Sabtu, 19 Desember 2020

OPERASI DELIMA TARGET HANCURKAN HABIB RIZIEQ DAN FPI BERAKHIR CUBU DI KM50

JURNALIS INDEPENDEN-Jakarta: Operasi penangkapan IBHRS di kilometer 50 ruas tol Jakarta - Cikampek pada dini hari Senin, 7 Desember 2020, mengakibatkan terbunuhnya 6  orang pengiring anggota FPI memunculkan berbagai tanggapan publik. Diantaranya adalah Natalius Pigai. Dan, tentu saja masalah ini juga menurunkan Tim Independen seperti Komnas Hak Azazi Manusia (HAM).



Dalam wawancara dengan Refly Harun di chanel youtube milik Refly, Pigai mengatakan tragedi KM50 menunjukkan eksekutor operasi itu, tidak menyiapkan skenario yang matang. Pigai menyimpulkan tragedi KM50 adalah operasi yang "menyimpang dari system" standart dari lazimnya sebuah operasi penangkapan. Sebelumnya di Megamendung, operasi mematai IBHRS telah dilakukan. Operasi mematai itu terbongkar oleh FPI (Front Pembela Islam). Tiga orang anggota instansi bergengsi berhasil ditangkap, lengkap dengan semua propertinya. Dari HP yang berhasil di kuasai sementara oleh FPI Megamendung, Operasi itu bersandi OPERASI DELIMA. 

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik  memaparkan bahwa Komnas HAM akan tetap melakukan penelusuran fakta, data, serta memanggil sejumlah pihak yang berkaitan dengan penembakan laskar FPI oleh polisi di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.

"... kami menghormati rekonstruksi (Senin 14 Desember dini hari) yang dibuat oleh pihak Polri. Itu kan versi mereka, ya," ujar Taufan di Kantor Komnas HAM, Senin (14/12). Kegiatan rekonstruksi peristiwa penembakan tersebut dilakukan pada Senin (14/12) dini hari, dikawal oleh ratusan personel dari Polres Karawang, Polda Jabar, dan Polda Metro Jaya dan berlangsung kurang lebih empat jam, mulai pukul 00.35 hingga 04.30 WIB.

"Komnas HAM punya mandat sebagai lembaga negara independen akan menelusuri data dan informasi yang kami kumpulkan sendiri. Nanti kami kroscek juga pada pihak kepolisian dan pihak lainnya, termasuk saksi-saksi lapangan yang sudah kami temui," ungkapnya.

"Kami harus mengungkap apa yang sebenar-benarnya, bukan apa yang diinginkan oleh pihak tertentu. Kan pihak tertentu maunya digiring ke sini, yang di sana lain lagi. Nah, kami tidak mau," tegasnya.

Sebelumnya, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan rekonstruksi lebih awal dibandingkan dengan yang dilakukan oleh polisi.

"Kami lebih luas, bukan hanya empat titik. Karena memang fokusnya bukan hanya konteks di area KM 50, tapi kami kembangkan hingga ke area sentul di KM 0 sampai KM 48. Kami dapat duluan. Komnas HAM datang duluan, dapat info duluan, info dari masyarakat," beber Anam.

Anam membeberkan, bahwa dia dan tim bukan hanya sekali datang ke area yang tempat kejadian perkara tapi sudah mendatanginya bolak-balik sampai lima kali.

"Kami cocokan dengan jam yang sama, mulai dari jam 11 sampai jam 4 pagi. Kami susuri satu persatu," jelasnya.

Karena datang lebih awal dan belum ramai diberitakan, Anam mengaku mendapatkan banyak informasi langsung dari masyarakat di sekitar tempat kejadian.

"Kami dapat lumayan banyak termasuk di luar jalan tol. Kami dapat dari penjual buah, pedagang kaki lima, pegawai alfamart, alfamidi sampai hotel," bebernya.

Menurut masyarakat sekitar, waktu itu situasi sepi karena sudah masuk hari Senin. Padahal, di malam-malam biasanya, terutama Sabtu dan Minggu situasi ramai.

Untuk mendapatkan informasi dari masyarakat tersebut, Anam dan tim bahkan rela harus berjalan kaki sejauh lima kilometer untuk mengumpulkan informasi penting tersebut. Termasuk metode dan alat yang jarang digunakan oleh Komas HAM sendiri.

Hasilnya, Komnas HAM mengaku mendapatkan benda yang bukan hanya bisa dilihat, tapi juga benda yang bisa dipegang dan bisa dibawa ke kantor untuk diperiksa.

Menurut Anam, Komnas HAM bekerja lebih awal dari aparat kepolisian, karena keberhasilan dalam mengungkap kasus ini memang terletak pada kecepatan dalam bekerja.

"Peristiwa seperti ini biasanya malam. Situasi lumayan cepat. Karena itu kecepatan bekerja akan menentukan," ungkapnya.

Dikutip dari liputan Reporter: Pulina Nityakanti Pramesi


Tidak ada komentar: