Jurnalis Independen: Pemilihan Presiden (Pilpres) Tahun 2014 yang
digelar pada 9 Juli lalu, merupakan pilpres istimewa bagi sejarah bangsa ini. Pilpres
ini hanya diikuti oleh 2 pasang Capres dan Cawapres, sehingga peta politik saat
itu terpecah menjadi 2 kelompok.
Pasangan Capres- Cawapres Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa (Prahara) mengantongi nomor urut 1 dari Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Pasangan ini merupakan hasil koalisi berbagai partai. Antara Partai
Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) dengan PAN (Partai Amanat Nasional), serta
beberapa partai yang menjadi pendukung, antara lain Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), Golkar, PPP, PBB, maupun Partai Demokrat.
Rebut pengaruh, tebar pesona juga mencari
simpatik agar mendapat dukungan dari seluruh masyarakat menjadi kerja keras tim
pemenangan masing-masing kandidat selama masa kampanye.
Media, terutama televisi seolah terpecah
menjadi 2 kelompok yang saling mengunggulkan capres dukungannya. Para seniman
juga tak luput dan menjadi alat propaganda yang diharapkan berperan besar
mendulang perolehan suara pada saat pencoblosan.
Saat pencoblosan berlangsung, beberapa
lembaga survey juga melakukan pantauan langsung di lapangan. Seiring usainya
pemungutan suara, hasil penghitungan suara juga menjadi hasil penghitungan
cepat beberapa lembaga survey atau Quick Count.
Jika pada pemilu tahun 2004, penghitungan
cepat yang dihasilkan oleh lembaga survey tidak banyak menemui protes, kecaman
bahkan ancaman pemidanaan terkait survey yang dilakukan, namun berbeda dengan
yang terjadi pada pilpres 2014 kali ini. Ada beberapa lembaga survey diadukan
ke kepolisian lantaran hasil surveynya dianggap meresahkan masyarakat.
Entah hal itu disebabkan hasil survey yang
dilakukan tidak memenangkan pasangan capres yang menjadi dukungan kelompok
tertentu atau memang lembaga survey tersebut tidak kredibel, yang jelas dalam
pertarungan menuju RI 1 antara pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa (Prahara)
melawan Joko Widodo – Jusuf Kalla Doubel JK), masing-masing memiliki alat ukur
kemenangan berupa lembaga survey tertentu.
Banyaknya perolehan suara yang dikeluarkan
beberapa lembaga survey dan
mengunggulkan pasangan Jokowi =JK dalam pilpres Juli lalu, membuat
berang lawan politik koalisi PDIP, yaitu koalisi Merah Putih dibawah Partai
Gerindra.
Padahal, segala daya, tenaga, pikiran bahkan
uang telah dikeluarkan oleh kelompok Tim Pemenangan Merah Putih yang mendukung
pasangan Prahara. Hampir setiap hari Prahara melakukan deklarasi menggalang
dukungan dari berbagai kalangan di seluruih indonesia.
Melihat konflik yang terjadi lantaran
penghitungan cepat ditambah munculnya deklarasi kemenangan masing-masing calon
atas dasar penghitingan cepat, membuat pihak pemerintah Susilo Bambang
Yudhoyono turun menenangkan kedua kubu yang hampir mabuk kemenangan semu Quick
Count. Cooling down berhasil dilakukan Presiden SBY. Namun sayangnya, terdengar
isu bahwa pemerintah SBY berkepentingan hasil pilpres tetap ricuh dan kemudian
pilpres dibatalkan.
Semua itu dilakukan dengan tujuan agar
pemerintah SBY tetap berlangsung dan pilpres sudah terlaksana menghabiskan uang
rakyat diharapkan gagal. “Ditengarai, kubu Prahara tidak legowo menerima
kekalahan. Sementara kekecewaan Prabowo dimanfaatkan oleh SBY menjadikan
Prabowo sebagai “Begal Politik dan Begal
Demokrasi”.
Ada banyak anggapan jika kemenangan Jokowi –
JK, akan menjadi momentum pemerintahan “tukang sapu”. Banyak kasus besar yang
terbengkalai pada masa pemerintahan SBY, akan menjadi prioritas penegakan hukum
pemerintahan Jokowi – JK.
Yang termasuk dalam daftar pembongkaran kasus
hukum 100 hari pemerintahan Jokowi –JK antar lain kasus mafia migas yang
melibatkan anak Hatta Rajasa, Century yang melibatkan Wapres Budiono, Hambalang
yang kabarnya juga menyerat nama anak SBY, sementara kasus Lapindo Barntas
telah memakan uang negara yang tidak sedikit sebagai ganti rugi penduduk, dalam
kasus ini diduga banyak korupsi terjadi.
Padahal, dari pasangan Prahara, manuver “beli
suara”pun dilakukan diberbagai daerah agar bisa menang mudah atas Jokowi- JK.
Dan yang paling kentara transaksi jual beli suara yaitu di Kabupaten Madura.
Di Pulau Garam ini, sudah menjadi rahasia
umum jika saat dilaksanakannya pesta demokrasi, wilayah ini menjadi penentang
atau begal terhadap proses demokrasi. Pembegalan demokrasi yang selama ini
terjadi di Kabupaten Madura, bukan tidak diketahui oleh pihak aparat, polisi,
pemerintahan setempat, pengawas pemilu atau KPU wilayah setempat.
Pada saat Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa
Timur tahun 2009 maupun tahun 2014 lalu
Kofifah Indarparawansa “dikadali”
dengan cara membegal suaranya di kawasan ini.
Para “Klebun” menjadi pemilih tunggal untuk
kandidat yang mau memberikan imbalan sesuai kesepakatan dengan cara pembegalan
proses demokrasi yaitu hak pemilih seluruh warga diserobot oleh para klebun
atau kepala desa, tokoh masyarakat bahkan para agamawan yang menjadi penjual
suara masyarakatnya. Hal ini terjadi pada setiap masa pilpres, pilgub, maupun
pemilukada lainnya termasuk saat pemilihan lurah.
Pembegalan demokrasi yang terjadi selama ini
tidak pernah menjadi perhatian bahkan tindakan dari pihak aparat hukum,
pemerintah daerah maupun pusat, apalagi sekelas Bawaslu dan KPU. Sehingga efek
jera tidak terjadi pada para pembegal politik dan pembegal demokrasi. Kasus ini
mencuat saat pasangan Jokowi – JK tidak mendapat satu suarapun dari 17 Tempat
Pemungutan Suara (TPS ) di wilayah Kabupaten Madura, jelas merupakan contoh
konkrit adanya pembegalan proses demokrasi rakyat.
Sementara penolakan kubu Prabowo atas hasil
rekapitulasi pemungutan suara tingkat nasional oleh KPU 22 Juli 2014, yang
memenangkan Jokowi – JK dengan skor 53,05%, 46,95%, jelas mengindikasikan
pembegalan demokrasi. Lebih kecut lagi, pembegalan demokrasi ini tidak
dilakukan oleh rakyat yang tidak mengerti hukum dan demokrasi itu sendiri,
tetapi dilakukan oleh para politisi, negarawan, aparat pemerintah yang selama
ini mengatakan sebagai pemimpin, calon pemimpin yang demokratis.
Sosok – sosok pada masa kampanye seperti
Mahfud MD, Prabowo, Hatta Rajasa, Ngaban, dan lainnya ternyat hanya sosok
pembegal demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar