Jurnalis Independen: Maraknya kasus korupsi diberbagai tingkat lembaga, seperti legeslatif, judikatif, maupun eksekutif, membuktikan gagalnya sistem demokrasi Indonesia.
Banyak contoh sebagai bukti. Seperti kasus korupsi yang terjadi dilingkungan legeslatif. Yang pertama, pengadaan mobil pemadam kebakaran (PMK). Nilai kerugian Rp 15,2 M, dengan pelaku Saleh Djasit (Golkar) terkuak Maret 2008. Al Amin Nasution (PPP) ditangkap 8 April 2008 dalam kasus suap senilai Rp 3 M, alih fungsi hutan lindung. Pada 17 April 2008, Hamka Yandu (Golkar), terjebak dalam kasus aliran dana BI ke DPR sebesar Rp 31 M. Sedangkan dari Partai Demokrat, Sarjan Taher menjadi pesakitan KPK sejak 2 Mei 2008, Karena kasus korupsi alih fungsi hutan mangrove di Sumatra Selatan. Belakangan Bulyan Royan, kader dari Partai Bulan Reformasi (PBR) menjadi pelaku korupsi dalam pemgadaan kapal patroli depertemen Perhubungan.dengan menilap uang rakyat sebesar Rp 715 juta.
Keberanian aktor korupsi, tak bisa dilepaskan dari sistem pemerintah yang ada. Sistem pemerintahan demokrasi membutuhkan “biaya” tinggi. Biaya tinggi ini tidak mungkin tertutupi oleh “pendapatan” masyarakat Indonesia. Sebab masyarakat Indonesia di era ordebaru yang merupakan bentuk pemerintahan otoriter negatif (sebab ada otoriter positif), telah menghilangkan sendi-sendi kehidupan berbangsa, bernegara, utamanya pada masyarakat, secara sistematis.
Penghilangan sendi kehidupan secara sistematis tersebut berkedok pada landasan dasar Negara, yaitu Pancasila. Dalam kenyataannya, ordebaru sebenarnya, tidak memiliki landasan Negara yang nyata, apalagi Pancasila. Ordebaru pimpinan HM. Soeharto menganut dasar Negara fatamorgana.
Ordebaru, menghilangkan kekuatan prinsipil dalam sebuah Negara yang menganut dasar Negara otoriter positif. Negara otoriter positif inilah yang dianut oleh Ordelama (Soekarno). Yang terbungkus dengan nama Pancasila.
Pancasila adalah nama lain dari kekuatan islam. Sebab Pancasila diciptakan oleh Soekarno dari hasil “tafakurnya”. Soekarno sendiri merupakan seorang tokoh yang matang dalam mamahami hidup. Baik sebagai individu, tokoh, pejuang maupun negarawan. Hal itu dibuktikan, ketika memproklamirkan Negara Indonesia dan menjadikan dasar Pancasila sebagai dasar Negara. Dimana dalam sila pertama tercantum dasar Negara yang berbunyi, bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Secara ekplisif maupun implisif, tidak sebuah kepercayaanpun di negeri ini yang mengakui ke-Esa-an Tuhan, kecuali ajaran islam. Pada kenyataannya, kelompok pejuang muslimlah yang paling membuat repot kekuatan penjajah Belanda (dan Jepang) yang kapitalis di negeri ini.
Munculnya sebuah Negara Pancasila dikawasan Asia, yang memiliki luas wilayah sekaligus kekayaan alam yang dimungkinkan bisa menjadi imperium masa depan, memasgulkan kekuatan komunis maupun kapitalis, terutama Amerika Serikat. Sehingga Amerika ketika itu mengharuskan Soekarno sebagai pemimpin Negara Pancasila memilih, menjadi Negara liberal yang kapitalis atau menjadi Negara komunis yang tidak bertuhan.
Namun ultimatum Amerika itu ditolak mentah-mentah oleh pencetus ideologi pancasila ini. Soekarno tidak memilih keduanya. Beliau justru menciptakan sebuah azas negara Pancasila.
Beberapa kali, konseptor sekaligus ideologi Pancasilanya coba diberangus. Namun usaha itu selalu kandas. Hingga ketika memiliki momentum black September 65, melalui Soeharto, penumbangan esensi Pancasila berhasil dilakukan. Secara perlahan tapi pasti, Pancasila disingkirkan dari hati sanubari rakyat yang masih banyak tidak mengerti makna sebuah grand scenario.
Melalui momentum pemberontakan komunis (PKI) dengan gerakan 30 September 65 (G30S-PKI), kekuatan kapitalis dunia, berhasil menumbangkan dua lawannya sekaligus di negeri ini. Yaitu, kekuatan islam yang lebih tercermin lewat Pancasila, serta memberangus komunis, lewat tangan Soeharto.
Setelah Soeharto tegak berdiri dengan menjadi antek penjajah kapitalis, segera pimpinan ordebaru ini memberikan tanda jasa kepada tuannya AS (Amerika Serikat) dengan menyerahkan kekayaan alam seperti yang terjadi di irian barat (Freeport). Selain itu, negeri ini juga masuk kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ini, membuktikan adanya hubungan antara Soeharto dengan Kapitalis. Pada jaman Soekarno, negeri Pancasila ini keluar dari keanggotaan PBB sebagai bukti tidak mau didiktenya Indonesianis Soekarno oleh Kapitalis Amerika.
Untuk mengganti azas Negara yaitu Pancasila, adalah hal mencolok. Karenanya, untuk menggeser Pancasila, Pancasila ditafsirkan melenceng dari esensi semestinya, seperti yang dimaksud oleh pencetusnya. Pancasila oleh rezim Soeharto dijauhkan dan dikaburkan dengan memberikan penafsiran baru lewat P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Menghilangkan secara total esensi Pancasila yang lebih cenderung kepada pemahaman islami yang meng-Esa-kan Tuhan, tidaklah mudah. Maka kapitalis yang telah berhasil menempatkan ordebaru sebagai kepanjangan tangannya menginstruksikan kepada anteknya untuk merusak ahklaq (budipekerti).
Untuk itu, minimal negara tidak mencampuri dan menjadikan ahklaq sebagai salah satu bidang yang harus diperhatikan. Agar tujuan tersebut bisa terlaksana maka dibuatlah sebuah kebijakan menghilangkan mata pelajaran budipekerti dari lembaga pendidikan formal.
Hal pokok yang bisa menghubungkan manusia dengan tuhannya, adalah tercermin dari baik atau buruknya budipekerti. Sebab, hanya manusia yang berahlaq (budipekerti) lah, yang tunduk, berhubungan dan tetap mengingat akan ke-Esa-an Tuhan.
Disisi lain, memasukkan produk barang, jasa bahkan ideologi Negara kapitalis dilegalkan oleh pemerintah. Sehingga menimbulkan keinginan untuk memiliki, memproduksi, meniru Negara kapitalis yang kala itu sudah lebih mapan dari pada negeri ini.
Membangun struktur maupun infra struktur membutuhkan modal yang cukup banyak. Selain modal berupa dana, modal para pemikir/ahli kita belum cukup memilikinya. Modal yang dibutuhkan negeri ini cukup melimpa dibelahan dunia barat. Sehingga bak air terjun meluncur bebas menuju dataran rendah. Maka, mengalirlah baik dana, para ahli, produk dan jasa masuk, menjadi bagian kehidupan masyarakat negeri ini. Termasuk ideologi yang bernama demokrasi.
Kecintaan kepada modal, Kapital (kapitalis), serta amburadulnya ahklaq, berarti adalah juga hilangnya pemahaman tentang ke-Esa-an tuhan. Kelima sila yang terdapat dalam Pancasila sebagai dasar Negara, tidak akan lagi punya makna tanpa esensi Ketuhanan Yang Maha Esa. Hilangnya sila pertama ini dari lubuk hati rakyat negeri ini, adalah berarti hilangnya semua dasar Negara yang ada pada kelima sila dalam Pancasila.
Artinya, hilangnya pelajaran budipekerti dari negeri ini, ideologi Pancasila di negeri ini, hanya tinggal nama. Sedangkan esensinya berganti menjadi ideologi fatamorgana milik ordebaru.
Dasar Negara fatamorgana yang diterapkan ordebaru, Soeharto, bukan tanpa sengaja. Dasar Negara itu, bertujuan untuk mereduksi kekuatan-kekuatan potensial yang ada di negeri ini.
Ada tiga (3) kekuatan besar yang sangat potensial memimpin dan memakmurkan negeri dan masyarakat Indonesia. Ketiga kekuatan itu adalah kapitalis, komunis dan muslim. Dua kekuatan yang pertama, adalah kekuatan masyarakat sekaligus sistem pemerintahan yang mensejahterakan masyarakat secara semu alias tidak total.
Sistem Negara, masyarakat Kapitalis dan Komunis hanya menciptakan kemakmuran kelompok tertentu, yaitu kelompok Kapitalis dan komunis sendiri. Sedangkan masyarakat lain, tidak mungkin bisa merasakan hal yang sama.
Sejak sebelum dunia terkungkung oleh dua kekuatan besar antara komunis dibawa bayangan Uni Sovyet (US), Cina (RRC ) dan kapitalis yang bernaung dalam bendera Eropa (ME) dan Amerika Serikat (AS). Sedangkan kekuatan lainnya yaitu bernama islam. Islam sendiri merupakan momok bagi dua kekuatan itu. Hal ini dibuktikan oleh sejarah dunia dengan menghancurkan pusat kekuatan islam yang telah layu yaitu Negara Turki.
Dari sejarah hancurnya daulah islam di Turki inilah musuh-musuh islam mendulang pengalaman yang tak ternilai. Pengalaman-pengalaman itu kemudian selalu dievaluasi dan disempurnakan. Salah satu kesempurnaan cara menjauhkan manusia dari meng-ESA-kan tuhan sebagai satu-satunya sumber berbangsa, bernegara serta bermasayarakat adalah dengan menciptakan tandingan, dan ideologi itu adalah Hak Azazi Manusia (HAM) dan Demokrasi.
Dengan kekuatan kapitalismenya, kedua ideologi tersebut dipaksakan kepada dunia, termasuk Indonesia. Lantaran kekuasaan ekonomi yang sudah hilang dari negeri ini, maka sebagai akibatnya Negara dan bangsa ini tidak mampu melawan dan menolak kapitalisme dan HAM.
Karena menipisnya tameng individu yang bernama ahklaq lantaran hilangnya budipekerti dari pendidikan formal di negeri ini, maka rapuhlah pertahanan seseorang. Dan orang yang bersangkutan menjadi rentan untuk tidak memikirkan diri pribadi. Akhirnya kapitalisme dengan mudah membujuk warga negeri ini, terutama para pemegang kekuasaan dan penentu kebijakan untuk mendapatkan segala keinginannya dengan memberikan janji-janji.
Janji-janji kapitalis biasanya berupa dukungan kekuasaan, maupun jabatan. Dan yang lebih umum adalah segebok uang yang bernama suap atau korupsi.
Waktu demi waktu terus berjalan. Kasus suap semakin meraja di semua lini kehidupan bangsa, termasuk pejabat negara. Bahkan penyakit ini terus berkembang menjadi gurita bernama korupsi yang lazim kita temui pada seluruh birokrasi negeri yang berazaskan ideologi fatamorgana ini. Sedangkan penanganannya oleh pihak yudikatif terkesan tebang pilih, bahkan justru bersekongkol dengan pihak koruptor.
Ketika demokrasi menjadi jorgan yang diusung oleh berbagai kalangan yang buta dan tuli, justru menjadikan negeri ini semakin berkubang dalam Lumpur korupsi. Seorang pejabat yang menduduki jabatan tertentu lewat proses demokrasi, selalu menguras pundi-pundi yang dimiliki. Itu kalau kita mau jujur menilainya. Sebab itulah, ketika mereka menjabat di instansi manapun di negeri ini mereka selalu bernafas dengan korupsi atau suap. Seseorang yang menduduki jabatan dengan melewati sistem demokrasi dan menguras pundit-pundi, cenderung untuk menjadi komprador. Hal ini telah berlaku sejak ordebaru hingga kini.
Demokrasi, mengharuskan suara terbanyak itulah yang menang dan menduduki jabatan. Padahal, yang banyak belumlah tentu benar dan mewakili kebenaran. Sebab pada kenyataannya hanya sedikit orang yang jujur, benar dan pintar sekaligus bijaksana. Artinya yang sedikit tidak mungkin pernah menduduki suatu jabatan. Padahal bisa jadi dari golongan yang sedikit dipilih inilah calon pemimpin yang jujur dan bijaksana. Tidak pernah takut kelaparan dan penindasan kapitalis.
Setiap faham, boleh saja diperjuangkan. Termasuk HAM dan demokrasi. Tetapi bila masyarakat negeri ini tetap memperjuangkan demokrasi dan HAM sebagai jalan menuju kemakmuran, maka bersiaplah untuk menjadi negeri yang hilang. Negara dan masyarakat Indonesia akan menjadi budak imperialis kapitalis. Masyarakat akan selalu dirundung duka nestapa. Hidup dengan segala kekurangan.
Akhirnya pada kenyataannya, demokrasi dan HAM hanya menciptakan rahwana-rahwana di seluruh sektor kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Bila kedua faham itu tetap dipertahankan bahkan dengan taruhan darah dan nyawa, sekali lagi tunggu hilangnya Indonesia dari peta dunia.
Hilangnya sila pertama dalam Pancasila adalah juga hilangnya sila-sila lainnya. Selanjutnya, dengan hilangnya kelima Sila Pancasila berarti hilangnya Nusantara bernama Indonesia. Sadarlah dan renungkanlah!
3 komentar:
Mas mau nambahin. kalo nulis itu harus beserta referensi juga. semisal Anda sudah baca buku apa. nah disitu tulis saja. barangkali ada orng yang mau menjadikan tulisan mas sendiri sebagai referensi dari sebuah penelitian tapi pas akhirnya gk ada referensi malah gak jadi. udah segitu aja. Makasih..
Mas mau nambahin. kalo nulis itu harus beserta referensi juga. semisal Anda sudah baca buku apa. nah disitu tulis saja. barangkali ada orng yang mau menjadikan tulisan mas sendiri sebagai referensi dari sebuah penelitian tapi pas akhirnya gk ada referensi malah gak jadi. udah segitu aja. Makasih..
Iya juga
Posting Komentar