lalu mendapat Bintang Sakti dalam misi tempur merebut Irian Barat. Benny orang intelijen, dia tak pernah menduduki jabatan Komandan Brigade atau Panglima Kodam, seperti umumnya karir prajurit. Namun atas jasanya membebaskan sandera Woyla tahun 1981, akhirnya Soeharto mengangkat Benny sebagai Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI tahun 1983-1988.

Pergeseran Prabowo dilakukan Jenderal Benny Moerdani karena melihat gelagat Prabowo semakin menyimpang semenjak mengenyam pendidikan anti teror di Jerman. Tak terima dengan posisi barunya, perseteruan Prabowo dan Benny Moerdani memanas.

Semenjak itu, Prabowo membuat ulah dengan melakukan berbagai gerakan yang oleh orang Benny Moerdani dianggap mengarah kudeta.

Sementara perseteruan antara Luhut Panjaitan dan Prabowo Subianto salah satunya terjadi pada Maret 1983. Saat itu, Prabowo mau melakukan aksi penculikan terhadap Jenderal Benny Moerdani.

Saat itu Komandan Detasemen-81 Kopassus Mayor (inf) Luhut Panjaitan, dikejutkan aksi wakilnya, Kapten (inf) Prabowo Subianto. Prabowo mengatakan Jenderal Benny Moerdani mau melakukan kudeta atau coup d'etat. Karena ancaman kelompok Benny, Prabowo akan membawa Presiden Soeharto ke Bugis (sebutan untuk markas pasukan antiteror Kopassus di Cijantung).

Pasukan antiteror Kopassus sudah akan bergerak menculik Jenderal Benny Moerdani dan Letjen Soedharmono serta beberapa jenderal lain. Mayor Luhut mencegah tindakan itu. Semua senjata dan radio disimpan dalam kamar kerja Luhut. "Nggak ada itu. Sekarang kalian semua siaga di dalam. Tidak ada seorang pun yang keluar pintu tanpa perintah Luhut Panjaitan sebagai komandannya," tegas Luhut seperti dikutip dalam buku 'Konflik dan Integrasi TNI-AD' karya Mayjen TNI (purn) Kivlan Zen.

Ancaman kudeta Benny Moerdani tak terbukti. Luhut dan para komandan Kopassus menilai saat itu Prabowo stres berat.

Dalam kesaksiannya, pada 22 Mei 1998, Habibie menerima Wiranto di ruang kerja presiden di Istana Merdeka. Saat itu Wiranto melaporkan bahwa pasukan Kostrad dari luar Jakarta bergerak menuju Jakarta dan ada konsentrasi pasukan di kediaman Habibie di Kuningan, begitu pula di Istana Merdeka. Jenderal Wiranto lantas meminta petunjuk dari Habibie.

Mendengar laporan tersebut, Habibie berkesimpulan Pangkostrad bergerak sendiri tanpa sepengetahuan Pangab. Pergerakan itu pula yang menimbulkan beberapa pertanyaan dalam diri Habibie: "Apakah ada skenario tersendiri mengenai laporan yang baru saja disampaikan oleh Pangab?"

Saat itu pula, Habibie menegaskan kepada Pangab agar mengganti Pangkostrad sebelum matahari tenggelam. Kepada penggantinya, diharapkan pasukan di bawah komando Pangkostrad kembali ke kesatuan masing-masing. Sejarah mencatat, saat itu Pangkostrad baru yang dipilih adalah Letjen TNI Johny Lumintang sebelum 17 jam kemudian digantikan Letjen TNI Djamari Chaniago.

Figur Wiranto menjadi penting mengingat sosoknya yang ketika itu disebut memiliki rivalitas dengan Prabowo. Muncul berbagai spekulasi bahwa momen itu adalah kesempatan bagi Wiranto menyingkirkan Prabowo. Lantas seperti apa kesaksian Wiranto soal peristiwa tersebut? Dia memaparkannya dalam bukunya "Bersaksi di Tengah Badai."

Wiranto mengakui, mendapat laporan secara lengkap tentang aktivitas Pangkostrad Letjen TNI Prabowo pada saat-saat kritis. "Bahkan, saya telah mendapat informasi mengenai pertemuannya dengan Wakil Presiden BJ Habibie dan pertemuannya dengan Amien Rais serta Gus Dur maupun dengan tokoh-tokoh lainnya. Bagi orang awam, barangkali hal itu biasa-biasa saja. Tidak ada yang aneh," tulis Wiranto .

Wiranto juga menceritakan, satu hal yang benar-benar tidak masuk di akal adalah pada malam hari tanggal 16 Mei 1998, sekitar 22.30 WIB. "Saya mendapat informasi bahwa Pangkostrad menghadap presiden di kediaman, untuk melaporkan bahwa Menhamkan/Pangab telah berkhianat terhadap presiden yang berarti telah berkhianat terhadap pemerintah yang sah. Hal ini benar-benar sudah keterlaluan dan merupakan suatu pemanfaatan dari suatu situasi yang tengah kacau dan tidak menentu dengan suatu arah yang jelas, yaitu penyingkiran.

Oleh karena itu, pada pagi hari tanggal 17 Mei 1998, di Jalan Cendana No 6, disaksikan oleh Kasad Jenderal TNI Soebagio HS dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, Wiranto memberikan teguran keras kepada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto atas apa yang dilakukannya yang dianggap di luar kepatutan. Terutama mengenai apa yang telah diperbuatnya pada saat menghadap presiden.***

Tidak ada komentar: