Sabtu, 06 Januari 2018

Gojek Bermetamorfosis Menjadi Perusahaan Fintech

Ketika Gojek Bermetamorfosis Menjadi Perusahaan Fintech
Penulis Djony Edward - 6 Januari 

CEO Gojek Nadiem Makarim telah melahirkan sebuah start up raksasa yang melibatkan puluhan ribu tenaga pengojek di seluruh Indonesia, kini bermetamorfosis menjadi sebuah perusahaan Fintech raksasa.
Nusantara.news, Jakarta – Garis tangan seseorang sangat tergantung dari ikhtiarnya. Itulah ilustrasi yang pantas mewakili PT Gojek Indonesia yang diinisiasi oleh Nadiem Makariem, pendiri sekaligus CEO muda yang namanya makin bersinar.


Bayangkan, model bisnis teknologi informasi jasa layanan transportasi berbasis kendaraan bermotor itu yang semula hanya mengelola kumpulan tukang ojek lewat aplikasi temuannya, kini telah meraksasa menjadi sebuah perusahan financial technology (Fintech).

Kalau boleh dibilang, inilah model bisnis paling efisien di dunia abad ini. Hanya bermodal aplikasi, Nadiem meng-hire ribuan pemilik motor dan mobil untuk dimonetisasi menjadi uang. Praktis Gojek tak memiliki aset kecuali sistem dan sebuah kantor kecil di bilangan Mampang Prapatan.

Tentu saja kehadiran pengelola tukang ojek ini penuh warna. Pada awalnya ditolak dan bahkan sempat bentrok dengan tukang ojek konvensional, sopir taksi, metromini, angkot dan mikrolet. Bentrokan tak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga meluas ke Bekasi, Tangerang dan Bogor.

Hal ini tentu saja membuat pusing Kementerian Perhubungan, karena bingung menyikapi sebagai perusahaan apa. Apakah perusahaan transportasi atau perusahaan aplikasi?

Dikatakan perusahaan aplikasi mengapa memakan kue bisnis transportasi? Dikatakan perusahaan transportasi, tapi mengapa tak mengurus izin usaha transportasi, mengurus KIR? Ketegangan pun sempat mewarnai Jabodetabek gegara Gojek.

Menjamurnya penggunaan jasa Gojek membuat adanya kecemburuan di antara tukang ojek pangkalan. Pada tanggal 9 Juni 2015 seseorang dalam akun Path menuliskan insiden bahwa pengemudi Gojek yang dipesannya diusir oleh tukang ojek pangkalan di Kuningan, Jakarta Selatan, yang tidak terima rezekinya dirampas.  Dua kali dia memanggil sopir Gojek, dua kali pula pengemudi Gojek lari karena takut dipukuli tukang ojek pangkalan.

Akhirnya dia naik ojek pangkalan dengan tarif jauh lebih mahal dibanding tarif sopir Gojek. Sekadar diketahui, tarif ojek Gojek lebih pasti karena ditentukan lewat aplikasi sehingga tidak perlu tawar-menawar.

Kontroversi GO-JEK dengan ojek pangkalan terjadi karena adanya perbedaan logika. Ojek pangkalan memegang teguh logika “sopan-santun”. Di dalam pangkalan ojek ada banyak norma-norma sosial yang harus dipatuhi, seperti harus antre ketika akan mengambil penumpang dan tidak diperbolehkan mengambil penumpang di wilayah yang bukan area-nya.

Sementara itu, logika Gojek adalah logika korporasi yang semua harus serba teratur dan pasti, baik dari segi harga, pelayanan, dan asuransi. Ketika driver Gojek datang mengambil penumpang tanpa antre dan tanpa mematuhi batas-batas wilayah, ojek pangkalan menganggapnya sebagai tindakan yang tidak mematuhi norma sosial pangkalan. Hal ini yang menyebabkan keduanya seringkali berkonflik.

Melebarkan sayap

Setelah diterbitkan aturan Kementerian Perhubungan, dan harus mengurus segala sesuatu yang terkait bisnis transportasi, ketegangan itu sedikit mereda. Walau masih ada persoalan tersisa, seperti keharusan mengurus KIR, membuat badan hukum dan lainnya.

Faktanya, kini Gojek telah melebarkan sayap bisnisnya ke beberapa kota besar di tanah air. Selain di Jabodetabek, Gojek juga telah hadir di Bali, Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, Palembang, Semarang, Solo, Malang, Yogyakarta, Balikpapan, Manado, Bandar Lampung, Padang, Pekanbaru, dan Batam.

Hingga bulan Desember 2017, aplikasi Gojek sudah diunduh sebanyak hampir 20 juta kali di Google Play pada sistem operasi Android. Saat ini juga ada untuk iOS, dan App Store.

Layanannya Gojek pun terus berkembang, mulai dari GoRide, GoCar, GoFood, GoSend, sampai GoMap. Selain itu juga memiliki lini layanan bisnis GoPay, GoBills, GoPoints, GoPulsa, GoShop, GoMart, GoBox, GoMassage, GoClean, GoGlam, GoTix, GoAuto, GoMed, GoBusway.

Tentu saja aneka layanan itu pada gilirannya membuat bisnis Gojek makin terdiversifikasi. Belakangan sedang di-arrange GoTax, yakni layanan pembayaran pajak lewat aplikasi Gojek. Tentu saja ini menyangkut angka besar. Kalau penerimaan pajak tiap tahun sekitar Rp1.200 triliun, maka jika Gojek mendapat amanah dari pembayar pajak 10% saja, maka ada peluang bisnis sebesar Rp120 triliun.

Metamorfoasis jadi Finctech

Dengan segala warna-warni sejarah Gojek, dinamika di lapangan, aneka layanan dan jasa, tentu saja membuat Nadiem Makarim makin terangsang meningkatkan kapasitas Gojek. Kalau semula hanya mengembangkan aplikasi layanan seputar transportasi, kini telah bermetamorfosis menjadi bisnis Finctech.

Karuan saja Gojek dikabarkan baru saja mendapatkan suntikan dana sebesar US$1,2 miliar atau sekira Rp16,2 triliun dari raksasa teknologi asal China, Tencent.

TechCrunch melaporkan bahwa kesepakatan itu sudah ditandatangani sejak Juni 2017. Hanya saja hingga kini kedua pihak masih belum memberikan pernyataan resmi terkait pendanaan tersebut.

Dengan tambahan dana segar ini, otomatis valuasi Gojek saat ini sudah menyentuh angka US$3 miliar (sekitar Rp39,98 triliun). Angka itu setara dengan kompetitornya asal Singapura, Grab, meski masih selisih jauh dari Uber dengan valuasi mencapai US$60 miliar (Rp799, triliun).

Sebelum mengantongi tambahan dana dari Tencet, pada Agustus 2016 Gojek juga baru mendapatkan suntikan investasi sebesar US$550 juta atau Rp7,3 triliun.

Beberapa di antaranya adalah investor lama alias existing, yakni Sequoia India, Northstar Group, DST Global, NSI Ventures, Rakuten Ventures dan Formation Group. Sementara itu sisanya merupakan investor baru, yakni KKR, Warburg Pincus, Farallon Capital and Capital Group Private Markets.

Saat itu sudah berhembus kabar ketertarikan induk perusahaan WeChat ini untuk berinvestasi di Gojek.

Selain Tencent, kabarnya Alibaba dan layanan keuangan Ant Financial sempat melakukan pembicaraan dengan Gojek terkait rencana investasi. Meski kemudian keduanya dikabarkan tidak mencapai kata sepakat.

Tahun lalu, Gojek sempat mengisyaratkan rencana untuk melakukan ekspansi bisnisnya ke luar Indonesia, seperti India atau Sri Lanka. Namun begitu, hinga kini rencana tersebut masih urung terlaksana.

Selain Gojek, ketertarikan Tencent berinvestasi di layanan penyedia transportasi juga sudah lebih dulu dilakukan untuk perusahaan taksi online terbesar di China, Didi Chuxing.

Tencent diketahui juga membeli 5% saham Tesla pada Maret lalu senilai US$2 miliar.

Pertanyaannya, untuk apa investor global mau berinvestasi begitu besar di Gojek? Ternyata memang Gojek telah di-setting menjadi lembaga keuangan terbesar di Indonesia berbasis teknologi. Banyak yang curiga Gojek mau buat apa berinvestasi sebesar itu kalau hanya ingin menjadi ‘tukang ojek’. Kini terkuak bahwa lebih masuk akal Gojek bermetamorfosis menjadi perusahan Fintech.

Apalagi operasional sudah jalan 4 tahun, tapi tak pernah satu kalipun profit, namun investor berebut investasi. Bahkan muncul pesaingnya, Grab (lippo) dan Uber, semakin menambah bingung orang yang menatapnya. Bisnis macam apa ini? investornya sudah sudah gila-gilaan menanamkan duit begitu besar.

Jawabannya ternyata pertengahan 2017, Gojek telah dibeli Tencent, pesaing kuat Alibaba (Jack Ma). Tencent beli Gojek US$1,2 miliar atau setara dengan Rp16,2 triliun rupiah. Jelas ini pasti bukan perusahaan tukang ojek biasa.
Gojek ternyata akan jadi lembaga keuangan non bank terbesar di Indonesia.

Dengan layanan Go-pay, ia mau jadi konglomerasi e-money terbesar, mengejar e-money milik Mandiri, BNI, BRI sekalipun.

Menurut riset lembaga survei JakPat pada Desember 2016, prosentase penggunaan GoPay di Indonesia telah mencapai 27,1%, berada di urutan keempat setelah Mandiri e-Money (43,8%), BCA Flazz (39,1%), dan Telkomsel T-Cash (29,1%).

Segala jenis produk yang dikeluarkan, ujungnya untuk meningkatkan transaksi dan database pelanggan.


Gojek yang dulu hanya pengelola tukang ojek, kini telah meraksasa menjadi pengelola Fintech paling complicated. Bayangkan, hanya satu Gojek saja sudah hadir perusahaan berkapasitas global. Anak muda Nadiem Makarim ini memang gila…![]

Tidak ada komentar: