Senin, 21 Juli 2008


Dua Puluh Mei 2008: Kebangkitan Nasional?
Di tengah gempita peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional, mengemuka gugatan terhadap peran dan posisi Boedi Oetomo. Sebagian menilai, kelahiran organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 lalu sesungguhnya amat tidak patut diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, karena organisasi ini mendukung penjajahan Belanda, sama sekali tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, a-nasionalis, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya merupakan anggota Freemasonry Belanda (Vritmejselareen). Lebih jauh mereka menilai, dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam. Sarekat Islam (SI) yang lahir 3 tahun terlebih dahulu dari Boedi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, lebih tepat dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Karena itu, sejarah kebangkitan nasional yang selama ini mendasarkan pada peran Boedi Oetomo harus dipertanyakan kembali.
Topik hangat ini dibahas dalam Dialog Peradaban “HOS Cokroaminoto vs Wahidin Sudirohusodo (Serikat Islam vs Budi Oetomo); Mencari Kompromi Kebangkitan Nasionalisme Kita yang diselenggarakan oleh Cides bersama Mahfudz Siddiq (FPKS), Ahmad Suhelmi (Fisip UI), Firman Noor (Cides) dan Jubir HTI M. Ismail Yusanto pada 22 Mei lalu. Acara yang dibuka oleh Mensesneg Hatta Rajasa ini dipadati peserta dan diskusi berlangsung hangat.
Sebuah tesis sejarah yang ditulis Savitri Scherer di Universitas Cornell, Amerika Serikat pada tahun 1975 yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 1985, menggambarkan bahwa Boedi Oetomo pada intinya merupakan gerakan sosial yang mengartikulasikan kepentingan kelompok priyayi non-birokrat yang bersifat lokal. Ini karena adanya disharmoni antara priyayi ningrat (priyayi birokrat) dengan priyayi profesional, khususnya para dokter Jawa.
Atas hal itu, kemunculan Boedi Oetomo sebenarnya lebih didorong oleh keinginan untuk menolong diri sendiri yang berada dalam posisi rendah dibandingkan dengan priyayi birokratis. “Kalau kita tidak menolong diri kita sendiri tidak akan ada orang lain yang menolong kita, dan tolonglah diri kalian sendiri,” demikian Gunawan Mangunkusumo tentang alasan mahasiswa STOVIA mendirikan Boedi Oetomo (Paul W van der veur, ed., Kenang-kenangan Dokter Soetomo, Jakarta: Sinar Harapan, 1984 hlm. 22).
Gambaran di atas menunjukkan bahwa Boedi Oetomo merupakan organisai lokal, dan hanya berjuang untuk kelompok kecil, tidak berskala nasional, sehingga sulit untuk dianggap sebagai perintis kebangkitan nasional.
Sejalan dengan itu, dalam pasal 2 anggaran dasar Boedi Oetomo tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis”. Jadi, jelas sekali bahwa tujuan Boedi Oetomo bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan (Rizki Ridyasmara, “20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional”, dalam http://www.eramuslim.com).
Atas hal demikian, banyak pengamat sejarah yang menolak peran Boedi Oetomo sebagai gerakan pelopor kebangkitan nasional. Pelaku dan penulis sejarah, KH Firdaus AN mengungkapkan “…Boedi Oetomo adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya.”
Selanjutnya Firdaus AN mengungkapkan, perkumpulan Boedi Oetomo dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. Boedi Oetomo pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya.
Selain itu, Firdaus AN memaparkan bahwa dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, Boedi Oetomo menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia.
Karena itu, lanjut Firdaus, Boedi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekaan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia, dan Boedi Oetomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.
Mengenai hubungan Boedi Oetomo dengan Islam, KH Firdaus AN mengungapkan adanya indikasi kebencian terhadap Islam di kalangan tokoh-tokoh Boedi Oetomo. Noto Soeroto, salah seorang tokoh Boedi Oetomo, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereninging berkata, “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya…sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.”
Sebuah artikel di Suara Umum, sebuah media massa milik Boedi Oetomo di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah Al-Lisan terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor 24, 1938).
Bukan itu saja, di belakang kelompok Boedi Oetomo pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama Boedi Oetomo yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895. Sekretaris Boedi Oetomo (1916), Boedihardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boedihardjo. Hal ini dikemukakan dalam buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962 (Dr. Th. Stevens).
Berbeda dengan Boedi Oetomo, Sarekat Islam lebih menasional. Keanggotaan Sarekat Islam terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku. Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumater Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Sifat menasional Sarekat Islam juga tampak dari penyebarannya yang menyentuh hingga kepelosok-pelosok desa. Tahun 1916, tercatat 181 cabang SI di seluruh Indonesia dengan tak kurang dari 700.000 orang tercatat sebagai anggotanya. Tahun 1919 melonjak drastis hingga mencapai 2 juta orang. Sebuah angka yang fantastis kala itu. Sebaliknya, Boedi Oetomo pada masa keemasannya saja hanya beranggotan tak lebih dari 10.000 orang.
Adanya faktor Islam inilah yang membuat Sarekat Islam lebih progresif, tidak terbatas pada kelompok tertentu, dan menginginkan adanya kemajuan bagi seluruh rakyat. Salah satu misi pembentukan Sarekat Islam, seperti dirumuskan oleh Tirtoadisuryo ialah, “Tiap-tiap orang mengetahuilah bahwa masa yang sekarang ini dianggap zaman kemajuan. Haruslah sekarang kita berhaluan: janganlah hendaknya mencari kemajuan itu cuma dengan suara saja. Bagi kita kaum muslimin adalah dipikulkan wajib juga akan turut mencapai tujuan itu, dan oleh karena itu, maka telah kita tetapkanlah mendirikan perhimpunan Sarekat Islam.” (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3JS, 1982. Hal 116).
Berdasarkan alasan tersebut, tampak adanya sikap kepeloporan perubahan dan perbaikan bagi seluruh warga negara yang lebih merakyat yang didorong atas keyakinan Islam. Cakupan kegiatan Sarekat Islam yang meliputi seluruh rakyat Indonesia juga tampak dalam tujuan organisasi tersebut yang termaktub dalam anggaran dasarnya.
Organisasi ini berkembang dengan cepat di daerah-daerah lain di Jawa, bahkan organisasi ini menyebar juga ke luar Jawa, seperti di Sumatera Selatan.
Jelas tampak adanya perbedaan mendasar antara Boedi Oetomo yang hanya berjuang untuk kelompok kecil priyayi di Jawa dengan Sarekat Islam yang berjuang untuk seluruh rakyat. Dengan menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan, tampak pula bahwa SI sesungguhnya merupakan pelopor yang sebenarnya dari sebuah kebangkitan yang bersifat nasional.
Namun, ketika pertama kali dilakukan peringatan hari Kebangkitan Nasional pada tahun 1948, peringatan itu mengambil momentum kelahiran Boedi Oetomo yang dianggap sebagai pelopor kebangkitan nasional sehingga peringatan Kebangkitan Nasional selalu jatuh pada tanggal 20 Mei. Ini jelas sekali merupakan suatu usaha menghilangkan spirit Islam dari perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia, juga menghilangkan identitas Islam sebagai bagiaan terintegruasi dari bangsa Indonesia.

Awas Dajjal-Dajal Bergerilya!

Salah satu cara yang digunakan Barat untuk menghambat tegaknya kembali Khilafah adalah propaganda jahat. Barat dan kaki tangannya di negeri Islam secara sistematis berusaha mengkaitkan perjuangan Khilafah dengan terorisme atau tindakan kekerasan. Bulan Desember 2004, The Nixon Center, sebuah lembaga penelitian nirlaba di Amerika yang didirikan oleh mantan Presiden AS Richrad Nixon, merilis buku berjudul, Hizb at-Tahrir: Islam’s Political Insurgency, karya Zeyno Baran. Telaah Kitab kali ini bermaksud memaparkan sejauh mana pandangan penulis buku ini terhadap Hizbut Tahrir (HT), yang diklaim didasarkan pada sejumlah penelitian ilmiah, dan apa saja yang perlu dikritisi atas pandangan tersebut.
Dalam pengantar buku ini, Presiden The Nixon Center Dimitri K. Simes memberikan catatan tentang pentingnya buku ini. Temuan dan rekomendasi dari risalah ini sangat penting guna memastikan keamanan AS dalam jangka panjang. Baran mengatakan, tujuan dari bukunya ini adalah untuk memberikan gambaran yang jelas tentang sebuah kelompok yang berada di garis depan dalam pemikiran gerakan Islam radikal. Menurutnya, perang melawan terorisme bukanlah perang yang sesungguhnya, tetapi perang yang sesungguhnya adalah perang ideologi. “Terorisme sendiri hanyalah alat; kita harus melihat tujuan politis yang menggunakannya,” tulisnya.
Beberapa Catatan Kritis
Sebagaimana lazimnya, buku kajian yang dilakukan Barat tentang Islam atau kelompok Islam yang mereka tuduh radikal penuh dengan manipulasi di sana-sini. Beberapa penyakit kajian Barat tentang Islam seperti generalisasi, bias, standar ganda, data yang tidak obyektif, dan narasumber yang tidak seimbang menjadi penyebab mengapa buku ini penuh dengan kecacatan. Sepertinya memang buku ini ditulis dengan maksud tertentu untuk membuat citra negatif terhadap Hizbut Tahrir sekaligus untuk menghasut negera-negara Barat dan Dunia Ketiga untuk membendung perkembangan HT. Beberapa catatan kritis dari buku ini antara lain:
Mengaitkan Hizbut Tahrir dengan tindakan terorisme.
Nafsu untuk mengaitkan HT dengan terorisme sangat dominan dalam tulisan Baran ini. Seperti yang ditulisnya sendiri, menghancurkan citra HT sebagai gerakan non violance (tanpa kekerasan) adalah first step (langkah pertama) yang penting. Tidak aneh, kalau Baran menggunakan logika yang dangkal dan terkesan dipaksakan untuk mengaitkan HT dengan kekerasan. Menyadari garis perjuangan HT dalam menegakkan Khilafah memang tidak menggunakan kekerasan, Baran mencari-cari alasan agar HT tetap dikaitkan dengan kekerasan. Hal ini tampak dari argumentasinya yang menempatkan HT dalam posisi bukan pelaku langsung kekerasaan, tetapi “memberikan landasan ideologis, memberikan inspirasi, dan menumbuhsuburkan tindakan terorisme.”
Baran membangun argumentasinya dengan suatu asumsi: Kekerasan adalah alat yang digunakan oleh Islamis radikal dalam “perang pemikiran” yang lebih luas melawan demokrasi liberal Barat (hlm. 7). Namun sayang, asumsi ini tidak dibangun atas atas dasar argumentasi yang logis. Kegagalan awal dari asumsi ini adalah tidak adanya kejelasan defenisi apa yang dimaksud oleh Baran dengan Islamis radikal. Kalau HT masuk dalam kelompok radikal, asumsi ini menjadi rontok, karena HT sudah jelas-jelas menyebutkan tidak menggunakan kekerasan dalam perjuangannya.
Anehnya, untuk menunjukkan HT adalah kelompok radikal yang menggunakan kekerasan, Baran mengutip pendapat Sayyid Qutb yang menurut Baran mengesahkan penggunaan kekerasan jihad untuk menegakkan Khilafah (hlm 7). Padahal sangat jelas, Sayyid Qutb bukanlah anggota HT, apalagi menjadi pemimpin HT yang menyusun pimikiran-pemikiran HT. Baran gagal mencari satu pun dari buku-buku sah HT (mutabbanĂ¢t) yang menyatakan perjuangan penegakan Khilafah oleh HT ditempuh dengan menggunakan kekerasan. Sekarang, perhatikan argumentasi Baran berikut ini:
HT selalu menolak kekerasan. Namun, kelompok-kelompok lain yang mempunyai tujuan sama tetapi menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan itu tidak pernah dikutuk oleh HT. HT tidak pernah mencela serangan teroris….HT aktif melakukan pembinaan ideologi kaum Muslim, sementara organisasi-organisasi lain menangani perencanaan dan pengeksekusian serangan teroris. Meskipun menolak deskripsi ini, sekarang ini secara de facto HT merupakan perantara bagi teroris.
Baran menuduh HT tidak berkomentar terhadap berbagai serangan bom yang ada didunia ini. Baran keliru. HT Inggris, misalnya, secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap aksi bom di London baru-baru ini. HT Inggris juga pernah mengeluarkan komentar ketidaksetujuannya dengan aksi bom di Madrid yang menewaskan rakyat sipil yang tidak bersalah. Di Indonesia, HT Indonesia mengeluarkan banyak siaran pers yang mengharamkan pembunuhan rakyat sipil yang tidak bersalah dan penghancuran fasilitas umum saat terjadinya berbagai aksi bom di Indonesia. Hal ini bisa dilihat di berbagai website resmi HT.
Tuduhan terhadap HT sebagai pengemban ideologi perantara atau pemberi inspirasi bagi tindakan terorisme juga sangat lemah. Tidak ada uraian yang jelas dan detail, pandangan ideologi mana dari HT yang melegalkan penggunaan kekerasan dalam perjuangannya menegakkan Khilafah dan syariah. Kalau dikatakan memberikan inspirasi, ini juga jelas sangat kabur. Kalau setiap yang memberikan inspirasi disebut teroris, maka AS-lah yang paling layak disebut teroris. Sebab, justru banyak aksi kekerasan merupakan reaksi dari kebijakan AS yang menindas di Dunia Islam. Artinya, AS bisa dianggap telah memberikan inspirasi bagi tumbuhnya kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan terhadap Amerika seperti yang terjadi di Irak saat ini. Bukankah perlakuan kejam tentara AS di penjara Guantanamo dan pembunuhan oleh tentara AS terhadap rakyat sipil adalah di antara faktor yang menimbulkan perlawanan terhadap AS?
Masih belum puas dengan argumentasi di atas, Baran berupaya mengaitkan HT dengan kekerasaan, dengan tuduhan bahwa pecahan-pecahan HT seperti Al-Muhajirun (1996) telah mengeluarkan pernyataan yang mendukung terorisme. HT juga dikaitkan dengan gerakan Palestinian Islamic Jihad (1958), Akromiyah di Uzbekistan (1996), dan Hizb un-Nusrat (1999). Kelompok-kelompok ini dianggap merupakan ‘lulusan’ HT yang melakukan tindakan kekerasaan.
Sebagai sebuah organisasi Islam dunia, jelas HT berinteraksi dengan kelompok-kelompok Islam lainnya. Namun, bukan berarti HT sama dengan kelompok-kelompok tersebut. Penggunaan istilah ‘lulusan’ HT juga lucu. Apakah kalau seseorang lulusan Universitas Harvard melakukan tindakan terorisme, bisa disimpulkan bahwa Harvard juga adalah lembaga teroris. Apalagi Baran mengatakan kelompok-kelompok itu merupakan pecahan HT. Kalau pecahan, tentu saja artinya kelompok tersebut tidak sejalan lagi dengan HT sehingga dia keluar atau membentuk organisasi baru. Kalau sejalan, mengapa disebut pecahan? Jelas ini mengada-ada.
Menuduh HT menyebarkan ideologi kebencian, anti-Semit, anti-Amerika, dan anti-Barat.
Tuduhan bahwa HT menyebarluaskan kebencian juga sangat kabur dan cenderung merupakan propaganda. Pertama: tidak semua kebencian itu salah; bergantung pada apa yang kita benci dan apa alasan kita membencinya. HT merupakan partai politik yang sangat membenci penindasan yang dilakukan oleh Israel di Palestina, kekejaman dan penjajahan AS di Irak dan Afganistan, termasuk pembunuhan rakyat sipil di sana.
Apakah salah kalau HT membenci semua itu. Inilah yang tidak didudukkan persoalannya oleh Baran. Dia sekadar membangun propaganda bahwa HT membangun kebencian terhadap Amerika Serikat atau Barat. Baran sengaja menutupi bahwa yang dibenci oleh HT adalah penindasan dan penjajahan dalam segala bentuk yang dilakukan oleh AS. HT membenci ideologi Kapitalisme yang diterapkan saat ini, yang telah menyebabkan penderitaan umat manusia. Jadi, HT bukan membenci orang AS sebagai manusia. Apalagi tidak semua warga AS setuju terhadap kebijakan Bush yang memang kejam.
Lalu berkaitan dengan tuduhan anti-Semit yang sering dilekatkan pada HT. Berulang-ulang HT mengatakan, yang ditentang oleh HT adalah berdirinya negara Israel yang menjajah Palestina dan sikap kejam negara zionis itu terhadap rakyat Palestina. Islam sendiri tidak mempersoalkan keberadaan orang-orang Yahudi atau Nasrani. Sejarah keemasan Islam dihiasi dengan bagaimana rukun dan damainya kehidupan penganut agama Islam, Nasrani, dan Yahudi di Palestina dan Spanyol. Akan tetapi, Baran sengaja menutupi hal ini. Jelas ini adalah ketidakjujuran yang nyata dari seorang yang mengklaim peneliti.
Kedua: Baran mengatakan, kebencian HT tanpa bukti. “Kebencian HT terhadap AS jauh lebih parah daripada pernyataan tanpa bukti tentang imperialisme.” (hlm. 13). Padahal imperialisme AS di dunia sejak zaman kolonial hingga sekarang adalah bukti yang tidak terbantahkan dan kasatmata. Media masa dunia pun secara terbuka menampilkan kekejaman tentara AS saat menghujani Fallujah dengan bom-bom kimia yang berbahaya. Jelas, ada foto-foto yang menunjukkan perlakuan kejam AS terhadap para tahanan Muslim di Guantanamo Kuba dan Ghuraib Irak. Bahkan badan-badan internasional HAM termasuk PBB pun telah mengeluarkan pernyataan kecamannya terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh AS. Ribuan orang ikut berkampanye menentang kebijakan imperialisme Bush mulai dari Eropa, Amerika, sampai Asia. Jadi, sungguh lucu kalau Baran mengatakan, HT tidak bisa memberikan bukti tentang imperialisme AS.
Mengaitkan HT dengan Komunisme.
Sepertinya, mengaitkan HT dengan komunisme penting bagi Baran untuk menjadikan HT musuh bersama Barat sebagai mana Komunisme dulu. Untuk itu Baran menulis, “Bahkan, HT meminjam filosofi metodologi secara langsung dari Marxisme-Leninisme. An-Nabhani menggunakan prinsip-prinsip organisasi Marxisme-Leninisme, mengawinkan ideologi Islam dengan taktik dan strategi Leninis.” (hlm. 24).
Kesalahan mendasar Baran adalah terlampau gampang membuat generalisasi saat melihat ada yang mirip antara pemikiran HT dan komunis. Karena ada hirearki dan desentralisasi, dikatakan oleh Baran, HT mirip komunis. Lantas, bagaimana dengan militer atau organisasi gereja yang juga bersifat hierarkis, apakah lantas bisa disebut komunis. Alasan lain, menurutnya HT bersifat otoriter, tidak memberikan ruang perbedaan pendapat, dan mengeluarkan anggotanya yang tidak setuju dengan filosofi partai. Baran sengaja menutupi fakta, bahwa setiap organisasi pasti memiliki pemikiran-pemikiran mendasar yang harus dipatuhi oleh anggotanya, dan tentu saja wajar kalau yang tidak setuju dikeluarkan. Ini sebenarnya prinsip sederhana dalam organisasi apa pun.
Hal lain yang diangkat oleh Barat adalah cita-cita HT yang dianggap utopis, sama dengan cita-cita komunis yang ingin menciptakan masyarakat dongeng. Untuk kasus Komunisme, Baran mungkin tepat, sebab masyarakat komunis hingga saat ini tidak pernah terwujud. Akan tetapi, untuk kasus HT, Baran keliru besar. Cita-cita yang ingin diwujudkan oleh HT bukanlah utopis apalagi dongeng, karena sudah pernah terwujud di tengah-tengah kaum Muslim. Penerapan seluruh aturan Allah oleh Daulah Islam sudah dipraktikkan Rosulullah saw., yang kemudian diikuti oleh para khalifah. Jadi, cita-cita itu sudah pernah terwujud, bukan utopis. HT sesungguhnya hanya ingin melanjutkan kembali kehidupan Islam yang terputus tersebut.
Tuduhan bahwa HT bergerak berdasarkan sel rahasia seperti Komunisme juga adalah bohong. Di beberapa negara, HT bergerak secara terbuka. Di Indonesia HT memiliki kantor dan juru bicara yang bisa dikontak kapan saja; pengurus-pengurus HT di daerah seluruh Indonesia juga dengan gampang bisa diketahui dan ditemukan. Memang, di daerah lain seperti di Timur Tengah HT lebih hati-hati, namun hal ini bukan karena sistem sel rahasia, tetapi akibat sikap refresif yang dilakukan oleh para tiran dukungan Barat di sana yang sering menangkap dan membunuh para aktivis HT yang mereka jumpai. Yang paling lucu mungkin adalah penggunaan selebaran oleh HT, yang oleh Baran dikatakan mirip komunis. Padahal pasukan AS juga menggunakan selebaran di Afganistan dan Irak untuk membujuk rakyat Irak dan Afganistan.
Pernyataan Baran bahwa HT mirip Komunisme ini justru menunjukkan bahwa Baran memang bukan pakar tentang HT atau memang dia memiliki maksud tertentu. Sebab, kalaulah dia pakar, dia akan mengetahui bahwa banyak buku-buku HT yang justru mengkritisi pemikiran komunis dengan menunjukkan kesalahannya dan pertentangannya dengan Islam.
Manipulasi Data
Buku Baran ini juga banyak menggunakan data-data yang tidak akurat. Sebagai contoh, HT Inggris menerbitkan majalah bulanan Al-Wa‘ie untuk didistribusikan di Indonesia.[2] (hlm. 36). Padahal majalah Al-Wa‘ie yang tersebar di Indonesia dibuat dan dicetak di Indonesia. Baran juga menggunakan kata-kata yang menunjukkan ketidakpastian, namun tanpa ada usaha melakukan klarifikasi langsung kepada pengurus HT, yang sebenarnya sangat gampang ditemui di Inggris, Indonesia, dan daerah-daerah lainnya. Berkaitan dengan dana HT, Baran menulis:
Para pakar dan anggota komunitas intelijen internasional berspekulasi bahwa HT didanai oleh para sponsor dari Iran, negara-negara Teluk, dan Arab Saudi. HT juga bisa jadi menerima dana dari Afganistan era Taliban. Arab Saudi diyakini mendukung publikasi HT (penerjemahan, pencetakan, dan bahkan pemilihan judul), tetapi tampaknya berhenti setelah peristiwa 11/9. Pada akhir 1950-an bahkan ada rumor bahwa HT didanai oleh CIA. (hlm. 51).
Perhatikan penggunaan kata-kata ‘berspekulasi’, ‘bisa jadi’, ‘diyakini’, dan ‘rumor’. Semuanya menunjukkan informasi yang tidak menyakinkan. Tampaknya, Baran ingin membangun opini yang menyesatkan, seakan-akan HT didukung oleh Saudi, Taliban, Iran, atau CIA.
Kata ‘mungkin’ juga digunakan untuk mengaitkan HT Indonesia dengan Jamaah Islamiyah: “Ini terlepas dari fakta bahwa HT mungkin memiliki kaitan dengan kelompok ekstremis pro-kekerasan seperti Jamaah Islamiyah, kelompok yang bertanggungjawab atas peristiwa Bom Bali pada Oktober 2002.” (hlm. 43). Baran tidak berusaha mengklarifikasi masalah ini kepada pengurus resmi HT Indonesia. Kemungkinan HTI terkait dengan JI jelas tidak beralasan. Baran lagi-lagi menutupi kenyataan bahwa HT Indonesia dalam berbagai siaran pers, buletin, atau wawancara dengan media menyatakan ketidaksetujuannya dalam berbagai kasus bom di Indonesia yang dituduh oleh Barat sebagai hasil kerjaan Jama’ah Islamiyah.
Rekomendasi Penting
Buku ini ditutup dengan rekomendasi Nixon Center untuk menghadapi Hizbut Tahrir. Beberapa rekomendasi penting itu antara lain:
AS harus merehabilitasi kredibilitas dan otoritas moralnya sehingga kaum Muslim dapat kembali terilhami oleh nilai-nilai yang dianut AS.
AS harus mengubah persepsi bahwa kebijakan luar negerinya “tidak adil”.
AS harus membantu kaum Muslim dalam meningkatkan kondisi sosio-ekonomi mereka secara nyata; AS juga harus fokus menghilangkan ketidakadilan distribusi kekayaan, korupsi, dan kronisme.
AS harus memperkuat elemen moderat di dalam masyarakat Muslim. Untuk mendukung kelompok moderat ini, AS juga dapat memberikan ruang bagi kelompok-kelompok Islam yang mempromosikan toleransi dan dialog antar-agama, dan tidak membiarkan kalangan radikal mendominasi arus utama. Perlu juga ada forum formal, seperti PBB, di mana negara-negara Muslim moderat dapat menyampaikan pandangan-pandangannya. AS juga perlu mendukung pendidikan Muslim moderat yang mendukung kerukunan antar-agama dan kebudayaan serta mengadopsi nilai-nilai demokrasi dan kemajuan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari ajaran Islam. Yang juga perlu dilakukan ialah memperbarui pendekatan legal dan konstitusional internasional untuk memerangi kelompok-kelompok seperti HT. (hlm. 5).
Tampaknya rekomendasi ini dalam beberapa hal sudah dijalankan oleh pengambil kebijakan AS, seperti mendukung kelompok moderat serta penyebarluasan ide-ide demokrasi, dialog antar umat beragama, dan lain-lain. Yang belum dan tampaknya sulit dilakukan oleh AS adalah membangun sistem masyarakat yang adil dan sejahtera. Bagaimana mungkin itu bisa dicapai dengan sistem Kapitalisme. Sebab, sistem Kapitalisme itulah yang menjadi pangkal ketidakadilan dunia saat ini, baik secara ekonomi maupun politik, khususnya di Dunia Ketiga saat ini . ***

Kamis, 17 Juli 2008

sumiarsih & Sugeng Terpidana Mati

Kuasa hukum terpidana mati, Sugeng, M Sholeh ditolak pihak Kejaksaan Negeri Surabaya dan Rutan Medaeng menjenguk dan mendampingi kliennya di Rutan.

Penolakan itu diberlakukan sejak hari ini hingga usai dieksekusi. Pria yang juga rekan Sugeng di LP Kalisosok mengaku dituduh membocorkan dan menyebarkan foto-foto pertemuan Sumiarsih dan Sugeng di Rutan Madaeng yang tersebar di beberapa media massa.

"Saya heran kenapa saya sebagai kuasa hukum tidak diperbolehkan masuk dan mendampingi klien saya," ujar Sholeh kepada wartawan di depan Rutan Medaeng, Kamis (17/7/2008).

"Silahkan mereka (Kejari Surabaya) sebagai eksekutor menuduh saya menyebarkan foto-foto tersebut. Padahal saya tidak melakukannya," jelasnya.

Sholeh mengakui, dirinya selama ini dituduh sebabai provokator oleh pihak tertentu seperti oleh Kejari Surabaya. Pasalnya, dia sebelumnya dikenal sebagai aktivis dan pernah mendekam di LP Kalisosok.

"Itu biasa, memang saya sering dituduh sebagai provokator," tuturnya.

Dia menegaskan dalam waktu dekat pihaknya sebagai kuasa hukum akan melaporkan tindakan Kejari Surabaya yang tidak mengizinkan dirinya menjenguk dan mendampingi kliennya serta ketidakadilan Kejari Surabaya dalam memperlakukan kedua terpidana mati itu.

"Kenapa kita sebagai kuasa hukum yang sudah terdaftar nama yang diperbolehkan masuk Sugeng tidak diijinkan masuk," tambahnya.

Kenapa hanya Rusmawati saja yang diperbolehkan masuk. Sedangkan keponakan lainnya seperti dari Jombang tidak diizinkan masuk.

"Pelanggaran-pelanggaran ini yang akan dilaporkan ke Komnas HAM," ucapnya.(stv/fat)

Cari Apa Sih Pilkada, Mending Ini


Serba-Serbi Warung Kopi Giras Di Surabaya
Umumnya, warung kopi atau warkop di Surabaya, memiliki kesamaan. Mulai dari pengelola, model lapak, bangunan, bahkan cat dan namanya terlihat tidak jauh berbeda satu dengan yang lainnya.

Pengelola usaha jenis ini, biasanya dikelola oleh warga luar kota Surabaya, seperti dari Gresik, Lamongan, Jombang dan daerah lainnya. Bila pengelolanya berasal dari Lamongan, maka mereka membuat icon yang biasanya tertulis di dinding warungnya “ Giras LA”. Sedangkan yang berasal dari Gresik, mereka memakai nama Giras Pi-kun.

Giras sendiri adalah kependekan dari nama Legi dan Keras, artinya warung mereka menyajikan hidangan kopi manis dan keras. Sedangkan LA sendiri merupakan kependekan dari nama Lamongan yang merupakan tanah kelahiran para pengelola maupun penjaga kedai mereka.

Disisi lain, pengelola giras yang berasal dari Kota Pudak Gresik, kebanyakan dari wilayau Ndukun (Dukun). Ndukun, merupakan sebuah wilayah kecamatan yang terletak disisi sebelah utara kota Gresik. Karenanya, mereka melebeli warung mereka dengan Giras Pi-kun, yang bila dipanjangkan nama itu menjadi Kopi Ndukun.
Salah satu pengelola kopi Ndukun yang terletak di Jl. Jepara Surabaya itu Rohkim, mengatakan, usaha yang digelutinya merupakan usaha yang tidak memerlukan perhitungan rumit. “Alhamdulilah, hasilnya cukup untuk menghidupi istri dan satu orang anak yang kini telah berusia 5 tahun”, jelas Rohkim.

Menurut Rohkim, dirinya mengontrak tempat usaha yang tidak pernah menjadi pilihan warga seperti warga Surabaya ini dengan nilai Rp 2,5 juta pertahun. Sedangkan iuran perbulannya Rp 100 ribu. Untuk upah penjaga warungnya rata-rata ia mengeluarkan anggaran Rp 500 ribu perbulan untuk 2 orang.

Selain itu anggaran langganan Koran per hari Rohkim harus mengeluarkan biaya Rp 2500. “ Pengadaan bacaan berupa koran itu penting, agar pelanggan betah berlama-lama duduk sambil menikmati barang dagangan saya”, jelas Rohkim.

Lain Rohkim, lain pula pernyataan Anto penjaga giras yang berada di Bok Abang Kupang, Surabaya. Menurutnya, “keberadaan warung giras, punya andil mencerdaskan warga masyarakat Surabaya. “Buktinya, dengan membaca koran (biasanya Koran terkenal terbitan Surabaya), biasanya terbuka diskusi dengan sesama pengunjung warung giras”. “Lebih lagi ketika ada momen-momen seperti pilkada, kejuaraan olahraga, baik tingkat local maupun internasional. Banyak pengunjung giras menikmati sajiannya sambil membaca”, tambah Anto asal Lamongan mengakhiri penjelasannya.

Keberadaan warung model giras membuka lapangan pekerjaan yang cukup signifikan disela sempitnya kesempatan kerja di kota-kota seperti khususnya Surabaya. Sayangnya, peluang ini amat jarang dimanfaatkan oleh warga kota setempat. Bahkan dalam masa Pilgub utamanya, banyak warung-warung yang menjadi sasaran kampanye terselubung. Tidak sedikit warung yang membuat semacam spanduk dengan latar belakang gambar, foto kelima calon gubernur.

Namun bila dicermati, sangat sedikit warung model giras yang membuat spanduk seperti itu. Menurut salah seorang pemilik warung asal Jombang yang berjualan di sekitar Jl. Sumatra mengatakan, “ buat saya nggak usah membuat seperti itu, pembuatan spanduk dengan latar gambar calon pemimpin (gubernur) tertentu akan mengurangi pengunjung. Sebab yang datang otomatis hanya yang pro dengan calon pemimpin atau gubernur bersangkutan”, kata lelaki setengah gundul yang enggan namanya disebutkan ini.

Dialog Trilogi Tubuh

Bibir, Hati & Otak
Setiap manusia, memiliki tiga main stream dasar. Yaitu Bibir (lidah), Hati dan Otak. Ketiga main stream manusia ini membentuk karakter manusia. Namun ketiganya terkadang saling berlawanan satu dengan yang lainnya.Perlawanan itu, sering kita rasakan. Namun amat jarang kita tanggapi secara semestinya.

Ketiga mahkluq yang tergolong istimewa ini, memiliki pengaruh sangat dominan. Ketiganya juga merupakan dalang (konseptor) semua perbuatan manusia. Namun ketiganya tak pernah mau dipersalahkan oleh siapapun.

Hal ini terbukti dengan adanya dialog yang mereka lakukan. Ketiga mahkluq saling menyalahkan dan membenarkan diri sendiri.

Awal dialog itu dimulai dari manusia bernama Ngajidin. Ngajidin adalah seorang remaja lancur. Ia berusia, belum genap 20 tahun. Seorang remaja muda yatim piatu. Ia hidup dan besar di sebuah pondok, di daerah Kediri, Jawa Timur.

Beberapa bulan terakhir, ia pergi meninggalkan pondok tanpa sepengetahuan pengawas pondok dan izin dari Wak Yai. Tidak ada seorang temannya yang ia pamiti. Maklum ketika itu, Wak Yai, santri-santri senior dan santri lainnya sedang sibuk. Sebab ada salah seorang alumnus pondok, mencalonkan diri menjadi calon gubernur. Karenanya, Kyai dan santri pondok dimana Ngajidin menuntut ilmu sedang sibuk “membantu” persiapan pemilu daerah itu.

Apa yang terjadi di pondok Ngajidin merupakan kesibukan yang sangat luar biasa. Kesibukan itu juga terjadi pada Otak Ngajidin. Hati Ngajidin, juga tak kalah sibuknya. Sedangkan bibirnya terus mengoceh tak karuan menanggapi tingkah “pondoknya” menyambut pilkada.

Din, begitu teriak Fikri (Otak). “Ngapain kamu duduk termangu disitu”. Ketika itu Ngajidin sedang duduk dibawa beduk masjid pondoknya. “ Lebih baik, kamu suruh kakimu melangkah pergi dari tempat ini”, kata fikri lagi.

Hati Ngajidin, tidak bergeming sedikitpun, mendengar perintah Fikri. Namun kaki Ngajidin, setapak demi setapak melangkah pergi meninggalkan area pondok, yang berubah menjadi pasar malam. Sedangkan bibirnya (lidah), terus berceloteh menyayangkan penghuni pondok yang turut larut dalam hiruk pikuk pemilihan calon gubernur.

Perjalanan meninggalkan pondok, tanpa disadarinya, telah membawa Ngajidin di sebuah tempat bernama terminal.

Dari singgasananya, Fikri terbangun dari tidurnya. Ia tersentak kaget ketika menyaksikan Ngajidin telah berada di sebuah terminal kota Surabaya. Terminal itu bernama Bungurasih. Kesadaran Fikri, membuat ia merasakan dsahan nafas Tyas (Hati). Nafas Tyas yang lembut dan hangat biasanya melenakan Fikri.

Anehnya, kali ini nafas Tyas dirasakan Fikri panasnya agak tinggi. Hal ini membuat Fikri bertanya kepada Tyas. “Tyas ada apa denganmu”? Tanya Fikri. Tiba-tiba hawa panas keluar dari badan Tyas, mendahului Jawabannya. Dengan suara nyaring Tyas membentak Fikri. “ Apa kamu tidak tahu, Ngajidin sudah berjalan dua hari dua malam tanpa berhenti. Lagi pula, semenjak berjalan keluar pondok, tak sebutir nasipun ia telan”, kata Tyas. Semprotan Tyas disambung oleh Totok (Tutuk = Bibir). “ Ya, itulah Fikri. Setiap ada kesempatan selalu membius Ngajidin. Sehingga ia tidak menghiraukan aku. Dua hari, dua malam aku tidak diberikan makanan dan minuman”, kata Totok.

Ngajidin duduk, termangu sambil bersandar pada sebuah tiang bangunan terminal. Pagi itu, ia merasakan kelelahan yang amat sangat. Selain itu, perutnya yang keroncongan minta diisi makanan atau sekedar seteguk air. Sayangnya, dirinya tidak memiliki uang sepeserpun untuk membelinya. Akhirnya, ia hanya duduk dilantai sambil bersandar menikmati pemandangan hilir mudiknya manusia sambil menjinjing tas maupun kopor.

Tanpa sepengetahuan Fikri, rupanya Tyas dan Totok telah bersekongkol untuk mendampratnya. Mereka tengah merencanakan sesuatu. Menyadari hal itu, Fikri bangkit berdiri sambil berkacak pinggang dan berkata. “ Hai, kamu Totok dan Tyas. Aku tak pernah membius Ngajidin. Aku hanya tertidur. Dan ketika tidur itulah, Ngajidin tidak merasakan apapun. Rasa haus, lapar ataupun capek tak terasakan olehnya. Bila hal itu terjadi hingga 2 hari sekalipun”, kata Fikri. “Sebenarnya yang salah adalah kalian berdua”, tegas Fikri.

Merasa disalahkan, mereka berdua, Tyas maupun Totok, tak mau diam saja. Mereka pun membela diri. “ Koq malah aku yang disalahkan”, tukas Totok. “ Coba jelaskan dimana salahku dalam masalah ini”, sambung Tyas.

“Totok Bayu Samudra dan kau Ratna Ning Tyas, dengarkan penjelasanku, kata Fikri Nur Rahmat. “Sejak pertama kita bertemu dan saling mengenal, kita telah sepakat untuk mengajak Ngajidin menuju jalan yang lurus. Menyelamatkan dirinya dari rongrongan yang bermaksud menjerumuskan Ngajidin menjadikan dirinya seperti hewan”.

Mahkluq yang namanya hewan, bukankah kalian berdua sudah tahu! Betapa bejadnya mereka. Pekerjaan mereka hanya berebut makanan dan berebut lawan jenisnya saja. Dan itu dilakukan sepanjang hidupnya, tanpa mengenal rasa malu dan belas kasihan! Dan kalian bersekongkol hendak menjerumuskan Ngajidin kederajad lebih rendah, yaitu hewan.

Apa kalian tidak kasihan dengan Ngajidin. Selain itu, kalian juga menginginkan dirinya tetap berdiam di pondok. Bila aku biarkan ia berada disana, Ngajidin akan menjadi boneka. Ia akan diperalat oleh yang lainnya, agar supaya dirinya mau membantu mantan santri mendapatkan jabatan sebagai seorang gubernur. Apakah kalian tidak mengerti, bial sebenarnya mantan santri Wak Yai itu, sebenarnya hanya memperalat Wak Yai dan santrinya untuk mengahantarkan dirinya memenuhi keinginannya menjadi gubernur. Bial sudah jadi, tidak mungkin mereka mau menurut apa yang menjadi kehendak Wak Yai. Ia akan lebih menurut kepada majikan barunya, yaitu para pengusaha, seperti Alim markus dan sejenisnya.

Manusia yang menjadi alat seseorang agar bisa menduduki jabatan tertentu, akan memperoleh getahnya. Orang seperti itu juga menerima bagian dosa dengan menempatkan seseorang menjadi pengayom masyarakat. Padahal, perbuatannya, justru sebaliknya malah menindas masyarakat lainnya”, jelas Nur Fikri.

“Kamu jangan memutarbalikkan fakta”, kata Tyas menyangga penjelasan Fikri. Bukankah selama ini, yang membuat manusia berbuat seperti itu atas perintahmu? Bukankah segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia atas perintahmu? Aku hanya mengamini apa yang menjadi keinginan dan perintahmu semata. Bukankah seperti itulah yang terjadi pada manusia lainnya, seperti Ngajidin, sambung Tyas.

Totok pun segera menimpali sanggahan yang dilakukan oleh Tyas. “ Aku ini kan hanya pion, hanya pesuruh”, kata Totok dengan nada pasrah. “Aku hanya makan atau minum, itu pun karena perintahmu. Bukan atas kemauanku sendiri”, katanya lagi.

Tidak bisa, aku ahnya memerintahkan dirimu untuk makan secukupnya. Tapi, seringkali engkau makan minum berlebihan. Terkadang engkau makan barang yang bukan menjadi hak Ngajidin. Juga kamu minum barang yang terlarang seperti tuak, alkohol, bahkan kamu juga makan bubuk putih yang membuat aku lemah dan bahkan mati. Masak aku menyuruh engkau makan yang membuat diriku mati? Apakah itu mungkin? Tanya Fikri. Oleh karena itu, hai Totok Samudra. Engkau harus menyadari. Terkadang ada perintah yang bukan dariku. Tetapi itu tidak pernah engkau ketahui apalagi memahami. Perintah itu dating dari Tyas. Tyaslah yang memerintahkan dirimu makan minum tanpa ada batasan, jelas Fikri. Totok Samudra, terdiam dan menatap tajam kepada Tyas.

Tyas yang tersudut bangkit berdiri. Ia tak mau kalah oleh tingkah dan diplomasi Fikri.

“Hai Fikri”, kata Tyas dengan suara merdu seperti seruling. “ Kamu jangan lempar batu sembunyi tangan”, kata Tyas lagi. Aku berbuat seperti itu, untuk melindungi dan menjaga hidup Ngajidin. Lihatlah, ia duduk dan tertidur lemas karena kelaparan dan kehausan, pakah engkau tidak merasa iba dengan pemandangan ini? Jelas Tyas.

Karena kelelahan, haus dan kelaparan, Ngajidin tertidur dilantai terminal. Rasa dingin dan lapar mengharuskan dirinya memeluk lututnya sendiri. Ngajidin, tidur setengah melingkar. Tubuhnya ditekuk sedemikian rupa. Mirip tubuh hewan bernama trenggiling yang lari menyelamatkan diri ketika dikejar musuh.

Perdebatan antara Fikri, Totok dan Tyas, tidak menjadikan rasa kantuknya hilang. Bahkan ia justru tertidur pulas. Seakan tak terjadi apa-apa dengan dirinya. Rasa lapar dan haus pun, tak membuat serta merta tangannya menyambar tas, makanan manusia yang lalulalang di terminal itu. Ngajidin bukan tipe orang yang mudah menyerah dan merebut hak orang lain. Tidak seperti orang kebanyakkan.

Seiring dengan dengkuran suara perut Ngajidin, Totok merasa ingin segera menyuap sesuatu dan memasukkannya kemulut Ngajidin yang mengecap-ecap. Disisi lain, Tyas semakin mendongkol dan mengeluarkan hawa panas dari tubuhnya. Sedangkan tubuhnya sendiri semakin berwarna merah.

Fikri! bentak Tyas pada Fikri. “ Apakah kamu ingin Ngajidin mati lemas.? Dengan membiarkannya tanpa makan dan minum? Biarlah aku berbuat sesuatu untuk Ngajidin. Agar ia tidak kelaparan dan kehausan, kata Tyas setengah memohon kepada Fikri.
Mata Fikri melotot. Saking lebarnya ia memelototkan matanya, mata itu hampir-hampir copot keluar. Seiring dengan apa yang dialami Fikri, kepala Ngajidin mengeluarkan uap dingin berwarna putih. Ngajidin nampak menggigil kedinginan. Keadaan Ngajidin yang seperti itu, tak luput dari perhatian orang yang lalu lalang di terminal Bungurasih.

Tak jarang orang yang menyaksikan kondisi Ngajidin menjadi iba. Selain rasa dingin yang membuat tubuhnya terlihat pucat, pakaian kumel Ngajidin menambah nilai kekerean. Melihat itu, banyak diantara orang-orang tersebut melemparkan uang recehan. Bahkan ada juga yang menyempatkan merogoh kantungnya dan mengeluarkan puluhan ribu rupiah. Mereka melemparkannya ke samping tubuh Ngajidin.

Lihatlah!, kata Fikri. Apa yang dilakukan manusia ketika melihat kondisi Ngajidin. Rasa iba! Rasa iba, memunculkan rasa sosial. Hal seperti itu pasti dilakukan oleh manusia. Namun, hal tersebut akan menjadi sebaliknya. Bila si manusia tersebut menuruti kehendakmu, jelas Fikri sambil menatap tajam kepada Totok dan Tyas bergantian.

“Apa maksudmu”, tanya Totok dan Tyas hampir bersamaan. Begini, kata Fikri berusaha menjelaskan. Manusia itu dalam hidupnya, hendaknya bisa menguasai diri. “Bahkan mematikan diri”, kata Fikri lagi.

Nah, kalau manusia tersebut, katakanlah seperti apa yang sedang dilakukan oleh Ngajidin. Kalian berdua harusnya, membantunya, bukan malah sebaliknya. Menentang kemauan manusia seperti Ngajidin. Dengan melakukan tipu daya dengan berbagai cara.

Kalian membanding-bandingkan keadaan Ngajidin dengan manusia lainnya. Padahal manusia-manusia yang kalian jadikan pembanding, adalah manusia-manusia lemah yang mudah dan telah kalian perdaya.

Stop, stop ocehanmu, Fik, kata Totok menghentikan penuturan Fikri. “ Apa nggak keliru apa yang kamu bicarakan. Selama ini, siapa yang menipu Ngajidin, kami berdua atau dirimu yang pongah, congkak, sombong tak berperasaan! Semenjak Ngajidin pergi meninggalkan pondok yang engkau katakan telah keluar dari pakem, Ngajidin tak menelan apapun selain ludahnya sendiri”, kata Totok. Dus, dengan demikian, engkaulah yang menyiksa dirinya, sehingga ia mengalami hal seperti ini. “Ia hidup terhina dan terlantar di sebuah terminal”, cibir Tyas menimpali sanggahan Totok kepada Fikri.

Ngajidin, menguap. Kemudian meregangkan tubuhnya, seolah meluruskan otot-ototnya yang kaku. Beberapa saat kemudian ia duduk, menyapu sekelilingnya dengan pandangan mata yang masih terlihat lelah dan ngantuk.

Saat ia menoleh kesebelah kiri tubuhnya, tangannya menyentuh sesuatu yang menghendaki pandangan matanya tertuju kearah dimana tangannya merasakan bulatan dingin. Setelah matanya menemukan apa yang dirasakan oleh tangannya tadi, iapun tertegun beberapa saat. Di sebelah kanan dirinya, dimana ia duduk didapati puluhan keping uang recehan dan beberapa lembar uang puluhan ribu rupiah.

Ia pun termenung beberapa saat. Disekitarnya tak terlihat ada orang. Maka diberesinya uang yang berceceran itu. Setelah itu ia berdiri melangkah sambil menggenggam selembar uang puluhan ribu. Sedangkan lainnya ia masukan kedalam buntalan sarung yang berisi dua potong pakaian yang dibawanya dari pondok. Pakaian itu sebagai ganti dalam pengembaraannya.

Dengan selembar uang di tangan, Ngajidin menuju ke sebuah warung dan memesan segelas kopi dan memakan sepotong pisang gorong. Ia duduk di sebuah kursi salah satu restorasi yang ada di terminal.(to bersambung)






 

Dialog Bahasa Tubuh

Bibir, Hati & Otak
Setiap manusia, memiliki tiga main stream dasar. Yaitu Bibir (lidah), Hati dan Otak. Ketiga main stream manusia ini membentuk karakter manusia. Namun ketiganya terkadang saling berlawanan satu dengan yang lainnya.Perlawanan itu, sering kita rasakan. Namun amat jarang kita tanggapi secara semestinya.

Ketiga mahkluq yang tergolong istimewa ini, memiliki pengaruh sangat dominan. Ketiganya juga merupakan dalang (konseptor) semua perbuatan manusia. Namun ketiganya tak pernah mau dipersalahkan oleh siapapun.

Hal ini terbukti dengan adanya dialog yang mereka lakukan. Ketiga mahkluq saling menyalahkan dan membenarkan diri sendiri.

Awal dialog itu dimulai dari manusia bernama Ngajidin. Ngajidin adalah seorang remaja lancur. Ia berusia, belum genap 20 tahun. Seorang remaja muda yatim piatu. Ia hidup dan besar di sebuah pondok, di daerah Kediri, Jawa Timur.

Beberapa bulan terakhir, ia pergi meninggalkan pondok tanpa sepengetahuan pengawas pondok dan izin dari Wak Yai. Tidak ada seorang temannya yang ia pamiti. Maklum ketika itu, Wak Yai, santri-santri senior dan santri lainnya sedang sibuk. Sebab ada salah seorang alumnus pondok, mencalonkan diri menjadi calon gubernur. Karenanya, Kyai dan santri pondok dimana Ngajidin menuntut ilmu sedang sibuk “membantu” persiapan pemilu daerah itu.

Apa yang terjadi di pondok Ngajidin merupakan kesibukan yang sangat luar biasa. Kesibukan itu juga terjadi pada Otak Ngajidin. Hati Ngajidin, juga tak kalah sibuknya. Sedangkan bibirnya terus mengoceh tak karuan menanggapi tingkah “pondoknya” menyambut pilkada.

Din, begitu teriak Fikri (Otak). “Ngapain kamu duduk termangu disitu”. Ketika itu Ngajidin sedang duduk dibawa beduk masjid pondoknya. “ Lebih baik, kamu suruh kakimu melangkah pergi dari tempat ini”, kata fikri lagi.

Hati Ngajidin, tidak bergeming sedikitpun, mendengar perintah Fikri. Namun kaki Ngajidin, setapak demi setapak melangkah pergi meninggalkan area pondok, yang berubah menjadi pasar malam. Sedangkan bibirnya (lidah), terus berceloteh menyayangkan penghuni pondok yang turut larut dalam hiruk pikuk pemilihan calon gubernur.

Perjalanan meninggalkan pondok, tanpa disadarinya, telah membawa Ngajidin di sebuah tempat bernama terminal.

Dari singgasananya, Fikri terbangun dari tidurnya. Ia tersentak kaget ketika menyaksikan Ngajidin telah berada di sebuah terminal kota Surabaya. Terminal itu bernama Bungurasih. Kesadaran Fikri, membuat ia merasakan dsahan nafas Tyas (Hati). Nafas Tyas yang lembut dan hangat biasanya melenakan Fikri.

Anehnya, kali ini nafas Tyas dirasakan Fikri panasnya agak tinggi. Hal ini membuat Fikri bertanya kepada Tyas. “Tyas ada apa denganmu”? Tanya Fikri. Tiba-tiba hawa panas keluar dari badan Tyas, mendahului Jawabannya. Dengan suara nyaring Tyas membentak Fikri. “ Apa kamu tidak tahu, Ngajidin sudah berjalan dua hari dua malam tanpa berhenti. Lagi pula, semenjak berjalan keluar pondok, tak sebutir nasipun ia telan”, kata Tyas. Semprotan Tyas disambung oleh Totok (Tutuk = Bibir). “ Ya, itulah Fikri. Setiap ada kesempatan selalu membius Ngajidin. Sehingga ia tidak menghiraukan aku. Dua hari, dua malam aku tidak diberikan makanan dan minuman”, kata Totok.

Ngajidin duduk, termangu sambil bersandar pada sebuah tiang bangunan terminal. Pagi itu, ia merasakan kelelahan yang amat sangat. Selain itu, perutnya yang keroncongan minta diisi makanan atau sekedar seteguk air. Sayangnya, dirinya tidak memiliki uang sepeserpun untuk membelinya. Akhirnya, ia hanya duduk dilantai sambil bersandar menikmati pemandangan hilir mudiknya manusia sambil menjinjing tas maupun kopor.

Tanpa sepengetahuan Fikri, rupanya Tyas dan Totok telah bersekongkol untuk mendampratnya. Mereka tengah merencanakan sesuatu. Menyadari hal itu, Fikri bangkit berdiri sambil berkacak pinggang dan berkata. “ Hai, kamu Totok dan Tyas. Aku tak pernah membius Ngajidin. Aku hanya tertidur. Dan ketika tidur itulah, Ngajidin tidak merasakan apapun. Rasa haus, lapar ataupun capek tak terasakan olehnya. Bila hal itu terjadi hingga 2 hari sekalipun”, kata Fikri. “Sebenarnya yang salah adalah kalian berdua”, tegas Fikri.

Merasa disalahkan, mereka berdua, Tyas maupun Totok, tak mau diam saja. Mereka pun membela diri. “ Koq malah aku yang disalahkan”, tukas Totok. “ Coba jelaskan dimana salahku dalam masalah ini”, sambung Tyas.

“Totok Bayu Samudra dan kau Ratna Ning Tyas, dengarkan penjelasanku, kata Fikri Nur Rahmat. “Sejak pertama kita bertemu dan saling mengenal, kita telah sepakat untuk mengajak Ngajidin menuju jalan yang lurus. Menyelamatkan dirinya dari rongrongan yang bermaksud menjerumuskan Ngajidin menjadikan dirinya seperti hewan”.

Mahkluq yang namanya hewan, bukankah kalian berdua sudah tahu! Betapa bejadnya mereka. Pekerjaan mereka hanya berebut makanan dan berebut lawan jenisnya saja. Dan itu dilakukan sepanjang hidupnya, tanpa mengenal rasa malu dan belas kasihan! Dan kalian bersekongkol hendak menjerumuskan Ngajidin kederajad lebih rendah, yaitu hewan.

Apa kalian tidak kasihan dengan Ngajidin. Selain itu, kalian juga menginginkan dirinya tetap berdiam di pondok. Bila aku biarkan ia berada disana, Ngajidin akan menjadi boneka. Ia akan diperalat oleh yang lainnya, agar supaya dirinya mau membantu mantan santri mendapatkan jabatan sebagai seorang gubernur. Apakah kalian tidak mengerti, bial sebenarnya mantan santri Wak Yai itu, sebenarnya hanya memperalat Wak Yai dan santrinya untuk mengahantarkan dirinya memenuhi keinginannya menjadi gubernur. Bial sudah jadi, tidak mungkin mereka mau menurut apa yang menjadi kehendak Wak Yai. Ia akan lebih menurut kepada majikan barunya, yaitu para pengusaha, seperti Alim markus dan sejenisnya.

Manusia yang menjadi alat seseorang agar bisa menduduki jabatan tertentu, akan memperoleh getahnya. Orang seperti itu juga menerima bagian dosa dengan menempatkan seseorang menjadi pengayom masyarakat. Padahal, perbuatannya, justru sebaliknya malah menindas masyarakat lainnya”, jelas Nur Fikri.

“Kamu jangan memutarbalikkan fakta”, kata Tyas menyangga penjelasan Fikri. Bukankah selama ini, yang membuat manusia berbuat seperti itu atas perintahmu? Bukankah segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia atas perintahmu? Aku hanya mengamini apa yang menjadi keinginan dan perintahmu semata. Bukankah seperti itulah yang terjadi pada manusia lainnya, seperti Ngajidin, sambung Tyas.

Totok pun segera menimpali sanggahan yang dilakukan oleh Tyas. “ Aku ini kan hanya pion, hanya pesuruh”, kata Totok dengan nada pasrah. “Aku hanya makan atau minum, itu pun karena perintahmu. Bukan atas kemauanku sendiri”, katanya lagi.

Tidak bisa, aku ahnya memerintahkan dirimu untuk makan secukupnya. Tapi, seringkali engkau makan minum berlebihan. Terkadang engkau makan barang yang bukan menjadi hak Ngajidin. Juga kamu minum barang yang terlarang seperti tuak, alkohol, bahkan kamu juga makan bubuk putih yang membuat aku lemah dan bahkan mati. Masak aku menyuruh engkau makan yang membuat diriku mati? Apakah itu mungkin? Tanya Fikri. Oleh karena itu, hai Totok Samudra. Engkau harus menyadari. Terkadang ada perintah yang bukan dariku. Tetapi itu tidak pernah engkau ketahui apalagi memahami. Perintah itu dating dari Tyas. Tyaslah yang memerintahkan dirimu makan minum tanpa ada batasan, jelas Fikri. Totok Samudra, terdiam dan menatap tajam kepada Tyas.

Tyas yang tersudut bangkit berdiri. Ia tak mau kalah oleh tingkah dan diplomasi Fikri.

“Hai Fikri”, kata Tyas dengan suara merdu seperti seruling. “ Kamu jangan lempar batu sembunyi tangan”, kata Tyas lagi. Aku berbuat seperti itu, untuk melindungi dan menjaga hidup Ngajidin. Lihatlah, ia duduk dan tertidur lemas karena kelaparan dan kehausan, pakah engkau tidak merasa iba dengan pemandangan ini? Jelas Tyas.

Karena kelelahan, haus dan kelaparan, Ngajidin tertidur dilantai terminal. Rasa dingin dan lapar mengharuskan dirinya memeluk lututnya sendiri. Ngajidin, tidur setengah melingkar. Tubuhnya ditekuk sedemikian rupa. Mirip tubuh hewan bernama trenggiling yang lari menyelamatkan diri ketika dikejar musuh.

Perdebatan antara Fikri, Totok dan Tyas, tidak menjadikan rasa kantuknya hilang. Bahkan ia justru tertidur pulas. Seakan tak terjadi apa-apa dengan dirinya. Rasa lapar dan haus pun, tak membuat serta merta tangannya menyambar tas, makanan manusia yang lalulalang di terminal itu. Ngajidin bukan tipe orang yang mudah menyerah dan merebut hak orang lain. Tidak seperti orang kebanyakkan.

Seiring dengan dengkuran suara perut Ngajidin, Totok merasa ingin segera menyuap sesuatu dan memasukkannya kemulut Ngajidin yang mengecap-ecap. Disisi lain, Tyas semakin mendongkol dan mengeluarkan hawa panas dari tubuhnya. Sedangkan tubuhnya sendiri semakin berwarna merah.

Fikri! bentak Tyas pada Fikri. “ Apakah kamu ingin Ngajidin mati lemas.? Dengan membiarkannya tanpa makan dan minum? Biarlah aku berbuat sesuatu untuk Ngajidin. Agar ia tidak kelaparan dan kehausan, kata Tyas setengah memohon kepada Fikri.
Mata Fikri melotot. Saking lebarnya ia memelototkan matanya, mata itu hampir-hampir copot keluar. Seiring dengan apa yang dialami Fikri, kepala Ngajidin mengeluarkan uap dingin berwarna putih. Ngajidin nampak menggigil kedinginan. Keadaan Ngajidin yang seperti itu, tak luput dari perhatian orang yang lalu lalang di terminal Bungurasih.

Tak jarang orang yang menyaksikan kondisi Ngajidin menjadi iba. Selain rasa dingin yang membuat tubuhnya terlihat pucat, pakaian kumel Ngajidin menambah nilai kekerean. Melihat itu, banyak diantara orang-orang tersebut melemparkan uang recehan. Bahkan ada juga yang menyempatkan merogoh kantungnya dan mengeluarkan puluhan ribu rupiah. Mereka melemparkannya ke samping tubuh Ngajidin.

Lihatlah!, kata Fikri. Apa yang dilakukan manusia ketika melihat kondisi Ngajidin. Rasa iba! Rasa iba, memunculkan rasa sosial. Hal seperti itu pasti dilakukan oleh manusia. Namun, hal tersebut akan menjadi sebaliknya. Bila si manusia tersebut menuruti kehendakmu, jelas Fikri sambil menatap tajam kepada Totok dan Tyas bergantian.

“Apa maksudmu”, tanya Totok dan Tyas hampir bersamaan. Begini, kata Fikri berusaha menjelaskan. Manusia itu dalam hidupnya, hendaknya bisa menguasai diri. “Bahkan mematikan diri”, kata Fikri lagi.

Nah, kalau manusia tersebut, katakanlah seperti apa yang sedang dilakukan oleh Ngajidin. Kalian berdua harusnya, membantunya, bukan malah sebaliknya. Menentang kemauan manusia seperti Ngajidin. Dengan melakukan tipu daya dengan berbagai cara.

Kalian membanding-bandingkan keadaan Ngajidin dengan manusia lainnya. Padahal manusia-manusia yang kalian jadikan pembanding, adalah manusia-manusia lemah yang mudah dan telah kalian perdaya.

Stop, stop ocehanmu, Fik, kata Totok menghentikan penuturan Fikri. “ Apa nggak keliru apa yang kamu bicarakan. Selama ini, siapa yang menipu Ngajidin, kami berdua atau dirimu yang pongah, congkak, sombong tak berperasaan! Semenjak Ngajidin pergi meninggalkan pondok yang engkau katakan telah keluar dari pakem, Ngajidin tak menelan apapun selain ludahnya sendiri”, kata Totok. Dus, dengan demikian, engkaulah yang menyiksa dirinya, sehingga ia mengalami hal seperti ini. “Ia hidup terhina dan terlantar di sebuah terminal”, cibir Tyas menimpali sanggahan Totok kepada Fikri.

Ngajidin, menguap. Kemudian meregangkan tubuhnya, seolah meluruskan otot-ototnya yang kaku. Beberapa saat kemudian ia duduk, menyapu sekelilingnya dengan pandangan mata yang masih terlihat lelah dan ngantuk.

Saat ia menoleh kesebelah kiri tubuhnya, tangannya menyentuh sesuatu yang menghendaki pandangan matanya tertuju kearah dimana tangannya merasakan bulatan dingin. Setelah matanya menemukan apa yang dirasakan oleh tangannya tadi, iapun tertegun beberapa saat. Di sebelah kanan dirinya, dimana ia duduk didapati puluhan keping uang recehan dan beberapa lembar uang puluhan ribu rupiah.

Ia pun termenung beberapa saat. Disekitarnya tak terlihat ada orang. Maka diberesinya uang yang berceceran itu. Setelah itu ia berdiri melangkah sambil menggenggam selembar uang puluhan ribu. Sedangkan lainnya ia masukan kedalam buntalan sarung yang berisi dua potong pakaian yang dibawanya dari pondok. Pakaian itu sebagai ganti dalam pengembaraannya.

Dengan selembar uang di tangan, Ngajidin menuju ke sebuah warung dan memesan segelas kopi dan memakan sepotong pisang gorong. Ia duduk di sebuah kursi salah satu restorasi yang ada di terminal.(to bersambung)






 





Rabu, 16 Juli 2008

Sumiarsih Dan Sugeng Bikin Repot Wartawan

Jurnalis Independen: Terpidana mati Sumiarsih dan Sugeng, membuat kalangan media gerah. Pasalnya, kemarin jelang eksekusi hukuman matinya, para wartawan tidak diperkenankan mengambil gambarnya. ceritanya, ketika terpidana mati dibawa menuju lapas Medaeng, pengamanan dan pengawalan pihak terkait sangat ketat. pengamanan yang diberikan oleh pihak lapas dan kepolisian sangat ketat. Sampai-sampai, sebuah yang biasanya dijadikan tempat pengambilan gambar awak media, dipagar kawat berduri.

Jumat, 11 Juli 2008

Sejarah Solat 5 Waktu

Jurnalis Independen: Nabi Muhammad SAW merupakan nabi terakhir yang diutuskan oleh Allah SWT untuk membimbing manusia ke arah jalan kebenaran. Tidak seperti umat nabi-nabi yang lain, umat nabi Muhammad telah diperintahkan untuk mengerjakan solat 5 waktu setiap hari.

Noda Pilkada

Noda Salam Dan Saiful Di Hari Pertama Kampanye
Jurnalis Independen: Kampanye merupakan bagian dari pilkada. Di Jatim 5 pasangan cagub dan cawagup sejak (5/7) telah melakukan kampanye. Naifnya, hari pertama kampanye itu dinodai dengan adanya pelanggaran.

Rabu, 09 Juli 2008

Wajah Demokrasi dan Bukti Gagalnya Sistem Demokrasi (II)

Berkedok Demokrasi, HAM & Anti Teror
Jurnalis Independen: Tidak dijalankannya dasar Negara, dengan atau tanpa kesadaran, dalah berarti juga menafikkan adanya UUD 1945. dan hal ini sudah terbukti dengan adanya amandemen-amandemen yang marak dilakukan oleh anggota parlemen negeri ini.

Selasa, 08 Juli 2008

Bedah Visi Misi Lima Kandidat Gubernur Jatim

Lima Pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur
Bedah Visi-Misi Di Gedung Dewan Jatim

Jurnalis Independen: Menjelang siang, Senin (7/6), gedung DPRD Jawa Timur, Jl Indrapura, berkumpul kelima pasang calon Gubernur. Kelima pasangan kandidat Gubernur Jatim itu, sedang mengikuti sidang Paripurna ke II. Dalam sidang itu, kelima pasangan, menyampaikan program dan visi, misi untuk 5 tahun masa jabatannya mendatang.

Rabu, 02 Juli 2008

Liga Futsal Dir Reskrim Polda Jatim

Jurnalis Independen: Menyambut Hari Bhayangkara ke 61 Kelompok Kerja (Pokja) Wartawan Hukum dan Kriminal Polda Jatim menggelar Liga Futsal Piala Direktur Reserse Kriminal (Dir Reskrim) Polda Jatim. Pertandingan dilaksanakan di Lapangan Mapolda Jatim Jl A Yani, Surabaya sejak tanggal 23 - 27 Juni 2008. Diikuti sejumlah tim futsal dari wartawan kriminal dan jajaran kepolisian diwilayah Polwiltabes Surabaya.

Bukti Gagalnya Sistem Demokrasi (1)

Jurnalis Independen: Maraknya kasus korupsi diberbagai tingkat lembaga, seperti legeslatif, judikatif, maupun eksekutif, membuktikan gagalnya sistem demokrasi Indonesia.

Sepenggal Rutinitas Pemburu Berita di Pojok Gedung DPRD Kota Surabaya

Jurnalis Independen: Siang itu, pukul 12.00, suasana dipojok kantor DPRD Surabaya nampak lengang. Beberapa penjual asongan asyik bercengkrama. Suasana yang lengang membuat mereka leluasa melakukannya.