Jurnalis Independen: Perkembangan Islam di
Indonesia tak bisa dilepaskan dari dakwah era wali songo. Yang dilakukan oleh
wali songo dan sukses mengislamkan nusantara dengan cara-cara damai melalui
akulturasi kebudayaan.
Sampai sekarang, strategi dakwah ini digunakan oleh Nahdlatul
Ulama dengan penghargaan terhadap tradisi lokal. Sebenarnya, bagaimana dakwah
yang dilakukan oleh walisongo dan bagaimana dinamika yang mereka alami, berikut
ini wawancara NU Online dengan Agus Sunyoto, pengarang buku ‘Suluk Malang
Sungsang Syeikh Siti Jenar seusai diskusi kebudayaan di NU Online pertengahan
Mei lalu.
Sejauh ini, kalangan
nahdliyyin selalu menyebut wali songo telah sukses dalam upaya penyebaran Islam
di Indonesia, bagaimana sih trategi dakwah yang dijalankan oleh wali songo?
Strategi dakwah dan
Islamisasi memang paling berhasil pada era itu, yaitu terjadi imigrasi
besar-besaran terjadi dari negeri Campa. Kita tahu beberapa tokoh dari sana
diantaranya adalah Sunan Ampel dan Sunan Bonang, Sunan
Drajat dan seterusnya, dan pengaruhnya sangat besar dalam kultur keislaman di
Indonesia. Saya lihat keberhasilan itu karena salah satunya merebut
pesantren-pesantren Syiwa Budha yang dinamakan Dukuh. Di dalam pedukuhan itu
sudah ada ajaran syiwa budha yang sebetulnya mirip dengan Islam misalnya orang
siswa di pedukuhan yang dinamakan wiku atau calon wiku itu dilarang makan babi,
dilarang minum minuman keras, dilarang makan barang subhat hasil dari
membungakan uang riba dan seterusnya, dilarang judi, mencuri, persis syariat
Islam. Kemudian ini diambil alih, dijadikan lembaga pendidikan yang dinamakan
pesantren. Karena itu, santri kan berasal dari bahasa Sansekerta dari kata-kata
sastri, yaitu orang yang mempelajari sastra, sastra ini kitab suci, jadi santri
adalah orang yang mempelajari kitab suci. Untuk membedakan dengan Hindu, dibuat
nama lain yang bukan sastri tapi santri. Mereka juga mempelajari kitab suci.
Ini yang membedakan dengan padepokan Hindu atau asrama-asrama.
Selain itu, secara
mayoritas di Jawa waktu itu, karena walisongo di Jawa, mainstream agama yang
dianut oleh masyarakat adalah kepercayaan Kapitayan, ini pra Hindu sebenarnya,
kalau Hindu hanya diikuti oleh kalangan elit istana saja. Kebanyakan masyarakat
masih model kapitayan. Dari situlah Islam masuk melalui Kapitayan, masyarakat
bawah. Jadi Misalnya, untuk mengambil tempat ibadahnya orang kapitayan, Islam
membangun tempat ibadah yang sama dengan orang kapitayan. Kalau orang kapitayan
membangun tempat ibadah yang namanya sanggar, orang Islam membangun tempat yang
namanya langgar. Kemudian, ibadah menyembah tuhan tidak digunakan dengan
istilah sholat, tetapi orang-orang kapitayan diambil sembahyang, menyembah Sang
Yang. Kemudian untuk ibadah tidak makan-makan atau tidak minum dalam sehari,
tidak disebut shoum, ini kan bahasa Arab, yang digunakan orang-orang kapitayan
yang sudah umum saja, yaitu upawasa jadi puasa. Semua mengambil alih itu.
Terus cerita-cerita
tentang kehidupan di akhirat yang baik, tidak usaha ngomong tentang jannatul
firdaus, yang sudah digunakan orang saja, surga, surgaloka, kalau kita bicara
penderitaan di akhirat, kita bicara local saja, narul jahannam, tidak ngerti
orang, pakai saja yang sudah dikenal orang-orang nerakaloka. Disitu mulai
terjadi proses pengambilalihan. Semua institusi-institusi diambil.
Ini termasuk tahlil
yang merupakan bagian dari lokalisasi ajaran Islam?
Sebetulnya kalau
tahlil bukan. Ini kan usaha dari ulama-ulama, dari Syeikh Siti Jenar yang menemukan satu hadist ketika Nabi Adam
akan dicipta, dunia ini dihuni bangsa jin. Ketika Nabi Adam akan diturunkan ke
dunia, semua bangsa jin diusir dari dunia mereka menuju laut dan pulau-pulau,
itu ada hadistnya. Nah karena itu, ulama-ulama masa itu, termasuk yang
mempelopori Syeikh Siti Jenar, memberikan amaliah-amaliah kepada para
pengikutnya untuk membaca amalan-amalan yang menolak pengaruh jahat. Ini kan
ada dasarnya di hadist-hadist. Inilah yang akhirnya menjadi tahlil itu.
Sebetulnya dari itu, awalnya menolak pengaruh jahat jin. Tetapi kita tidak tahu
kapan proses itu terjadi, tahu-tahu ini jadi kirim doa untuk orang mati. Ada
proses yang terjadi di situ.
Kalau kenduri, ini kan
tradisinya orang Syiah untuk mengirim doa kepada leluhur, ini kan dari bahasa
Persia. Nah memang orang-orang dari Campa yang datang ke Indonesia itu
mazhabnya Syiah. Karena itu sama antara orang Campa dengan Indonesia, kalau
mati diperingati 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Islam Campa yang
terpengaruh Syiah, kalau mati orang ditalkin, itu syiah, orang Sunni tidak ada.
Kalau sholat taraweh 23 rakaat, ini sama, Syiah juga.
Wali sendiri ada sembilan,
termasuk yang dianggap sangat lokal kan Sunan Kalijogo dan Syeikh Siti Jenar, apa yang membedakan
dengan wali yang lain?
Sebetulnya sama, hanya
cuma pendekatan yang dilakukan oleh Syeikh Siti Jenar dan Sunan Kalijogo adalah
pendekatan sufi atau tasawwuf. Mereka lebih fleksibel dalam menghadapi kondisi
kultural masyarakat. Masyarakat di pedalaman dan pesisir kan ada perbedaan,
disitu. Dan ternyata Syeikh Siti Jenar dan Sunan Kalijogo masih menyisakan
tarekat sementara wali yang lain tidak meninggalkan itu, tidak ada bekas
jejaknya kecuali makam-makan. Ada tarekat Akmaliyah, Syatariyah, itu salah satu
bekas jejaknya Syeikh Siti Jenar dan Sunan Kalijogo, termasuk Sunan Gunung
Jati.
Kontraversi tentang
Syeikh Siti Jenar sendiri bagaimana?
Ini masalah politis
sebetulnya. Jadi ada perbedaan pendapat tentang Syeikh Siti Jenar antara di
Jawa dan Cirebon. Di Cirebon, orang memandang Syeikh Siti Jenar lebih obyektif
karena ia berasal dari sana, sementara di Jawa tidak. Itulah fenomena antara
Islam pedalaman dan Islam pesisir, itu saja.
Faktor politik apa
yang membuat Syeikh Siti Jenar dianggap melenceng dari Islam?
Dia kan merombak sistem
sosial yang ada waktu itu, dia memperkenalkan namanya masyarakat yang berasal
dari kata musyarokah, padahal sebelumnya strukturnya kawulo atau budak, dia
menyuruh pengikutnya untuk menyebut masyarakat, yang sederajat, punya hak untuk
kerjasama, menyebut diri dengan kata-kata ingsun atau aku bukan kulo atau
kawulo. Kalau orang Sunda jangan menyebut diri dengan kata-kata abdi,, kalau di
Sumatra jangan menyebut diri dengan kata-kata saya atau sahaya, ini artinya
juga budak. Kamu orang yang sederajat. Ini yang membuat marah kalangan elit
politik di keraton karena yang boleh mengucapkan kata-kata ingsun itu hanya
raja. Orang lain tidak boleh, yang disebut panjenengan insung, panjenengan
berasal dari kata-kata jumeneng artinya engkau yang punya hak berdiri. Masyarakat
tidak punya hak untuk berdiri, menekuk kaki kalau kawulo itu. Nah Syeikh Siti
Jenar melawan sistem itu.
Pada waktu itu
penguasa di keraton seperti Demak kan para wali, apa ini tidak berarti ingin
mengokohkan sistem yang ada sebelumnya dengan sistem kawulo gusti.?
Sebetulnya begini,
yang berkuasa waktu itu adalah Sultan Trenggono, ia dari segi ibu cucunya Sunan
Ampel, berarti Sunan Bonang itu pakdenya, Sunan Drajat yang pakdenya, Sunan
Giri itu juga masih saudara, jadi wali songo itu satu keluarga. Jaman Sunan
Trenggono, sudut pandangnya sudah lain karena walinya sudah berubah, Sunan
Ampel sudah meninggal, Sunan Giri sudah meninggal, Sunan Bonang juga sudah. Ini
generasi berikutnya, dari situlah Sunan Trenggono ingin mengokohkan
kekuasaannya dan ia merasa terganggu dengan ajaran Syeikh Siti Jenar yang
sangat egaliter itu. Dan Syeikh Siti Jenar melihat ajaran nabi itu kan sangat
egaliter. Itulah, ia tetap bersikukuh dengan itu. Kerena itu, kadang-kadang
aneh juga, Syeikh Siti Jenar sangat mengakomodasi kebudayaan kultural, tetapi
disatu sisi tidak juga seluruhnya bener, karena ketika para wali menyebut
dirinya sunan, sebuah bahasa lokal yang artinya raja atau guru spiritual,
Syeikh Siti Jenar tetap pakai gelar syeikh tidak Sunan Siti Jenar, tetap syeikh.
Gelar syeikh ini
berarti aspek keagamaan?
Ya keagamaan, guru
agama dan syeikh itu kan guru spiritual, disitu. Jadi memang punya otoritas
keagamaan?
Kalau melihat
perkembangan Islam sekarang bagaimana dikaitkan dengan penghargaan terhadap
budaya lokal. Sekarang kan banyak ajaran-ajaran baru?
Sebetulnya gini, ada
proses perubahan sosial yang tidak terakomodasi oleh mainstream besar
tradisional, karena kalau kita lihat munculnya kelompok sempalan baru ini dari
mana asalnya? Ya dari mainstream besar ini. Mereka tidak terakomodasi sehingga
lari, bukan karena mereka tiba-tiba muncul, ini karena tidak terakomodasi. Satu
contoh, dia putranya syuriah NU, tetapi ia aktif di organisasi lain karena
merasa “aku ini mahasiswa, sekolah di Amerika, ngaji yo ora iso koyok itu” Lha
gimana, ini kan tidak terwadahi di NU. Di NU kan ada tradisi, kalau ada orang
pinter yang bisa menjadi ancaman, disingkirkan, he he he… akhirnya muncul
kelompok sempalan yang tidak terakomodasi, saya kira itu saja, tetapi kalau
bisa mengakomodasi, saya kira orang-orang itu balik lagi.
Kalau berkaitan dengan
kelompok Islam dari Timur Tengah itu bagaimana dan mereka tampaknya ingin
menerapkan seperti yang di Arab?
Biar saja, yang jelas
mereka yang mayoritas disini tetap akulturasi budaya. Kita lihat malah sekarang
sudah banyak yang melenceng. Agak irasional, ada yang kelompok modern,
fundamentalis, ngajarkan yang namanya ru’yah, ini apa, ini kan permainan
orang-orang tradisional dulu. Nanti ada jinnya gini-gini, balik lagi akhirnya.
Saya pernah mengantarakan mereka ziarah kubur, ya nalurinya balik lagi.
Artinya Islam
Indonesia tak akan bisa seperti di Arab?
Tidak bisa, saya itu
pernah bertemu dengan salah seorang TKI dari Jember waktu haji. Ia mengatakan
sudah bekerja di Saudi sejak tahun 1973, saya tanya, “Sampean kan berarti sudah
punya hak untuk jadi warga negara sini?’ dijawabnya “O, dhak pak, saya setiap
tahun mesti pulang, saya tidak mau jadi warga negara sini. Orang sini kalau
mati kayak binatang, dimasukkan liang kemudian dibuldoser, gak ada itu
ditahlili, saya gak mau seperti itu”. Nah ini kan ada faktor kultural yang
memberati dia. Kenikmatan duniawi yang ia peroleh di sana tidak bisa merubah
mainstream dia, ya sudah itu, mau apa lagi!.
In "Wali Songo"
In "Nusantara"
In "Nusantara"
SHARING
TAGS
About Nanang Haryadi
Post navigation
4 COMMENTS
apie dendam says:
alhamdulillah…
salam buat pak agus,
aku senang bisa ada orang sprt pak agus mampu menjelaskan sprt di radio kemarin,
makasih sedekit ucapan buat bpk semoga dalam lindungan الله
amin…
salam buat pak agus,
aku senang bisa ada orang sprt pak agus mampu menjelaskan sprt di radio kemarin,
makasih sedekit ucapan buat bpk semoga dalam lindungan الله
amin…
anto says:
Comment…Alhamdulillah…semoga
sejarah ini tetap bertahan untuk referensi generasi penerus
…..Aminn..ya..Robbal alamin…
Website
LEAVE A REPLY
Name *
Email *
Comment
Notify me of follow-up comments by email.
Notify me of new posts by email.
POPULER
KAITAN
Agus Sunyoto Apresiasi Atlas Wali
Songo Atlas
Walisongo Buku Buku Atlas Walisongo Buku Islami Cak NunCatatan Lain Fakta SejarahGus Dur Gus Mus Islam
Nusantara Maulid NabiMengenang Gus
DurModerat NU Nur MuhammadNusantara Organisasi DakwahPejuang
Kemanusiaan Profil SejarahSepatah Kata Sistem SosialSunan Sunan Ampel Sunan Bonang Sunan Drajat Sunan Giri Sunan GresikSunan Kalijaga Sunan Kudus Syekh Siti
JenarTestimoni Wali Wali Songo WalisongoWawancara Yahudi Penyebar
Islam
SITUS TERKAIT
1. Nu Online
2. Muslim Media
3. Jalan Damai
4. Pesantren Ciganjur
5. Situs Islami
6. Gus Mus
7. Cak Nun
2. Muslim Media
3. Jalan Damai
4. Pesantren Ciganjur
5. Situs Islami
6. Gus Mus
7. Cak Nun
VIDEO
MENU UTAMA
·
Beranda
·
Budaya
·
Sejarah
PENTING
·
Tentang
·
Kontak
ARTIKEL TERBARU
KOMENTAR
1 komentar:
"Informasi yang berguna! Jangan lupa mampir ke website saya untuk konten serupa yang bisa menjadi referensi tambahan." jasa rab bangunan
biaya desain rumah dan rab
desain rumah minimalis lengkap dengan rab
Posting Komentar