Minggu, 14 September 2008

Partai Lambang Beringin & Banteng Layak Dikubur

Jurnalis Independen: Kelangkaan dan melambungnya harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dalam negeri, berakibat menyengsarakan rakyat. Selain itu kemelut BBM, menguak beberapa fakta yang sangat memprihatinkan. Selain menimbulkan ketidak percayaan kalangan DPR pada pemerintah, juga menimbulkan tanda tanya besar masyarakat pada kebijakan partai politik.


Politikus negeri ini terutama dari partai besar seperti Golkar dan PDIP, perlu mendapatkan tekanan dari masyarakat. Hal itu perlu dilakukan sehubungan dengan kebijakan mereka kala memimpin pemerintahan. Sejak tumbangnya rezim Orde Baru, yang kebijakan ekonominya tidak berorientasi kepada masyarakat negeri sendiri, karena kebijakan ekonomi Orde Barulah negeri ini menjadi negeri pasar yang hanya kebagian limbah dan kemiskinan.

Ironisnya, kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah jaman reformasi yang ternyata tidak dikehendaki oleh banyak politisi kawakan, membuat negeri ini terpuruk dalam hamper semua bidang kehidupan. Terbukti dengan ketika pemerintah dipimpin oleh politisi dari PDIP.

Dalam pemerintahannya, Megawati, justru menjual beberapa asset negara yang sangat strategis, seperti Indosat dan Tangker Pertamina. Selain itu, kebijakan energi yang diterapkan justru menghasilkan kebijakan penjualan LPG cair dengan harga $ 2,5 per barel kepada pemerintah Cina. Padahal, harga LPG cair internasional, mencapai $ 10/barel. Tragedi itu dilakukan oleh pemerintah Megawati yang pemimpin partai PDIP pada awal pemerintahannya th 2002.

Kini, kebijakan itu menjadi bumerang bagi rakyat, manakala harga BBM internasional melambung tinggi. Padahal LPG cair banyak melimpah ruah di negeri ini, namun sayangnya justru dijual. Selain berlimpah, LPG cair juga tergolong bahan bakar yang aman untuk dipakai sebagai bahan bakar rumahan.

Penjualan LPG cair itu, terungkap dari mulut Yusuf Kalla, wakil Presiden. Ketua Umum Partai Beringin ini meresa kesal karena mendapat cap buruk dari rakyat. Cemooh gagalnya duet pemerintahan Partai Demokrat dan Golkar ini, dipicu melambungnya harga BBM yang mematikan sumber hidup rakyat kecil.
Rakyat kecil yang harusnya menerima subsidi minyak, menjadi kalangkabut tatkala subsidi BBM dicabut secara perlahan. Konversi minyak tanah ke gas LPG yang juga langka barangnya dan harganya juga turut melambung, menjadikan kehidupan kalangan bawah kian sekarat.

Kebiasaan pemerintah Indonesia menjual murah hasil tambang patut dicurigai. Bahkan sudah selayaknya diselidiki. Tidak cukup dengan mempercayakan kepada DPR RI dengan mengadakan hak angket. Tetapi hukum harus dikedepankan. Yaitu dengan menghukum mati pengambil keputusan ekonomi yang tidak pro rakyat. Selain itu, mengusir keluarga pejabat korup ke luar negeri dengan sebelumnya merampas seluruh hartanya untuk negara dan digunakan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat yang terus digerus oleh kemiskinan yang tersistem.

Penggerusan masyarakat miskin menjadi bertambah miskin dan tak berdaya oleh penguasa yang dipilih secara demokrasi oleh rakyat, hendaknya membuka mata masyarakat Indonesia. Penguasa yang terpilih dari Geng (Partai Politik), tidaklah serta merta menjadikan kehidupan berbangsa dan bertanah air menjadi lebih baik. Apalagi mau memikirkan masyarakat luas.

Dari kalangan perlemen sendiri, ternyata tidak mampu memberikan alternatif yang lebih baik bagi jalannya pemerintahan terpilih. Mereka yang kebanyakan diusung oleg Geng-Geng mereka, ketika menduduki kursi kekuasaan, lebih banyak berorientasi pada pribadi dan Gengnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya keterlibatan mereka dengan jaringan koruptor kakap rezim Orde Baru yang diungkap oleh KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi).

KPK sendiri, tidak mampu menemukan dan mengungkap keterlibatan koruptor kroni SBY-Kalla yang sedang berkuasa.

Sejak rezim Orde Baru berkuasa, kebijakan negeri, terutama kebijakan ekonomi negeri ini tak pernah mandiri. Tak satupun kebijakan dihasilkan oleh pemikir anak bangsa yang orisinil berdasarkan amanat Undang-Undang. Bahkan, banyak UUD yang diamandemen hanya untuk memenuhi keinginan kapitalis yang asing.

Semangat kapitalis adalah bertolak belakang dengan semangat gotong royong. Sebab gotong royong meminimkan beban ekonomi dan biaya siluman lainnya. Banyaknya pejabat yang merangkap menjadi calo proyek, menyebabkan negeri ini menjadi pasar terang yang penuh dengan "sampah". Politikus sampah, negarawan sampah, pejabat sampah, pengusaha sampah, dan masih banyak sampah-sampah yang bergelimang dosa berkuasa di negeri ini.

Akhirnya, sebelum terlambat negeri ini menjadi "negeri sampah", sudah mendesak untuk kita menyadari dan mengambil langkah bijaksana, arif dan adil. Masyarakat harus menimbang semua partai, sistem pemilu, regenerasi pemimpin disemua bidang. Kejelasan track record setiap pemimpin harus terpublikasi oleh media independent yang steril dari berbagai kepentingan kecuali demi bangsa, Negara dan masyarakat Indonesia.


Pertanyaannya, mampukah masyarakat yang haus dan kelaparan menepis bujuk rayu Politikus sampah, negarawan sampah, pejabat sampah, pengusaha sampah, dengan segudang rupiah hasil dari KKN? Mampukah kita mengubur partai-partai yang sudah terbukti memimpin negeri ini yang ternyata hanya menipu dan menyengsarakan rakyat sepanjang kekuasaannya? Seperti yang sudah terlihat, terbukti dan dijalankan oleh Golkar dan PDIP!@JI

Tidak ada komentar: