Jumat, 04 Februari 2022

TUNTUTAN TOTAL KESAMAAN HAK WNI CINA & PERPINDAHAN IBUKOTA NEGARA INDONESIA

JURNALIS INDEPENDEN: Sebelum isu pindah ibukota, peneliti Cina telah mengadakan penelitian tentang populasi warga ketirunan cina. Penelitian di pusatkan di Pulau Kalimantan. Hasilnya, "mengklaim" bahwa penduduk keturunan Cina di Indonesia menempati nomer dua terbesar setelah Suku Jawa. 

Hasil penelitian itu pun di umumkan. Dalam sebuah laporan terbuka langsung oleh utusan khusus dari Cina di sebuah pertemuan di Kalimantan (lupa lokasi tepatnya). Bahkan dalam laporan itu, di translet dalam bahasa Indonesia dengan jelas. Video laporannitu banyak beredar di Media Sosial. 

Poin yang paling di catat oleh penulis adalah tuntutan pihak Cina agar WNI Cina diberikan kesempatan yang sama dengan warga Indonesia lainnya dalam semua bidang kehidupan, termasuk memasuki militer, politik, Pegawai Negeri Sipil dan menjadi pejabat publik mulai dari Lurah hingga jabatan Presiden. 

Siapa yang tidak tahu bahwa WNI Cina adalah penguasa tunggal perekonomian Indonesia? Dominasi Ekonomi WNI Cina telah mapan sejak Era Orde Baru. Bidang Media, telah mereka kuasai sejak Orde Baru walau saat itu masih menggunakan kamuflase rezim, keluarga Cendana untuk mengelabui semua mata. Reformasi '98 adalah pendobrak bagi kalangan WNI Keturunan Cina untuk mengaktualisasikan jadi dirinya pada semua bidang kehidupan di NKRI. Gus Dur di puncak kepemimpinan NKRI, membuka peluang itu secara resmi, termasuk dalam bidang Informasi, Media hingga diakuinya Kepercayaan Kong Hu Cu sebagai agama WNI Keturunan Cina.  

Apa yang menjadi tuntutan Negara Cina Komunis akan hak warganya yang berada di NKRI, seolah menghilangkan sejarah masih adanya ketidaktulusan sebagian WNI Cina yang sudah beranak pinak di Indonesia. Status dwi warga negara, masih menjadi kendala ketulusan warga keturunan Cina yang ada di Indonesia. Fakta sejarah dan fakta faktual kondisi itu, susah untuk di bantah. Bahkan fakta di lapangan menunjukkan hal itu. Sayangnya, sejak Rezim Jokowi berkuasa, fakta di atas serta merta di abaikan. 

Lebih naif lagi, rezim ini justru berusaha mencabut TAP MPRS XXV/1966. Yaitu tentang larangan penyebaran faham komunisme dengan segala turunannya. Meminta maaf pada keluarga pelaku G30S/PKI, penghilangan pelajaran Sejarah Pemberontakan PKI th'48, th'65, serta longgarnya beredarnya buku berbau komunisme, Marxisme, Leninisme, Atheisme, atribut Komunisme menjadi hal yang tidak tabu lagi di masyarakat. Bahkan Jokowi sendiri pernah menegur pihak TNI saat melakukan berbagai razia atribut komunis yg banyak beredar di NKRI, agar tidak melakukannya.

Karenanya, perpindahan Ibukota NKRI dari Jakarta (Pulau Jawa) ke Penajam, Kalimantan Timur, menjadi momok yang menakutkan para ahli, termasuk ahli politik dan geo politik negeri ini. Intinya, perpindahan Ibukota lebih banyak membahayakan NKRI jika dilihat dari semua sisi keilmuan. Perpindahan Ibukota hanya memiliki nilai "proyek" bagi oligark, para komprador dan para pengkhianat NKRI. 

Sementara, sejak awal rezim ini berkuasa (th, 2014) aroma campur tangan oligarki begitu kuat mendikte kebijakan pemerintah. Padahal para oligark di NKRI mayoritas adalah WNI Keturunan Cina yang kuat hubungannya dengan Negeri Nenek Moyangnya. Tak terputus oleh warga negara di mana mereka tinggal. Tetapi lebih terikat dengan tanah, budaya bahkan kebijakan politik leluhurnya. Jkt, 5 Feb' 2022. (Mr. Chessplenx).

Tidak ada komentar: