Jumat, 09 Januari 2009

SISI KELAM KYABAKURA-JO MENCORENG CITRA GEISHA

Banyak orang asing yang bingung dengan pekerjaan geisha yang sebenarnya. Geisha bukan pelacur dan juga bukan istri. Geisha menjual keahlian, bukan tubuhnya. Geisha tidak dibayar untuk melakukan hubungan seks. Geisha hanya boleh punya hubungan khusus dengan laki-laki yang menjadi danna-nya (pelindung) yang menyokong biaya hidup sehari-harinya yang cukup besar. Dengan kata lain, geisha hanya bisa menjadi setengah istri, yaitu istri-istri di malam hari. Geisha tidak menikah, tetapi bukan berarti dia tidak boleh punya anak.

Ada perbedaan antara hubungan suami-istri dan laki-laki dengan geisha. Hubungan laki-laki dengan geisha tidak berdasarkan cinta, karena itu geisha tidak boleh mengganggu hubungan perkawinan yang sudah terjalin.

Para istri biasanya mengetahui dan mengenal geisha suaminya. Pada acara-acara tertentu seperti Festival Obon dan Oshogatsu para istri bertemu dengan geisha suaminya. Terkadang geisha juga menghibur istri dan anak-anak danna-nya di kedai teh. Namun bila menilik kehidupan para geisha di kota Kyoto, Gion, dan Pontocho, kota-kota ini tak ubahnya manusia bermuka 2. Disebut muka 2 karena dunia hiburan malam bergaya masa lalu dan modern hadir di sana.

Setiap bar atau ‘snack’ menyediakan wanita-wanita muda penghibur. Mereka berusaha menghadang pejalan kaki sambil merayu untuk mampir ke bar mereka. ‘Ayo mampir, Mas’. ‘Di tanggung Anda puas deh’. Mendengar kata-kata itu tentunya terasa jengah. Wilayah ini seolah-olah menjadi wilayah yang tidak bagus untuk dilewati.

Di sini ada istilah ‘Kyabakura-Jo’ sebutan bagi wanita-wanita muda penghibur di bar atau ‘snack’, dan ‘Hosuto’ sebutan laki-laki muda penghibur.

Sejak ratusan tahun yang lalu, di Jepang dikenal profesi wanita penghibur yang disebut ‘Oiran’. Profesi Oiran ini tak ubahnya geisha. Ia bukan saja pandai menyajikan hiburan berupa tari dan gerak, tapi juga sebagai pemuas nafsu seks lawan jenisnya. Hal ini kemudian berkembang ke abad 20, dan muncullah istilah-istilah lebih modern dan menjadi sebuah profesi yang diminati wanita-wanita muda Jepang. Tentunya yang dimaksudkan adalah sebutan ‘Kyabakura-Jo’.

Tidak ada data yang menyebutkan apakah bekerja sebagai Kyabakura-Jo sama seperti ‘Oiran’ zaman dulu. Tapi, berprofesi sebagai Kyabakura-Jo berarti akan menghasilkan uang yang banyak. Dalam usia 20-30 tahunan, mereka sudah bisa menjadi mesin uang untuk diri sendiri.

Profesi sebagai gadis penghibur di zaman modern ini tidak lagi menuntut kecantikan dan kemolekan tubuh, walaupun tetap menjadi hal penting. Tetapi yang dituntut dari seorang Kyabakura-Jo adalah kecerdasan, seperti halnya penyiar tv atau mungkin reporter koran dan majalah.

Mereka juga harus bisa menjadi ‘kamus ilmu pengetahuan umum’ yang bisa meladeni pembicaraan setiap tamu yang ingin berkeluh kesah tentang dunia bisnis, dunia kedokteran, dunia musik, atau apa saja. Bahkan di bar-bar berkelas tinggi, para Kyabakura-Jo memiliki kemampuan berbahasa asing. Seorang Kyabakura-Jo yang memiliki kemampuan lengkap seperti yang telah dijabarkan, maka dia akan mampu bertahan sebagai ‘Number One’.

Seorang Kyabakura-Jo kelas atas mampu membeli sebuah mobil Jaguar terbaru hanya dalam hitungan gaji dan bonus minimal 1-3 bulan. Tapi seorang Kyabakura-Jo yang tidak mampu bersaing, harus menerima kenyataan pahit, yakni dipecat dari pekerjaannya. Entah berapa ratus bar yang ada di sebuah wilayah perkotaan besar, dan keuntungan dari bisnis ini tergantung daripada kemampuan para Kyabakura-Jo mempertahankan kehadiran seorang tamu.

Persaingan antar bar sangatlah ketat, sehingga apabila terpilih sebagai ‘Kyabakura-Jo Number One’ di wilayah tersebut adalah hal yang membanggakan. Kesimpulannya, profesi Kyabakura- Jo tak sama dengan geisha.

Kendati di sana-sini ada beberapa geisha yang berprofesi ganda alias melacur, tapi semua itu tergantung dari pribadi orangnya. Yang jelas dengan adanya Kyabakura-Jo, nama geisha semakin tercoreng. Kini, geisha hanyalah cerita salah penyikapan terhadap kehidupan. Geisha bagi sejarah adalah sebuah cerita yang tidak akan terhapus dan akan selamanya menjadi budaya yang terkenang sepanjang masa.


Tidak ada komentar: