Jurnalis Independen: Menarik memang jika membahas pasangan capres nomor urut satu yaitu PRAHARA (Prabowo Subianto - Hatta Rajasa), khususnya tentang rekam jejak "pecatan" Danjen Kopassus ini. Dari banyaknya rekam jejak hitam Prabowo, ada tiga tokoh berani bicara dan mengungkapkan tentang borok hitam putra Soemitro Djoyohadikusumo itu.
Hasyim Djoyohadikusumo, adik kandung Prabowo sendiri atas nama Partai Gerindra, partai dimana Prabowo terusung menjadi calon presiden 2014 di depan Senat Amerika Serikat (AS) mengatakan, jika capres prahara itu sangat mengagungkan segala sesuatu yang berbau AS.
Sekolah Prabowo sendiri dilalui di AS. Menurut Hasyim di hadapan Senat AS "Prabowo sangat mengidolakan AS, jadi AS harus mendukung pencapresan Prabowo dalam pilpres di Indonesia kali ini". Selain itu, Prabowo akan selalu tuntuk kepada keinginan Pemerintah AS jika dirinya menjadi Presiden Republik Indonesia nanti. Pernyataan tersebut bisa dilihat dari video yang ada di Yuotube.
Sementara salah seorang pendiri dari Partai Gerindra yang memiliki tanda anggota partai dengan nomor urut 1, Muhammad Harris Indra yang juga menjabat Ketua DPP Partai Gerindra, dengan terang benderang di sebuah media elektronik menyatakan dukungannya kepada pasangan capres nomor urut dua (2) Joko Widodo - Yusuf Kalla.
Harris mengatakan dalam pilpres kali ini, dirinya harus memilih pasangan terbaik yang maju menjadi peserta pilpres. " Bagi saya, pasangan terbaik, jujur, tegas dan memiliki integritas kepada rakyat, bangsa dan negara serta arif bijaksana adalah capres Joko Widodo yang maju dari Partai PDIP, oleh karena itu, saya harus mendukung putra terbaik bangsa", kata Ketua DPP Partai Gerindra dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi swasta ternama.
Lain lagi dengan apa yang dikatakan oleh Syamsu Djalal, Mantan Komandan Pusat Polisi Militer yang berani bicara dan tidak mau menutupi terkait jadidiri Prabowo, tidak seperti para politisi Amin Rais, Abu Rizal Bakri, Susilo Bambang Yudhoyono, Surya Dharma Ali, Mahfud MD, pedangdut Rhoma Irama, petinggi Partai PKS, PAN, PBB dan seabrek politisi busuk lainnya yang tutup mata tentang banyak hal yang tidak patut pada pribadi sang capres pasangan prahara.
Berikut salinan lengkap pernyataan Mantan Danpuspol Syamsu Djalal yang dikutip dari sebuah media elektronik nasional.
Mantan Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI, Syamsu Djalal meminta kepada seluruh jajaran yang pernah mendapuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk terang-terangan berbicara terkait pemberhentian Prabowo Subianto di tahun 2004.
"Yang tanda tangan itu semua. Jelaskan saja," kata Syamsu di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (8/6/2014).
Kata Syamsu, dirinya hanya tahu bahwa keputusan DKP ABRI saat itu adalah mencopot dan memberhentikan Prabowo dari dinas kemiliteran. Setelah itu, kata Syamsu pasca keputusan DKP itu, seharusnya Prabowo dibawa ke Pengadilan Militer.
"Yang saya dengar, itu internal, hasil sidang itu cukup bukti Prabowo melanggar. DKP bukan badan hukum. Kalau begitu harus ditindaklanjuti ke pengadilan militer," Ujar Syamsu.
Meski dirinya tak duduk dalam DKP, Syamsu mengatakan berdasarkan sidang DKP Prabowo yang juga Danjen Kopassus telah melakukan pelanggaran dan harusnya dibawa ke pengadilan milter.
"Karena DKP itu bukan penegak hukum, harusnya ke pengadilan," ujarnya.
Untuk diketahui, beredar surat berklasifikasi rahasia dimana sejumlah petinggi ABRI saat itu, yang masuk ke DKP ABRI, menandatangi surat rekomendasi pemberhentian Letnan Jenderal Prabowo Subianto dari ABRI itu berkop Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Dewan Kehormatan Perwira, bernomor KEP/03/VIII/1998/DKP. Surat ditetapkan tanggal 21 Agustus 1998.
Diantara yang membubuhkan tandatangan adalah, Subagyo HS sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumelar, Djamari Chaniago, Ari J Kumaat, Fahrul Razi dan Yusuf Kartanegara.
Dalam surat itu disebutkan bahwa DKP sudah memeriksa Letjen Prabowo, dan menemukan bahwa yang bersangkutan secara sengaja melakukan kesalahan dalam analisa tugas terhadap ST Kasad nomor STR/41/1997 tanggal 4 Februari 1997 dan STR/92/1997 tanggal 11 Maret 1997 walaupun mengetahui bahwa Kasad sebagai Pembina tidak berwenang untuk pemberian tugas tersebut.
Disimpulkan bahwa Prabowo secara sengaja menjadikan perintah Kasad yang diketahuinya dikeluarkan tanpa wewenangnya sebagai dasar untuk menerbitkan surat perintah nomor Sprin/689/IX/1997 tanggal 23 Desember kepada Satgas Merpati untuk melakukan operasi khusus dalam rangka stabilitas nasional.
DKP juga menyimpulkan Prabowo melaksanakan dan mengendalikan operasi dalam rangka stabilitas nasional yang bukan jadi wewenangnya tetapi menjadi wewenang Pangab. Tindakan tersebut di atas dilakukan berulang-ulang oleh yang bersangkutan dalam pelibatan Satgas di Tim-Tim dan Aceh; Pembebasan Sandera di Wamena, Irja; Pelibatan Kopassus dalam pengamanan presiden di Vancouver, Kanada.
Disimpulkan bahwa Prabowo telah memerintahkan Anggota Satgas Mawar, Satgas Merpati melalui Kolonel (Inf) Chairawan (Dan Grup-4) dan Mayor (Inf) Bambang Kristiono untuk melakukan pengungkapan, penangkapan, dan penahanan aktivis kelompok radikal dan PRD yang diketahuinya bukan menjadi wewenangnya. Diantara yang direbut hak kemerdekaannya itu adalah Andi Arief, Mugiyanto, Nezar Patria, Desmond J Mahesa, Pius J Lustrilangang.
Surat itu berlanjut sampai beberapa poin, termasuk kesimpulan-kesimpulan bahwa tindakan-tindakan Prabowo dianggap mengabaikan sistem operasi, hierarki, disiplin, dan hukum yang berlaku di lingkungan TNI.
Prabowo juga dianggap tidak mencerminkan pelecehan pada sumpah prajurit dan Sapta Marga TNI. Bahkan dianggap melanggar pasal 103 KUHPM soal ketidakpatuhan, dan memerintahkan Dan Grup-4 dan anggota Satgas Merpati serta Satgas Mawar untuk melakukan perampasan kemerdekaan orang lain dan penculikan yang melanggar KUHP.
"Sesuai dengan hal-hal tersebut di atas, maka Perwira Terperiksa atas nama Letnan Jenderal TNI Prabowo Subianto disarankan dijatuhkan hukuman administrasi berupa diberhentikan dari dinas keprajuritan". JI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar