Jumat, 25 Desember 2020

MENOLAK PLURALISME AGAMA

Buletin Kaffah No. 173 (10 Jumada al-Ula 1442 H-25 Desember 2020 M)

Pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Kebenaran setiap agama adalah relatif. Setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan hidup berdampingan di surga. 


Berdasarkan fakta demikian, MUI menegaskan bahwa pluralisme agama hukumnya haram. Pluralisme agama bertentangan dengan ajaran agama Islam (Lihat: Fatwa MUI nomor 7/Munas VII/MUI/11/2005). 

Propaganda

Pluralisme agama telah lama dipropagandakan di Tanah Air. Ahmad Wahib dianggap sebagai salah satu tokoh generasi awal pengusung pluralisme agama di Indonesia. Catatan hariannya telah dibukukan dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam pada tahun 1981. Dalam catatan hariannya itu disebutkan bahwa ketika tinggal di Yogya, ia tinggal di Asrama Mahasiswa Realino, asrama calon-calon pastur Katolik. Dalam pergaulan bersama para romo Katolik dan teman seasramanya tersebut, ia merasa sangat bahagia. Ia bahkan mengatakan, “Aku tak yakin, apakah Tuhan tega memasukkan romoku itu ke neraka.”

Sejak Ahmad Wahib, propaganda pluralisme agama tak pernah berhenti hingga kini. Umumnya propaganda pluralisme agama ini dilakukan oleh kaum liberal. Sumanto al-Qurtuby adalah salah satunya. Dalam bukunya yang berjudul Lubang Hitam Agama, pria lulusan program Pasca Sarjana Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga tahun 2003 ini mengatakan bahwa Gandhi (yang Hindu) serta Luther, Romo Mangun dan Bunda Teresa (yang Kristen) juga akan berada di surga. 

Manipulasi Makna Ayat al-Quran

Untuk meyakinkan kaum Muslim bahwa Islam mengakui pluralisme, kalangan liberal tidak segan-segan untuk memanipulasi makna ayat-ayat al-Quran. Salah satunya firman Allah SWT berikut: 

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Sungguh orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhir serta beramal salih, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran kepada mereka. Tidak pula mereka bersedih hati (TQS al-Baqarah [2]: 62).

Ayat al-Quran ini biasa mereka jadikan dalil atas keabsahan pluralisme agama. Pemahaman seperti itu tentu salah karena dua alasan. Pertama: Karena mengabaikan ayat-ayat lain yang menjelaskan kekafiran golongan Yahudi dan Nasrani serta kaum musyrik. Misalnya firman Allah SWT:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sungguh kaum kafir dari kalangan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum musyrik (akan masuk) ada di Neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk (QS al-Bayyinah [98]: 6).

Kedua: Karena yang dimaksud dengan orang Yahudi, Kristen dan Shabiin yang selamat adalah mereka yang mengimani Allah SWT dan menjalankan amal salih secara benar sebelum kedatangan Muhammad saw. (bukan orang Kristen dan Yahudi sekarang) (Lihat: kitab Lubab an-Nuqul karya Imam as-Suyuthi dan Asbab an-Nuzul karya Al-Wahidi). Pemahaman semacam ini pula yang dijelaskan oleh Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fikih dan tafsir dari Suriah, di dalam kitab tafsirnya, Al-Wajiz. 

Jelas, dalam pandangan Islam, kaum Yahudi dan Nasrani saat ini adalah kafir (Lihat: QS al-Maidah [5]: 73; QS at-Taubah [9]: 30). Mereka ini, kata Rasulullah saw., akan dimasukkan ke dalam neraka:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, tidaklah seorang pun dari umat ini, baik Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar tentang (risalah)-ku, kemudian ia mati dalam keadaan tidak mengimani risalah yang aku bawa, melainkan ia akan menjadi penduduk neraka (HR Muslim).

Pluralisme Agama Batil

Paham pluralisme agama jelas batil dan wajib ditolak. Setidaknya karena 4 (empat) alasan. Pertama: Secara normatif pluralisme agama bertentangan secara total dengan Aqidah Islam. Sebabnya, pluralisme agama menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Ini jelas bertentangan dengan Aqidah Islam yang menyatakan hanya Islam yang benar (QS Ali-Imran [3]: 19). Selain Islam adalah tidak benar dan tidak diterima oleh Allah SWT (QS Ali-Imran [3]: 85).

Kedua: Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari Islam, tetapi dari sekularisme Barat. Barat mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodoks. Misalnya pada 1527, di Paris terjadi peristiwa yang disebut The St Bartholomeus Day’s Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak 10.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik. Peristiwa mengerikan semacam inilah yang lalu mengilhami revisi teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini bahwa extra ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation). Tak ada keselamatan di luar Gereja. Lalu diubah bahwa kebenaran dan keselamatan itu bisa saja ada di luar Gereja (di luar agama Katolik/Protestan). 

Jadi, paham pluralisme agama ini tidak memiliki akar sosio historis yang genuine (asli) dalam sejarah dan tradisi Islam. Paham ini justru diimpor dari setting sosio historis kaum Kristen di Eropa dan AS.

Ketiga: Dalam pelaksanaannya, Gereja tidak konsisten. Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentu Gereja harus menganggap agama Islam juga benar. Faktanya, Gereja tidak konsisten. Gereja terus saja melakukan kristenisasi terhadap umat Islam. Kalau agama Islam benar, mengapa kristenisasi terus saja berlangsung? 

Keempat: Pluralisme diklaim bertujuan untuk menumbuhkan hidup berdampingan secara damai (peacefull co-existence), toleransi dan saling menghormati antarumat beragama. Faktanya, justru kaum Kristen dan rezim sekular di Barat sering tidak toleran terhadap kaum Muslim. Maraknya larangan hijab (jilbab) dan perlakuan diskriminatif terhadap kaum Muslim di sejumlah Negara Eropa hanyalah salah satu contohnya. Bahkan Barat acapkali melabeli kaum Muslim yang berpegang teguh pada syariahnya sebagai kaum radikal bahkan dituding berpotensi menjadi teroris. Padahal yang radikal dan teroris adalah mereka. Merekalah yang banyak menumpahkan darah umat Islam. Menurut Amnesti Internasional, misalnya, ketika AS menginvasi Irak, lebih dari 100.000 jiwa umat Islam dibunuh oleh AS. 

Dari keempat gugatan terhadap pluralisme di atas, jelas ide pluralisme agama adalah batil dan wajib ditolak. 

Pluralisme dan Toleransi yang Kebablasan 

Saat ini tampak begitu massif arus opini tentang intoleransi. Seolah negeri ini darurat intoleransi. Yang aneh, tudingan intoleransi sering ditujukan kepada Islam dan umatnya.

Padahal jelas, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi. Wujud toleransi agama Islam adalah menjunjung tinggi keadilan bagi siapa saja, termasuk non-Muslim. Islam melarang keras berbuat zalim serta merampas hak-hak mereka (Lihat: QS al-Mumtahanah [60]: 8). Islam mengajarkan untuk tetap bermuamalah baik dengan orangtua walaupun tidak beragama Islam (Lihat: QS Luqman [31]: 15).

Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, praktik toleransi demikian nyata. Hal ini berlangsung selama ribuan tahun sejak masa Rasulullah Muhammad saw. sampai sepanjang masa Kekhalifahan Islam setelahnya. Intelektual Barat pun mengakui toleransi dan kerukunan umat beragama sepanjang masa Kekhilafahan Islam. Kisah manis kerukunan umat beragama direkam dengan indah oleh Will Durant dalam bukunya, The Story of Civilization. Dia menggambarkan keharmonisan antara pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen di Spanyol di era Khilafah Bani Umayah. Mereka hidup aman, damai dan bahagia bersama orang Islam di sana hingga abad ke-12 M. 

T.W. Arnold, seorang orientalis dan sejarawan Kristen, juga memuji toleransi beragama dalam Negara Khilafah. Dalam bukunya, The Preaching of Islam: A History of Propagation Of The Muslim Faith (hlm. 134), dia antara lain berkata, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.” 

Namun demikian, toleransi beragama tentu berbeda dengan sinkretisme agama sebagai salah satu ekspresi dari paham pluralisme agama. Sinkretisme agama adalah pencampuradukan keyakinan, paham atau aliran keagamaan. Hal ini terlarang di dalam Islam. Contohnya perayaan Natal bersama, pemakaian simbol-simbol agama lain, ucapan salam lintas agama, doa lintas agama, dll. Semua ini bukan toleransi. Pencampuradukan ajaran agama semacam ini merupakan refleksi dari paham pluralisme yang haram hukumnya di dalam Islam. 

Khatimah

Alhasil, umat Islam tak membutuhkan paham pluralisme. Cukuplah aqidah dan syariah Islam yang menjadi pegangan hidup mereka. Keduanya merupakan sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat. 

Aqidah dan syariah Islam sekaligus juga menjadi kunci kebangkitan Islam. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwa dengan berpegang teguh pada akidah dan syariah Islam, umat Islam tampil sebagai umat terbaik yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Itu terjadi sepanjang Kekhilafahan Islam selama tidak kurang dari 13 abad. WalLahu’alam. []

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Jangan pula kalian menyembunyikan kebenaran itu, sedangkan kalian mengetahui. (TQS al-Baqarah [2]: 42). []

Tidak ada komentar: