Jumat, 25 Desember 2020

DEMOKRASI & MEDIA DUA PELACUR PENGHANCUR BANGSA

JURNALIS INDEPENDEN-JAKARTA: Beberapa tahun terakhir, amat gamblang di hadapan kita, media tumbuh subur di negeri ini. "Keterbukaan" informasi bermula dari Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). 


Sejak mula, penulis memperhatikan menjamurnya media di era keterbukaan Presiden Gus Dur, menyisipkan "khawatir". Namun lantaran Wong Cilik, hanya bisa "menggerutu dan bertanya dalam hati". 

Apakah langkah Gus Dur tidak akan menambah masalah di masa depan? Walau juga harus di akui bahwa ada juga manfaat atas keterbukaan informasi, terlebih di era digital ini.

Bukan tanpa alasan jika penulis merasa galau dengan di bukanya "perusahaan informasi" di negeri ini. Siapapun bisa mendirikan, memiliki Perusahaan Media dengan mudah. Kemudahan itu, sungguh memprihatinkan. Sebab jika penulis perhatikan seperti yang terjadi dominasi media di Eropa, Amerika Serikat (AS) yang digunakan sebagai alat sihir, cuci otak, menggiring opini massa, alat menipu, pencitraan hingga membentuk karakter masyarakat. 

Hal ini bisa kita saksikan saat hancurnya Menara Kembar WTC AS yang di sebut di ledakan oleh teroris Al  Qaida. Kejadian itu merupakan kejadian relatif baru, kasat mata yang masih kita ingat. 

Kejadian "rekayasa" hancurnya Gedung WTC di mana media menjadi alat pencucian otak massa. Padahal kehancuran WTC menjadi pengantar penghancuran negara negara Teluk seperti Irak, Libya hingga Suriah. 

Itulah yang menjadi tujuan "Penguasa Tak Terlihat" yang menggunakan Media sebagai alat provokasi, cuci otak padahal mereka melakukan penyebaran berita hoaks demi melegalkan perampokan kedaulatan negara negara di Timur Tengah. 

Akibatnya, terjadi perampokan berskala negara yang memiskinkan bahkan membantai  rakyat Timteng secara biadab tanpa ada yang mencegah. Dimana hal itulah yang menjadi tujuan mereka sebenarnya dengan melacurkan Media. 

Jauh sebelum adanya tehnologi, "Penguasa Tak Terlihat" telah menggunakan cara-cara serupa untuk menguasai kawasan, negara beserta kekayaannya bahkan dengan menggunakan perang, tipu daya, fitnah untuk menguasai kekayaan, memperbudak negara merdeka, menjatuhkan penguasa yang menentang, menolak pendiktean kelompoknya. 

Tak jarang Media juga digunakan sebagai pencitraan membentuk "Penguasa Boneka" dan melanggengkan "prestasinya". 

Para petualangan keserakahan ini merupakan kelompok segelintir manusia namun memiliki sifat yang sama dari generasi ke generasi berikutnya. Lantaran tak ingin membagi kekuasaan, kekayaan yang mereka miliki dengan jalan keji itu, mereka pun menikahkan putra putrinya sendiri. Ya... mereka menikah Inces, pernikahan antar keluarga kandung demi melanggengkan kekuasaan dan kekayaannya.

Perlu diketahui, sebelum jatuhnya Pemerintahan Orde Baru (Orba) di akhir tahun 80an, muncul Media elektronik, Televisi Swasta. Paling awal adalah Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang di akui sebagai milik Tutut Hardiyanti Rukmana Putri Sulung Mendiang Presiden Soeharto. 

Tak berapa lama berselang berdiri Surya Citra Televisi (SCTV) dan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Namun belakangan baru kita ketahui Stasiun Televisi tersebut berdiri atas modal konglomerat warga keturunan yang "bermasalah" dalam berbangsa dan bernegara.

Efektifitas pelacuran Media yang ternyata di miliki para Taipan sangat mencolok di saat Pilpres tahun 2014. Kesinerjian antara Demokrasi dan Media yang di agungkan sebagai pilar demokrasi itu sendiri terkuak topengnya. 

Pandangan penulis, baik Demokrasi maupun Media merupakan sarana legal bagi "Penguasa Tak Terlihat" yang memiliki tujuan akhir merampok kekayaan, kekuasaan bangsa manapun sekaligus memperbudak masyarakatnya. 

Sebelumnya, mereka menggunakan cara cara Pendidikan, pertukaran pelajar, menerbitkan buku-buku sejarah, politik, budaya, seni merupakan pencucian otak yang berbiaya mahal dan membutuhkan waktu. 

Dengan di ketemukannya dan dikuasainya tehnologi informasi, cara-cara lama yang berbiaya besar telah tergantikan bahkan dengan hasil lebih memuaskan pihak "Penguasa Tak Terlihat". 

Ironinya, ini tak banyak menjadi perhatian khususnya Masyarakat Indonesia. Lebih khusus Ummat Islam Indonesia. Tetapi sejak Pilpres 2014, khususnya umat muslim di negeri ini, telah mulai sadar, melek akan bahaya Perselingkuhan Media dengan Demokrasi berbayar.

Demokrasi sendiri, awalnya di dengungkan demikian ideal di tahun 80an atas desakan negara negara kuat yang memiliki Hak Veto di Markas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan IMF sebagai sumber dana pembangunan negara-negara Dunia ke Tiga seperti Indonesia. Padahal menilik sejarah berdirinya PBB adalah atas instruksi "Penguasa Tak Terlihat". 

Bagi penulis, tentu saja apa yang di buat oleh "Penguasa Tak Terlihat" hanyalah sebuah jebakan agar bisa mengobok obok dan berakhir dengan penguasaan sumber kekayaan alam sekaligus sumber intelektual juga kemerdekaan suatu bangsa. Bukankah Presiden Soekarno pernah menunjukan bahkan pada dunia yang di duga kuat oleh penulis telah mengetahui sifat asli "Penguasa Tak Terlihat" yang di jalankan oleh PBB? Dengan sifat satria Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno keluar dari PBB dan membentuk Gerakan Non Blok?

Keindahan sistem Demokrasi di awal penawaran kepada rakyat Indonesia masih jelas di ingatan penulis. Jika rakyat tidak setuju dengan keputusan pemerintah, rakyat dibolehkan melakukan demontrasi menggunakan massa untuk menyampaikannya dengan tertib kepada pemerintah. Tentu saja setelah melalui jalur-jalur hukum yang telah dibuat oleh legislatif dan eksekutif. 

Namun kenyataannya, terlihat sangat nyata, Demokrasi justru hanya dinikmati, dimenangkan oleh pemilik modal. Hal itu terlihat jelas di saat Era Presiden Joko Widodo berkuasa. 

Pemilu serentak tahun 2019 lalu telah membuka jutaan mata tentang Demokrasi di negeri ini. Wujud Demokrasi di negeri ini menampakan wujud aslinya. Wujud asli hasil Inces "Penguasa Tak Terlihat". Perselingkuhan antara Demokrasi, Media dan pemburu kekuasaan, berakibat bangsa ini jauh dari norma Pancasila dan lenyapnya UUD'45. Dasar berbangsa, bernegara telah bergeser, di amputasi oleh komprador, media pelacur dengan bungkus "generasi reformasi".

Yang paling gres, masyarakat bisa melihat wajah-wajah Pelacur Demokrasi, Media Pelacur dan pemburu kekuasaan yang memutilasi Pancasila dan UUD'45 adalah saat Pandemi Covid 19 melanda. 

Di saat Pandemi Covid19 sedang melanda, ternyata menjadi momentum bagi kekuasaan, Legeslatif mengesahkan UU yang sebelumnya di tentang masyarakat. RUU Omnibus Law yang sebelumnya menjadikan, terutama kalangan buruh turun ke jalan, hendak di sah kan Gedung Bundar. Bahkan Presiden Joko Widodo sendiri "mengancam" agar semua fraksi mendukung dan secepatnya mensahkan RUU tersebut. 

Terkait Pandemi Corona, dengan cepat Eksekutif dan Legeslatif mensahkan UU No 2 tahun 2020. Serta menambah hutang dengan jangka 50 tahun dari IMF. 

Semua itu membuktikan adanya perselingkuhan pihak terkait di tengah Pandemi Corona. Sisi lain, Media sebagai Pilar ke 4 Demokrasi tak berniat berpihak rakyat yang di duga akan merugikan rakyat atas terbitnya UU tersebut.

Jika menjamur, dikuasainya media oleh segelintir kapitalis, penguasa tak pancasilais dan pemburu kuasa telah dengan sadar berselingkuh maka negeri ini dipastikan akan hancur. Sementara rakyat kritis, harus berakhir di penjara. Sebaliknya, para penjilat terus menyebar hoaks, fitnah dan mendapat fasilitas kekuasaan bahkan biaya. 

Akhirnya, dikuasainya Media oleh para taipan merupakan lonceng kematian kecerdasan bangsa. Sifat lacur Media dan Demokrasi adalah pembunuh kedaulatan, pembunuh Pancasila, pembunuh Dasar Dasar Negara, pembodohan terhadap warga bangsa. 

Semoga saja rakyat kritis tak berputus asa menyuarakan nurani manusia walau hanya melalui sosial media. Sebab hanya media ini yang masih memberikan harapan menggugah penguasa untuk kembali hidup dengan nurani dalam berbangsa dan bernegara. Walau di media sosial ada banyak penjilat kekuasaan yang siap melaporkan, memfitnah dan menghentikan Rakyat Kritis. Jakarta, 10 Juni 2019. (Mr. Chessplenx)

Tidak ada komentar: