Jurnalis
Independen: Selama Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), ada banyak hal
dilakukan, termasuk dalam mengambil kebijakan. Hal itu, tidak saja dilakukan
oleh Presiden Jokowi sendiri, tetapi juga kalangan menterinya. Termasuk saat
menghadapi lawan politiknya, panik, takut kalah, PDIP melalui kadernya yang
menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, peralat pemerintah lakukan segala cara.
Pengambilan kebijakan
import beras misalnya, di saat petani menjelang panen raya oleh Menteri Perdagangan
Drs. Enggartiasto Lukita, memunculkan pertanyaan dari berbagai kalangan.
Kali ini
terkait Pilkada yang diikuti kandidat Partainya, Mendagri Tjahjo Kumolo, menunjuk
perwira tinggi polisi aktif menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Jawa Barat (Jabar)
dan Sumatera Utara (Sumut). Alasannya masalah keamanan.
Jika mau
menengok kebelakang, Propinsi Sumatra Utara (Sumut) 2014 lalu, Golkar merupakan
pemenang di Sumut dengan raihan lebih dari 948 ribu suara, dan disusul PDIP
dengan 920 ribu suara lebih. Kedua partai meraih jatah kursi perwakilan
terbanyak di DPRD Sumut.
Di Pilkada
tahun ini, Golkar berkomplot dengan Partai Gerindra, PKS, PAN, dan Partai Nasdem,
mengusung Letjen Edy Rahmayadi. Sementara PDIP mengusung Djarot Saiful Hidayat
mantan Wagub DKI, Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Sumut sendiri merupakan lumbung
suara terbanyak ke empat di Indonesia dalam pilpres 2014 setelah Jabar, Jatim,
dan Jateng.
Sementara di
Jabar ada Empat Pasang Capilgub 2018. Masing - masing, Ridwal Kamil Wali Kota
Bandung berpasangan dengan Uu Ruzhanul Ulum Bupati Tasikmalaya. Partai
pengusung pasangan yakni, PPP dengan 9 kursi, PKB dengan tujuh kursi, Partai
NasDem dengan 5 kursi, Partai Hanura dengan 3 kursi. Total pendukung 24 kursi
dari syarat minimal 20 kursi.
Pasangan ke
Dua Sudrajat dengan Ahmad Syaikhu. Sudrajat merupakan Mayor Jenderal (Purnawirawan)
yang memiliki jabatan terakhir sebagai Direktur Jenderal Strategi Pertahanan
Departemen Pertahanan. Dan Ahmad Syaikhu
Wakil Walikota Bekasi. Partai pengusung pasangan ini adalah, Partai Gerindra
dengan 11 kursi, PKS dengan 12 kursi, dan PAN dengan empat kursi, total
pendukung 27 kursi.
Pasangan ke
Tiga Deddy Mizwar, Jabatan saat ini adalah Wakil Gubernur Jawa Barat,
berpasangan dengan Dedi Mulyadi Bupati Purwakarta. Sedangkan partai
pengusungnya adalah Partai Demokrat dengan 12 kursi dan Partai Golkar dengan 17
kursi, total pendukung 29 kursi.
Dan Pasangan
ke Empat diusung PDIP yang memiliki jumlah kursi 20. Mayor Jenderal
(Purnawirawan) Tubagus Hasanuddin sebagai Calon Gubernur, saat ini sedang
menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi
Pertahanan dan Luar Negeri DPR sedangkan Cawagubnya, Anton Charliyan, dan menjabat
sebagai Wakil Kepala Lembaga Pendidikan Polri. Mereka berdua, merupakan kader
Partai PDIP sendiri.
Melihat peta
politik diatas itulah, bisa jadi mendasari “keputusan” Mendagri Tjahjo Kumolo
melakukan “Lemparan Dadu” dengan mem Plt kan Perwira Tinggi Polri aktif. Peta politik
diatas, jelas tidak menguntungkan Partainya, yaitu PDIP yang dirasa berada di
ujung tanduk alias berkemungkinan tidak memenangi Pilgub di dua Propinsi
strategis itu. Namun keputusan mem plt kan polisi aktif, jelas menghentak
masyarakat dan sejumlah public figure bahkan lawan politik.
Atas “keputusan”
itu, dari gedung Parlemen, Zulkifli Hasan, sampai mempertanyakan, “mengapa
tidak menunjuk pejabat eselon satu dari Kementerian Dalam Negeri”?
Sekedar mengingat,
bahwa Kementerian Dalam Negeri pernah menunjuk pejabat strukturalnya, Sumarsono,
menjadi pelaksana tugas gubernur DKI Jakarta saat Pilgub 2017 lalu.
Sejak
reformasi 20 tahun lalu, inilah pertama kali perwira tinggi aktif polisi
ditunjuk untuk posisi politik. Sementara TNI telah paripurna dengan
reposisinya, menarik diri sepenuhnya dari ranah politik praktis.
Zulkifli Hasan
mempertanyakan keputusan Kumolo yang kurang lazim itu. "Kalau nanti
kinerjanya kurang baik dan terjadi situasi kurang kondusif, maka presiden yang
akan menjadi sasaran protes publik," katanya.
Keputusan
mem plt kan kedua polisi aktif, telah diumumkan Kepala Bagian Penerangan Umum
Divisi Humas Kepolisian Indonesia, Komisaris Besar Polisi Martinus Sitompul.
Martinus mengatakan, dua perwira tinggi polisi bakal menjadi Plt Gubernur Jabar
dan Sumut, untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur saat Pilkada serentak
2018.
Dua Jenderal
polisi itu adalah Asisten Operasi Kepala Kepolisian Indonesia, Inspektur
Jenderal Polisi Mochamad Iriawan (bekas kepala Polda Metro Jaya) menjadi Plt Gubernur
Jabar. Dan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Indonesia, Inspektur
Jenderal Polisi Martuani Sormin, menjadi Plt Gubernur Sumut.
Terkait keinginan
Mendagri ini, Pengamat kepolisian dari Institut for security and strategic
studies (ISeSS) Bambang Rukminto mengatakan, adanya wacana pengusulan pengangkatan
Plt Gubernur Jabar dan Sumut dari perwira tinggi aktif Polri sangat menghentak
nalar publik. Ia mempertanyakan, sedang melakukan strategi politik apakah
presiden Jokowi itu di tahun pilkada ini.
Seperti tertera
dalam UU Polri No 2/2002 di dalam Pasal 28 Ayat 1 menyebutkan bahwa Kepolisian
Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak
melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Serta, Pasal 28 Ayat 3 UU Polri
No 2/2002 menyebutkan bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun
dari dinas kepolisian.
"UU
2/2002 tersebut tentunya sampai sekarang belum ada perubahan. Pilkada ini
tentunya adalah arena pertarungan politik dalam ranah demokrasi. Apakah
sebegitu 'menganggurnyakah' perwira tinggi Polri sehingga bisa diminta menjadi
plt gubernur?," ujar Bambang, Kamis (25/1).
Menurutnya,
menyeret Polri di tengah pusaran pertarungan politik sungguh tak elok bagi
rejim ini, juga bagi Polri sendiri. Seolah tidak ada aparat birokrasi lain di
luar Polri untuk dijadikan plt gubernur.
Rezim
Jokowi, kata dia, seolah tidak belajar dengan kasus di era kepemimpinan Kapolri
Dai Bachtiar yang secara terbuka mendukung Megawati di pemilu 2004. "Tugas
pokok dan fungsi Polri sesuai amanat UU adalah menjaga ketertiban masyarakat
dan penegakan hukum bukan sebagai birokrat dalam pemerintahan," ujarnya.
Di sisi
lain, sebagai pemegang amanah negara sesuai UU 2/2002 Polri akan terjebak pada
pragmatisme politik yang bergulir 5 tahunan. Sebagai aparat negara, seharusnya
Polri yang profesional harus netral dari tarik ulur politik rezim.
Di sisi lain
sesuai pasal 28 ayat 3 uu 2/2002 menyebutkan bahwa Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah
mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.Usulan pengangkatan pati
aktif Polri sebagai Plt.gubernur tidak bisa dihindari lagi sebagai strategi
politik dari rejim.
Terkait yang
dilakukan, Tjahjo Kumolo, menjelaskan pertimbangannya mengusulkan dua petinggi
kepolisian sebagai pemimpin sementara dua provinsi. Pertimbangan kerawanan
Pilkada juga menjadi salah satu faktor penunjukan dua petinggi polisi tersebut.
Tjahjo pun merujuk pada Pilkada 2017 lalu. Ia juga mengusulkan dari kalangan
kepolisian dan juga diizinkan.
"Saat
itu Inspektur Jenderal Polisi Carlo Brix Tewu dilantik menjadi pejabat Gubernur
Sulawesi Barat, sementara Pak Soedarmo yang dari TNI (purnawirawan) juga
ditunjuk menjadi Pejabat Gubernur Aceh dan tidak ada masalah," ujar Tjahjo.
Dirinya tidak mungkin melepas semua pejabat eselon I untuk menjadi pejabat
gubernur ke provinsi-provinsi penyelenggara Pilkada 2018. Sebagaimana diketahui
ada 17 provinsi yang melaksanakan Pilkada serentak 2018. “Menurut saya tidak
ada masalah (usulan seperti itu)," ungkapnya.
Tak berhenti
dari Zulkifli Hasan dan Bambang Rukminto, Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga mempertanyakan
kebijakan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian yang mengajukan dua perwira
tinggi Polri menjadi kandidat Plt Gubernur Jabar dan Sumut. "Saya pikir
ini adalah satu kebijakan yang patut untuk dipertanyakan, biasanya mereka yang
ditunjuk untuk menjabat itu adalah mereka yang menjadi pejabat sipil di daerah
itu dan menguasai wilayah itu," kata Fadli di Kompleks Parlemen.
Fadli
menilai, apabila Pati Polri benar-benar menjadi Plt Gubernur maka bertentangan
dengan semangat keadilan dan transparansi. Fadli khawatir penunjukan pelaksana
tugas kepala daerah di luar Kemendagri akan menggerakkan Aparatur Sipil Negara
(ASN) untuk kepentingan pemenangan calon tertentu.
Tentu saja
kebijakan Mendagri ini menyulut tanda tanya bagi pengusung Letjen Edy Rahmayadi.
Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto meminta Kapolri dan Mendagri
mengevaluasi kembali rencana penempatan pejabat Polri menduduki plt gubernur
saat pilkada. "Polri seharusnya meminimalkan segala bentuk potensi
kekhawatiran publik akan netralitas Polri dalam pilkada," katanya.
Didik
menambahkan, pilkada menjadi ajang bagi segenap masyarakat memilih para
pemimpinnya secara demokratis, adil, dan berkeadilan. Sehingga, hak rakyat
memilih harus dijamin sepenuhnya dari segala bentuk manipulasi.
Anggota
Komisi III DPR itu menilai kebijakan itu akan berpotensi bisa mengganggu
lahirnya demokrasi yang bersih dan adil karena berimplikasi kepada potensi
tidak netralnya aparat dalam mengawal dan menjaga demokrasi.
Kepala
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Lalola Easter pernah mengatakan,
setidaknya ada 12 kebijakan kontroversial selama pemerintahan Presiden Jokowi.
Kebijakan-kebijakn
tersebut diantaranya kebijakan Tax Amnesty, Inpres antikriminalisasi untuk
kepala daerah, Inpres antikorupsi tahun 2015, penunjukan Jaksa Agung terhadap
HM Prasetyo, pengusulan Kapolri terhadap Budi Gunawan yang dinilai melanggar
aturan lantaran diduga terlibat aliran dana korupsi. Pemberian remisi pencuri
uang negara, pengangkatan Archandra Tahir sebagai Menteri ESDM, penunjukkan
Taufiqurrahman Ruki sebagai Plt Pimpinan KPK tahun 2015, penetapan Hari Lahir
Pancasila, Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, hingga
negosiasi dengan PT Freeport Indonesia.
Namun,
Presiden Jokowi di setiap menerbitkan keputusannya, mengatakan bertanggungjawab.
Pertanyaannya, apakah dalam hal ini, usulan pengangkatan Plt Gubernur Jabar dan
Sumut juga menjadi tanggungjawab Presiden? (mnt)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar