Saat
penjarahan kapal-kapal perang di Laut Jawa diketahui oleh aparat negara. Lantas
apa yang mereka lakukan?
tirto.id: Ada dua alasan PT Jatim Perkasa hengkang dari Pelabuhan Brondong pada Agustus
2017. Pertama, bangkai kapal yang diincar di Laut Jawa sudah habis. “Mereka
lalu pergi,” kata Haji Abdul Ghoni, pengusaha lokal yang bekerja membantu
perusahaan tersebut di area pengepulan besi.
Kedua, sewa
lahan untuk lokasi pengepulan sudah jatuh tempo. Selama 3 tahun, proses
pencacahan bangkai kapal dikerjakan di atas tanah negara. PT Jatim Perkasa
menyewa lahan seluas 1,8 hektare itu dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Lahan itu
disewa dengan biaya Rp200 juta untuk dua tahun. Informasi tersebut dibenarkan
Nyono, Kepala Bidang Perhubungan Laut dari Dinas Perhubungan Jawa Timur, saat
reporter Tirto menemuinya pada 16 November 2017 di Surabaya.
Wahid
Wahyudi, Kepala Dinas Perhubungan Jatim, mengatakan alasan PT Jatim Perkasa
memilih Brondong karena dekat Surabaya dan di tepi jalan nasional. Saat Tirto
menyodorkan temuan dari lapangan yang mengarah pada dugaan penjarahan kapal
bersejarah, Dishub Jatim meminta pihaknya jangan dibawa-bawa.
“Kami hanya
sewakan lahan. Soal proses di pelabuhan itu tanggung jawab syahbandar.
Teknisnya kami enggak tahu,” kata Wahid.
Namun ada
hal janggal: kantor UPT Pelabuhan Lamongan Dishub Jatim berada di area
pelabuhan dan berjarak hanya 380 meter dari lokasi pengepulan besi. Mustahil
jika laporan temuan bom dan aktivitas pengambilan kapal perang di sana tak
dilihat atau tak didengar pejabat di Surabaya.
Sebagai
pemilik lahan, seyogyanya mereka curiga soal temuan bom, kecelakaan pekerja,
hingga kedapatan tenaga asing ilegal. Sayangnya, pengawasan ini nyaris
diabaikan Dishub.
“Kami enggak
pernah cek. Karena mereka punya izin dari Kementerian Perhubungan,” kata Nyono.
“PT Jatim Perkasa hanya ambil kapal lama yang tenggelam di alur. Itu pembersihan
alur dan resmi. Saya dilihatkan suratnya, kok.”
Nyono
mengklaim bahwa surat itu cuma diperlihatkan kepada dia, tetapi ia tak diberi
salinannya.
Pernyataan
Nyono bertolak belakang dengan atasannya. Wahid berkata satu waktu pernah
datang ke lokasi pengepulan besi yang disewa PT Jatim Perkasa.
“Sempat
datang tapi besi sudah dipotong,” katanya. “Kabarnya, sih, memang PT Jatim
Perkasa mengambil kapal perang. Laporan secara formal saya tidak dapat. Hanya
pernah dengar saat rapat koordinasi.”
Ia enggan
merinci kapan dan di mana rapat tersebut. Ia juga tak ingin menelusuri lebih
lanjut soal surat izin operasional PT Jatim Perkasa dari Kemenhub.
Saat Pejabat
Hubla Setempat Enggan Disalahkan
Selain
Kantor UPT Dishub Jatim, di area pelabuhan Brondong terdapat kantor Unit
Pelayanan Pelabuhan (UPP). Instansi ini dikontrol Dirjen Perhubungan Laut
(Hubla) Kementerian Perhubungan di Jakarta. Kantor UPP Brondong terletak di
sebelah kantor Dishub Jatim. Pegawainya bertugas memantau kegiatan pelabuhan,
bongkar muat, dan keselamatan pelayaran.
Misngadi,
petugas fasilitas pelabuhan selama belasan tahun di UPP Brondong, berkata
“tidak tahu” soal penemuan bom dan informasi soal bangkai kapal perang yang
diangkut tongkat bercakar (grab dredger) Pioner 88 punya PT Jatim Perkasa.
