Diskusi Anak-Anak Tuhan
Setiap manusia, memiliki tiga main stream dasar. Yaitu Bibir (lidah), Hati dan Otak. Ketiga main stream manusia ini membentuk karakter manusia. Namun ketiganya terkadang saling berlawanan satu dengan yang lainnya.Perlawanan itu, sering kita rasakan. Namun amat jarang kita tanggapi secara semestinya.
Ketiga mahkluq yang tergolong istimewa ini, memiliki pengaruh sangat dominan. Ketiganya juga merupakan dalang (konseptor) semua perbuatan manusia. Namun ketiganya tak pernah mau dipersalahkan oleh siapapun.
Hal ini terbukti dengan adanya dialog yang mereka lakukan. Ketiga mahkluq saling menyalahkan dan membenarkan diri sendiri.
Awal dialog itu dimulai dari manusia bernama Ngajidin. Ngajidin adalah seorang remaja lancur. Ia berusia, belum genap 20 tahun. Seorang remaja muda yatim piatu. Ia hidup dan besar di sebuah pondok, di daerah Kediri, Jawa Timur.
Beberapa bulan terakhir, ia pergi meninggalkan pondok tanpa sepengetahuan pengawas pondok dan izin dari Wak Yai. Tidak ada seorang temannya yang ia pamiti. Maklum ketika itu, Wak Yai, santri-santri senior dan santri lainnya sedang sibuk. Sebab ada salah seorang alumnus pondok, mencalonkan diri menjadi calon gubernur. Karenanya, Kyai dan santri pondok dimana Ngajidin menuntut ilmu sedang sibuk "membantu" persiapan pemilu daerah itu.
Apa yang terjadi di pondok Ngajidin merupakan kesibukan yang sangat luar biasa. Kesibukan itu juga terjadi pada Otak Ngajidin. Hati Ngajidin, juga tak kalah sibuknya. Sedangkan bibirnya terus mengoceh tak karuan menanggapi tingkah "pondoknya" menyambut pilkada.
Din, begitu teriak Fikri (Otak). "Ngapain kamu duduk termangu disitu". Ketika itu Ngajidin sedang duduk dibawa beduk masjid pondoknya. " Lebih baik, kamu suruh kakimu melangkah pergi dari tempat ini", kata fikri lagi.
Hati Ngajidin, tidak bergeming sedikitpun, mendengar perintah Fikri. Namun kaki Ngajidin, setapak demi setapak melangkah pergi meninggalkan area pondok, yang berubah menjadi pasar malam. Sedangkan bibirnya (lidah), terus berceloteh menyayangkan penghuni pondok yang turut larut dalam hiruk pikuk pemilihan calon gubernur.
Perjalanan meninggalkan pondok, tanpa disadarinya, telah membawa Ngajidin di sebuah tempat bernama terminal.
Dari singgasananya, Fikri terbangun dari tidurnya. Ia tersentak kaget ketika menyaksikan Ngajidin telah berada di sebuah terminal kota Surabaya. Terminal itu bernama Bungurasih. Kesadaran Fikri, membuat ia merasakan desahan nafas Tyas (Hati). Nafas Tyas yang lembut dan hangat biasanya melenakan Fikri.
Anehnya, kali ini nafas Tyas dirasakan Fikri panasnya agak tinggi. Hal ini membuat Fikri bertanya kepada Tyas. "Tyas ada apa denganmu"? Tanya Fikri. Tiba-tiba hawa panas keluar dari badan Tyas, mendahului Jawabannya. Dengan suara nyaring Tyas membentak Fikri. " Apa kamu tidak tahu, Ngajidin sudah berjalan dua hari dua malam tanpa berhenti. Lagi pula, semenjak berjalan keluar pondok, tak sebutir nasipun ia telan", kata Tyas. Semprotan Tyas disambung oleh Totok (Tutuk = Bibir). " Ya, itulah Fikri. Setiap ada kesempatan selalu membius Ngajidin. Sehingga ia tidak menghiraukan aku. Dua hari, dua malam aku tidak diberikan makanan dan minuman", kata Totok.
Ngajidin duduk, termangu sambil bersandar pada sebuah tiang bangunan terminal. Pagi itu, ia merasakan kelelahan yang amat sangat. Selain itu, perutnya yang keroncongan minta diisi makanan atau sekedar seteguk air. Sayangnya, dirinya tidak memiliki uang sepeserpun untuk membelinya. Akhirnya, ia hanya duduk dilantai sambil bersandar menikmati pemandangan hilir mudiknya manusia sambil menjinjing tas maupun kopor.
Tanpa sepengetahuan Fikri, rupanya Tyas dan Totok telah bersekongkol untuk mendampratnya. Mereka tengah merencanakan sesuatu. Menyadari hal itu, Fikri bangkit berdiri sambil berkacak pinggang dan berkata. " Hai, kamu Totok dan Tyas. Aku tak pernah membius Ngajidin. Aku hanya tertidur. Dan ketika tidur itulah, Ngajidin tidak merasakan apapun. Rasa haus, lapar ataupun capek tak terasakan olehnya. Bila hal itu terjadi hingga 2 hari sekalipun", kata Fikri. "Sebenarnya yang salah adalah kalian berdua", tegas Fikri.
Merasa disalahkan, mereka berdua, Tyas maupun Totok, tak mau diam saja. Mereka pun membela diri. " Koq malah aku yang disalahkan", tukas Totok. " Coba jelaskan dimana salahku dalam masalah ini", sambung Tyas.
"Totok Bayu Samudra dan kau Ratna Ning Tyas, dengarkan penjelasanku, kata Fikri Nur Rahmat. "Sejak pertama kita bertemu dan saling mengenal, kita telah sepakat untuk mengajak Ngajidin menuju jalan yang lurus. Menyelamatkan dirinya dari rongrongan yang bermaksud menjerumuskan Ngajidin menjadikan dirinya seperti hewan".
Mahkluq yang namanya hewan, bukankah kalian berdua sudah tahu! Betapa bejadnya mereka. Pekerjaan mereka hanya berebut makanan dan berebut lawan jenisnya saja. Dan itu dilakukan sepanjang hidupnya, tanpa mengenal rasa malu dan belas kasihan! Dan kalian bersekongkol hendak menjerumuskan Ngajidin kederajad lebih rendah, yaitu hewan.
Apa kalian tidak kasihan dengan Ngajidin. Selain itu, kalian juga menginginkan dirinya tetap berdiam di pondok. Bila aku biarkan ia berada disana, Ngajidin akan menjadi boneka. Ia akan diperalat oleh yang lainnya, agar supaya dirinya mau membantu mantan santri mendapatkan jabatan sebagai seorang gubernur. Apakah kalian tidak mengerti, bila sebenarnya mantan santri Wak Yai itu, sebenarnya, hanya memperalat Wak Yai dan santrinya untuk mengahantarkan dirinya memenuhi keinginannya menjadi gubernur. Bila sudah jadi, tidak mungkin mereka mau menurut apa yang menjadi kehendak Wak Yai. Ia akan lebih menurut kepada majikan barunya, yaitu para pengusaha, seperti Alim markus dan sejenisnya.
Manusia yang menjadi alat seseorang agar bisa menduduki jabatan tertentu, akan memperoleh getahnya. Orang seperti itu juga menerima bagian dosa dengan menempatkan seseorang menjadi pengayom masyarakat. Padahal, perbuatannya, justru sebaliknya malah menindas masyarakat lainnya", jelas Nur Fikri.
"Kamu jangan memutarbalikkan fakta", kata Tyas menyangga penjelasan Fikri. Bukankah selama ini, yang membuat manusia berbuat seperti itu atas perintahmu? Bukankah segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia atas perintahmu? Aku hanya mengamini apa yang menjadi keinginan dan perintahmu semata. Bukankah seperti itulah yang terjadi pada manusia lainnya, seperti Ngajidin, sambung Tyas.
Totok pun segera menimpali sanggahan yang dilakukan oleh Tyas. " Aku ini kan hanya pion, hanya pesuruh", kata Totok dengan nada pasrah. "Aku hanya makan atau minum, itu pun karena perintahmu. Bukan atas kemauanku sendiri", katanya lagi.
Tidak bisa, aku hanya memerintahkan dirimu untuk makan secukupnya. Tapi, seringkali engkau makan minum berlebihan. Terkadang engkau makan barang yang bukan menjadi hak Ngajidin. Juga kamu minum barang yang terlarang seperti tuak, alkohol, bahkan kamu juga makan bubuk putih yang membuat aku lemah dan bahkan mati. Masak aku menyuruh engkau makan yang membuat diriku mati? Apakah itu mungkin? Tanya Fikri. Oleh karena itu, hai Totok Samudra. Engkau harus menyadari. Terkadang ada perintah yang bukan dariku. Tetapi itu tidak pernah engkau ketahui, apalagi memahami. Perintah itu datang dari Tyas. Tyaslah yang memerintahkan dirimu makan minum tanpa ada batasan, jelas Fikri. Totok Samudra, terdiam dan menatap tajam kepada Tyas.
Tyas yang tersudut bangkit berdiri. Ia tak mau kalah oleh tingkah dan diplomasi Fikri.
"Hai Fikri", kata Tyas dengan suara merdu seperti seruling. " Kamu jangan lempar batu sembunyi tangan", kata Tyas lagi. Aku berbuat seperti itu, untuk melindungi dan menjaga hidup Ngajidin. Lihatlah, ia duduk dan tertidur lemas karena kelaparan dan kehausan, pakah engkau tidak merasa iba dengan pemandangan ini? Jelas Tyas.
Karena kelelahan, haus dan kelaparan, Ngajidin tertidur dilantai terminal. Rasa dingin dan lapar mengharuskan dirinya memeluk lututnya sendiri. Ngajidin, tidur setengah melingkar. Tubuhnya ditekuk sedemikian rupa. Mirip tubuh hewan bernama trenggiling yang lari menyelamatkan diri ketika dikejar musuh.
Perdebatan antara Fikri, Totok dan Tyas, tidak menjadikan rasa kantuknya hilang. Bahkan ia justru tertidur pulas. Seakan tak terjadi apa-apa dengan dirinya. Rasa lapar dan haus pun, tak membuat serta merta tangannya menyambar tas, makanan manusia yang lalulalang di terminal itu. Ngajidin bukan tipe orang yang mudah menyerah dan merebut hak orang lain. Tidak seperti orang kebanyakkan.
Seiring dengan dengkuran suara perut Ngajidin, Totok merasa ingin segera menyuap sesuatu dan memasukkannya kemulut Ngajidin yang mengecap-ecap. Disisi lain, Tyas semakin mendongkol dan mengeluarkan hawa panas dari tubuhnya. Sedangkan tubuhnya sendiri semakin berwarna merah.
Fikri! bentak Tyas pada Fikri. " Apakah kamu ingin Ngajidin mati lemas.? Dengan membiarkannya tanpa makan dan minum? Biarlah aku berbuat sesuatu untuk Ngajidin. Agar ia tidak kelaparan dan kehausan, kata Tyas setengah memohon kepada Fikri.
Mata Fikri melotot. Saking lebarnya ia memelototkan matanya, mata itu hampir-hampir copot keluar. Seiring dengan apa yang dialami Fikri, kepala Ngajidin mengeluarkan uap dingin berwarna putih. Ngajidin nampak menggigil kedinginan. Keadaan Ngajidin yang seperti itu, tak luput dari perhatian orang yang lalu lalang di terminal Bungurasih.
Tak jarang orang yang menyaksikan kondisi Ngajidin menjadi iba. Selain rasa dingin yang membuat tubuhnya terlihat pucat, pakaian kumel Ngajidin menambah nilai kekerean. Melihat itu, banyak diantara orang-orang tersebut melemparkan uang recehan. Bahkan ada juga yang menyempatkan merogoh kantungnya dan mengeluarkan puluhan ribu rupiah. Mereka melemparkannya ke samping tubuh Ngajidin.
Lihatlah!, kata Fikri. Apa yang dilakukan manusia ketika melihat kondisi Ngajidin. Rasa iba! Rasa iba, memunculkan rasa sosial. Hal seperti itu pasti dilakukan oleh manusia. Namun, hal tersebut akan menjadi sebaliknya. Bila si manusia tersebut menuruti kehendakmu, jelas Fikri sambil menatap tajam kepada Totok dan Tyas bergantian.
"Apa maksudmu", tanya Totok dan Tyas hampir bersamaan. Begini, kata Fikri berusaha menjelaskan. Manusia itu dalam hidupnya, hendaknya bisa menguasai diri. "Bahkan mematikan diri", kata Fikri lagi.
Nah, kalau manusia tersebut, katakanlah seperti apa yang sedang dilakukan oleh Ngajidin. Kalian berdua harusnya, membantunya, bukan malah sebaliknya. Menentang kemauan manusia seperti Ngajidin. Dengan melakukan tipu daya dengan berbagai cara.
Kalian membanding-bandingkan keadaan Ngajidin dengan manusia lainnya. Padahal manusia-manusia yang kalian jadikan pembanding, adalah manusia-manusia lemah yang mudah dan telah kalian perdaya.
Stop, stop ocehanmu, Fik, kata Totok menghentikan penuturan Fikri. " Apa nggak keliru apa yang kamu bicarakan. Selama ini, siapa yang menipu Ngajidin, kami berdua atau dirimu yang pongah, congkak, sombong tak berperasaan! Semenjak Ngajidin pergi meninggalkan pondok yang engkau katakan telah keluar dari pakem, Ngajidin tak menelan apapun selain ludahnya sendiri", kata Totok. Dus, dengan demikian, engkaulah yang menyiksa dirinya, sehingga ia mengalami hal seperti ini. "Ia hidup terhina dan terlantar di sebuah terminal", cibir Tyas menimpali sanggahan Totok kepada Fikri.
Ngajidin, menguap. Kemudian meregangkan tubuhnya, seolah meluruskan otot-ototnya yang kaku. Beberapa saat kemudian ia duduk, menyapu sekelilingnya dengan pandangan mata yang masih terlihat lelah dan ngantuk.
Saat ia menoleh kesebelah kiri tubuhnya, tangannya menyentuh sesuatu yang menghendaki pandangan matanya tertuju kearah dimana tangannya merasakan bulatan dingin. Setelah matanya menemukan apa yang dirasakan oleh tangannya tadi, iapun tertegun beberapa saat. Di sebelah kanan dirinya, dimana ia duduk didapati puluhan keping uang recehan dan beberapa lembar uang puluhan ribu rupiah.
Ia pun termenung beberapa saat. Disekitarnya tak terlihat ada orang. Maka diberesinya uang yang berceceran itu. Setelah itu, ia berdiri melangkah sambil menggenggam selembar uang puluhan ribu. Sedangkan lainnya ia masukan kedalam buntalan sarung yang berisi dua potong pakaian yang dibawanya dari pondok. Pakaian itu sebagai ganti dalam pengembaraannya.
Dengan selembar uang di tangan, Ngajidin menuju ke sebuah warung dan memesan segelas kopi dan memakan sepotong pisang gorong. Ia duduk di sebuah kursi salah satu restorasi yang ada di terminal.***
Serial Ngajidin
Bertemu Tuhan Di Bungkul
Ngajidin menyeruput kopi panasnya sedikit demi sedikit. Rokok ketengan bermerk 76, dihisapnya kuat-kuat dan dihembuskannya perlahan dari mulut dan lubang hidungnya. Puluhan pasang mata, memandang penuh selidik dan tanda tanya. Mungkin dalam hati, pemilik beberapa pasang mata itu bergumam dalam hati. Baru minum kopi dan menghisap rokok 76, sudah demikian nikmatnya. Apalagi bila ada seorang cewek cantik yang mendampingi? Pemuda ini tentu merasa sebagai pemilik dunia. Demikian piker banyak orang yang ada disekelilingnya.
Pemuda lecek ini, bukan tak tahu pikiran yang menggerayangi beberapa orang yang juga sedang menikmati pelayanan kafetaria terminal itu. Namun, dasar Ngajidin, selalu cuek bebek dengan keadaan sekelilingnya yang sekiranya hanya menimbulkan prasangka buruk bagi dirinya. Hingga, beberapa saat kemudian, ada mulut usul yang bertanya kepadanya. Bade tindak pundit mas? (mau pergi kemana mas?)
Ngajidin melihat kearah pemilik suara, ternyata adalah seorang kondektur Bus Antar Kota. "Saya bade tindak Bungkul, mas," jawab Ngajidin sekenanya. "Mau ziarah toh? Iya, jawab Ngajidin lagi. "Kalau mau ke Taman Bungkul, saya mesti naik mobil yang mana mas ya"? Tanya Ngajidin. " Sampean naik Bus Kota aja, yang jurusan Perak. Itu busnya, yang ada tulisannya P4 jurusan perak lewat Tunjungan", kata mbak-mbak penjaga Café Been terminal Bungurasih, menimpali tanya jawab Ngajidin dengan kondektur Bus Antar Kota.
Beberapa saat kemudian, Ngajidin telah bergelantungan di dalam Bus Kota yang penuh sesak. Bus itu membawanya menuju Taman Bungkul yang berada di tengah Kota Surabaya. Ya, namanya juga Bus Kota. Sudah menjadi kelaziman di jaman yang katanya modern dan maju ini. Ya seperti inilah, bus kota di negeri ini. Negeri yang gemah ripa lo jinawi. Bukan lautan tapi kolam susu, tongkat dan batu jadi tanaman. Tapi nyatanya apa? Semua yang namanya kendaraan umum, kendaraannya kaum kere, ya pasti kumuh, jelek, polutif, penuh sesak selain itu pasti tidak aman.
Lain dengan kendaraan peribadi! Ngajidin melihat, kendaraan pribadi yang kebetulan sedang melintas di jalur sebelah kanan. Ia membandingkan dengan bus yang ia tumpangi yang sekali-kali mengeluarkan asap hitam dengan mobil-mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Mobil-mobil itu terlihat mulus, elegan dan mewah, sedangkan orang yang duduk didalamnya terlihat berkepala botak, kalau tidak yang terlihat berkulit kuning, bila wanita terlihat sangat mulus dan cantik.
Itu kalau kaca mobilnya terang. Kalau mobilnya berkaca gelap, Ngajidin tidak mengetahui, apakah yang duduk didalam mobil itu pejabat, maling, koroptor, perampok, manusia, setan berkumis atau setan berkepala botak, ia tidak mengetahuinya. Yang jelas, sepertinya hanya mobil dan motor yang tidak mengeluarkan polusi lah yang layak dan pantas melewati jalanan ini. Sedangkan angkutan umum yang ditumpanginya, seharusnya sudah masuk mesium atau pabrik untuk didaur ulang.
Keruwetan fikir dan hati Ngajidin mengarahkan langkah kakinya menuju Taman Bungkul. Sesuai pelajaran sekolah yang ia dapat dari guru sejarahnya, bahwa Sunan Bungkul merupakan seorang "Tokoh Tua Sebelum Jaman Wali Sembilan Tanah Jawa". Entah apa yang menggerakkan hatinya sehingga dirinya memilih tempat itu sebagai pelampiasan kegundahan hati. Yang jelas, bila dibandingkan dengan tempat seperti Sunan Ampel, mengingat tempat Sunan Bungkul terasa lebih menyejukkan jiwanya.
Ngajidin memang belum pernah melakukan ziarah ke semua makam, petilasan Sembilan Wali. Tetapi ia pernah "melihat makam Sunan Giri dan Malik Ibrahim di Gresik. Dirinya juga pernah bermunajat kepada Penciptanya di Sunan Bonang yang terletak di dekat alun-alun Tuban, Jatim. Bahkan ia pernah menginap di Sunan Drajat, Lamongan selama dua hari.
Sesampai di depan Taman Bungkul bus yang ditumpanginya berhenti, ia pun segera turun dan menyeberang untuk segera memeluk hawa sejuk pelataran Bungkul. Di pelataran itu, ia menyaksikan banyak pemandangan yang mengisyaratkan akan kebesaran Sang Pencipta.
Dua puluh tahun lalu, yang disebut Taman Bungkul, tidak seperti yang ia saksikan sekarang ini. Dulu, tempat itu lengang dan berkesan magis. Walau saat itu, ketika ia dating ke tempat itu masih berusia beberapa tahun. Kini tempat itu bak pasar. Ramai oleh banyak pengunjung, baik tua, muda laki-perempuan dengan mengenakan pakaian yang menandakan jamannya sendiri. Tetapi juga tak sedikit oaring yang mengenakan pakaian spiritual. Ya, pakaian yang dianggap menyiratkan jiwa spiritual pemakainya. Di sekeliling taman, menjadi bagian tempat parker kendaraan yang rata-rata kendaraan roda dua. Sedangkan kendaraan roda empat, diparkir dibagian depan rumah sakit milik angkatan udara. Namun semua itu, tak mengurangi nuansa sejuk yang dirasakan jiwanya.
Segera Ngajidin melangkahkan kakinya menyusuri jalanan yang melingkari Taman Bungkul. Sambil berjalan mengitari taman, Ngajidin memberikan ucapan salam kepada penghuni makam Taman Bungkul, walau hanya didalam hati. " Assalammualina ya ahli kubur, khusushon Sunan Bungku", katanya dalam hati. Setelah itu ia menuju ke sebuah kedai minuman memesan secangkir kopi pahit dan sebatang rokok favoritnya.
Ia sengaja tidak langsung memasuki areal pemakaman. Dirinya ingin mendapatkan kejelasan tentang apa yang pernah ia rasakan selama ini, yaitu apakah kedatangannya itu atas "undangan" dari yang empunya tempat? Dirinya perlu mendapatkan jawaban sebelum ia memasuki "rumah" Sunan Bungkul yang dikenal waskita itu.
Sebelum memutuskan keluar pondok yang terletak di kota Kediri, yang kebetulan saat itu penghuni pondoknya sedang dihinggapi demam Pilkada, Ngajidin telah mendapatkan panggilan hati untuk melakukan ziarah ke Tamn Bungkul. Karenanya, momen itu dijadikan Ngajidin sebagai momen untuk meninggalkan pondok dan memenuhi keinginan hatinya. Walau begitu, dirinya masih belum merasa yakin. Bahwa keinginan itu tidak keluar dari keinginan hati atau nafsunya sendiri. Sebab selama ini ia di pondoknya, tidak pernah mendapatkan pengajaran apapun. Dirinya hanya diberikan tugas oleh Wak Yai untuk mengisi air dan memenuhi setiap kolam yang dijadikan sebagai tempat wudhu dan tempat mandi para santri. Walau ia sudah mondok lebih dari 4 tahun.
Sejenak setelah memesan kopi dan rokok, Ngajidin duduk di bangku kayu kedai. Sebelumnya, ia membuka dan memasukkan songkok bulat berwarna putih yang ia pakai kedalam saku celana yang hanya sepanjang betis. Sambil menikmati rokok dan kopi, ia menyaksikan pernak pernik Taman Bungkul. Dirinya melihat beberapa pemuda-pemudi seusianya, sedang bermain papan luncur. Tanpa sadar, dirinya menghitung kumpulan pemuda yang begitu riang bermain dengan mengunakan papan luncur itu.
Ada enam orang pemuda. Dua perempuan dan empat lelaki. Dua pemudi itu menggenakan celana berwarna gelap ketat sepenjang dengkul. T-Shirt berwarna hitam, selain ketat, juga hanya sebatas pinggang. Seolah si pemakai sengaja memamerkan bentuk tubuhnya. Terutama bagian pinggul yang nampak ehem… Sedangkan yang Empat pemuda berpakaian layaknya orang kota. Ada yang memakai kalung, gelang dan dua orang mengenakan anting ditelinga bagian kirinya.
Dikedai itu, Ngajidin duduk membelakangi arah pintu masuk areal pemakaman. Tampak olehnya dari arah jalanan rombongan orang tua, muda, besar maupun kecil memasuki pelataran dan langsung menuju areal pemakaman. Pakaian mereka serba putih sengan songkok bulat berwarna putih pula. Mereka bergegas menuju areal pemakaman Sunan Bungkul yang berada di belakang sebelah kanan tempatnya duduk. Tampaknya rombongan itu dari luar kota. Entah dari mana, ia tidak peduli. Yang sedang ia pikirkan, ketika rombongan itu memasuki areal pemakaman, adalah begitu kontras. Kekontrasan itu, bila ia membandingkan antara pemuda yang sedang bermain papan luncur dengan rombongan yang baru datang tersebut. Yang satu datang untuk "bermain" dengan mengenakan pakaian modern. Sedangkan disisi lain ada rombongan yang datang tentu juga bisa disebut sedang "bermain".
Selain kedua kelompok itu, ada juga kelompok lain yang membawa alat-alat musik menghantarkan lagu dan syair. Di pelataran sebelah barat, juga tidak sedikit pemuda-pemudi melakukan aktifitas "layaknya pemuda". Bahkan ada yang sedang bermain bola dan bercengkrama. Pendeknya di tempat itu tergambar "Allahu Akbar". Yaitu, salah satu sifat Sang pencipta yang selama ini lepas dari perhatiannya.
Ya, bukankah semua apa yang terhampar didepannya, sebenarnya merupakan wujud dari kebesaran Nya? Baik itu yang terekam lewat panca indra atau tidak. Mungkin, selama ini apa yang terlihat seperti yang ada di Bungkul, merupakan sebuah kontradiksi. Tetapi bagi indra telah beriman, hal itu merupakan sebagian dari wujud af’al Allah.
Dan di Taman Bungkul itu Ngajidin juga dapat melihat akan Sifat Allah. Bagaimana tidak, apa saja yang tidak mendapatkan kasih sayang dan rezeki dari Nya? Ada orang berjualan bermacam-macam barang dagangan. Semuanya laku dan banyak dikunjungi oleh pembeli. Sedangkan para pemuda dengan pakaian Hypis, rambut gimbal dengan telinga ditindik sebelah, juga mendapatkan bagiannya dengan menjadi tukang parkir. Dan para pengamen yang tampak "agak sopan". Dan yang jelas, lebih ganteng dari dirinya, juga mendapatkan daun yang tidak sedikit. Sikap mereka semua terkesan bersahabat, bila dibandingkan dengan yang berada di tempat lain. Hal ini menunjukkan kepada dirinya, bahwa Tuhan menampakkan "Diri Nya" melewati sebuah lubang bernama Sifat Nya. Di Taman Bungkul itulah ia baru bisa melihat Tuhannya!
Tanpa disadari oleh Ngajidin, tangannya ada yang menggandeng. Ia dipapah dan menggerakkan langkah kakinya menuju ke dalam. Ngajidin memasuki areal pemakaman "tidak dengan keinginan diri". Otaknya, tidak memerintahkan, hatinya tidak menggerakkan, sedangkan lidahnya keluh tanpa firman, saat memasuki peraduan Sunan Bungkul!
Biasanya, hatinya selalu bertanya dan berkata macam-macam ketika ia melihat dan berkeinginan sesuatu. Lidahnya tak mau berhenti bicara, saat melihat keadaan yang lain dari pada biasa. Dan sedangkan otaknya, senang memerintah dirinya untuk melakukan segala macam hal, bahkan terkadang hal yang buruk menurut tatanan umum sekali pun. Tetapi kali ini tidak sama sekali.
Ketika tiba di dalam, areal pemakaman yang tergeletak hanyalah puluhan batu nisan. Ia tidak melihat Sunan Bungkul. Ia tidak melihat Sunan Kalijaga atau siapapun. Sekali lagi, ia hanya melihat batu nisan! Yang terdengar, hanya pujian Asma Allah. Itupun tidak didengar lewat daun telinganya, juga tidak melewati gendang telingahnya. Namun yang jelas pujian tentang Asma Allah itu berada di dalam kepalanya! Sebab Tuhan tidak berada dimana-mana, tetapi juga tidak kemana-mana. Sebab, Tuhan Allah hanya ada dan bersemayam diatas Arsy Nya. Dan Ngajidin bertemu Tuhannya di dalam Arsy dengan perantara Nya pula. Allah Sang Pencipta hanya bisa ditemui oleh Diri Nya sendiri. Tidak oleh siappun termasuk manusia bernama Ngajidin!***