Jumat, 26 Januari 2018

Banteng Panik! “Angkat Polisi Aktif” Jadi Plt Gubernur, Mendagri Tjahjo Kumolo Melempar Dadu

Jurnalis Independen: Selama Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), ada banyak hal dilakukan, termasuk dalam mengambil kebijakan. Hal itu, tidak saja dilakukan oleh Presiden Jokowi sendiri, tetapi juga kalangan menterinya. Termasuk saat menghadapi lawan politiknya, panik, takut kalah, PDIP melalui kadernya yang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, peralat pemerintah lakukan segala cara.


Pengambilan kebijakan import beras misalnya, di saat petani menjelang panen raya oleh Menteri Perdagangan Drs. Enggartiasto Lukita, memunculkan pertanyaan dari berbagai kalangan.

Kali ini terkait Pilkada yang diikuti kandidat Partainya, Mendagri Tjahjo Kumolo, menunjuk perwira tinggi polisi aktif menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Jawa Barat (Jabar) dan Sumatera Utara (Sumut). Alasannya masalah keamanan.

Jika mau menengok kebelakang, Propinsi Sumatra Utara (Sumut) 2014 lalu, Golkar merupakan pemenang di Sumut dengan raihan lebih dari 948 ribu suara, dan disusul PDIP dengan 920 ribu suara lebih. Kedua partai meraih jatah kursi perwakilan terbanyak di DPRD Sumut.

Di Pilkada tahun ini, Golkar berkomplot dengan Partai Gerindra, PKS, PAN, dan Partai Nasdem, mengusung Letjen Edy Rahmayadi. Sementara PDIP mengusung Djarot Saiful Hidayat mantan Wagub DKI, Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Sumut sendiri merupakan lumbung suara terbanyak ke empat di Indonesia dalam pilpres 2014 setelah Jabar, Jatim, dan Jateng.

Sementara di Jabar ada Empat Pasang Capilgub 2018. Masing - masing, Ridwal Kamil Wali Kota Bandung berpasangan dengan Uu Ruzhanul Ulum Bupati Tasikmalaya. Partai pengusung pasangan yakni, PPP dengan 9 kursi, PKB dengan tujuh kursi, Partai NasDem dengan 5 kursi, Partai Hanura dengan 3 kursi. Total pendukung 24 kursi dari syarat minimal 20 kursi.

Pasangan ke Dua Sudrajat dengan Ahmad Syaikhu. Sudrajat merupakan Mayor Jenderal (Purnawirawan) yang memiliki jabatan terakhir sebagai Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan. Dan  Ahmad Syaikhu Wakil Walikota Bekasi. Partai pengusung pasangan ini adalah, Partai Gerindra dengan 11 kursi, PKS dengan 12 kursi, dan PAN dengan empat kursi, total pendukung 27 kursi.

Pasangan ke Tiga Deddy Mizwar, Jabatan saat ini adalah Wakil Gubernur Jawa Barat, berpasangan dengan Dedi Mulyadi Bupati Purwakarta. Sedangkan partai pengusungnya adalah Partai Demokrat dengan 12 kursi dan Partai Golkar dengan 17 kursi, total pendukung 29 kursi.

Dan Pasangan ke Empat diusung PDIP yang memiliki jumlah kursi 20. Mayor Jenderal (Purnawirawan) Tubagus Hasanuddin sebagai Calon Gubernur, saat ini sedang menjabat sebagai  Wakil Ketua Komisi Pertahanan dan Luar Negeri DPR sedangkan Cawagubnya, Anton Charliyan, dan menjabat sebagai Wakil Kepala Lembaga Pendidikan Polri. Mereka berdua, merupakan kader Partai PDIP sendiri.

Melihat peta politik diatas itulah, bisa jadi mendasari “keputusan” Mendagri Tjahjo Kumolo melakukan “Lemparan Dadu” dengan mem Plt kan Perwira Tinggi Polri aktif. Peta politik diatas, jelas tidak menguntungkan Partainya, yaitu PDIP yang dirasa berada di ujung tanduk alias berkemungkinan tidak memenangi Pilgub di dua Propinsi strategis itu. Namun keputusan mem plt kan polisi aktif, jelas menghentak masyarakat dan sejumlah public figure bahkan lawan politik.  

Atas “keputusan” itu, dari gedung Parlemen, Zulkifli Hasan, sampai mempertanyakan, “mengapa tidak menunjuk pejabat eselon satu dari Kementerian Dalam Negeri”?
Sekedar mengingat, bahwa Kementerian Dalam Negeri pernah menunjuk pejabat strukturalnya, Sumarsono, menjadi pelaksana tugas gubernur DKI Jakarta saat Pilgub 2017 lalu.

Sejak reformasi 20 tahun lalu, inilah pertama kali perwira tinggi aktif polisi ditunjuk untuk posisi politik. Sementara TNI telah paripurna dengan reposisinya, menarik diri sepenuhnya dari ranah politik praktis.

Zulkifli Hasan mempertanyakan keputusan Kumolo yang kurang lazim itu. "Kalau nanti kinerjanya kurang baik dan terjadi situasi kurang kondusif, maka presiden yang akan menjadi sasaran protes publik," katanya.

Keputusan mem plt kan kedua polisi aktif, telah diumumkan Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Kepolisian Indonesia, Komisaris Besar Polisi Martinus Sitompul. Martinus mengatakan, dua perwira tinggi polisi bakal menjadi Plt Gubernur Jabar dan Sumut, untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur saat Pilkada serentak 2018.

Dua Jenderal polisi itu adalah Asisten Operasi Kepala Kepolisian Indonesia, Inspektur Jenderal Polisi Mochamad Iriawan (bekas kepala Polda Metro Jaya) menjadi Plt Gubernur Jabar. Dan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Indonesia, Inspektur Jenderal Polisi Martuani Sormin, menjadi Plt Gubernur Sumut.

Terkait keinginan Mendagri ini, Pengamat kepolisian dari Institut for security and strategic studies (ISeSS) Bambang Rukminto mengatakan, adanya wacana pengusulan pengangkatan Plt Gubernur Jabar dan Sumut dari perwira tinggi aktif Polri sangat menghentak nalar publik. Ia mempertanyakan, sedang melakukan strategi politik apakah presiden Jokowi itu di tahun pilkada ini.

Seperti tertera dalam UU Polri No 2/2002 di dalam Pasal 28 Ayat 1 menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Serta, Pasal 28 Ayat 3 UU Polri No 2/2002 menyebutkan bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

"UU 2/2002 tersebut tentunya sampai sekarang belum ada perubahan. Pilkada ini tentunya adalah arena pertarungan politik dalam ranah demokrasi. Apakah sebegitu 'menganggurnyakah' perwira tinggi Polri sehingga bisa diminta menjadi plt gubernur?," ujar Bambang, Kamis (25/1).

Menurutnya, menyeret Polri di tengah pusaran pertarungan politik sungguh tak elok bagi rejim ini, juga bagi Polri sendiri. Seolah tidak ada aparat birokrasi lain di luar Polri untuk dijadikan plt gubernur.

Rezim Jokowi, kata dia, seolah tidak belajar dengan kasus di era kepemimpinan Kapolri Dai Bachtiar yang secara terbuka mendukung Megawati di pemilu 2004. "Tugas pokok dan fungsi Polri sesuai amanat UU adalah menjaga ketertiban masyarakat dan penegakan hukum bukan sebagai birokrat dalam pemerintahan," ujarnya.

Di sisi lain, sebagai pemegang amanah negara sesuai UU 2/2002 Polri akan terjebak pada pragmatisme politik yang bergulir 5 tahunan. Sebagai aparat negara, seharusnya Polri yang profesional harus netral dari tarik ulur politik rezim.

Di sisi lain sesuai pasal 28 ayat 3 uu 2/2002 menyebutkan bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.Usulan pengangkatan pati aktif Polri sebagai Plt.gubernur tidak bisa dihindari lagi sebagai strategi politik dari rejim.

Terkait yang dilakukan, Tjahjo Kumolo, menjelaskan pertimbangannya mengusulkan dua petinggi kepolisian sebagai pemimpin sementara dua provinsi. Pertimbangan kerawanan Pilkada juga menjadi salah satu faktor penunjukan dua petinggi polisi tersebut. Tjahjo pun merujuk pada Pilkada 2017 lalu. Ia juga mengusulkan dari kalangan kepolisian dan juga diizinkan.
"Saat itu Inspektur Jenderal Polisi Carlo Brix Tewu dilantik menjadi pejabat Gubernur Sulawesi Barat, sementara Pak Soedarmo yang dari TNI (purnawirawan) juga ditunjuk menjadi Pejabat Gubernur Aceh dan tidak ada masalah," ujar Tjahjo. Dirinya tidak mungkin melepas semua pejabat eselon I untuk menjadi pejabat gubernur ke provinsi-provinsi penyelenggara Pilkada 2018. Sebagaimana diketahui ada 17 provinsi yang melaksanakan Pilkada serentak 2018. “Menurut saya tidak ada masalah (usulan seperti itu)," ungkapnya.

Tak berhenti dari Zulkifli Hasan dan Bambang Rukminto, Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga mempertanyakan kebijakan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian yang mengajukan dua perwira tinggi Polri menjadi kandidat Plt Gubernur Jabar dan Sumut. "Saya pikir ini adalah satu kebijakan yang patut untuk dipertanyakan, biasanya mereka yang ditunjuk untuk menjabat itu adalah mereka yang menjadi pejabat sipil di daerah itu dan menguasai wilayah itu," kata Fadli di Kompleks Parlemen.

Fadli menilai, apabila Pati Polri benar-benar menjadi Plt Gubernur maka bertentangan dengan semangat keadilan dan transparansi. Fadli khawatir penunjukan pelaksana tugas kepala daerah di luar Kemendagri akan menggerakkan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk kepentingan pemenangan calon tertentu.

Tentu saja kebijakan Mendagri ini menyulut tanda tanya bagi pengusung Letjen Edy Rahmayadi. Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto meminta Kapolri dan Mendagri mengevaluasi kembali rencana penempatan pejabat Polri menduduki plt gubernur saat pilkada. "Polri seharusnya meminimalkan segala bentuk potensi kekhawatiran publik akan netralitas Polri dalam pilkada," katanya.

Didik menambahkan, pilkada menjadi ajang bagi segenap masyarakat memilih para pemimpinnya secara demokratis, adil, dan berkeadilan. Sehingga, hak rakyat memilih harus dijamin sepenuhnya dari segala bentuk manipulasi.

Anggota Komisi III DPR itu menilai kebijakan itu akan berpotensi bisa mengganggu lahirnya demokrasi yang bersih dan adil karena berimplikasi kepada potensi tidak netralnya aparat dalam mengawal dan menjaga demokrasi.
Kepala Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Lalola Easter pernah mengatakan, setidaknya ada 12 kebijakan kontroversial selama pemerintahan Presiden Jokowi.

Kebijakan-kebijakn tersebut diantaranya kebijakan Tax Amnesty, Inpres antikriminalisasi untuk kepala daerah, Inpres antikorupsi tahun 2015, penunjukan Jaksa Agung terhadap HM Prasetyo, pengusulan Kapolri terhadap Budi Gunawan yang dinilai melanggar aturan lantaran diduga terlibat aliran dana korupsi. Pemberian remisi pencuri uang negara, pengangkatan Archandra Tahir sebagai Menteri ESDM, penunjukkan Taufiqurrahman Ruki sebagai Plt Pimpinan KPK tahun 2015, penetapan Hari Lahir Pancasila, Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, hingga negosiasi dengan PT Freeport Indonesia.

Namun, Presiden Jokowi di setiap menerbitkan keputusannya, mengatakan bertanggungjawab. Pertanyaannya, apakah dalam hal ini, usulan pengangkatan Plt Gubernur Jabar dan Sumut juga menjadi tanggungjawab Presiden? (mnt)


Tidak ada komentar: