Jurnalis Independen: Sakit hati, dendam dan kepentingan kelompok ternyata menjadi latar belakang dalam pertarungan Pemilihan Presiden (Pilpres) Tahun 2014 kali ini. Jika dicermati, akan terlihat jelas, sakit hatinya para politisi dendam membara para jenderal dan ketakutan mantan pejabat yang akan pensiun dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), serta ciutnya kesempatan para pengusaha hitam negeri ini mewarnai panasnya perseteruan Prabowo-Hatta melawan Jokowi-JK.
Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014, tepatnya yang akan digelar pada 9 Juli nanti memang bukan pilpres seperti sebelumnya. Tampilnya sosok Joko Widodo (Jokowi) yang diusung oleh Partai Persatuan Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pimpinan Megawati Soekarno Putri sebagai pemenang Pemilu Legeslatif (Pileg) dengan mengantongi 18 % suara, membuat pertarungan vis to vis melawan Prabowo (Gerindra) yang tiba-tiba menjadi raksasa.
Bertemunya dua kubu secara langsung antara Calon Presiden Prabowo Subianto (Gerindra) yang berpasangan dengan Hatta Rajasa dari Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai Calon Wakil Presiden melawan Pasangan Joko Widodo (PDIP) dan Yusuf Kalla sebagai Calon Wakil Presiden atas usulan dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), jika di analisa didapati beberapa kesimpulan.
Diantaranya, mengapa harus Prabowo Subianto dari partai Gerindra yang harus maju menjadi capres yang kini menyandang nomor urut 1. Padahal jika dilihat dari perolehan kursi di legeslatif, partai Gerakan Indonesia Raya ini hanya menempati urutan ke 3 terbanyak, setelah perolehan suara dari Partai Golkar yang memiliki Ketua Umum Abu Rizal Bakrie (ARB), yang saat pileg mengantonmgi 15% suara.
Anehnya, ARB sendiri tidak membentuk koalisi sendiri dan melanjutkan pencalonannya sebagai capres dari Partai Golkar, padahal sebelumnya telah begitu gencar dan inten mengiklankan diri dalam pencapresan saat sebelum pileg digelar.
Diketahui setelah perolehan suara diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), ARB mendekati kubu PDIP agar bisa mendampingi Jokowi maju dalam pilpres. Penolakan kubu PDIP mendudukan ARB sebagai cawapres Jokowi membuat kesan tersendiri bagi pemilik partai beringin tersebut. Apa yang terjadi pada diri ARB ini juga menimpa Mahfud MD dari PKB maupun Hatta Rajasa saat meminang capres Jokowi.
Sementara itu, Jokowi maju menjadi calon presiden hanya dikarenakan suara rakyat yang melihat kesuksesan Jokowi selama menjadi Walikota Solo dua periode dan Gubernur DKI Jakarta yang baru dilakoninya 2 tahun lamanya.
Selain prestasi Jokowi yang terlihat dan dirasakan masyarakat, gaya kepemimpinan sederhana, tegas, jujur dan bertanggungjawab menjadi penilaian utama masyarakat. Kalangan masyarakat terutama kelas sosial menengah bawah, merasakan langsung program yang digagas, dijalankan dengan komitmen tinggi Jokowi, menjadikan sosok yang kini sering kena fitnah itu melekat di hati Rakyat Nusantara.
Penentangan Jokowi kepada Gubernur Jawah Tengah Bibit Waluyo dalam kasus pengalihan fungsi lahan menjadi sebuah Mall, menjadi bukti keberpihakan sosok negarawan Jokowi kepada masyarakat kelas menengah bawah. Pemecatan dan pengangkatan pegawai pemerintahan berdasarkan kinerja, menjadi momok diawal kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sepakterjang Jokowi saat menjadi kepela Pemerintah Daerah baik ditingkat Kabupaten/Kota maupun Propinsi, jelas terpantau masyarakat, pengusaha maupun para politisi di negeri ini. Hal ini tentu akan berdampak amat dahsyat jika Jokowi menjadi pemegang kekuasaan nomor satu di negeri ini.
Kinerja Jokowi selama menjadi walikota maupun gubernur, nyata – nyata menunjukkan jika melibas semua dinding yang menghalangi salah satu tujuan kemerdekaan NKRI yaitu kesejahteraan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Hal itu jelas menggentarkan para politisi, pejabat, mantan pejabat maupun pengusaha hitam yang banyak mengeruk keuntungan dari Kepala Pemerintahan yang memiliki karakter berseberangan dengan capres pilihan rakyat, Jokowi.
Hal-hal tersebut, jelas menggetarkan para pengusaha hitam, politisi hitam, pejabat hitam, maupun jenderal hitam sekalipun.
Jika mengacu pada perolehan kursi di legeslatif dan menampilkan 3 calon presiden untuk berkompetisi dalam pilpres 2014, jelas sosok Jokowi yang diusung PDIP akan menang mudah dan telak walau jago PDIP itu berdampingan dengan sembarang orang dari partai manapun sebagai wakil presidennya. Karenanya para politisi sepakat mengambil langkah melakukan koalisi tunggal untuk melawan Jokowi dan PDIP.
Koalisi tunggal dan meraksasa akhirnya menyepakati Gerindra dan Prabowo menjadi simbol ketakutan sekaligus perlawanan dari kesederhanaan, ketegasan, musuh koruptor, politisi dan pengusaha hitam di negeri ini yang selama ini menikmati “kebancian” aparat dan hukum dinegeri ini.
Mengapa Harus Prabowo?
Prabowo Subianto, sejak pelariannya ke Yordania lantaran kasus pelanggaran HAM yang dilakukan saat menjabat sebagai Danjen Kopassus, seolah melepaskan tanggungjawabnya sebagai seorang anggota masyarakat, atau mantan salah satu petinggi militer negeri ini. Prabowo kembali menetap di Indonesia saat menjelang pemilu 2004 digelar dengan membuat kuda tunggangan berupa Himpunan Kelompok Tani Indonesia (HKTI).
Dengan menjadi ketua HKTI, Prabowo mengampanyekan dirinya sebagai capres masa depan. Beberapa kali nafsu besarnya tak tersampaikan untuk duduk di singasana NKRI menggantikan mertuanya Soeharto yang bisa melanggengkan diri menguasai Indonesia hingga 32 tahun lamanya. Nafsu besarnya agar bisa menjadi orang pertama NKRI, menjadikan Prabowo menempuh sembarang cara untuk merealisasikannya.
Sementara itu, aturan petinggi partailah yang layak maju mencalonkan diri sebagai capres maupun cawapres juga merupakan sebuah acuan merujuk kepada dirinya. Sebab petinggi partai manapun saat ini tidak memberi peluang mendapatkan dukungan rakyat. Semua itu terjadi lantaran mereka “cacat” dihadapan rakyat. Bagi PDIP sendiri, tidak majunya Megawati Soekarno Putri menjadi capres 2014, lantaran dirinya menyadari tidak diinginkan oleh rakyat. Karenanya dengan hati seorang negarawan Ketum PDIP itu mengajukan Joko Widodo, kader PDIP kelas bawah untuk maju menjadi capres sesuai pilihan hati nurani rakyat Indonesia.
Majunya Jokowi tidak bisa dilawan oleh sembarang politisi, termasuk Prabowo Subianto sendiri. Untuk maju berperang melawan jagonya rakyat yang diusung PDIP dan segelintir partai lainnya, diperlukan kekuatan besar yang solid. Kekuatan besar dan dukungan dana yang sulit diukur harus mengiringi nafsu besar sang calon penantang Jokowi juga harus berani menantang segala rintangan dan menanggalkan sejarah gelap masa lalunya.
Diantara semua tokoh politik pemimpin partai, hanya Prabowolah yang mendapat dukungan dari seluruh elemen hitam yang ada dinegeri ini. Sebab ia berani membeli apa yang tidak terbeli oleh lawannya.
Prabowo mau memberi kenaikan gaji para pejabat yang korup, anak Soemitro itu juga mau melindungi pengusaha hitam di negeri ini, mantan Danjen Kopassus itu merelakan lahan pertanian menjadi lahan industri baru bagi pengusaha yang selama ini telah menikmati semua kemudahan yang diberikan dari penguasa negeri ini.
Karenanya, walau berseragam putih dan menggunakan logo Garuda Merah, capres nomor urut 1 jelas-jelas merupakan “komunitas hitam”. Sebab yang mengiringi dan niat menduduki kursi nomor satu NKRI, penuh ambisi, dendam, tipuan, manipulasi dan menghalalkan segala cara.JI
1 komentar:
ondeh
Posting Komentar