Upaya
perlindungan kapal-kapal bersejarah di perairan Asia Tenggara kalah cepat dari
gerak para penjarah.
tirto.id: Dalam ingatan Nia Laelul Hasanah Ridwan menyelam di lokasi bangkai kapal perang
sudah menjadi kegiatan rutin. Nia sudah menekuni dunia bawah laut sejak 2005.
Ia hobi menyelam di lokasi kuburan kapal bersejarah. Hobi ini didukung
pekerjaannya sebagai periset arkeologi maritim Pusat Penelitian dan
Pengembangan untuk Sumber Daya Laut dan Pesisir di Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP).
Namun,
kegemarannya terusik ketika ia menyelam di titik lokasi kapal perang HMAS
Perth. Nia melihat kondisi kapal, tempat kuburan bagi lebih dari 300 serdadu AL
Australia, itu sudah tak lagi utuh. Ia melihat paku-paku tembaga yang jadi
pengikat lempengan besi kapal telah raib. Perkiraannya, wujud HMAS Perth
tinggal 40 persen dari bentuk aslinya.
“Memang
sudah banyak bagian yang hilang,” ujar Nia melalui telepon, 28 Desember 2017.
Ia menduga paku-paku pengikat kapal HMAS Perth itu ulah para pemburu besi tua
lokal.
“Saat ke
sana, kapal-kapal nelayan juga ada di lokasi itu,” katanya.
Namun, kata
Nia, dugaan pemburu besi lokal sebagai pelaku pencurian hanya bagian kecil dari
penjarahan kapal tersebut. Nia menilai ada "pemain besar" dengan alat
tongkang cakar raksasa yang juga ikut memburu besi tua dari kapal karam
bersejarah. Dugaan ini dikuatkan bertambahnya jumlah kapal bersejarah yang
terdeteksi ikut dijarah di perairan Indonesia.
Dari
informasi yang ia terima, ada 24 kapal bersejarah tenggelam ketika Perang Dunia
II menjadi buruan para penjarah besi tua. Kapal-kapal ini tersebar di perairan
Selat Sunda, Laut Jawa, hingga perairan Kepulauan Riau.
Dari puluhan
kapal yang dirayah ini, dua di antaranya adalah HMAS Perth dan kapal Amerika
Serikat USS Houston, yang tenggelam di perairan Selat Sunda pada 1942.
“Karena
besi-besi itu memiliki nilai begitu tinggi,” Nia berkata.
Dari sanalah
Nia mendata titik-titik lokasi keberadaan bangkai kapal bersejarah di perairan
Indonesia. Dari peta koordinat yang ia berikan kepada Tirto, setidaknya ada 37
kapal karam; 24 kapal diyakini telah dijarah, sementara 13 lainnya pernah
diteliti keberadaannya oleh KKP, instansi pemerintah yang kini dipimpin oleh
Susi Pudjiastuti.
Prihatin
atas kondisi kapal-kapal bersejarah tersebut, Nia lantas membuat fora diskusi.
Ia mengundang sejumlah instansi pemerintah Provinsi Banten. Tujuan diskusi,
lembaga-lembaga Pemprov Banten bisa mencegah aksi pencurian.
“Banyak yang
belum paham jika ini harus dilindungi,” ujarnya. “Meskipun ini bukan kapal
kita, tapi karena tenggelam di wilayah Indonesia, ini menjadi sebuah
keharusan.”
Hasil
diskusi memutuskan lokasi keberadaan HMAS Perth dan USS Houston diajukan
sebagai cagar budaya Pemprov Banten. Hingga kini penetapan dua kuburan kapal
perang dunia II ini belum juga ditetapkan.
Hal itu
dibenarkan Zainab Tahir, arkeolog serta kepala koleksi barang muatan kapal
tenggelam KKP. “Suratnya baru diajukan Oktober 2017 dan belum ada keputusan,”
katanya, 27 September lalu.
Nia Laelul
Hasanah Ridwan bukanlah orang pertama yang mengetahui pencurian bangkai kapal
perang di Selat Sunda. Pada akhir 2013, penjarahan HMAS Perth sudah terendus
dalam laporan ABC, yang bikin "terhenyak" publik Australia, termasuk
para sejarawan dan Gavin Campbel, veteran yang selamat dari kapal tersebut.
Setiap upaya
perlindungan kapal karam oleh otoritas Australia, tulis laporan ABC tersebut,
“bergantung pada kerja sama dengan pemerintah Indonesia.” Orang-orang yang
mengetahui kasus ini “diminta bungkam” lantaran sedang “dilakukan proses
diplomatik” antara Canberra dan Jakarta.
Toh, proses
diplomatik itu, sekalipun ada, justru tidak menghambat kerusakan dan penjarahan
pada HMAS Perth.
Berdasar
laporan tahun 2017 dari Australian National Maritim Museum, bekerja sama dengan
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, menyebutkan kondisi kapal HMAS Perth kian
memprihatinkan. Dari foto laporan itu, kondisi HMAS Perth tinggal 40-an persen,
seperti temuan Nia saat menyelam pada 2015.
Dalam
konferensi arkeologi maritim di Adelaide, September 2017, menyebutkan 42 kapal,
terdiri 26 kapal perang dan 16 kapal dagang, yang tenggelam saat Perang Dunia
II telah hilang dirayah para penjarah sejak 2013.
Berdasarkan
yurisdiksi teritorial, 29 kapal hilang di perairan Indonesia, sisanya di
perairan Malaysia. Temuan ini bikin kaget arkeolog Indonesia, termasuk Nia
Naelul Hasanah Ridwan, yang ikut menghadiri konferensi tersebut.
Menurut Nia,
hasil riset itu dilakukan secara “ilegal” lantaran tak pernah meminta izin
penelitian kepada pemerintah Indonesia, dan ia sempat protes atas hal itu.
Meski
begitu, informasi hilangnya kapal-kapal Perang Dunia II di perairan Indonesia
sudah kadung jadi kegaduhan, terutama bagi publik Belanda, Inggris, dan Amerika
Serikat. Ia juga diberitakan oleh media-media Indonesia maupun internasional.
Padahal,
sebelum kabar pencurian kapal perang ini jadi perhatian besar, keluarga korban
perang Laut Jawa rutin menggelar tabur bunga di lokasi ketiga bangkai kapal
Belanda. Penghormatan ini sudah dijalankan sejak 2012 setiap 27 Februari untuk
kapal HNLMS De Ruyter, Java, dan Kortenaer.
Pada 2014,
Wakil Laksamana Matthieu J.M. Borsboom, Kepala Staf AL Belanda, datang ke
Indonesia untuk pertama kalinya guna memperingati pertempuran Laut Jawa.
Upacara ini dilakukan di Makam Kehormatan Belanda Kembang Kuning, Surabaya. Kedatangan
Borsboom disambut Kepala Staf TNI AL Laksamana Marsetio.
Namun, upaya
penghormatan kepada prajurit perang ini diusik para penjarah yang diduga
meremukkan dan mengangkut ketiga bangkai kapal perang Belanda tersebut.
Tahu ada
dugaan penjarahan itu, Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda, merespons dengan
nada mengecam.
“Fakta bahwa
kuburan perang dijarah saja sudah merupakan masalah yang sangat serius, dengan
implikasi jauh terhadap para penyintas dan kita semua,” kata Rutte, dikutip
dari Voice of America, 22 November 2016.
“Bayangkan
sebuah pemakaman perang ... akan dirusak dan dinodai — hal ini benar-benar
tidak dapat diterima,” kata Rutte.
Zainab
Tahir, arkeolog dari KKP, mengatakan perwakilan Belanda dan pemerintah
Indonesia telah melakukan rapat bersama membahas hilangnya kapal Belanda. Rapat
ini digelar di Jakarta pada Februari 2017. Zainab hadir dalam pertemuan itu.
KKP, kata
Zainab, mendukung upaya kerja sama dengan negara-negara pemilik kapal perang
bersejarah tersebut untuk melakukan perlindungan dari penjarahan. Salah satunya
dengan mengupayakan titik-titik lokasi kapal karam itu dijadikan kawasan
konservasi maritim.
Toh,
langkah-langkah “perlindungan” itu agaknya kalah cepat dari gerak kapal
penjarah.
Pada Mei
2017, muncul dugaan bahwa kapal perang Ashigara milik Jepang, yang tenggelam di
perairan Muntok, Bangka Barat, juga dijarah. Kabar ini datang dari Pengawasan
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung ketika Balai Pelestarian
Cagar Budaya Jambi mendatangi kantor mereka.
Saat itu di
lokasi bangkai kapal perang, Balai Pelestarian Budaya Jambi menemukan kapal
tongkang bercakar raksasa melakukan aktivitas ilegal. Mereka diduga sedang
mengangkat bangkai kapal Ashigara. Padahal kapal ini sudah ditetapkan sebagai
cagar budaya Jambi.
Guna
memastikan kondisi kapal itu, penyelam Emas Diving Club (EDC) Bangka Belitung,
bersama Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi, melakukan survei ke titik
lokasi Ashigara. Mereka bakal menuntut penjarah untuk bertanggung jawab jika
bagian-bagian Ashigara hilang.
Berdasarkan
paparan konferensi arkeologi maritim di Adelaide, sedikitnya ada 22 kapal
bersejarah milik Jepang yang dijarah—paling banyak dari negara lain. Delapan
adalah kapal perang dan 14 adalah kapal dagang.
Dokumen yang
dipaparkan dalam konferensi itu menyebut ada 11 kapal Jepang yang hilang di
perairan Malaysia. Kapal-kapal itu adalah Higane Maru, Hiyori Maru, Kokusei
Maru, Chosa Maru, IJN cruiser Kuma, IJN Cruiser Haguro, IJN Yurijima, Katori
Maru, Hiyoshi Maru, IJN Sagiri, dan Hatsutaka.
Sementara 11
kapal lain lenyap di perairan Indonesia: IJN Itsukushima, Meigen Maru, Suiten
Maru, MV Ningpo/Nippo Maru, Nippon Maru [Ningpo MV/ Nippo Maru], Biwa Maru,
Myoken Maru, Riojen Maru, Hachian Maru, Koshin Maru, Genmei Maru.
Kapal selam
milik Jerman, yang tenggelam di perairan Malaysia, pun turut dirayah: U-IT 23
buatan Italia dan U-859. U-IT 23 tenggelam ketika hendak keluar pelabuhan
Penang dan langsung dihujani torpedo oleh kapal perang Inggris HMS Tallyho.
Sementara U-859 tenggelam oleh torpedo kapal selam HMS Trenchant pada 23
September 1944.
Kapal perang
Inggris pun bernasib serupa. Sepuluh kapal mereka yang tenggelam ketika Perang
Dunia II juga hilang dicuri para penjarah besi tua. Beberapa kapal raib tanpa
jejak, beberapa lagi diperkirakan tinggal 20 persen dan lenyap di perairan
Indonesia dan Malaysia.
Kapal-kapal
Inggris itu HMS Exeter, HMS Encounter (tinggal 20 persen), HMS Electra (tinggal
40 persen), HMS Repulse, HMS Prince of Wales, HMS Banka, Tien Kuang [HMS Tien
Kwang], HMS Kuala, Lock Ranza, HMS Thanet, dan Hachian Maru (dua bendera:
Jepang/Inggris). Dari kesepuluh kapal itu, tujuh kapal dijarah di Indonesia dan
4 kapal lain di perairan Malaysia.
Selain itu,
ada kapal AS yang terjarah. Jika di Selat Sunda ada USS Houston yang rutin
dikunjungi Angkatan Laut AS untuk melakukan tabur bunga, di sekitar Laut Jawa
ada dua kapal perang lain. Dua kapal ini USS Perch dan USS Pope.
Menurut
dokumen percakapan Kevin Denlay, penyelam yang menjelajahi kapal-kapal perang
dunia II terutama di Laut Jawa sejak 2002, 80 persen bangkai kapal Pope telah
habis dijarah. Adapun kapal selam Perch raib tanpa bekas. Kedua kapal ini
tenggelam dalam pertempuran di Laut Jawa pada awal Maret 1942.
“Kalau
penjarahan, hampir semua sebetulnya sudah dijarah,” kata Nia Laelul Hasanah
Ridwan, menegaskan kembali mengenai kondisi kapal-kapal karam nan bersejarah di
perairan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar