Jurnalis Independen: Rumah tangga yang tenang, harmonis, dan penuh dengan cinta. Ya, siapakah yang tidak merindukan model rumah tangga sakinah mawadah wa rahmah
(samara) itu? Dimana seluruh anggota keluarga saling berkasih sayang,
tolong-menolong dalam kebaikan, dan secara bersama-sama menegakkan
perintah Allah. Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan, andai saja kita
mampu mewujudkannya, surga dunia berarti telah kita raih.
Persis
apa yang dikatakan Marie Von Ebner-Eschenbach, seorang sosiolog wanita
Jerman. "Bila di dunia ada surga, surga itu ialah pernikahan yang
bahagia. Tetapi bila di dunia ini ada neraka, neraka itu adalah
pernikahan yang gagal," kata Marie.
Nyaris
tak seorang pun dapat menyangkal pernyataan Marie Von Ebner-Eschenbach.
Namun persoalannya, faktor-faktor apa saja yang bisa merealisasikan
bangunan rumah tangga samara itu? Apakah cukup hanya dengan pembinaan
agama pada seluruh anggota keluarga? Sehingga lahirlah sebuah keluarga
yang agamis, atau memiliki komitmen yang tinggi dalam hal ibadah kepada
Allah swt?
Iman
kepada Allah, ketaatan dalam menjalankan perintahNya, serta membina
hubungan yang baik dengan tetangga, adalah pilar-pilar yang menyangga
bagi tegaknya rumah tangga yang harmonis. Jika dirangkum, pola-pola
hubungan di atas bisa kita ringkas menjadi hablum minallah (hubungan
kepada Allah) dan hablum minannaas (hubungan sosial). Tapi dua pilar itu
saja untuk membangun rumah tangga samara, tidak cukup. Masih ada satu
pilar hubungan lagi, yakni hubungan suami-istri yang juga harus kokoh.
Jangan
sekali-kali pilar terakhir ini dianggap sepele, sehingga suami/istri
tidak pernah menjaga dan mengokohkannya. Sebab tak sedikit kasus-kasus
pecahnya rumah tangga seseorang diawali dari hubungan suami-istri yang
hambar. Hubungan yang tidak romantis alias tanpa kemesraan. Ironinya
pasal kemesraan hubungan suami istri ini kadangkala kurang mendapat
perhatian yang proporsional pasangan suami-istri (pasutri). Bahkan boleh
jadi ada yang menganggapnya tabu untuk diperbincangkan.
Adalah
merupakan fitrah manusiawi, seorang suami/istri ingin mendapat
kehangatan dari pasangannya. Dan Islam sangat memperhatikan aspek ini,
sebagai salah satu kunci tumbuhnya bangunan rumah tangga yang harmonis.
Hubungan yang dingin antara suami-istri, seringkali merupakan titik awal
kejatuhan sebuah rumah tangga. Karena itu pada para pasutri
berhati-hatilah, untuk tidak lalai menjaga, merawat dan menggelorakan
api gairah hubungan itu.
Kali
ini kita akan mencoba menyoroti peran istri dalam membangkitkan gairah
suami. Ini bukan soal tuduhan berat sebelah, seolah hanya istri yang
dituntut untuk menciptakan gairah hubungan suami-istri. Sebab seperti
kita ketahui, laki-laki dan perempuan memang berbeda karakteristik
seksnya.
Umumnya
seorang perempuan bisa melayani keinginan syahwat suaminya kapan saja,
sekalipun ia tidak siap. Ekstremnya, ketika sedang tidak memiliki gairah
syahwat sekalipun perempuan bisa melakukan jima' (hubungan intim)
dengan suaminya. Tetapi tidak demikian dengan laki-laki. Secara fisik,
hanya dalam keadaan tertentu ia bisa memenuhi hasrat seksual istrinya.
Dan ini banyak dipengaruhi oleh kondisi psikis.
Pernah
dalam sebuah acara diskusi keluarga, seorang peserta muslimah
mengungkapkan masalahnya. Ia mengatakan, setiap suami mengajaknya
'main', ia selalu melayani. Tetapi ketika ia menghendaki kemesraan pada
suaminya, sang suami sering tidak siap. Walhasil ia harus memendam
kekecewaan dan kejengkelan karena hasrat seksualnya tak terpenuhi.
Di
sisi lain tak sedikit para suami yang berupaya mencari obat-obat doping
agar ia tidak loyo menghadapi istri. Atau dengan kata lain agar
keperkasaannya bisa lebih prima dan lebih bergairah menghadapi
pasangannya. Sebenarnya, insya-Allah suami tidak perlu menggunakan
doping jika istri mampu membangkitkan gairah suami. Kata Ibnu Qutaybah, "Semakin besar gairah seorang wanita, semakin besar pula gairah laki-laki kepadanya."
Menurut
riwayat, Rasulullah SAW juga pernah bersabda tentang masalah ini. Kata
Rasululullah, "Sebaik-baik istri kamu ialah yang menjaga diri lagi
pandai membangkitkan syahwat, (yakni) keras menjaga kehormatan
kemaluannya, pandai membangkitkan syahwat suaminya," (HR Dailami dari
Anas r.a).
Berkenaan
dengan masalah ini, ada baiknya kita mendengar kisah Abdullah bin
Rabi'ah. Dia adalah orang yang terkenal di kalangan orang-orang Quraisy
sebagai orang yang baik dan selalu menjaga kehormatan dirinya. Namun ada
satu persoalan serius yang dihadapinya, yakni penisnya tidak bisa
ereksi. Sementara orang-orang Quraisy tidak pernah ada yang memberi
kesaksian tentang kebaikan dan keburukannya dalam masalah ini.
Dia
pernah menikahi seorang wanita. Tapi hanya beberapa waktu berselang,
istrinya lari darinya dan kembali kepada keluarganya. Begitu seterusnya,
sampai suatu ketika Zainab binti Umar bin Salamah berkata, "Mengapa
para wanita lari dari anak pamannya?"
Ada yang menjawab, "Karena wanita-wanita yang pernah menjadi istrinya tidak mampu membuatnya melaksanakan tugas sebagai suami."
"Tidak
ada yang menghalangiku untuk membuatnya bangkit. Demi Allah, saya
adalah wanita yang berperawakan besar dan bergairah," seru Zainab. Maka
ia menikah dengan Abdullah. Menurut riwayat Zainab selalu sabar meladeni
suaminya dan akhirnya mereka dikaruniai enam orang anak.
Cerita
Abdullah bin Rabi'ah dengan Zainab binti Umar ini memberi pelajaran
menarik. Bahwa impotensi yang cukup berat bisa tersembuhkan oleh istri
yang bersemangat dan pandai membangkitkan gairah seksual suaminya.
Abdullah bahkan bukan hanya sembuh dari penyakit impoten. Tapi bersama
pasangannya yang bergairah, beliau memperoleh 6 orang anak.
Istri
sholihat bukanlah wanita yang hanya cukup taat beribadah kepada Allah
dan baik pada tetangganya. Tetapi ia juga harus baik terhadap suaminya,
dalam arti pandai membangkitkan gairah seksual suaminya. Tentang
bagaimana menggairahkan suami, Anda insya-Allah lebih mengetahui
kiat-kiatnya. Wallahu a'lamu bish-showwaab. (stn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar