Selasa, 22 Juli 2014

Kalah Pilpres Prabowo Jadi Begal Demokrasi

Jurnalis Independen: Pemilihan Presiden (Pilpres) Tahun 2014 yang digelar pada 9 Juli lalu, merupakan pilpres istimewa bagi sejarah bangsa ini. Pilpres ini hanya diikuti oleh 2 pasang Capres dan Cawapres, sehingga peta politik saat itu terpecah menjadi 2 kelompok.


Pasangan Capres- Cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prahara) mengantongi nomor urut 1 dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasangan ini merupakan hasil koalisi berbagai partai. Antara Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) dengan PAN (Partai Amanat Nasional), serta beberapa partai yang menjadi pendukung, antara lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Golkar, PPP, PBB, maupun Partai Demokrat.

Rebut pengaruh, tebar pesona juga mencari simpatik agar mendapat dukungan dari seluruh masyarakat menjadi kerja keras tim pemenangan masing-masing kandidat selama masa kampanye.

Media, terutama televisi seolah terpecah menjadi 2 kelompok yang saling mengunggulkan capres dukungannya. Para seniman juga tak luput dan menjadi alat propaganda yang diharapkan berperan besar mendulang perolehan suara pada saat pencoblosan.   

Saat pencoblosan berlangsung, beberapa lembaga survey juga melakukan pantauan langsung di lapangan. Seiring usainya pemungutan suara, hasil penghitungan suara juga menjadi hasil penghitungan cepat beberapa lembaga survey atau Quick Count.

Jika pada pemilu tahun 2004, penghitungan cepat yang dihasilkan oleh lembaga survey tidak banyak menemui protes, kecaman bahkan ancaman pemidanaan terkait survey yang dilakukan, namun berbeda dengan yang terjadi pada pilpres 2014 kali ini. Ada beberapa lembaga survey diadukan ke kepolisian lantaran hasil surveynya dianggap meresahkan masyarakat.

Entah hal itu disebabkan hasil survey yang dilakukan tidak memenangkan pasangan capres yang menjadi dukungan kelompok tertentu atau memang lembaga survey tersebut tidak kredibel, yang jelas dalam pertarungan menuju RI 1 antara pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa (Prahara) melawan Joko Widodo – Jusuf Kalla Doubel JK), masing-masing memiliki alat ukur kemenangan berupa lembaga survey tertentu.

Banyaknya perolehan suara yang dikeluarkan beberapa lembaga survey dan  mengunggulkan pasangan Jokowi =JK dalam pilpres Juli lalu, membuat berang lawan politik koalisi PDIP, yaitu koalisi Merah Putih dibawah Partai Gerindra.

Padahal, segala daya, tenaga, pikiran bahkan uang telah dikeluarkan oleh kelompok Tim Pemenangan Merah Putih yang mendukung pasangan Prahara. Hampir setiap hari Prahara melakukan deklarasi menggalang dukungan dari berbagai kalangan di seluruih indonesia.

Melihat konflik yang terjadi lantaran penghitungan cepat ditambah munculnya deklarasi kemenangan masing-masing calon atas dasar penghitingan cepat, membuat pihak pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono turun menenangkan kedua kubu yang hampir mabuk kemenangan semu Quick Count. Cooling down berhasil dilakukan Presiden SBY. Namun sayangnya, terdengar isu bahwa pemerintah SBY berkepentingan hasil pilpres tetap ricuh dan kemudian pilpres dibatalkan.

Semua itu dilakukan dengan tujuan agar pemerintah SBY tetap berlangsung dan pilpres sudah terlaksana menghabiskan uang rakyat diharapkan gagal. “Ditengarai, kubu Prahara tidak legowo menerima kekalahan. Sementara kekecewaan Prabowo dimanfaatkan oleh SBY menjadikan Prabowo sebagai  “Begal Politik dan Begal Demokrasi”.

Ada banyak anggapan jika kemenangan Jokowi – JK, akan menjadi momentum pemerintahan “tukang sapu”. Banyak kasus besar yang terbengkalai pada masa pemerintahan SBY, akan menjadi prioritas penegakan hukum pemerintahan Jokowi – JK.

Yang termasuk dalam daftar pembongkaran kasus hukum 100 hari pemerintahan Jokowi –JK antar lain kasus mafia migas yang melibatkan anak Hatta Rajasa, Century yang melibatkan Wapres Budiono, Hambalang yang kabarnya juga menyerat nama anak SBY, sementara kasus Lapindo Barntas telah memakan uang negara yang tidak sedikit sebagai ganti rugi penduduk, dalam kasus ini diduga banyak korupsi terjadi.          

Padahal, dari pasangan Prahara, manuver “beli suara”pun dilakukan diberbagai daerah agar bisa menang mudah atas Jokowi- JK. Dan yang paling kentara transaksi jual beli suara yaitu di Kabupaten Madura.

Di Pulau Garam ini, sudah menjadi rahasia umum jika saat dilaksanakannya pesta demokrasi, wilayah ini menjadi penentang atau begal terhadap proses demokrasi. Pembegalan demokrasi yang selama ini terjadi di Kabupaten Madura, bukan tidak diketahui oleh pihak aparat, polisi, pemerintahan setempat, pengawas pemilu atau KPU wilayah setempat.  
Pada saat Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur tahun 2009 maupun tahun 2014 lalu 

Kofifah Indarparawansa “dikadali” dengan cara membegal suaranya di kawasan ini.
Para “Klebun” menjadi pemilih tunggal untuk kandidat yang mau memberikan imbalan sesuai kesepakatan dengan cara pembegalan proses demokrasi yaitu hak pemilih seluruh warga diserobot oleh para klebun atau kepala desa, tokoh masyarakat bahkan para agamawan yang menjadi penjual suara masyarakatnya. Hal ini terjadi pada setiap masa pilpres, pilgub, maupun pemilukada lainnya termasuk saat pemilihan lurah.

Pembegalan demokrasi yang terjadi selama ini tidak pernah menjadi perhatian bahkan tindakan dari pihak aparat hukum, pemerintah daerah maupun pusat, apalagi sekelas Bawaslu dan KPU. Sehingga efek jera tidak terjadi pada para pembegal politik dan pembegal demokrasi. Kasus ini mencuat saat pasangan Jokowi – JK tidak mendapat satu suarapun dari 17 Tempat Pemungutan Suara (TPS ) di wilayah Kabupaten Madura, jelas merupakan contoh konkrit adanya pembegalan proses demokrasi rakyat.

Sementara penolakan kubu Prabowo atas hasil rekapitulasi pemungutan suara tingkat nasional oleh KPU 22 Juli 2014, yang memenangkan Jokowi – JK dengan skor 53,05%, 46,95%, jelas mengindikasikan pembegalan demokrasi. Lebih kecut lagi, pembegalan demokrasi ini tidak dilakukan oleh rakyat yang tidak mengerti hukum dan demokrasi itu sendiri, tetapi dilakukan oleh para politisi, negarawan, aparat pemerintah yang selama ini mengatakan sebagai pemimpin, calon pemimpin yang demokratis.


Sosok – sosok pada masa kampanye seperti Mahfud MD, Prabowo, Hatta Rajasa, Ngaban, dan lainnya ternyat hanya sosok pembegal demokrasi.  

Tidak ada komentar: