Kamis, 17 Juli 2008

Dialog Trilogi Tubuh

Bibir, Hati & Otak
Setiap manusia, memiliki tiga main stream dasar. Yaitu Bibir (lidah), Hati dan Otak. Ketiga main stream manusia ini membentuk karakter manusia. Namun ketiganya terkadang saling berlawanan satu dengan yang lainnya.Perlawanan itu, sering kita rasakan. Namun amat jarang kita tanggapi secara semestinya.

Ketiga mahkluq yang tergolong istimewa ini, memiliki pengaruh sangat dominan. Ketiganya juga merupakan dalang (konseptor) semua perbuatan manusia. Namun ketiganya tak pernah mau dipersalahkan oleh siapapun.

Hal ini terbukti dengan adanya dialog yang mereka lakukan. Ketiga mahkluq saling menyalahkan dan membenarkan diri sendiri.

Awal dialog itu dimulai dari manusia bernama Ngajidin. Ngajidin adalah seorang remaja lancur. Ia berusia, belum genap 20 tahun. Seorang remaja muda yatim piatu. Ia hidup dan besar di sebuah pondok, di daerah Kediri, Jawa Timur.

Beberapa bulan terakhir, ia pergi meninggalkan pondok tanpa sepengetahuan pengawas pondok dan izin dari Wak Yai. Tidak ada seorang temannya yang ia pamiti. Maklum ketika itu, Wak Yai, santri-santri senior dan santri lainnya sedang sibuk. Sebab ada salah seorang alumnus pondok, mencalonkan diri menjadi calon gubernur. Karenanya, Kyai dan santri pondok dimana Ngajidin menuntut ilmu sedang sibuk “membantu” persiapan pemilu daerah itu.

Apa yang terjadi di pondok Ngajidin merupakan kesibukan yang sangat luar biasa. Kesibukan itu juga terjadi pada Otak Ngajidin. Hati Ngajidin, juga tak kalah sibuknya. Sedangkan bibirnya terus mengoceh tak karuan menanggapi tingkah “pondoknya” menyambut pilkada.

Din, begitu teriak Fikri (Otak). “Ngapain kamu duduk termangu disitu”. Ketika itu Ngajidin sedang duduk dibawa beduk masjid pondoknya. “ Lebih baik, kamu suruh kakimu melangkah pergi dari tempat ini”, kata fikri lagi.

Hati Ngajidin, tidak bergeming sedikitpun, mendengar perintah Fikri. Namun kaki Ngajidin, setapak demi setapak melangkah pergi meninggalkan area pondok, yang berubah menjadi pasar malam. Sedangkan bibirnya (lidah), terus berceloteh menyayangkan penghuni pondok yang turut larut dalam hiruk pikuk pemilihan calon gubernur.

Perjalanan meninggalkan pondok, tanpa disadarinya, telah membawa Ngajidin di sebuah tempat bernama terminal.

Dari singgasananya, Fikri terbangun dari tidurnya. Ia tersentak kaget ketika menyaksikan Ngajidin telah berada di sebuah terminal kota Surabaya. Terminal itu bernama Bungurasih. Kesadaran Fikri, membuat ia merasakan dsahan nafas Tyas (Hati). Nafas Tyas yang lembut dan hangat biasanya melenakan Fikri.

Anehnya, kali ini nafas Tyas dirasakan Fikri panasnya agak tinggi. Hal ini membuat Fikri bertanya kepada Tyas. “Tyas ada apa denganmu”? Tanya Fikri. Tiba-tiba hawa panas keluar dari badan Tyas, mendahului Jawabannya. Dengan suara nyaring Tyas membentak Fikri. “ Apa kamu tidak tahu, Ngajidin sudah berjalan dua hari dua malam tanpa berhenti. Lagi pula, semenjak berjalan keluar pondok, tak sebutir nasipun ia telan”, kata Tyas. Semprotan Tyas disambung oleh Totok (Tutuk = Bibir). “ Ya, itulah Fikri. Setiap ada kesempatan selalu membius Ngajidin. Sehingga ia tidak menghiraukan aku. Dua hari, dua malam aku tidak diberikan makanan dan minuman”, kata Totok.

Ngajidin duduk, termangu sambil bersandar pada sebuah tiang bangunan terminal. Pagi itu, ia merasakan kelelahan yang amat sangat. Selain itu, perutnya yang keroncongan minta diisi makanan atau sekedar seteguk air. Sayangnya, dirinya tidak memiliki uang sepeserpun untuk membelinya. Akhirnya, ia hanya duduk dilantai sambil bersandar menikmati pemandangan hilir mudiknya manusia sambil menjinjing tas maupun kopor.

Tanpa sepengetahuan Fikri, rupanya Tyas dan Totok telah bersekongkol untuk mendampratnya. Mereka tengah merencanakan sesuatu. Menyadari hal itu, Fikri bangkit berdiri sambil berkacak pinggang dan berkata. “ Hai, kamu Totok dan Tyas. Aku tak pernah membius Ngajidin. Aku hanya tertidur. Dan ketika tidur itulah, Ngajidin tidak merasakan apapun. Rasa haus, lapar ataupun capek tak terasakan olehnya. Bila hal itu terjadi hingga 2 hari sekalipun”, kata Fikri. “Sebenarnya yang salah adalah kalian berdua”, tegas Fikri.

Merasa disalahkan, mereka berdua, Tyas maupun Totok, tak mau diam saja. Mereka pun membela diri. “ Koq malah aku yang disalahkan”, tukas Totok. “ Coba jelaskan dimana salahku dalam masalah ini”, sambung Tyas.

“Totok Bayu Samudra dan kau Ratna Ning Tyas, dengarkan penjelasanku, kata Fikri Nur Rahmat. “Sejak pertama kita bertemu dan saling mengenal, kita telah sepakat untuk mengajak Ngajidin menuju jalan yang lurus. Menyelamatkan dirinya dari rongrongan yang bermaksud menjerumuskan Ngajidin menjadikan dirinya seperti hewan”.

Mahkluq yang namanya hewan, bukankah kalian berdua sudah tahu! Betapa bejadnya mereka. Pekerjaan mereka hanya berebut makanan dan berebut lawan jenisnya saja. Dan itu dilakukan sepanjang hidupnya, tanpa mengenal rasa malu dan belas kasihan! Dan kalian bersekongkol hendak menjerumuskan Ngajidin kederajad lebih rendah, yaitu hewan.

Apa kalian tidak kasihan dengan Ngajidin. Selain itu, kalian juga menginginkan dirinya tetap berdiam di pondok. Bila aku biarkan ia berada disana, Ngajidin akan menjadi boneka. Ia akan diperalat oleh yang lainnya, agar supaya dirinya mau membantu mantan santri mendapatkan jabatan sebagai seorang gubernur. Apakah kalian tidak mengerti, bial sebenarnya mantan santri Wak Yai itu, sebenarnya hanya memperalat Wak Yai dan santrinya untuk mengahantarkan dirinya memenuhi keinginannya menjadi gubernur. Bial sudah jadi, tidak mungkin mereka mau menurut apa yang menjadi kehendak Wak Yai. Ia akan lebih menurut kepada majikan barunya, yaitu para pengusaha, seperti Alim markus dan sejenisnya.

Manusia yang menjadi alat seseorang agar bisa menduduki jabatan tertentu, akan memperoleh getahnya. Orang seperti itu juga menerima bagian dosa dengan menempatkan seseorang menjadi pengayom masyarakat. Padahal, perbuatannya, justru sebaliknya malah menindas masyarakat lainnya”, jelas Nur Fikri.

“Kamu jangan memutarbalikkan fakta”, kata Tyas menyangga penjelasan Fikri. Bukankah selama ini, yang membuat manusia berbuat seperti itu atas perintahmu? Bukankah segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia atas perintahmu? Aku hanya mengamini apa yang menjadi keinginan dan perintahmu semata. Bukankah seperti itulah yang terjadi pada manusia lainnya, seperti Ngajidin, sambung Tyas.

Totok pun segera menimpali sanggahan yang dilakukan oleh Tyas. “ Aku ini kan hanya pion, hanya pesuruh”, kata Totok dengan nada pasrah. “Aku hanya makan atau minum, itu pun karena perintahmu. Bukan atas kemauanku sendiri”, katanya lagi.

Tidak bisa, aku ahnya memerintahkan dirimu untuk makan secukupnya. Tapi, seringkali engkau makan minum berlebihan. Terkadang engkau makan barang yang bukan menjadi hak Ngajidin. Juga kamu minum barang yang terlarang seperti tuak, alkohol, bahkan kamu juga makan bubuk putih yang membuat aku lemah dan bahkan mati. Masak aku menyuruh engkau makan yang membuat diriku mati? Apakah itu mungkin? Tanya Fikri. Oleh karena itu, hai Totok Samudra. Engkau harus menyadari. Terkadang ada perintah yang bukan dariku. Tetapi itu tidak pernah engkau ketahui apalagi memahami. Perintah itu dating dari Tyas. Tyaslah yang memerintahkan dirimu makan minum tanpa ada batasan, jelas Fikri. Totok Samudra, terdiam dan menatap tajam kepada Tyas.

Tyas yang tersudut bangkit berdiri. Ia tak mau kalah oleh tingkah dan diplomasi Fikri.

“Hai Fikri”, kata Tyas dengan suara merdu seperti seruling. “ Kamu jangan lempar batu sembunyi tangan”, kata Tyas lagi. Aku berbuat seperti itu, untuk melindungi dan menjaga hidup Ngajidin. Lihatlah, ia duduk dan tertidur lemas karena kelaparan dan kehausan, pakah engkau tidak merasa iba dengan pemandangan ini? Jelas Tyas.

Karena kelelahan, haus dan kelaparan, Ngajidin tertidur dilantai terminal. Rasa dingin dan lapar mengharuskan dirinya memeluk lututnya sendiri. Ngajidin, tidur setengah melingkar. Tubuhnya ditekuk sedemikian rupa. Mirip tubuh hewan bernama trenggiling yang lari menyelamatkan diri ketika dikejar musuh.

Perdebatan antara Fikri, Totok dan Tyas, tidak menjadikan rasa kantuknya hilang. Bahkan ia justru tertidur pulas. Seakan tak terjadi apa-apa dengan dirinya. Rasa lapar dan haus pun, tak membuat serta merta tangannya menyambar tas, makanan manusia yang lalulalang di terminal itu. Ngajidin bukan tipe orang yang mudah menyerah dan merebut hak orang lain. Tidak seperti orang kebanyakkan.

Seiring dengan dengkuran suara perut Ngajidin, Totok merasa ingin segera menyuap sesuatu dan memasukkannya kemulut Ngajidin yang mengecap-ecap. Disisi lain, Tyas semakin mendongkol dan mengeluarkan hawa panas dari tubuhnya. Sedangkan tubuhnya sendiri semakin berwarna merah.

Fikri! bentak Tyas pada Fikri. “ Apakah kamu ingin Ngajidin mati lemas.? Dengan membiarkannya tanpa makan dan minum? Biarlah aku berbuat sesuatu untuk Ngajidin. Agar ia tidak kelaparan dan kehausan, kata Tyas setengah memohon kepada Fikri.
Mata Fikri melotot. Saking lebarnya ia memelototkan matanya, mata itu hampir-hampir copot keluar. Seiring dengan apa yang dialami Fikri, kepala Ngajidin mengeluarkan uap dingin berwarna putih. Ngajidin nampak menggigil kedinginan. Keadaan Ngajidin yang seperti itu, tak luput dari perhatian orang yang lalu lalang di terminal Bungurasih.

Tak jarang orang yang menyaksikan kondisi Ngajidin menjadi iba. Selain rasa dingin yang membuat tubuhnya terlihat pucat, pakaian kumel Ngajidin menambah nilai kekerean. Melihat itu, banyak diantara orang-orang tersebut melemparkan uang recehan. Bahkan ada juga yang menyempatkan merogoh kantungnya dan mengeluarkan puluhan ribu rupiah. Mereka melemparkannya ke samping tubuh Ngajidin.

Lihatlah!, kata Fikri. Apa yang dilakukan manusia ketika melihat kondisi Ngajidin. Rasa iba! Rasa iba, memunculkan rasa sosial. Hal seperti itu pasti dilakukan oleh manusia. Namun, hal tersebut akan menjadi sebaliknya. Bila si manusia tersebut menuruti kehendakmu, jelas Fikri sambil menatap tajam kepada Totok dan Tyas bergantian.

“Apa maksudmu”, tanya Totok dan Tyas hampir bersamaan. Begini, kata Fikri berusaha menjelaskan. Manusia itu dalam hidupnya, hendaknya bisa menguasai diri. “Bahkan mematikan diri”, kata Fikri lagi.

Nah, kalau manusia tersebut, katakanlah seperti apa yang sedang dilakukan oleh Ngajidin. Kalian berdua harusnya, membantunya, bukan malah sebaliknya. Menentang kemauan manusia seperti Ngajidin. Dengan melakukan tipu daya dengan berbagai cara.

Kalian membanding-bandingkan keadaan Ngajidin dengan manusia lainnya. Padahal manusia-manusia yang kalian jadikan pembanding, adalah manusia-manusia lemah yang mudah dan telah kalian perdaya.

Stop, stop ocehanmu, Fik, kata Totok menghentikan penuturan Fikri. “ Apa nggak keliru apa yang kamu bicarakan. Selama ini, siapa yang menipu Ngajidin, kami berdua atau dirimu yang pongah, congkak, sombong tak berperasaan! Semenjak Ngajidin pergi meninggalkan pondok yang engkau katakan telah keluar dari pakem, Ngajidin tak menelan apapun selain ludahnya sendiri”, kata Totok. Dus, dengan demikian, engkaulah yang menyiksa dirinya, sehingga ia mengalami hal seperti ini. “Ia hidup terhina dan terlantar di sebuah terminal”, cibir Tyas menimpali sanggahan Totok kepada Fikri.

Ngajidin, menguap. Kemudian meregangkan tubuhnya, seolah meluruskan otot-ototnya yang kaku. Beberapa saat kemudian ia duduk, menyapu sekelilingnya dengan pandangan mata yang masih terlihat lelah dan ngantuk.

Saat ia menoleh kesebelah kiri tubuhnya, tangannya menyentuh sesuatu yang menghendaki pandangan matanya tertuju kearah dimana tangannya merasakan bulatan dingin. Setelah matanya menemukan apa yang dirasakan oleh tangannya tadi, iapun tertegun beberapa saat. Di sebelah kanan dirinya, dimana ia duduk didapati puluhan keping uang recehan dan beberapa lembar uang puluhan ribu rupiah.

Ia pun termenung beberapa saat. Disekitarnya tak terlihat ada orang. Maka diberesinya uang yang berceceran itu. Setelah itu ia berdiri melangkah sambil menggenggam selembar uang puluhan ribu. Sedangkan lainnya ia masukan kedalam buntalan sarung yang berisi dua potong pakaian yang dibawanya dari pondok. Pakaian itu sebagai ganti dalam pengembaraannya.

Dengan selembar uang di tangan, Ngajidin menuju ke sebuah warung dan memesan segelas kopi dan memakan sepotong pisang gorong. Ia duduk di sebuah kursi salah satu restorasi yang ada di terminal.(to bersambung)






 

Tidak ada komentar: