Selasa, 25 Agustus 2015

Islam Nusantara Hasil Dakwah Wali Songo

Jurnalis Independen: Perkembangan Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan dari dakwah era wali songo. Yang dilakukan oleh wali songo dan sukses mengislamkan nusantara dengan cara-cara damai melalui akulturasi kebudayaan.
Sampai sekarang, strategi dakwah ini digunakan oleh Nahdlatul Ulama dengan penghargaan terhadap tradisi lokal. Sebenarnya, bagaimana dakwah yang dilakukan oleh walisongo dan bagaimana dinamika yang mereka alami, berikut ini wawancara NU Online dengan Agus Sunyoto, pengarang buku ‘Suluk Malang Sungsang Syeikh Siti Jenar seusai diskusi kebudayaan di NU Online pertengahan Mei lalu.

Sejauh ini, kalangan nahdliyyin selalu menyebut wali songo telah sukses dalam upaya penyebaran Islam di Indonesia, bagaimana sih trategi dakwah yang dijalankan oleh wali songo?
Strategi dakwah dan Islamisasi memang paling berhasil pada era itu, yaitu terjadi imigrasi besar-besaran terjadi dari negeri Campa. Kita tahu beberapa tokoh dari sana diantaranya adalah Sunan Ampel dan Sunan Bonang, Sunan Drajat dan seterusnya, dan pengaruhnya sangat besar dalam kultur keislaman di Indonesia. Saya lihat keberhasilan itu karena salah satunya merebut pesantren-pesantren Syiwa Budha yang dinamakan Dukuh. Di dalam pedukuhan itu sudah ada ajaran syiwa budha yang sebetulnya mirip dengan Islam misalnya orang siswa di pedukuhan yang dinamakan wiku atau calon wiku itu dilarang makan babi, dilarang minum minuman keras, dilarang makan barang subhat hasil dari membungakan uang riba dan seterusnya, dilarang judi, mencuri, persis syariat Islam. Kemudian ini diambil alih, dijadikan lembaga pendidikan yang dinamakan pesantren. Karena itu, santri kan berasal dari bahasa Sansekerta dari kata-kata sastri, yaitu orang yang mempelajari sastra, sastra ini kitab suci, jadi santri adalah orang yang mempelajari kitab suci. Untuk membedakan dengan Hindu, dibuat nama lain yang bukan sastri tapi santri. Mereka juga mempelajari kitab suci. Ini yang membedakan dengan padepokan Hindu atau asrama-asrama.
Selain itu, secara mayoritas di Jawa waktu itu, karena walisongo di Jawa, mainstream agama yang dianut oleh masyarakat adalah kepercayaan Kapitayan, ini pra Hindu sebenarnya, kalau Hindu hanya diikuti oleh kalangan elit istana saja. Kebanyakan masyarakat masih model kapitayan. Dari situlah Islam masuk melalui Kapitayan, masyarakat bawah. Jadi Misalnya, untuk mengambil tempat ibadahnya orang kapitayan, Islam membangun tempat ibadah yang sama dengan orang kapitayan. Kalau orang kapitayan membangun tempat ibadah yang namanya sanggar, orang Islam membangun tempat yang namanya langgar. Kemudian, ibadah menyembah tuhan tidak digunakan dengan istilah sholat, tetapi orang-orang kapitayan diambil sembahyang, menyembah Sang Yang. Kemudian untuk ibadah tidak makan-makan atau tidak minum dalam sehari, tidak disebut shoum, ini kan bahasa Arab, yang digunakan orang-orang kapitayan yang sudah umum saja, yaitu upawasa jadi puasa. Semua mengambil alih itu.
Terus cerita-cerita tentang kehidupan di akhirat yang baik, tidak usaha ngomong tentang jannatul firdaus, yang sudah digunakan orang saja, surga, surgaloka, kalau kita bicara penderitaan di akhirat, kita bicara local saja, narul jahannam, tidak ngerti orang, pakai saja yang sudah dikenal orang-orang nerakaloka. Disitu mulai terjadi proses pengambilalihan. Semua institusi-institusi diambil.
Ini termasuk tahlil yang merupakan bagian dari lokalisasi ajaran Islam?
Sebetulnya kalau tahlil bukan. Ini kan usaha dari ulama-ulama, dari Syeikh Siti Jenar yang menemukan satu hadist ketika Nabi Adam akan dicipta, dunia ini dihuni bangsa jin. Ketika Nabi Adam akan diturunkan ke dunia, semua bangsa jin diusir dari dunia mereka menuju laut dan pulau-pulau, itu ada hadistnya. Nah karena itu, ulama-ulama masa itu, termasuk yang mempelopori Syeikh Siti Jenar, memberikan amaliah-amaliah kepada para pengikutnya untuk membaca amalan-amalan yang menolak pengaruh jahat. Ini kan ada dasarnya di hadist-hadist. Inilah yang akhirnya menjadi tahlil itu. Sebetulnya dari itu, awalnya menolak pengaruh jahat jin. Tetapi kita tidak tahu kapan proses itu terjadi, tahu-tahu ini jadi kirim doa untuk orang mati. Ada proses yang terjadi di situ.
Kalau kenduri, ini kan tradisinya orang Syiah untuk mengirim doa kepada leluhur, ini kan dari bahasa Persia. Nah memang orang-orang dari Campa yang datang ke Indonesia itu mazhabnya Syiah. Karena itu sama antara orang Campa dengan Indonesia, kalau mati diperingati 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Islam Campa yang terpengaruh Syiah, kalau mati orang ditalkin, itu syiah, orang Sunni tidak ada. Kalau sholat taraweh 23 rakaat, ini sama, Syiah juga.
Wali sendiri ada sembilan, termasuk yang dianggap sangat lokal kan Sunan Kalijogo dan Syeikh Siti Jenar, apa yang membedakan dengan wali yang lain?
Sebetulnya sama, hanya cuma pendekatan yang dilakukan oleh Syeikh Siti Jenar dan Sunan Kalijogo adalah pendekatan sufi atau tasawwuf. Mereka lebih fleksibel dalam menghadapi kondisi kultural masyarakat. Masyarakat di pedalaman dan pesisir kan ada perbedaan, disitu. Dan ternyata Syeikh Siti Jenar dan Sunan Kalijogo masih menyisakan tarekat sementara wali yang lain tidak meninggalkan itu, tidak ada bekas jejaknya kecuali makam-makan. Ada tarekat Akmaliyah, Syatariyah, itu salah satu bekas jejaknya Syeikh Siti Jenar dan Sunan Kalijogo, termasuk Sunan Gunung Jati.
Kontraversi tentang Syeikh Siti Jenar sendiri bagaimana?
Ini masalah politis sebetulnya. Jadi ada perbedaan pendapat tentang Syeikh Siti Jenar antara di Jawa dan Cirebon. Di Cirebon, orang memandang Syeikh Siti Jenar lebih obyektif karena ia berasal dari sana, sementara di Jawa tidak. Itulah fenomena antara Islam pedalaman dan Islam pesisir, itu saja.
Faktor politik apa yang membuat Syeikh Siti Jenar dianggap melenceng dari Islam?
Dia kan merombak sistem sosial yang ada waktu itu, dia memperkenalkan namanya masyarakat yang berasal dari kata musyarokah, padahal sebelumnya strukturnya kawulo atau budak, dia menyuruh pengikutnya untuk menyebut masyarakat, yang sederajat, punya hak untuk kerjasama, menyebut diri dengan kata-kata ingsun atau aku bukan kulo atau kawulo. Kalau orang Sunda jangan menyebut diri dengan kata-kata abdi,, kalau di Sumatra jangan menyebut diri dengan kata-kata saya atau sahaya, ini artinya juga budak. Kamu orang yang sederajat. Ini yang membuat marah kalangan elit politik di keraton karena yang boleh mengucapkan kata-kata ingsun itu hanya raja. Orang lain tidak boleh, yang disebut panjenengan insung, panjenengan berasal dari kata-kata jumeneng artinya engkau yang punya hak berdiri. Masyarakat tidak punya hak untuk berdiri, menekuk kaki kalau kawulo itu. Nah Syeikh Siti Jenar melawan sistem itu.
Pada waktu itu penguasa di keraton seperti Demak kan para wali, apa ini tidak berarti ingin mengokohkan sistem yang ada sebelumnya dengan sistem kawulo gusti.?
Sebetulnya begini, yang berkuasa waktu itu adalah Sultan Trenggono, ia dari segi ibu cucunya Sunan Ampel, berarti Sunan Bonang itu pakdenya, Sunan Drajat yang pakdenya, Sunan Giri itu juga masih saudara, jadi wali songo itu satu keluarga. Jaman Sunan Trenggono, sudut pandangnya sudah lain karena walinya sudah berubah, Sunan Ampel sudah meninggal, Sunan Giri sudah meninggal, Sunan Bonang juga sudah. Ini generasi berikutnya, dari situlah Sunan Trenggono ingin mengokohkan kekuasaannya dan ia merasa terganggu dengan ajaran Syeikh Siti Jenar yang sangat egaliter itu. Dan Syeikh Siti Jenar melihat ajaran nabi itu kan sangat egaliter. Itulah, ia tetap bersikukuh dengan itu. Kerena itu, kadang-kadang aneh juga, Syeikh Siti Jenar sangat mengakomodasi kebudayaan kultural, tetapi disatu sisi tidak juga seluruhnya bener, karena ketika para wali menyebut dirinya sunan, sebuah bahasa lokal yang artinya raja atau guru spiritual, Syeikh Siti Jenar tetap pakai gelar syeikh tidak Sunan Siti Jenar, tetap syeikh.
Gelar syeikh ini berarti aspek keagamaan?
Ya keagamaan, guru agama dan syeikh itu kan guru spiritual, disitu. Jadi memang punya otoritas keagamaan?
Kalau melihat perkembangan Islam sekarang bagaimana dikaitkan dengan penghargaan terhadap budaya lokal. Sekarang kan banyak ajaran-ajaran baru?
Sebetulnya gini, ada proses perubahan sosial yang tidak terakomodasi oleh mainstream besar tradisional, karena kalau kita lihat munculnya kelompok sempalan baru ini dari mana asalnya? Ya dari mainstream besar ini. Mereka tidak terakomodasi sehingga lari, bukan karena mereka tiba-tiba muncul, ini karena tidak terakomodasi. Satu contoh, dia putranya syuriah NU, tetapi ia aktif di organisasi lain karena merasa “aku ini mahasiswa, sekolah di Amerika, ngaji yo ora iso koyok itu” Lha gimana, ini kan tidak terwadahi di NU. Di NU kan ada tradisi, kalau ada orang pinter yang bisa menjadi ancaman, disingkirkan, he he he… akhirnya muncul kelompok sempalan yang tidak terakomodasi, saya kira itu saja, tetapi kalau bisa mengakomodasi, saya kira orang-orang itu balik lagi.
Kalau berkaitan dengan kelompok Islam dari Timur Tengah itu bagaimana dan mereka tampaknya ingin menerapkan seperti yang di Arab?
Biar saja, yang jelas mereka yang mayoritas disini tetap akulturasi budaya. Kita lihat malah sekarang sudah banyak yang melenceng. Agak irasional, ada yang kelompok modern, fundamentalis, ngajarkan yang namanya ru’yah, ini apa, ini kan permainan orang-orang tradisional dulu. Nanti ada jinnya gini-gini, balik lagi akhirnya. Saya pernah mengantarakan mereka ziarah kubur, ya nalurinya balik lagi.
Artinya Islam Indonesia tak akan bisa seperti di Arab?
Tidak bisa, saya itu pernah bertemu dengan salah seorang TKI dari Jember waktu haji. Ia mengatakan sudah bekerja di Saudi sejak tahun 1973, saya tanya, “Sampean kan berarti sudah punya hak untuk jadi warga negara sini?’ dijawabnya “O, dhak pak, saya setiap tahun mesti pulang, saya tidak mau jadi warga negara sini. Orang sini kalau mati kayak binatang, dimasukkan liang kemudian dibuldoser, gak ada itu ditahlili, saya gak mau seperti itu”. Nah ini kan ada faktor kultural yang memberati dia. Kenikmatan duniawi yang ia peroleh di sana tidak bisa merubah mainstream dia, ya sudah itu, mau apa lagi!.
Wawancara: Mitologi Wali Songo itu Ulah Belanda
In "Wali Songo"
Berguru Pada Dakwah Wali Songo
In "Nusantara"
Atlas Walisongo Terbit Di Tengah Usaha Sistematis Penghapusan Peran Wali Songo
In "Nusantara"
SHARING
·         0Twitter
·         33Facebook
·         0Google+
·         0Linkedin
·          Email this article
·          Print this article
TAGS
http://www.atlaswalisongo.com/wp-content/plugins/lazy-load/images/1x1.trans.gif
About Nanang Haryadi
Post navigation
4 COMMENTS
http://www.atlaswalisongo.com/wp-content/plugins/lazy-load/images/1x1.trans.gifapie dendam says:
alhamdulillah…
salam buat pak agus,
aku senang bisa ada orang sprt pak agus mampu menjelaskan sprt di radio kemarin,
makasih sedekit ucapan buat bpk semoga dalam lindungan الله
amin…
http://www.atlaswalisongo.com/wp-content/plugins/lazy-load/images/1x1.trans.gifanto says:
Comment…Alhamdulillah…semoga sejarah ini tetap bertahan untuk referensi generasi penerus …..Aminn..ya..Robbal alamin…
Website
LEAVE A REPLY
Top of Form
Name *
Email *
Comment
 Notify me of follow-up comments by email.
 Notify me of new posts by email.
Bottom of Form
POPULER
·         Dialog Gus Dur dan Santri
·         Berguru Pada Dakwah Wali Songo
·         Sunan Bonang
·         Sunan Ampel
KAITAN
SITUS TERKAIT
Banner
VIDEO
MENU UTAMA
·         Beranda
·         Wali Songo
·         Nusantara
·         Budaya
·         Sejarah
·         Lain-lain
PENTING
·         Tentang
·         Syarat dan Ketentuan
·         Aturan Privasi
·         Kontak
ARTIKEL TERBARU
·         Metodologi Islam Nusantara
·         Dialog Gus Dur dan Santri
·         Pribumisasi Islam
KOMENTAR

1 komentar:

kemarin kemana aja mengatakan...

"Informasi yang berguna! Jangan lupa mampir ke website saya untuk konten serupa yang bisa menjadi referensi tambahan." jasa rab bangunan
biaya desain rumah dan rab
desain rumah minimalis lengkap dengan rab