Misngadi meminta reporter Tirto untuk bertanya kepada “Pak Haji Ghoni” karena
“dia yang mengurus”.
Namun, dari
penelusuran kami, ada salah satu foto memperlihatkan Misngadi tengah berpose
dengan bos PT Jatim Perkasa di area pengepulan besi, membelakangi tongkang
bercakar Pioner 88 yang bersandar di dermaga Brondong. Hasil olahan metadata
menyebut foto ini diambil pada 2015.
Pemerintah
Tahu Penjarah Kapal adalah PT Jatim Perkasashare infografik
(Misngadi,
kedua dari kiri, pegawai di UPP Brondong, berpose dengan salah satu bos PT
Jatim Perkasa [mengenakan topi] putih. © PT Jatim Perkasa)
Setelah
Tirto memperlihatkan foto tersebut, Misngadi akhirnya mengakui itu memang
dirinya. Lalu ia terbuka dan berbincang sekilas soal Pioner 88. Ia bilang
Pioner 88 beroperasi di perairan Jawa dalam proyek pembersihan alur perairan
barat Surabaya (APBS).
Proyek
pengangkatan kapal karam dipegang langsung oleh Kesyahbandaran Utama Tanjung
Perak. “Dari Surabaya ada SOP dan ke sini kasih info. Ada data,” katanya. Namun
saat diminta data itu, Misngadi berkelit tak memegangnya. “Ada di bagian lain.
Pak Brujul enggak ada.”
Kami coba
mengonfirmasi ke Brujul Setiono, Petugas Kesyahbandaran UPP Brondong. Saat
dihubungi via telepon, ia menjawab soal mekanisme kerja Pioner 88.
“Jadi untuk
proses pekerjaannya masuk ke syahbandar Tanjung Perak. Semua perizinan di
Surabaya. Setelah ambil bangkai lalu dibawa ke Lamongan. Di sini kami terbitkan
izin bongkar. Brondong hanya untuk lapangan penumpukan. Bukan kegiatan pokok.”
Meski
koordinat dan pekerjaan diberikan Surabaya, tetapi saat bersandar di Brondong,
Pioner 88 pasti punya izin bongkar muat yang dibikin Brujul. Tapi ia enggan
memberi data tersebut kepada kami.
“Coba tanya
ke Pak Yuniarsono," kata Brujul.
Setelah
"dioper" dari Misngadi ke Brujul, lalu ke Yuniarsono, Tirto pun
menghubungi nama terakhir. Yuniarsono adalah pejabat tertinggi di UPP Brondong.
Ia atasan Misngadi dan Brujul. Ketika ditanya surat izin pengambilan dan
loading barang, Yuniarsono menampik: “Izinnya masak ke saya? Jangan ke saya!”
Saat
diberitahu bahwa Tirto diberi petunjuk oleh bawahannya untuk mengkonfirmasi
pada dirinya, Yuniarso tetap membantah. “Saya bilang apa? Saya tidak punya
kewenangan untuk kaitan memberikan izin. Kalau sampeyan di Jakarta, tanya di
Jakarta,” ucapnya.
Saat ditanya
apakah ia tahu bangkai kapal-kapal apa saja yang diambil Pioner 88, ia
mengulang jawaban seperti anak buahnya, “Mestinya Surabaya yang tahu.” Surabaya
yang ia maksud merujuk kantor Dishub Jawa Timur.
Saling
Bantah di Jakarta dan Surabaya
Alur
perizinan operasi PT Jatim Perkasa berawal dari kesyahbandaran. Setelah Dinas
Perhubungan Laut di Surabaya mengiyakan, izin berupa surat perintah kerja (SPK)
turun dari Jakarta, dikeluarkan oleh Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan
Pantai (KPLP).
Kami
mendapatkan daftar SPK pada periode 2014-2017. Data ini tidak utuh karena pihak
KPLP bersikap tertutup dan menolak membagi seluruh izin kepada kami. Setelah
disinkronkan, data SPK pada 2014-2015 — kurun pengambilan bangkai kapal
bersejarah secara masif terjadi — menunjukkan Pioner 88 hanya menggarap empat
proyek. Anehnya, pada dua izin pertama, pelaksana proyek itu bukan PT Jatim
Perkasa, melainkan PT Delta Anugerah Bahari Nusantara (DAB Nusantara).
Izin SPK
pada DAB Nusantara diberikan pada 22 September 2014 dan 8 Januari 2015. Durasi
pekerjaan berlangsung tiga bulan setelah SPK keluar.
“Waktu itu
saya pakai Pioner 88 punya PT Jatim,” kata Bambang Haryono, Direktur DAB
Nusantara kepada Tirto pada 9 Januari 2018.
Proyek pada
2014 adalah pengambilan bangkai kapal kargo MV Journey yang karam pada 1 April
2014 di perairan Gresik. Tidak diketahui pasti apakah pengambilan MV Journey
ini masuk dalam SPK pada 22 September 2014 atau bukan. Isi SPK tak merinci
koordinat, hanya menyebut pengambilan dilakukan “di sekitar kolam bandar
Surabaya”.
Jika betul
SPK 22 September dipakai untuk mengambil MV Journey, jelas tak logis karena
lokasi koordinat MV Journey jauh dari kolam bandar Surabaya. MV Journey ada di
Buoy 10 dan kolam Surabaya di Buoy 12-14. Jaraknya hampir 5 kilometer.
Terlepas
kontroversi ini, DAB Nusantara dan PT Jatim Perkasa mencantumkan kesuksesan
pengangkatan MV Journey dalam portofolio di situsweb mereka.
Selain MV
Journey, Bambang berkata bahwa DAB Nusantara mengambil kapal lain. Pada 8
Januari 2015, misalnya, mereka diberi izin mengambil bangkai kapal pada satu
titik koordinat di Kolam Bandar Surabaya.
Anehnya,
Bambang Haryono berkata DAB Nusantara mengambil lebih dari satu koordinat
kapal. “Ada 5-6 kapal lawas lain yang kami ambil,” katanya.
Dihubungi
secara terpisah, Komisaris DAB Nusantara Esti Nalurani berkata “tak tahu” soal
bangkai kapal itu dibawa ke mana. “Kami hanya jasa [pengambilan]. Kami tidak
pernah berhubungan bangkai kapal itu mau diapain, kami enggak tahu,” ujarnya
merujuk bangkai kapal yang dibawa PT Jatim Perkasa.
Ia
mengatakan pengambilan berdasarkan instruksi pihak asuransi dan syahbandar,
termasuk soal titik koordinat.
Pemberian
izin pada 2015 dilakukan melalui Kapten Rudiana. Kala itu ia adalah syahbandar
Tanjung Perak. Sekarang Rudiana menjabat sekretaris Dirjen Hubla—orang kedua di
instansi setelah Dirjen Hubla, Agus H. Purnomo. Kami menjumpai Rudiana di
kantornya pada 10 Januari lalu.
Rudiana
menyebut bahwa ia bekerja jadi syahbandar dari November 2015 sampai Desember
2016. Tetapi klaim ini bertolak belakang dari kliping media yang menulis bahwa
ia menjabat sebagai syahbandar sejak Januari 2015 sampai Januari 2016.
Awalnya ia
membantah pernah mengeluarkan Surat Perintah Kerja kepada PT Jatim Perkasa.
Namun, setelah kami menunjukkan ada tiga SPK kepada PT Jatim Perkasa saat ia
menjadi syahbandar, Rudiana segera mengoreksi pernyataan sebelumnya.
“Ini saya
yang memberikan tapi tidak pernah terlaksana. SPK keluar tapi enggak ada pengangkatan
(kapal). Ada 3-4 kali SPK. Karena udah dikasih izin belum tentu dilaksanakan,”
ujarnya.
Rudiana
menyebut PT Jatim Perkasa sering mengajukan permohonan izin mengambil bangkai
kapal tak bertuan. “Prinsipnya, negara tidak ada duit untuk angkat itu. Dibantu
bersihkan alur (laut), ya, kami senang-senang saja.”
“Ini
simbiosis mutualisme,” katanya.
Mengikuti
regulasi: sebelum kapal karam diangkat, syahbandar harus mempublikasikan iklan
lewat media massa sekali dalam setiap bulan, selama tiga bulan berturut-turut.
Pemasangan iklan bertujuan mencari siapa pemilik sah bangkai kapal.
Pemerintah
Tahu Penjarah Kapal adalah PT Jatim Perkasashare infografik
(Iklan yang
mengumumkan kapal karam di alur pelayaran barat Surabaya di harian Kompas.)
Kami
menemukan ada iklan tersebut pada Oktober, November, dan Desember 2014. Ada
setidaknya 20 koordinat yang diiklankan Kesyahbandaran Utama Tanjung Perak.
Pencocokan koordinat peta menemukan seluruh 20 titik ada di dalam kolam
pelabuhan Tanjung Perak.
Proyek 20
titik ini bagian dari pembersihan alur perairan barat Surabaya (APBS). Proyek
pengerukan sedimen laut ini berjalan selama 10 bulan, dari 19 Mei 2014 hingga
19 Maret 2015. Proyek dikerjakan PT Pelindo III tetapi pengambilan bangkai
kapal dikerjakan Kemenhub lewat kantor syahbandar.
Dalam buku
laporan Kajian Resiko di Pelayaran APBS yang diterbitkan Kemenhub 2017, pada
halaman 104, menyebut ada 43 bangkai kapal di Selat Madura; 19 di antaranya
teronggok sepanjang alur barat dari Gresik hingga Karang Jamuang, dan 24
sisanya terbenam di kolam pelabuhan Tanjung Perak.
Halaman 91
dari laporan itu menyebut saat revitalisasi APBS, ada 3 kerangka kapal dan 5
obyek bawah air yang diangkat Syahbandar Tanjung Perak—tetapi tidak merinci
titik-titik mana saja yang diambil.
Meski
begitu, mantan Dirut PT Pelindo III Djarwo Surjanto membantah ada pengambilan
bangkai kapal. “Hanya pengerukan saja. Saya enggak pernah dengar pengambilan
kapal untuk APBS,” katanya kediamannya di kawasan Gubeng, Surabaya.
Saat proyek
APBS dilakukan, Djarwo Surjanto adalah Dirut PT Pelindo III. BUMN ini mengelola
43 pelabuhan dengan 16 kantor cabang yang tersebar di tujuh propinsi di
Indonesia meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
“Di APBS
enggak ada kegiatan ambil kapal karam. Kami sengaja menggeser alur itu ke utara
untuk menghindari bangkai kapal perang Belanda. Sebab, kalau kami ambil, biayanya
besar sekali,” katanya, lagi.
Djarwo
mengklaim “tidak tahu” saat kami menyebut nama PT Jatim Perkasa. Katanya,
Pelindo III tak pernah bekerja sama dengan perusahaan ini.
Marzuki,
seorang pejabat harian Syahbandar Utama Tanjung Perak, yang namanya tertuang
pada iklan, menyebut proyek APBS dilakukan secara bertahap—tidak dalam satu
surat perintah kerja.
“Prosedur
pengajuan dari salvage, setelah diiklankan dan enggak ada masalah, kami lalu
minta (SPK) ke Jakarta. Soal mau garap berapa titik itu tergantung dari
Jakarta. Tapi titik ini tidak semua digarap dalam satu izin. Beberapa kali
proyek,” kata Marzuki.
Pada surat
perintah kerja tertanggal 8 Juli 2015, pelaksana proyek digarap oleh PT Jatim
Perkasa, tidak lagi pada DAB Nusantara. “Sejak pertengahan 2015 kami tidak
handle lagi,” kata Esti Nalurani, Komisaris DAB Nusantara.
Izin itu
diberikan untuk menyingkirkan dua titik kapal karam. Menariknya, dua koordinat
ini dekat kapal perang milik Inggris, HMS Electra. Titik pertama berjarak
sekitar 8,6 kilometer dan titik kedua sekitar 3,4 kilometer.
Dua titik
koordinat ini bukan bagian dari proyek pembersihan alur pelayaran barat
Surabaya; lokasinya di utara Lamongan dan berjarak 90 kilometer dari perairan
Surabaya. Lokasi kedua koordinat juga bukan di alur pelayaran rute Tanjung
Priok-Surabaya—jaraknya sekitar 2,2 dan 7,4 kilometer.
Pemerintah
Tahu Penjarah Kapal adalah PT Jatim Perkasashare infografik
Pernyataan
Cris Wanda yang Menggugurkan Bantahan Semuanya
Keruwetan
terjadi di Surabaya dan Lamongan sebetulnya mengerecut pada satu sosok: Chris
Wanda.
Nyono,
kepala bidang perhubungan laut dari Dishub Jawa Timur, mengatakan ketika hendak
menyewa lahan di Pelabuhan Brondong, pemilik PT Jatim Perkasa menemui seorang
bekas pejabat syahbandar di Surabaya. “Dulu yang bawa adalah Pak Chris Wanda,”
ujarnya.
Nama Chris
juga disebut Rudiana. “Pak Chris pernah tiga kali menghadap saya. Pas saya di
Syahbandar, kami memang sering kontak dan dia datang ke kantor. Sebagai teman
dan dia juga lama di situ.”
Chris adalah
Kepala Syahbandar Tanjung Perak periode 2011-2014. Sikap terbuka Chris Wanda
dengan mengantar bos PT Jatim Perkasa disebut Nyono sebagai “relasi akrab”
antara perusahaan salvage itu dan beberapa pejabat Hubla di Surabaya.
Setelah
pensiun, Chris bergabung dengan PT Jatim Perkasa. Para kuli di Brondong sering
melihatnya wara-wiri memantau operasional pemotongan besi kapal.
“Saya enggak
tahu Pak Chris punya modal di sana atau kerja sama dengan orang lain, saya
enggak tahu,” kata Kapten Rudiana, mantan Syahbandar Tanjung Perak.
Marzuki,
seorang pejabat harian Syahbandar Utama Tanjung Perak, berkata bahwa era Chris
Wanda yang “paling banyak memberi izin salvage”.
“Begitu
pensiun, Pak Chris Wanda gabung dengan salah satu perusahaan salvage,” katanya.
Ketika
dikonfirmasi reporter Tirto, Chris membenarkan ia bekerja di PT Jatim Perkasa
setelah pensiun. Soal kedatangannya menghadap Nyono, Kepala Bidang Hubla dari
Dishub Jatim, ia pun mengakuinya. Kata Chris, ia datang dengan maksud
memperpanjang kontrak.
“Sebelum aku
joint di PT Jatim Perkasa, lahan sudah disewa ke Dishub I. Karena kami masih
perlu perpanjang lagi satu tahun, nah aku datang,” kata Chris kepada Tirto.
Chris
mengungkapkan bahwa semua operasional di Pelabuhan Brondong diketahui oleh Unit
Pelayanan Pelabuhan (UPP) setempat. Dengan kata lain, Yuniarsono, pejabat
tertinggi di UPP Brondong, harusnya tahu.
“Pengawasan
oleh UPT bersangkutan. Pengawasan ini menyangkut keselamatan pelayaran,
pelabuhan, termasuk setoran PNBP kepada negara di bawah UPP,” kata Chris.
Saat kapal
Pioner 88 beroperasi, kata Chris, “Ada petugas (Kemenhub) yang melakukan
pengawasan.”
Dalam hal
ini Rudiana dan Syahbandar Tanjung Perak penggantinya mestinya tahu aktivitas
PT Jatim Perkasa.
Chris
mengungkap PT Jatim Perkasa acapkali “berkoordinasi dengan Pelindo III” untuk
penyingkiran kapal karam di perairan Surabaya. Klaim ini bisa membantah
pernyataan Djarwo Surjanto, mantan direktur Pelindo III.
Menurut
Chris, beberapa kali titik koordinat diberikan oleh Pelindo III kepada PT Jatim
Perkasa. Titik-titik ini didapat saat perusahaan melakukan survei sebelum
pendalaman alur.
“Sesuai
ketentuan amanat UUD, titik tak bertuan ini harus diumumkan. Pelindo III
mengumumkan tiga kali di media. Supaya jika ada pemiliknya bisa datang ke
pemerintah. Begitu tiga bulan enggak ada konfirmasi, kapal itu dikuasai
pemerintah. Dan pemerintah mengeluarkan izin dan mengawasi proses
pengangkutan,” ujar Chris Wanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar