Begitu Gus
Ud selesai mengucapan kata Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba turun dari
langit-langit kamar lalu duduk di antara keduanya. Sama sekali tidak terlihat
bekas atap yang runtuh karena dilewati Gus Miek. Setelah mengucapkan salam, Gus
Miek kembali menghilang.
Siapa yang tidak
mengenal Gus Miek? Di Jawa Timur khususnya. Sebagai seorang “linuwih”, namanya
begitu melegenda karena memiliki banyak kekhususan. Ia berdakwah dengan cara
yang tidak lazim dilakukan oleh para pendakwa agama dan dikenal di kalangan NU
sebagai seorang kyai yang memiliki segudang ”kesaktian” alias Karomah.
Gus Miek dianggap oleh banyak kalangan, memiliki
kemampuan supranatural. Banyak kesaktian ditempelkan pada reputasinya. Banyak
orang yang rela antre berlama-lama untuk bisa bertemu dengan Gus Mik dengan
berbagai pamrih.
Diantara kalangan awam yang datang kepada
beliau ada yang ingin mendapatkan banyak rezeki, naik pangkat, menyembuhkan
penyakit yang dideritanya, sampai hajat untuk memperoleh nama pada jabang bayi
yang hendak dilahirkannya.
Semuanya dipercaya oleh para pengagumnya bisa
terkabul dan daya guna positif jika dibantu oleh Gus Miek. Kemampuan supranatural
itu, dalam istilah eskatologi pesantren, dinamakan khariqul `adah. Kalangan
awam memandang kemampuan semacam itu sebagai suatu mukjizat jika bukan sebuah keanehan.
Di mata Gus Dur, kenyentrikan Gus Miek
terletak pada kearifannya yang telah menembus batasan agama. Melalui
transendensi keimanannya, ia tidak lagi melihat kesalahan pada keyakinan orang
beragama atau berkepercayaan.
Sebagai contoh, Gus Miek bersikap membimbing
kepada Ayu Wedhayanti, seorang Hindu yang kini telah berpindah hati ke Islam,
seperti yang dilakukannya terhadap Machica Mochtar, penyanyi asal Ujungpandang
yang muslim.
Kenyentrikan lain kiai yang memiliki citra
rasa terhadap berbagai macam kopi itu telah menembus rambu-rambu baik dan buruk
di mata kebanyakan manusia. Oleh karenanya, bagi Gus Miek, tidak segan melepas
jubah kekiaiannya dan bercengkerama dengan para penikmat hiburan malam di
diskotek, klub malam, bar, maupun coffee shop.
Ibarat kata, di mata Gus Miek, seorang
bajingan dan seorang suci adalah sama-sama manusianya. Karenanya, setiap manusia memiliki potensi
untuk memperbaiki diri yang sama pula.
“Kerinduannya kepada realisasi potensi
kebaikan pada diri manusia inilah yang menurut saya menjadikan Gus Miek memiliki
tingkat supranatural yang luar biasa,” kata Gus Dur dalam buku Gus Dur Menjawab
Tantangan Zaman, terbitan Kompas, Jakarta, 1999.
NU (Nahdlatul Ulama) adalah gudang kiai
berperilaku eksentrik. Istilah populer untuk eksentrisitas di kalangan
pesantren adalah khariqul `adah, sebuah kata dari bahasa Arab yang berarti “di
luar kebiasaan”. K.H. Abdurrahman Wahid, bekas Ketua Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama, memakai istilah khariqul `adah untuk dua pengertian, yaitu secara substantif
dan secara permukaan (kulit).
Gus Dur, begitu panggilan akrab kiai yang pernah
menduduki kursi kepresidenan itu, pernah memakai istilah tersebut untuk
menggambarkan kenyentrikan almarhum Gus Miek (Kiai Hamim Jazuli), seorang ulama
masyhur dari Pesantren Alfalah Ploso, Kediri.
Kiai-kiai yang nyentrik dengan dua pengertian
itu memang bertebaran bukan hanya di NU bahkan dimungkinkan di negeri ini yang
tidak ter “publikasi”. Kalangan keagamaan seperti NU, cukup memaklumi
keberadaan golongan kiai seperti Gus Mik. Tapi, tak pelak, cerita yang harum
beredar di masyarakat adalah kenyentrikan yang bersifat permukaan. Bisa jadi
karena hal permukaan itu yang memang mudah dilihat dan karenanya menjadi cerita
eksotis bagi orang kebanyakan.
Cerita-cerita supranatural itu banyak beredar
dari mulut ke mulut, sementara kearifan para kiai nyentrik kurang memperoleh
catatan yang memadai. Bisa jadi karena tradisi penulisan sejarah kurang
memberikan pendekatan dari sisi substansi. Atau, bisa jadi karena para kiai
nyentrik itu cenderung hidup di luar pagar resmi organisasi.
Para kiai yang mengundang pesona eksotisme
itu hadir sejak awal sejarah NU hingga kini. K.H. Muhammad Kholil (1835-1925),
pendiri pesantren yang kini bernama Syaikhona I di Desa Kademangan, Bangkalan,
misalnya. Kiai yang dianggap moyang para kiai supanatural itu memiliki kisah
mistis-simbolis berkaitan dengan sejarah pembentukan NU.
Guru para kiai besar di Jawa itulah yang
menjadi penginspirasi pembentukan NU lewat isyarat penyerahan sebatang tongkat
pada tahun 1924, dan sebuah tasbih setahun kemudian, yang dikirim lewat Kiai
As’ad Syamsul Arifin, pendiri Pesantren Asembagus, Situbondo, kepada K.H.
Hasyim Asy’ari, murid Kiai Kholil yang kemudian terkenal sebagai pendiri NU.
Kenyentrikan Kiai Kholil tampak sejak muda.
Ketika belajar di Pesantren Langitan. Tuban, Kholil pernah membuat terpana Kiai
Muhammad Noer, gurunya.
Suatu hari Kholil ikut salat berjamaah yang
diimami Kiai Noer. Di tengah salat, Kholil tertawa terbahak-bahak, suatu perbuatan
yang dianggap membatalkan salat. Usai salat, Kiai Noer menanyakan alasan Kholil
tertawa. “Maaf, kiai. Ketika salat tadi, saya melihat kiai sedang mengaduk-aduk
nasi di bakul. Karena itu saya tertawa,” kata Kholil seperti ditulis dalam buku
Biografi dan Karomah Kiai Kholil Bangkalan terbitan Pustaka Ciganjur, 1999.
Santri muda itu tampaknya bisa membaca pikiran orang. Seperti yang diakui Kiai
Noer, memang ketika salat, beliau merasa sangat lapar dan terbayang terus nasi
di benaknya.
K.H. Abdul Wahab Abdullah (1888-1971), murid
Kiai Kholil yang kemudian menjadi pengasuh Pesantren Tambakberas, Jombang, juga
ketularan kelebihan gurunya. Salah seorang pendiri NU itu mempunyai andil dalam
pencarian nama NU. Caranya pun lewat jalan spiritual. Konon, sebelum penentuan
pilihan dari sejumlah nama, Kiai Wahab melakukan istikharah, salat untuk
menentukan pilihan. Dalam suatu penglihatan mata batin, Kiai Wahab bertemu
Sunan Ampel, seorang wali Jawa Timur, yang memberi blangkon dan sapu bulu ayam
bergagang panjang. Tak jelas apa arti simbol itu. Tapi, menurut Hasib Wahab,
anaknya, dalam penglihatan itulah Kiai Wahab memperoleh keputusan untuk
menamakan organisasi kaum ulama tradisional itu dengan nama NU.
Kiai Wahab, yang sewaktu muda dijuluki macan
oleh Kiai Kholil, Bangkalan, itu dalam sejarahnya selain jago berdebat politik
juga dikenal sebagai pendekar silat. Ada cerita, suatu waktu di Desa
Tambakberas berlangsung pertandingan pencak silat. Semua jago silat di Jawa
Timur konon turun gelanggang. Salah satu jagoannya, Djojo Rebo, dikenal kebal.
Ketika hampir semua pendekar takluk, Djojo Rebo melihat kehadiran Kiai Wahab
hanya sebagai penonton. Padahal, Gus Dul, begitu panggilan akrab Kiai Wahab,
dikenal jago silat.
Djojo Rebo pun menantangnya. “Gus Dul, ayo
turun kemari. Keluarkan seluruh ajimat yang kamu bawa dari Mekkah. Ayo kita
bertarung,” kata Djojo Rebo. Kiai Wahab, yang baru saja pulang dari Tanah Suci
untuk belajar agama, itu tak bisa menolak tantangan. Akhirnya Kiai Wahab turun
juga. Tapi jurusnya unik: ia hanya berdiri mematung dengan sorot mata memandang
ke mata Djojo Rebo. Tiba-tiba tubuh Djojo Rebo terempas dan melayang bagai
kapas hingga jatuh ke tanah.
Kelebihan Gus Mik terasa lebih hidup karena
masih banyak kesaksian segar yang bisa dikumpulkan, termasuk dari anak-anaknya.
Gus Sabut Pranoto Projo menyimpan kisah tentang kemampuan pecah diri
(bi-lokasi) Gus Mik. Ketika Kiai Romly, pendiri Pesantren Darul Ulum, Jombang,
dan seorang mursyid tarekat meninggal dunia, keluarga Kiai Akhmad Jazuli, ayah
Gus Mik, datang melayat. Menjelang berangkat, Gus Mik kecil menolak ajakan
untuk melayat ke Jombang dan memilih tinggal di rumah. Tapi, setelah keluarga
itu tiba di rumah duka, Gus Mik telah berada di tempat yang sama. Lebih
mengherankan lagi, keluarga Kiai Romly menyaksikan bahwa Gus Mik telah menemani
almarhum sejak seminggu sebelum Kiai Romly wafat.
Kisah-kisah supranatural bertebaran di
kalangan NU. Salah satu faktornya karena sebagian kiai nahdliyin menjalankan
tradisi sufisme. Di lingkungan NU, seperti kata doktor sejarah dan kebudayan
Andree Fellard dalam buku NU vis-à-vis Negara, para kiai yang tergabung dalam
tarekat memiliki pengaruh yang paling kokoh terhadap masyarakat luas di
pesantren ataupun di luar wilayah desanya. Pengaruh yang mereka dapatkan datang
dari kepercayaan masyarakat terhadap bakat supranatural yang dimiliki kiai:
sebagai penyembuh, pengusir makhluk halus, dan sebagai penasihat rumah tangga.
Ketersohoran kiai tarekat telah turut mengimbangi memudarnya otoritas ulama dan
ahli fikih yang pernah berpindah ke tangan birokrasi.
Kiai dengan kelebihan supranatural masih
hadir hingga masa menjelang pergantian abad ke-21. Lora Kholil, 31 tahun,
adalah kiai muda yang memiliki percikan khoriqul `adah di masa kini. Pamor
lulusan Universitas Ainus Syams, Saudi Arabia, itu amat kondang di Situbondo.
Bukan hanya karena pengaruh nama besar K.H. As’ad Syamsul `Arifin, ayahanda dan
pendiri Pesantren Asembagus, Situbondo, tetapi dia sendiri memiliki aura
kewibawaan. Berbadan ceking, selalu bersarung dengan surban putih, pengasuh
Pesantren Walisongo, Situbondo, itu berhasil “menaklukkan” ribuan anak jalanan
(preman) pada awal 1990-an.
K.H. Ahmad Mustofa Bisri dari Pesantren
Raudlatut Thalibin, Rembang, memilih untuk tidak memiliki kelebihan
supranatural dengan menekankan tasawuf pada aspek akhlak dan pengolahan
interioritas batin. Toh, kekuatan supranatural bisa dipelajari setiap orang
(lihat juga: Mukjizat, Mata Ketiga, dan Sains). Juga K.H. Habib Luthfi, seorang
ulama tasawuf yang lebih suka menebarkan pesona musikal. Menyikapi kenyentrikan
kiai, Gus Dur memberikan contoh terbaik: mengagumi yang substansi daripada yang
permukaan.
KH. Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan
panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940,beliau adalah putra KH. Jazuli
Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al Falah mojo
Kediri), Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang
masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh
Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan
pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit
dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum
agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat
kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus
Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah
wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan
pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq,
serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka
yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di
kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam
para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa. Hal terpenting lain untuk
diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga
sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para
pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di
dunia maupun akhirat.
SIAPA SESUNGGUHNYA GUS MIK?
Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan, beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.
Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan, beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.
Gus Miek selain dikenal sebagai seorang ulama
besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh, beliau lebih menyukai da’wah di
kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti diskotik, club malam
dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang
mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir tiap malam beliau menyusuri
jalan-jalan di Jawa Timur keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan
tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit
pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang
terkenal adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa indonesia-nya pemikiran
jalan pintas.
Pernah diceritakan Suatu ketika Gus Miek
pergi ke diskotik dan di sana bertemu dengan Pengunjung yang sedang asyik
menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil sebotol
minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu dari mereka
mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek. ”Gus kenapa sampeyan ikut
Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh
Agama ?” lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak meminumnya …..!! aku hanya membuang
minuman itu kelaut…!”
Hal ini membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan, Gus miek angkat bicara “sampeyan semua ga percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..?” lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu juga mereka diberi Hidayah Oleh Alloh SWt untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Alloh kepada Gus Miek.
Hal ini membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan, Gus miek angkat bicara “sampeyan semua ga percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..?” lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu juga mereka diberi Hidayah Oleh Alloh SWt untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Alloh kepada Gus Miek.
Jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus Miek
sering kali mengenakan celana jeans dan kaos oblong. Tidak lupa, beliau selalu
mengenakan kaca mata hitam lantaran lantaran beliau sering menangis jika
melihat seseorang yang “masa depannya” suram dan tak beruntung di akhirat
kelak.
Ketika beliau berdakwah di Semarang tepatnya
di NIAC di Pelabuhan Tanjung Mas. Niac adalah surga perjudian bagi para
cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun keturunan, Gus Miek yang masuk
dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap permainan, sehingga para
cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang sangat besar. NIAC pun yang semula
menjadi surga perjudian menjadi neraka yang sangat menakutkan bagi para penjudi
dan penikmat maksiat.
Satu contoh lagi ketika Gus Miek
berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam Gus Miek masuk
kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu Gus Miek
langsung menuju waitres (pelayan minuman) beliau menepuk pundak perempuan
tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya, perempuan itu pun
mundur tapi terus di kejar oleh Gus miek sambil tetap meniupkan asap rokok
diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut mundur hingga terbaring di kamar
dengan penuh ketakutan, setelah kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak
lagi di club malam itu.
Pernah suatu ketika Gus Farid (anak KH.Ahamad
Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering
mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang Wanita ?
“Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam pandangan
mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja jadi jalan untuk syahwat tidak
ada” jawab Gus miek.
Pertanyaan kedua Gus Farid menayakan tentang
kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu dijalan maupun saat bertemu
dengan tamu…”Apabila aku bertemu orang dijalan atau tamu aku diberi
pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu
dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka aku memakai kaca
mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menagis“ jawab Gus Miek
Adanya sistem Dakwah yang dilakukan Gus miek
tidak bisa di contoh begitu saja karena resikonya sangat berat bagi mereka yang
Alim pun Sekaliber KH.Abdul Hamid (pasuruan) mengaku tidak sanggup melakukan
da’wak seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal Kh.Abdul Hamid juga seorang
waliyalloh.
GUS MIEK BERTEMU KH. MAS’UD
Ketika masih berusia 9 tahun, Gus Miek sowan ke rumah Gus Ud (KH. Mas’ud) Pagerwojo, Sidoarjo. Gus Ud adalah seorang tokoh kharismatik yang diyakini sebagai seorang wali. Dia sering dikunjungi olah sejumlah ulama untuk meminta doanya. Di rumah Gus Ud inilah untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu KH. Ahmad Siddiq, yang di kemudian hari menjadi orang kepercayaannya dan sekaligus besannya.
Ketika masih berusia 9 tahun, Gus Miek sowan ke rumah Gus Ud (KH. Mas’ud) Pagerwojo, Sidoarjo. Gus Ud adalah seorang tokoh kharismatik yang diyakini sebagai seorang wali. Dia sering dikunjungi olah sejumlah ulama untuk meminta doanya. Di rumah Gus Ud inilah untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu KH. Ahmad Siddiq, yang di kemudian hari menjadi orang kepercayaannya dan sekaligus besannya.
Saat itu, Kiai Ahmad Siddiq masih berusia 23
tahun, dan tengah menjadi sekretaris pribadi KH. Wahid Hasyim yang saat itu
menjabat sebagai menteri agama. Sebagaimana para ulama yang berkunjung ke
ndalem Gus Ud, kedatangan Kiai Ahmad Siddiq ke ndalem Gus Ud juga untuk
mengharapkan do’a dan dibacakan Al-Fatehah untuk keselamatan dan kesuksesan
hidupnya. Tetapi, Gus Ud menolak karena merasa ada yang lebih pantas membaca
Al-Fatehan. Gus Ud kemudian menunjuk Gus Miek yang saat itu tengah berada di
luar rumah. Gus Miek dengan terpaksa membacakan Al-Fatehah setelah diminta oleh
Gus Ud.
KH. Ahmad Siddiq, sebelum dekat dengan Gus
Miek, pernah menemui Gus Ud untuk bicara empat mata menanyakan tentang siapakah
Gus Miek itu. “Mbah, saya sowan karena ingin tahu Gus Miek itu siapa, kok
banyak orang besar seperti KH. Hamid menghormatinya?” Tanya KH. Ahmad Siddiq.
“Di sekitar tahun 1950-an, kamu datang ke rumahku meminta do’a. Aku menyuruh
seorang bocah untuk mendoakan kamu. Itulah Gus Miek. Jadi, siapa saja, termasuk
kamu, bisa berkumpul dengan Gus Miek itu seperti mendapatkan Lailatul Qodar,”
jawab Gus Ud.
Begitu Gus Ud selesai mengucapan kata
Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba turun dari langit-langit kamar lalu duduk di
antara keduanya. Sama sekali tidak terlihat bekas atap yang runtuh karena
dilewati Gus Miek. Setelah mengucapkan salam, Gus Miek kembali menghilang.
Suatu hari, Gus Miek tiba di Jember bersama
Syafi’i dan KH. Hamid Kajoran, mengendarai mobil Fiat 2300 milik Sekda Jember.
Sehabis Ashar, Gus Miek mengajak pergi ke Sidoarjo. Rombongan bertambah Mulyadi
dan Sunyoto. Tiba di Sidoarjo, Gus Miek mengajak istirahat di salah satu
masjid. Gus Miek hanya duduk di tengah masjid, sementara KH. Hamid Kajoran dan
Syafi’i tengah bersiap-siap menjalankan shalat jamak ta’khir (Magrib dan Isya).
Ketika Syafi’i iqomat, Gus Miek menyela,
“Mbah, Mbah, shalatnya nanti saja di Ampel.” KH. Hamid dan Syafi’i pun tidak
berani melanjudkan. Tiba-tiba, dri sebuah gang terlihat seorang anak laki-laki
keluar, sedang berjalan perlahan. Gus Miek memanggilnya.
“Mas, beri tahu Mbah Ud, ada Gus Hamim dari kediri,” kata Gus Miek kepada anak itu.
Anak itu lalu pergi ke rumah Mbah Ud. Tidak beberapa lama, Mbah Ud datang dengan dipapah dua orang santri.
“Masya Allah, Gus Hamim, sini ini Kauman ya,
Gus. Kaumnya orang-orang beriman ya, Gus. Ini masjid Kauman, Gus. Anda doakan
saya selamat ya, Gus,” teriak Mbah Ud sambil terus berjalan ke arah Gus Miek.
Ketika sudah dekat, Gus Miek dan Mbah Ud terlihat saling berebut untuk lebih
dulu menyalami dan mencium tangan. Kemudian Gus Miek mengajak semuanya ke
ruamah Mbah Ud. Tiba di rumah, Mbah Ud dan Gus Miek duduk bersila di atas
kursi, kemudian dengan lantang keduanya menyanyikan shalawat dengan tabuhan
tangan. Seperti orang kesurupan, keduanya terus bernyanyi dan memukul-mukul
tangan dan kaki sebagai musik iringan. Setelah puas, keduanya terdiam.
“Silakan, Gus, berdoa,” kata Mbah Ud kepada Gus Miek. Gus miek pun berdoa dan
Mbah Ud mengamini sambil menangis.
Di sepanjang perjalanan menuju ruamah Syafi’i
di Ampel, Sunyoto berbisik-bisik dengan Mulyadi. Keduanya penasaran dengan
kejadian yang baru saja mereka alam. Karena Mbah Ud Pagerwojo terkenal sebagai
wali dan khariqul ‘adah (di luar kebiasaan). Hampir semua orang di Jawa Timur
segan terhadapnya. “Mas, misalnya ada seorang camat yang kedatangan tamu, lalu
camat tersebut mempersilahkan tamunya dengan penuh hormat. Jika dilihat menurut
derajat kepangkatan, bisa jadi bahwa tamunya lebih tinggi pangkat dan
derajatnya”, kata Sunyoto kepada Mulyadi.
Mbah Ud adalah salah seorang tokoh di Jawa
Timur yang sangat disegani dan dihormati Gus Miek selain KH. Hamid Pasuruan.
Hampir pada setiap acara haulnya, Gus Miek selalu hadir sebagai wujud
penghormatan kepada orang yang sangat dicintainya itu.
Binatang Buaspun Takluk
Ketika Gus Miek baru mulai bisa merangkak, saat itu ibunya membawa ke kebun untuk mengumpulkan kayu bakar dan panen kelapa, bayi itu ditinggalkan sendirian di sisi kebun, tiba-tiba dari semak belukar muncul seekor harumau. Spontan sang ibu berlari menjauh dan lupa jika bayinya tertinggal. Begitu sadar, sang ibu kemudian berlari mencari anaknya. Tetapi, sesuatu yang luar biasa terjadi. Ibunya mendapati Gus Miek kecil sedang duduk berhadap-hadapan dengan sang harimau yang sedang menjilati kuku-kukunya seolah mengancam siapa saja yang hendak mendekati dan menyakiti calon Kyai Nyentrik ini.
Ketika Gus Miek baru mulai bisa merangkak, saat itu ibunya membawa ke kebun untuk mengumpulkan kayu bakar dan panen kelapa, bayi itu ditinggalkan sendirian di sisi kebun, tiba-tiba dari semak belukar muncul seekor harumau. Spontan sang ibu berlari menjauh dan lupa jika bayinya tertinggal. Begitu sadar, sang ibu kemudian berlari mencari anaknya. Tetapi, sesuatu yang luar biasa terjadi. Ibunya mendapati Gus Miek kecil sedang duduk berhadap-hadapan dengan sang harimau yang sedang menjilati kuku-kukunya seolah mengancam siapa saja yang hendak mendekati dan menyakiti calon Kyai Nyentrik ini.
Peristiwa ketertundukan binatang ini kemudian
berlanjut hingga Gus Miek dewasa. Di antara kejadian itu adalah Misteri Ikan
dan Burung Raksasa. Gus Miek yang sangat senang bermain di tepi sungai Brantas
dan menonton orang yang sedang memancing. Saat dirinya menonton orang sedang
memancing, saat itu banjir besar datang, Gus Miek tergelincir ke sungai dan
hilang tertelan gulungan pusaran air. Hingga beberapa jam, santri yang
ditugaskan menjaga Gus Miek, mencari di sepanjang pinggiran sungai dengan
harapan Gus Miek akan tersangkut atau bisa berenang ke daratan. Tetapi, Gus
Miek justru muncul di tengah sungai, berdiri dengan air hanya sebatas mata kaki
karena Gus Miek berdiri di atas punggung seekor ikan yang sangat besar, yang
menurut Gus Miek adalah piaraan gurunya.
Pernah suatu hari, ketika ikut memancing,
kail Gus Miek dimakan ikan yang sangat besar. Saking kuatnya tenaga ikan itu,
Gus Miek tercebur ke sungai dan tenggelam. Pengasuhnya menjadi kalang kabut
karena tak ada orang yang bisa menolong. Hari masih pagi sehingga masih sepi
dari orang-orang yang memancing. Hilir mudik pengasuhnya itu mencari Gus Miek
di pinggir sungai dengan harapan Gus Miek terlihat timbul kembali atau mungkin tersangkut
dahan pohon. Tetapi, setelah hampir dua jam tubuh Gus Miek belum juga dilihatnya,
membuat pengasuh itu putus asa dan menyerah.
Karena ketakutan mendapat murka dari KH.
Djazuli dan Ibu Nyai Rodyiah, akhirnya pengasuh itu kembali ke pondok,
membereskan semua bajunya, memasukkan ke dalam tas dan pulang tanpa pamit.
Dalam cerita yang disampaikan Gus Miek kepada pengikutnya, ternyata Gus Miek
bertemu gurunya. Ikan tersebut adalah piaraan gurunya, yang memberitahu bahwa
Gus Miek dipanggil gurunya. Akhirnya, ikan itu membawa Gus Miek menghadap
gurunya yaitu Nabi Khidir. Pertemuan itu menurut Gus Miek hanya berlangsung
selama lima menit. Tetapi, kenyataannya Gus Miek naik ke daratan dan kembali ke
pondok sudah pukul empat sore. Beberapa bulan kemudian, setelah mengetahui
bahwa Gus Miek tidak apa-apa, akhirnya sang pengasuh berani datang kembali ke
pondok untuk melanjutkan menimbah ilmu.
Kisah lain, suatu malam di Ploso, Gus Miek
mengajak Afifudin untuk menemaninya memancing di sungai yang terletak di
sebelah timur pondok Al Falah. Kali ini, Gus Miek tidak membawa pancing, tetapi
beliau membawa cundik. Setelah beberapa lama menunggu, hujan mulai turun dan
semakin lama semakin deras. Tetapi, Gus Miek tetap bertahan menunggu cundiknya
beroleh ikan meski air Sungai Brantas telah meluap.
Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gus Miek
berdiri sambil memegangi gagang cundik dan berusaha menariknya ke atas. Akan
tetapi, Gus Miek ternyata terseret masuk ke dalam sungai. Afifudin spontan
terjun ke sungai untuk menolong Gus Miek. Oleh Afifudin, sambil berenang, Gus
Miek ditarik ke arah kumpulan pohon bambu yang roboh karena longsor. Setelah
Gus Miek berpegangan pada bambu itu, Afifudin naik ke daratan untuk kemudian
membantu Gus Miek naik ke daratan. Sesampainya di darat, Gus Miek berkata “Fif,
ini kamu yang terakhir kali menemaniku memancing. Kamu telah tujuh kali
menemaniku dan kamu telah bertemu dengan guruku.“ Afifudin hanya diam saja.
Keduanya lalu kembali kepondok dan waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.
Gus Miek Kini Telah Pergi
Kini Gus Miek telah tinggal nama dan mungkin kisah keyentrikannya dengan berbagai hikmah. Tentu saja bagi mereka yang mau mengambil hikmah dibalik “suri tauladan” semasa hidupnya.Tepat, Gus Miek telah meninggalkan kita pada tanggal 5 juni tahun 1993. Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kyai nyeleneh dan unik itu akhirnya meninggalkan dunia, bertemu dengan yang Maha dirindukannya serta hidup abadi di sisi Nya. Adakah kita telah mengambil hikma dan ibroh dari seorang Gus Miek atau Kiai Hamim Jazuli.*****
Kini Gus Miek telah tinggal nama dan mungkin kisah keyentrikannya dengan berbagai hikmah. Tentu saja bagi mereka yang mau mengambil hikmah dibalik “suri tauladan” semasa hidupnya.Tepat, Gus Miek telah meninggalkan kita pada tanggal 5 juni tahun 1993. Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kyai nyeleneh dan unik itu akhirnya meninggalkan dunia, bertemu dengan yang Maha dirindukannya serta hidup abadi di sisi Nya. Adakah kita telah mengambil hikma dan ibroh dari seorang Gus Miek atau Kiai Hamim Jazuli.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar