Sabtu, 01 Agustus 2015

Punten Risma 6, Demokrasi, Parpol, Pemilukada Surabaya Gagal

Jurnalis Independen: PEMILU (Pemilihan Umum) Langsung, baik ditingkat Kabupaten, Kota, Propinsi hingga Presiden di Negeri yang kita cintai ini menjadikan sebuah pendidikan berharga bagi Rakyat Indonesia. Terlepas dari nilai minus-positifnya, yang  jelas memiliki daya guna tidak saja dibidang politik, namun juga menyentuh demensi yang sangat luas.

Keterbukaan informasi, era pemerintahan, kebijakan maupun keberanian bicara yang didukung undang-undang dan tehnologi, membuat masyarakat leluasa mentransformasikan pikiran, terutama saat Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Pemilihan langsung oleh rakyat yang umum disebut Demokrasi Rakyat, menjadikan rakyat merasa dubutuhkan dalam menentukan pemimpinnya. Sebelumnya, rakyat hanya menyerahkan atau dipaksa menyerahkan haknya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam memilih pemimpin baik di tingkat Nasional maupun Daerah.

Setelah berakhirnya era Pemerintahan Presiden Soeharto yang langka dalam memberikan kebebasan menentukan pemimpin, Rakyat Indonesia tentu sangat senang dengan Pemilu Langsung. Namun, demokrasi sistem ini, tidak serta merta menjadikan impian rakyat menikmati "Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" (Sila ke Tiga Pancasila),

Pendiri Republik Indonesia, tercermin dalam Dasar Negara Pancasila yang dibuatnya, mencerminkan cita-cita mulia memberikan Kesejahteraan lahir dan batin selengkap mungkin bagi seluruh rakyat. Sayangnya, hingga disepakati model pemilihan langsung, rakyat atau masyarakat Indonesia masih jauh bisa menikmatinya.

Salah satunya dengan alasan itulah model pemilu langsung hendak diminta kembali oleh banyak politisi untuk diberikan kembali kepada DPR RI maupun DPRD.

Ekses Pemilu Langsung, termasuk Pemilukada, bisa dikatakan multipoint. Bagi penulis yang berwarga Kota Surabaya, terutama Pemilukada langsung di Surabaya bernilai positif. Hal ini terlihat ketika jabatan Walikota Surabaya dimenangi Dr.(H.C.) Ir. Tri Rismaharini, M.T.

Banyak terdengar kasus hukum menyenggol pejabat Pemerintahan Kota Buaya di era sebelumnya, namun di era kepemimpinan Srikandi Surabaya jarang terdengar (ditelinga saya lho..). Banjir, selokan mampet, sempit, sampah, PKL sakarepe dewe, seolah takut oleh Walikota ke 21 Surabaya ini.

Dasteran di Prapatan jalan raya, mungut sampah dikali (terkadang tanpa sarung tangan), narik-narik host montor kloneng, bludas-bludus nang pasar, nakam nasi bungkus di warkop(koyok Jokowi),
membuat  gedandapan Kepala Dinas/istri Kepala kepala dinas dan jajaran dibawahnya. Dan tingkah pola Walikota bertitel Insinyur ini (Titelnya koyok Si Dol, sama dengan Presiden Jokowi dan Mendiang Presiden Soekarno),membuat gelagapan para Kepala Dinas dan istri yang kemenyek saat turba menjalankan kewajibannya sebagai pengudar problema warga kota.

Jika diceritakan semua, jelas penulis capek. Yang jelas, hal tersebut tidak dilakukan para pendahulunya. Sebab para pendahulunya adalah para pemimpin yang bisa disebut THOGUT (tidak semua lho yo..). Sebab para pendahulunya menjadi pemimpin minta disembah, dilayani, dihormati bahkan minta diberikan kebebasan melakukan apa saja dengan anggaran berapa saja yang berasal dari mana saja.  

Selain itu, para pendahulunya untuk menjadi Walikota Surabaya mengeluarkan uang tidak  sedikit. Sementara, Lulusan Arsitektur dan pasca sarjana Manajemen Pembangunan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang juga tercatat sebagai wanita pertama yang dipilih langsung menjadi Walikota Surabaya itu, tidak menghamburkan uangnya demi jabatan, (Kata siapa? Ya kata yang nulis...).

Sebelum menjadi wali kota, Risma menjabat Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya dan Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya (Bappeko) hingga tahun 2010. Risma meniti karier sebagai seorang pegawai negeri sipil (PNS) Kota Surabaya sejak dekade 1990-an.

Diantaranya lantaran itulah wanita kelahiran Kediri, Jawa Timur, 20 November 1961 bisa melakukan tanggungjawab, kewajibannya dengan gayanya (mengabdi) tanpa banyak mengalami rasa tidak puas warga yang menjadi majikannya. Sebab sebelumnya, pejabat di kota ini (mungkin di negara ini) yang terjadi justru sebaliknya. Menjadi pejabat minta dilayani oleh masyarakat.

Gaya kepemimpinan Alumnus Walikota jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tahun 1987ini selain mendapat acungan jempol warga Surabaya, juga pada Februari 2015, Tri Rismaharini dinobatkan sebagai wali kota terbaik ke-3 di dunia atas keberhasilannya dalam merubah wajah Kota Surabaya dari yang kumuh penataannya menjadi kota yang lebih hijau dan tertata rapi. Penghargaan diberikan kepada Risma sebagai figur enerjik yang antusias mempromosikan kebijakan sosial, ekonomi dan lingkungan secara nasional maupun internasional serta dinilai berhasil memanfaatkan lahan mati dan menyulapnya menjadi taman kota.
Risma juga dipuji karena keberaniannya menutup kawasan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara yaitu Gang Dolly dan Bangunrejo, serta respon cepatnya dalam menangani korban insiden AirAsia QZ8501.

Di tahun yang sama, bulan Maret, nama Tri Rismaharini masuk dalam jajaran 50 tokoh berpengaruh di dunia versi majalah Fortune bersama dengan tokoh-tokoh lain seperti CEO Facebook Mark Zuckerberg, Perdana Menteri India Narendra Modi, dan tokoh lainnya. Risma dinilai berhasil melakukan banyak terobosan luar biasa di Surabaya tentang lingkungan, dan ia juga dinilai telah berhasil mengubah kota besar dengan jutaan penduduk yang sarat polusi, kemacetan, dan kekumuhan menjadi kota metropolitan yang tertata, kaya akan taman lanskap dan ruang hijau lainnya. Risma juga dinilai berhasil mengubah banyak lahan pemakaman gersang menjadi ruang penyerapan air sehingga dapat menangkal banjir.

Namun bagi penulis, aktivitas kepemimpinan istri Ir. Djoko Saptoadji itu tetap belumlah sempurna. Dengan kata lain jika dipunten, nilainya baru 6, bukan 10. Sebab masih banyak hal di kota ini yang perlu dibenahi.  

Sekali lagi, punten atau nilai Walikota Surabaya yang memiliki julukan Srikandi Surabaya itu masih jauh dari angka 10. Walau penulis juga tahu Risma merupakan satu-satunya walikota yang menggelontorkan program sosial yang tidak atau belum dijalankan di daerah lain di Indonesia. Sebab ada proyek program Pemerintah Kota Surabaya menguap di tengah jalan "dimakan" jajaran dibawah kepemimpinan Walikota Risma. Hal itu merupakan "celah" bagi penantang perebutan kursi Walikota Surabaya yang hendak dihelat akhir  tahun 2015 mendatang.

Risma boleh saja mengaku bersih dari berbagai kasus, misalnya kasus korupsi (penulis  juga percaya Risma bukan tipe koruptor). Tetapi jajaran dibawahnya, "lingkaran pengusung kepemimpinannya" dimasa lalu yang menjadikan dirinya  duduk sebagai walikota masih banyak yang melakukan pungutan liar, mengurangi nilai proyek yang  dibidaninya.

Lantaran itulah penulis memberikan nilai 6 pada Risma, sebab Risma belum bisa meminit  bawahannya hingga di tingkat kelurahan agar memberikan pelayanan kepada masyarakat seperti dirinya melakukan  pelayanan kepada "Tuan-tuannya yang merupakan warga Kota Surabaya". Masih banyak warga Kota Surabaya dipersulit, diminta memberikan upeti, Jasa pelayanan, dan tetekbengek dalam mengurus keperluan di tingkat kelurahan maupun kecamatan.   Pendeknya, Risma sebagai walikota belum sempurna dan harus disempurnakan melalui pemilukada langsung dan harus ada Warga Kota Surabaya yang lebih baik, energik,  jujur, amanah, informatif, relegius, tidak korup, relegius.

Selanjutnya, Walikota Surabaya ke 22 nanti, tentu saja diantaranya mampu mengusir kecoa-kecoa busuk PNS dan honorer mulai di tingkat kelurahan, Dinas terkait, hingga keluarganya  (kalau bisa hingga tingkat RT, RW).

Sayangnya hingga hari ini, penulis belum mengetahui ada warga Surabaya,  apalagi politisi dari partai manapun termasuk Partainya mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang santun itu dan Partainya Prabowo Subiyanto yang gagah prawira juga kaya raya itu, atau Partainya Hary Tanoe Keturunan China itu berani menjagokan Kadernya menantang kepemimpinan Kedi Kediri  Ibu Tri Rismaharini incumben.

Apakah hal itu mengisyaratkan kepada Warga Kota Surabaya bahwa di kota ini  sudah tidak memiliki calon-calon pemimpin  melebihi Risma yang menurut penulis "hanya" memiliki punten atau nilai 6?
Apakah hal ini mengisyaratkan kepada Warga Kota Surabaya bahwa seabrek kader partai politik hanyalah kumpulan manusia tidak berguna? Dan apakah hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Walikota Surabaya ke 22 nanti tetap disandang orang yang suka marah-marah lantaran menemukan warganya yang tua renta dibiarkan terkapar di sebuah "rumah" tanpa keluarga dan kelaparan sementara jajaran bawahannya asik berpesta pora dengan uang haramnya?

Apakah hal ini mengisyaratkan kepada kita sebagai Warga Kota Pahlawan bahwa kota ini tidak bisa lagi melahirkan pemimpin-pemimpin melebihi Srikandi Surabaya yang belum tuntas membersihkan raja-raja kecil di tingkat kelurahan dan sekitarnya?

Jika memang demikian, untuk apa pemilukada langsung nanti? Atau lanjutkan saja kepemimpinan penggemar nasi jagung itu? Dan anggarannya dibagikan kepada raja sebenarnya yaitu Warga Kota Surabaya sesuai dengan jabatan kemiskinannya?

Akhirnya, bagi penulis, Tri Rismaharini adalah Walikota Surabaya ke 21 (incumben) yang akan memenangkan dan akan tetap menjadi "Ratu Surabaya" hingga 2020 mendatang. Ada atau tidak penantangnya dalam pemilukada nanti, siapapun lawan politiknya, tokoh lebih baik atau lebih buruk darinya, mantan koruptor atau mantan pejabat diatasnya sekalipun,  Risma yang memiliki punten atau nilai 6, tetap akan menjadi Walikota Surabaya ke 22, Kota Pahlawan yang kini banyak dihuni manusia yang tidak lebih baik, amanat, jujur, ikhlas darimu.....(termasuk penulis?...xi..xi...xi..).              

Tidak ada komentar: